Keadaan Pesantren Pasca kemerdekaan

berkembang, teknologi dan modernisasi terus berjalan merasuk ke segala lini, termasuk pesantren didalamnya. Pada masa ini, Mujamil Qomar 2011:13 mengatakan pesantren merasakan nuansa kebebasan. Kemerdekaan merupakan momentum bagi seluruh sistem pendidikan untuk berkembang lebih bebas, terbuka, dan demokratis. Dunia pesantren menyambut munculnya pendidikan baru yang belum dirasakan sebelumnya akibat tekakanan-tekanan politik penjajah. Mereka bersemangat mendorong anak-anak usia sekolah agar menempuh pendidikan. Akan tetapi pemeritahan yang baru merdeka, masyarakat dan pemerintah lebih mengutamakan sekolah- sekolah dan pendidikan tinggi modern. Akibatnya pesantren mengalami stagnasi. Baru awal tahun 2001 pemerintah menyadari pentingnya potensi yang dimiliki pesantren untuk menyantuni kebutuhan pendididikan bagi generasi muda pendesaan dan pinggiran kota Zamakhsari Dhofier, 2009:65. Eksistensi pesantren di masyarakat tidak dianggap biasa. Pesantren reputasi yang cukup baik dalam memberi kontribusi bagi pengembangan pendidikan bangsa. Namun, kini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren sekarang ini berada jauh dari realitas sosial. Terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan pendidikan lainnya dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi dan kasus yang paling terakhir tentang terorisme. Dunia pesantren mengalami titik mengkhawatirkan dari kasus paling mutakhir ini adalah identifikasi pesantren sebagai basis doktrin terorisme dan sarang teroris. Menghadapi situasi yang demikian, diperlukan kearifan dan kekritisan dan mensikapi sebuah realitas. Pesantren tidak perlu menepis isu keterkaitan teroris dengan dunia pesantren, dengan cara menutup diri terhadap segala upaya penyelidikan dan tindakan hukum. Yang perlu dilakukan adalah melakukan klarifikasi secara intensif terhadap masyarakat bahwa pesantren mereka tidak memiliki keterkaitan dengan ideologi kekerasan, kemudian aktif bertindak melawan segala bentuk kekerasan. Dengan demikian masyarakat akan tahu pesantren mana yang memiliki ideologi Islam radikal dan Islam toleran, inklusif. Dalam sejarah Indonesia pesantren telah berhasil menjadi bagian penting dalam pembentukan idelogi Negara dan karakter bangsa yang dapat membangun harmoni, baik dalam intra-agama maupun antar- agama. Melalui sosok KH. Abdul Wahid Hasyim dalam konstituante, kalangan pesantren menjadi kelompok yang dapat menerima pancasila sebagai jalan tengah di tengah pertentangan ideologi Negara. Alasannya prinsip-prinsip Pancasila tidak bertentangan dengan dasar agama Islam, lebih dari itu pancasila dapat mempersatukan semua eleman bangsa Zuhairi Misrawi, 2011:7. Lebih lanjut Misrawi mengatakan menjadikan pesantren sebagai kaderisasi teroris merupakan penyimpangan dari nilai-nilai kepesantrenan yang mengajarkan toleransi dan kemuliaan.

B. Pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim di Bidang Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren

Sebagai seorang pendidik KH. Abdul Wahid Hasyim termasuk seorang pembaharu dalam lingkungan Madrasah dan pesantren. Bagi KH. Abdul Wahid Hasyim, metode sekolah dapat diterapkan dalam pembaharuan pesantren tanpa menghilangkan kepribadian yang menjadi ciri khas Madrasah dan pesantren. Pembaharuannya dilakukan secara bijaksana dengan menanamkan pengertian serta kesadaran tentang arti penting pengorganisian manajemen yang baik. Pesanten sebagai dunia santri berbeda dengan perguruan tinggi atau sekolahan. Pesantren juga bukan sekedar asrama pelajar. Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang telah mempunyai tradisi tersendiri. Pesantren inilah yang menimbulkan salah satu inspirasi bagi Ki Hajar Dewantara tatkala mencetuskan idenya membangun Perguruan Taman Siswa Haidar, 2009:74. Salah satu ciri tradisi pesantren yang masih kuat dipertahankan di sebagian besar pesantren adalah pengajian kitab salaf. Kitab salaf yang lebih dikenal di kalangan luar pesantren dengan sebutan kitab kuning, merupakan kitab-kitab yang disusun para sarjana Islam abad pertengahan. Kitab-kitab tersebut dalam konteks penyusunan dan awal penyebarluasannya merupakan karya intelektual yang tidak ternilai harganya dan hanya mungkin disusun oleh ulama jenius dalam tradisi keilmuan dan kebudayaan yang tinggi pada jamannya. Isi yang disajikan kitab kuning hampir selalu terdiri dari dua komponen; pertama matan dan kedua syarah. Matan adalah isi inti yang akan dikupas oleh syarah. Dalam lay out -nya, matan diletakkan di luar garis segi empat yang mengelilingi syarah . Lembaran-lembarannya dapat dipisah-pisahkan sehingga lebih memudahkan pembaca untuk menelaahnya. Pikiran-pikiran beliau berkarakter progresif dan berjangkauan luas ke depan. Hal ini tampak dari perspektifnya mengenai ilmu pengetahuan dan juga dari praktik mendidik putra-putrinya. Berbeda dari kebanyakan santri jebolan pesantren lainnya, KH. Abdul Wahid Hasyim yang bahkan lahir dan tumbuh dari keluarga pesantren, beliau melihat pentingnya ilmu umum dan penguasaan bahasa asing selain Bahasa Arab yang diwajibkan bagi para santri. Sejalan dengan pandangannya itu semua putra-putrinya dimasukkan ke lembaga pendidikan modern, tanpa meninggalkan pengetahuan agama, yang merupakan basis intelektual dan kultural yang ditekankannya. Berbekalkan ketajaman nalar dan semangat berjuang untuk membela umat, KH Wahid Hasyim melakukan langkah-langkah perubahan besar di tengah-tengah masyarakat yang masih diwarnai oleh suasana tradisional. KH. Abdul Wahid Hasyim adalah orang yang berani dan telah melakukan lompatan berpikir yang amat jauh, keluar dari sarang tradisi masyarakatnya, lalu masuk ke dalam dunia modern, bahkan terlampau fenomenal untuk ukuran pada saat itu. Menelaah pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim terkait pembaharuan sistem pendidikan pesantren adalah sangat sulit. Hal ini karena minimnya leteratur yang ada. Namun terlepas dari itu, penulis mencoba dengan maksimal untuk merumuskan pembaharuan yang di lakukan KH. Abdul Wahid Hasyim dalam beberapa sub-tema, yaitu: