Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional, sering kita ketahui, bahwa sistem atau metode pembelajaran di pesantren
menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Murid posisinya hanya sebagai pendengar, menghafal dan menulis sehingga murid atau santri
tidak bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya seperti mengajukan pertanyaan atau bahkan lebih kritis lagi yaitu dengan
mengadakan diskusi, metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan dalam institusi
pesantren atau merupakan metode pembelajaran asli pesantren. Ada pula metode pembelajaran baru , yaitu metode pembelajaran hasil pembaharuan
kalangan pesantren
dengan mengintrodusir
metode-metode yang
berkembang di masyarakat modern. Penerapan metode baru juga diikuti dengan penerapan sistem baru, yaitu sistem sekolah atau klasikal. Seperti
yang dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim melontarkan ide untuk mengganti metode bandongan dengan metode tutorial sepertinya didasari
pada kesadaran bahwa santri adalah manusia merdeka yang memiliki kreativitas dan inisiatif pribadi. Mematikan kreativitas santri sama halnya
dengan membunuh potensi mereka, bahkan sebelum potensi itu tumbuh dan berkembang.
Metode tutorial memberi ruang antara kyai dan santri untuk terlibat dalam dialog yang seakan ditabukan dalam metode bandongan. Suasana
dialogis sangat penting dikembangkan dalam pembelajaran karena melatih daya kritis dan logika. Metode tutorial sama sekali tidak akan menurunkan
kewibawaan dan pamor kyai di mata santri karena hubungan yang
dibangun dalam metode tutorial adalah kesetaraan. Ketika seseorang diperlakukan sejajar maka akan tumbuh rasa saling menghormati. Metode
tutorial juga dipandang lebih efektif untuk memantau perkembangan kemampuan individual masing-masing santri. Metode tutorial juga akan
mempererat hubungan antara kyai dan santri. Dengan hal tersebut KH. Abdul Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar
yang dialogis, dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu- satunya sumber belajar. Dengan konsep ini diharapakan menghasilkan atau
memproduk siswa atau santri yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.
3. Relavansi Pembaharuan Institusi
Model pembaharuan institusi maksudnya yaitu pembaharuan atau perubahan lembaga pendidikan Islam, baik melalui transformasi diri
lembaga yang sudah ada maupun mendirikan lembaga pendidikan Islam yang baru. Dalam konteks ini, KH. Abdul Wahid Hasyim mentransformasi
lembaga yang sudah ada yaitu pesantren Tebuireng kemudian dimodifikasi dengan mendirikan Madrasah Nidzmiyah mengambil nama institusi
pendidikan yang di bangun Bani Saljuk, Nizham al-Mulk di Bagdad. Institusi ini menggunakan sistem klasikal dengan kurikulum 70
pelajaran umum dan 30 pelajaran agama, yang mana Madrasah ini juga dilengkapi dengan perpustakaan sebagai tempat belajar santri diluar
pesantren dan Madrasah. Artinya selain pesantren mengajarkan ilmu agama pesantren juga mengajarkan ilmu umum kepada santrinya.
Dalam menapaki dinamika perubahan dunia pesantren yang ada memang ada banyak hal yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikannya.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah institusi pesantren. Pesantren mempunyai kekayaan khazanah yang hampir seluruh berbahasa Arab atau
bahasa Jawa Pegon merupakan aset yang luar biasa. Sayangnya, khazanah tersebut, belum, atau bahkan belum difungsikan secara maksimal. Selama
ini banyak literatur yang dimiliki kalangan pesantren hanya dijadikan kebanggaan yang sama sekali belum membisakan nilai-nilai tersebut
dalam menuntaskan persoalan umat. KH. Abdul Wahid Hasyim mengubah wajah pesantren Tebuireng
menjadi lebih modern dan terbuka. Modernitas dan perhargaan terhadap nilai tradisi tradisional masih menyatu dalam diri KH. Abdul Wahid
Hasyim. Di kalangan Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan orang pertama yang memelopori masuknya pendidikan umum
ke dalam kurikulum pesantren. Walau ketika itu orang yang mencontoh model sekolah yang dilaksanakan pemerintah Kolonial Belanda dianggap
kafir. Alasan normatif yang sering digunakan adalah hadis: ﻦ
ﻋ ﻦ
ﺑ ﺍ
ﻝ ﺎ
ﻗ ﺮ
ﻤ ﻋ
ﻝ ﻮ
ﺳ ﺭ
ﷲ ﺍ
ﻲ ﻠ
ﺻﷲ ﺍﻪ
ـ ـ ﻴ
ﻠ ﻋ
ﻢ ﻠ
ﺳ ﻭ
:
ﻦ ﻣ
ﻪ ﺒ
ــ ﺸﺗ ﻡ
ﻮ ـ
ـ ﻘ ﺑ
ﻮ ﻬ
ﻓ ﻢ
ﻬ ﻨ
ﻣ ﻩ
ﺍ ﻭ
ﺭ ﻮ
ﺑ ﺍ
ﺩ ﻭ
ﺍ ﺩ
“barang siapa meniru apa yang dilakukan suatu kaum maka dia akan menjadi bagian kaum itu
”Ahmad Hambal:50. Implikasi dari hadis ini tidak diperkenankan mamakai apa saja yang
biasa dilakukan Belanda, seperti baju dan dasi. Tetapi tampaknya, pemahaman ini tidak hanya diperlakukan untuk pakaian tetapi juga sistem
pendidikan. Inilah sikap antipati kaum pesantren terhadap penjajahan belanda Meski KH. Wahid Hasyim termasuk pentolan pesantren ia
kandang berbusana sarung tapi bagian atasnya mengenakan jas dan dasi yang necis.