Hasil Analisis Kinerja Fiskal

Kinerja Fiskal Daerah: Kasus Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Jaka Sriyana 127 Tabel 1. Rata-Rata Ketergantungan Fiskal KotaKabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, 2007-2009 No. DIY KMF KTF 1. Kota Yogyakarta 19,39 40,4 2. Kulon progo 7,67 50,43 3. Sleman 14,83 52,17 4. Gunung kidul 5,92 53,28 5. Bantul 8,08 56,52 Sumber: Data diolah dari Realisasi APBD, tahun 2007-2009. KMF=Kemandirian Fiskal; KTF=Ketergantungan Fiskal. Gambar 1. Rata-Rata Ketergantungan Fiskal KabupatenKota di DIY Tahun 2007-2009

4.2. Hasil Analisis Kinerja Fiskal

Untuk melakukan analisis DEA, diperlukan data baik yang berfungsi sebagai data input maupun data output dalam proses analisis. Dalam analisis ini meniliti struktur pendapatan dan belanja pada kotakabupaten. Sebagai variabel input adalah Dana Alokasi Umum DAU, Lag Belanja Tidak Langsung LBTL, dan Lag Belanja Langsung LBL. Yang menjadi variabel output adalah Pajak PJK, Retribusi RET dan Pendapatan Asli Daerah PAD. Adapun salah satu periode dari data-data yang digunakan untuk analisis eisiensi ditampilkan dalam Tabel 2. Tabel 2. Input pada Analisis Eisiensi Fiskal Daerah KotaKabupaten Input Output DAU LBTL LBL PJK RET PAD Kulon Progo 201231000 410014180 245527981 27809500 17410319 288915470 Gunung Kidul 231438000 242261211 109883221 29191400 16866338 254859030 Kota Yogyakarta 318139000 643909250 334853679 47899850 24202491 916265030 Sleman 268325000 589511980 120484019 74395000 69174100 156013933 Bantul 308106000 452878610 134254894 26660000 10019834 190520190 Sumber: Data diolah dari Realisasi APBD, tahun 2007-2009. 128 Volume 15, No.2 September 2011 Tabel 3. Hasil Analisis Eisiensi Relatif KotaKabupaten Eisiensi Graik Kulon Progo 74 74 71 81 100 52 Gunung Kidul 71.1 Sleman 80.8 Kota Yogyakarta 100 Bantul 51.5 Sumber: Hasil analisis. Dari hasil analisis yang dipaparkan pada Tabel 3 tersebut bisa diketahui, bahwa kota Yogyakarta memiliki eisiensi tertinggi, yaitu 100. Ini berarti bahwa kota tersebut bisa dijadikan rujukan references kabupaten yang lain untuk menajdi eisien. Dalam rangka menuju eisiensi, sebuah kabupatenkota kadang-kadang harus merujuk ke lebih dari satu kabupatenkota. Hasil analisis DEA memberikan nilai input yang harus digunakan dan hasil output yang diharapkan dengan merujuk ke baputaenkota yang lain.Oleh karena itu hasil tersebut juga memperlihatkan bahwa daerah yang lebih tinggi nilai eisensinya dapat dijadikan referensirujukan bagi daerah lain untuk meningkatkan eisiensinya. Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dapat dijadikan referensi oleh 3 kabupaten yang lain dalam rangka menuju eisiensi. Tabel 4. Penyesuian Input dan Harapan Output untuk Mencapai Eisiensi Daerah DAU LBTL LBL PJK RET PAD Kulon Progo Turun Turun Turun Naik Konstan Naik Gunung Kidul Turun Turun Turun Naik Konstan Naik Kota Yogyakarta Konstan Konstan Konstan Konstan Konstan Konstan Sleman Turun Turun Turun Naik Konstan Naik Bantul Turun Turun Turun Naik Konstan Naik Pembahasan lebih lanjut terhadap kota yang mencapai eisiensi sempurna, yakni kota Yogyakarta didapatkan bahwa kota tersebut memiliki angka kemandirian iskal, yang dihitung sebagai rasio antara PAD dan Total Belanja yang tertinggi di antara semua kabupaten Tabel 4. Kota Yogyakarta, yang memiliki angka kemandirian iskal tertinggi dibanding kabupaten lainnya dan sekaligus memiliki eisiensi yang tertinggi pula. Kondisi ini mencerminkan hubungan yang selaras antara tingkata kapasittas dan kualitas tata kelola anggaran. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa peningkatan transfer dana dari pemerintah pusat berbentuk DAU tidak terlalu signiikan dalam meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah. Dalam rangka mencapai tingakt eisensi yang lebih tinggi, empat kabupaten lain dapat merujuka pada kota Yogyakarta. Secara ringkas empata kabupaten tersebut dapat meningkatkan eisiensi tata kelola iskalnya dnegan menambah capaian output atau menurunkan penggunaan input. Seperti dipaparkan pada Tabel 4, peningkatan Kinerja Fiskal Daerah: Kasus Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Jaka Sriyana 129 eisiensi pada empat kabupatens ebaiknya diarahkan utnuk meningkatkan penerimaan pajak daerah. Hal ini mengindikasikan rendahnya eisiensi terjadi pada sektor pencapaian tingkat penerimaan pajak daerah. Berbagai faktor mungkin bisa menjadi penyebab rendahnya eisiensi tata kelola pencapaian pajak daerah, salah satu faktor yang mungkin adalah disebabkan oleh lemahnya kapasitas kelembagaan di daerah. Kemungkinan yang lain adalah bahwa transfer dari pemerintah pusat maupun dampak belanja pemerintah daerah terhadap capaian pajak dan retribusi memerlukan waktu time lag untuk membuahkan hasil yang signiikan. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat peranan jenis sumber dana dan jenis alokasi peruntukan belanja merupakan faktor yang sangat penting dalam analisis eisiensi belanja. Dengan demikian, penelitian lebih lanjut yang perlu diagendakan adalah meneliti pengaruh time-lag atas dampak transfer dana pemerintah pusat ke perekonomian daerah. 5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan