Aspek Metode Pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim di Bidang Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren
Kegiatan belajar belajar mengajar terpusat pada guru. Akhirnya, daya kreativitas dan aktivitas murid menjadi lemah. Dalam hal ini, guru tidak
segera memperoleh umpan balik tentang penguasaan materi yang disampaikan. Maka, untuk hal yang terakhir ini, guru menyediakan se-
kurang-kurangnya waktu dan kesempatan kepada murid untuk bertanya. Metode sorogan merupakan kegaiatan pembelajaran bagi para santri yang
lebih menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perseorangan individu.
Sedangkan sistem yang kedua yaitu bandongan, seorang guru akan membacakan, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas sebuah kitab
kuning di hadapan sekelompok santri jumlahnya bisa tak terbatas, antara 5 sampai 500 yang mendengarkan dan menyimak penjelasan tersebut
sambil memberi catatan pada kitab miliknya sendiri Depag, 2003:40. Metode bandongan ini merupakan metode ceramah, dimana para santri
mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan.
Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah murid cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang
harus disampaikan cukup banyak. Metode Bandongan disebut juga dengan metode wetonan. Metode ini,
berbeda dengan metode sorogan. Metode Bandongan dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri,
untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Pada sistem bandongan atau wetonan, seorang santri tidak harus
menunjukkan bahwa dia mengerti pelajaran yang dihadapi. Para kyai biasanya membaca dan menerjemahkan kalimat-kalimat secara cepat
sehingga terkadang sebuah kitab pendek dapat khatam dalam beberapa minggu saja. Oleh karena itu, sistem ini hanya efektif bagi santri-santri
“senior” yang telah mengikuti sistem sorogan secara intensif. Penggunaan metode bandongan ini digugat oleh KH. Abdul Wahid
Hasyim sebagai bagian dari ide pembaharuan yang digulirkannya untuk merombak sistem pendidikan pesantren. Menurut KH. Abdul Wahid
Hasyim, sistem bandongan menutup rapat pintu kreativitas dan inisiatif santri karena hanya berlangsung satu arah. Santri datang hanya
mendengar, menulis catatan, dan menghafal mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau
diskusi Azis Masyhuri, 2008:23. Dialog antara kyai dan santri menjadi sesuatu yang “tabu” dalam metode bandongan ini.
Sebagai pengganti metode bandongan ini, KH. Abdul Wahid Hasyim menawarkan sebuah metode baru yaitu metode tutorial yang sistematis
dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian santri. KH.A Wahid Hasyim menjelaskan usul perubahan itu karena mayoritas
santri yang belajar di lembaga-lembaga pesantren tidak bertujuan untuk menjadi ulama Zamakhsari Dhofier, 1984:105, Azis Masyhuri, 2008:22.
Akan tetapi tidak ada penjelasan yang lebih jauh yang diberikan oleh KH. Abdul Wahid Hasyim mengenai metode tutorial ini. Namun, kiranya bisa
disimpulkan bahwa metode tutorial dilakukan dengan cara memberikan
bimbingan khusus kepada para santri, terutama kepada para santri yang mengalami kesulitan belajar.
Sedangkan Ridlwan 2005:112 mengatakan tutor adalah guru yang mengajar di rumah, guru privat, atau guru yang mengajar sekelompok
murid diperguruan tinggi atau pondok. Metode ini tidak harus dilakukan oleh gurukyai secara langsung, tetapi juga bisa dilakukan oleh para santri
senior selaku pengganti dari gurukyai. Dengan metode ini, para santri dibiasakan untuk terlibat dalam diskusi intensif dengan para tutornya.
Selain itu, nampaknya dengan menerapkan sistem ini, KH. Abdul Wahid Hasyim berharap dapat mengurangi hubungan patron-klien yang masih
sangat kuat di antara kyaiguru dan santri. Perubahan metode pengajaran merupakan kemajuan yang luar biasa
yang terjadi pada pesanten ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis, dimana
posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga kendapatnya
dapat dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri murid dan proses belajar mengajar berorientasi pada murid sehingga potensi yang dimiliki
akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri. Dalam proses pembelajaran murid tidak hanya dijadikan objek pendidikan akan tetapi ia
dijadikan subjek pendidikan itu sendiri. Sedangkan Guru memposisikan diri sebagai motivator, dan fasilitator dalam proses pembelajaran.