bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang-bidang studi: Tauhid, Tafsir, Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tashawuf, Bahasa Arab Nahwu, Sharaf,
Balagah, dan Tajwid, Mantiq, dan Akhlak, yang kesemuanya dapat digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu: 1 kitab dasar, 2 kitab menengah,
3 kitab besar. Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas
dalam kitab, jadi ada tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat lanjut. Setiap kitab bidang studi memiliki tingkat kemudahan dan kompleksitas
pembahasan masing-masing, sehubungan dengan itu, maka evaluasi kemajuan belajar pada pesantren juga berbeda dengan evaluasi dengan
jenis pendidikan lainnya. Saat itu, KH. Abdul Wahid Hasyim menerapkannya sistem klasikal di
Pondok Pesantren
Tebuireng, yaitu
dengan dikenalkannya
sistem Madrasah Nidzamiyah, karena itu ia dikenal sebagai perintis pendidikan
dan pendidikan modern di dunia pesantren Masyhuri, 2008:16 mau tak mau pengayaan metodologi tidak lagi sebatas yang sudah dikenal di
kalangan Pondok.
Hal itu
disebabkan karena
terpengaruh oleh
perkembangan hidup modern yang bagi KH. Abdul Wahid Hasyim harus menuntut orang maupun lembaga
untuk menyesuaikan diri
dengan perkembangan tersebut. Karena itulah cara yang bisa ditempuh agar di
Pondok Pesantren tetap bisa digandrungi oleh masyarakat. Artinya dengan memadukan pola pendidikan tradisional dengan pola pendidikan modern.
Selain mendirikan Madrasah KH. Abdul Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam, beliau Mendirikan
Pendidikan Guru Agama Negeri PGAN di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan
Salatiga. Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta tahun 1944, yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir.
Lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri PTAIN yang kini menjadi IAINUINSTAIN
4. Mencetak Santri yang Ideal
Sebagai seorang pendidik agama, fokus utama pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam.
Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat
dipahami, bahwa kualitas manusia Muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan
dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkreatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang
kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, Manusia Muslim harus memiliki kualitas nalar akal
yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagai seseorang putra kiai besar, yang terlahir dalam lingkungan pendidikan pondok pesantren, KH. Abdul Wahid Hasyim sangat
menyadari bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Islam haruslah melalui pendidikan. Bagi KH.A. Wahid Hasim, dunia
pesantren bukanlah hal asing. Dunia pesantren justru paling berkesan
dalam seluruh proses perjalanan hidupnya. Penjelajahannya di berbagai pesantren menjadikan dirinya begitu paham karekter dan keunggulan
masing-masik pesantren yang satu dengan lain dengan spesifikasinya masing-masing Azis Mashyuri, 2008: 14-15.
Namun, KH. Abdul Wahid Hasyim juga menyadari bahwa pendidikan agama saja tidaklah cukup. Harus pula diimbangi dengan penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan “obsesi” KH. Abdul Wahid Hasyim yang ingin mendudukkan kaum santri pelajar
Islam dalam posisi yang sejajar dengan yang lainnya. Dia tidak ingin melihat santri dipandang sebagai “intelektual kelas dua” dan dianggap
hanya bisa jadi modin oleh masyarakat. Dalam pandangan KH. Abdul Wahid Hasyim, tidak semua santri yang belajar di pesantren harus dan
akan menjadi ulama semua. Seorang santri juga harus menguasai ilmu- ilmu umum sehingga mampu berkiprah di berbagai bidang dalam
kehidupannya. Oleh karenanya, tidak seluruh santri di pesantren harus mempelajari bahasa Arab dan kitab-kitab kuning dengan terlalu intensif.
Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, hal tersebut dinilai memboroskan waktu saja karena pada akhirnya mereka tidak akan menjadi ulama
semuanya. Pengajaran kitab-kitab kuning dalam bahasa Arab hendaknya terbatas bagi sejumlah kecil santri yang memang akan dididik untuk
menjadi ulama Ali Yahya, 2007:12-13. Seorang santri, dalam perspektif KH. Abdul Wahid Hasyim, cukup
mengikuti latihan kehidupan beberapa bulan di pesantren dan mempelajari Islam yang ditulis dalam kitab-kitab berbahasa Indonesia, kemudian