Mencetak Santri yang Ideal

dalam seluruh proses perjalanan hidupnya. Penjelajahannya di berbagai pesantren menjadikan dirinya begitu paham karekter dan keunggulan masing-masik pesantren yang satu dengan lain dengan spesifikasinya masing-masing Azis Mashyuri, 2008: 14-15. Namun, KH. Abdul Wahid Hasyim juga menyadari bahwa pendidikan agama saja tidaklah cukup. Harus pula diimbangi dengan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan “obsesi” KH. Abdul Wahid Hasyim yang ingin mendudukkan kaum santri pelajar Islam dalam posisi yang sejajar dengan yang lainnya. Dia tidak ingin melihat santri dipandang sebagai “intelektual kelas dua” dan dianggap hanya bisa jadi modin oleh masyarakat. Dalam pandangan KH. Abdul Wahid Hasyim, tidak semua santri yang belajar di pesantren harus dan akan menjadi ulama semua. Seorang santri juga harus menguasai ilmu- ilmu umum sehingga mampu berkiprah di berbagai bidang dalam kehidupannya. Oleh karenanya, tidak seluruh santri di pesantren harus mempelajari bahasa Arab dan kitab-kitab kuning dengan terlalu intensif. Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, hal tersebut dinilai memboroskan waktu saja karena pada akhirnya mereka tidak akan menjadi ulama semuanya. Pengajaran kitab-kitab kuning dalam bahasa Arab hendaknya terbatas bagi sejumlah kecil santri yang memang akan dididik untuk menjadi ulama Ali Yahya, 2007:12-13. Seorang santri, dalam perspektif KH. Abdul Wahid Hasyim, cukup mengikuti latihan kehidupan beberapa bulan di pesantren dan mempelajari Islam yang ditulis dalam kitab-kitab berbahasa Indonesia, kemudian sebagian besar waktunya digunakan untuk belajar berbagai pengetahuan dan keterampilan praktis. Konsep inilah yang pada saat ini dikenal dengan istilah life skill education pendidikan kecakapan hidup. Dan, KH. Abdul Wahid Hasyim-lah yang memperkenalkannya terlebih dahulu kepada dunia pendidikan Indonesia pada tahun 1930-an jauh sebelum istilah tersebut ditemukan. KH. Abdul Wahid Hasyim berpendapat bahwa pengajaran kitab-kitab asli Islam hendaknya terbatas bagi sejumlah santri yang memang akan dididik untuk menjadi ulama Bakar, 2011:820-824 Meskipun ide ini pada akhirnya tidak disetujui oleh KH. Hasyim Asy’ari karena perubahan radikal seperti itu akan menciptakan kekacauan di antara sesama pemimpin pesantren, tetapi maksud dibalik usul KH. Abdul Wahid Hasyim ini dapat dipahami oleh KH. Hasyim Asy’ari Zamakhsari Dhofier, 1984:106. Bahwa, seorang santri yang belajar di pesantren selain demi mencari ridho Allah, juga harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan berkiprah dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Seorang santri, di samping harus bisa menjawab masalah-masalah keagamaan, juga harus bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat seperti kemiskinan dan kebodohan. Dari sini, lalu beliau menyarankan agar para santri tidak harus melulu menjadi ’ulama. Hal ini cukup beralasan dalam kenyataannya, tidak semua santri menjadi ulama. Di samping itu telah terjadi penyempitan makna ulama di pesantren, yang manganggap ulama hanya orang-orang yang menggeluti ilmu agama saja dengan merendahkan ilmu keduniaan Rifa’i, 2009:54-55. Baginya religiusitas ke-ulama-an dapat merasuk dalam semua aspek kehidupan ini. Membangun semua lini dengan spirit spiritualitas menjadi tujuan utama atas pendidikan Islam. Santri harus diarahkan dalam ruang ini.

5. Menjadikan Perpustakaan sebagai Elemen Penting di Pesantren.

KH. Abdul Wahid Hasyim sangat menganjurkan para santri untuk belajar diluar jam pesantren. Pengetahuan sangat penting untuk alat perjuangan. Beliau mendasarkan diri pada sejarah Nabi Muhammad SAW, perintah pertama Nabi adalah ’membaca’. Kegiatan membaca harus dibarengi dengan menulis. Itulah kunci santri menjadi intelektual yang tangguh. Rifa’i,2009:31 Melihat ini, maka sangat penting membangun budaya membaca dan menulis dikalangan umumnya untuk pemuda Indonesia, khususnya bagi generasi Nahdlatul Ulama. Proses pembangunan ini juga harus diimbangi dengan sarana prasarana penunjang, seperti, penerbitan, percetakan, Institut, Kajian kebahasaan, sekolah atau lembaga pelatihan. KH. Abdul Wahid Hasyim melihat dua kunci utama dalam pengembangan intelektualitas, yakni membaca dan menulis, dan penulis sepakat dengan hal ini. Ketika KH. Abdul Wahid Hasyim mendirikan Madrasah Nidhomiyyah setelah mendapatkan persetujuan dari KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1934, dia juga mendirikan perpustakaan. Kehadiran perpustakaan di sebuah pesantren memang belum banyak pada saat itu tetapi KH. Abdul Wahid Hasyim berani mendobrak kondisi tersebut. Perpustakaan dipandangnya menjadi salah satu pra syarat penting untuk mewujudkan tujuannya yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Islam. Kegemarannya membaca dan menulis nampaknya juga menjadi latar belakang idenya untuk mendirikan perpustakaan di Pondok pesantren Tebuireng. Perpustakaan yang didirikan oleh KH. Abdul Wahid Hasyim memiliki koleksi sebanyak 1000 judul buku yang kebanyakan adalah buku-buku agama Islam. Selain itu, perpustakaan itu juga berlangganan majalan dan surat kabar, seperti Panji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatul Ulama , Adil, Nurul Islam, Al Munawarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur , Pujangga Baru, dan Penyebar Semangat. Dari kesebelas jurnalmajalah tersebut, hanya Berita Nahdlatul Ulama saja, yang secara konsisten mewakili pandangan kaum tradisionalis. Selebihnya merupakan jurnalmajalah yang diterbitkan oleh kalangan Islam modernis dan nasionalis Azis Masyhuri, 2008:23. Para santri dianjurkan membaca buku, majalah, dan surat kabar sebanyak mungkin. Surat kabar yang baru dipasang di papan di halaman depan masjid sehingga memudahkan para santri untuk beramai-ramai membacanya. Dengan demikian, para santri memperoleh pengetahuan yang memadai dalam berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, dan politik. Kesediaan KH. Abdul Wahid Hasyim untuk berlangganan majalah dan surat kabar milik kalangan Islam modernis dan nasionalis merupakan gambaran pribadinya yang progresif dan sikapnya yang toleran dalam persoalan-persoalan ideologi, sosial, dan politik.