126
Volume 15, No.2 September 2011
v
rk
≥0;i=1,.......,m .........................................................................................................................................9 Hasil analisis dari DEA memiliki beberapa nilai manajerial, yaitu 1 DEA akan menghasilkan nilai eisiensi untuk
setiap unitorganisasi relatif terhadap unitorganisasi yang lain di dalam sampel. Angka eisiensi ini memungkinkan untuk mengenali unitorganisasi yang paling tidak kurang eisien; 2 Jika suatu unitorganisasi kurang eisien
eisien 100, DEA menunjukkan sejumlah unitorganisasi yang memiliki eisiensi sempurna eficient reference set
, eisiensi = 100 dan seperangkat angka pengganda multipliers yang dapat digunakan untuk menyusun strategi perbaikan. Informasi tersebut memungkinkan untuk membuat unitorganisasi yang menggunakan input
lebih sedikit dan menghasilkan output paling tidak sama atau lebih banyak dibanding unitorganisasi yang tidak eisien, sehingga unitorganisasi hipotesis tersebut akan memiliki eisiensi yang sempurna jika menggunakan bobot
input dan bobot output dari unitorganisasi yang tidak eisien. Pendekatan tersebut memberi arah strategis untuk meningkatkan eisiensi suatu unitorganisasi melalui pengenalan terhadap input yang terlalu banyak digunakan serta
output produksinya terlalu rendah; 3 DEA menyediakan matriks eisiensi silang. Eisiensi silang unitorganisasi A terhadap unitorganisasi B merupakan rasio dari output tertimbang dibagi input tertimbang yang dihitung dengan
menggunakan tingkat input dan output unitorganisasi A dan bobot input dan output unitorganisasi B. Analisis eisiensi silang dapat membantu untuk mengenali unitorganisasi yang eisien tetapi menggunakan kombinasi input
dan menghasilkan kombinasi output yang sangat berbeda dengan unitorganisasi lain. Unitorganisasi tersebut sering disebut sebagai maverick menyimpang, unik.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis kuantitatif bertujuan mencari eisiensi relatif dari masing-masing daerah kotakabupaten. Analisis ini mampu menunjukkan daerah mana yang eisien dalam satu aspek tertentu secara relatif dibanding daerah yang
lain. Hal ini memungkinkan daerah yang belum eisien secara relatif dalam aspek tersebut untuk meningkatkan eisiensinya dengan menggunakan daerah yang lebih eisien sebagai rujukan. Analisis semacam ini dikenal dengan
nama Data Envelopment Analysis DEA.
4.1. Deskripsi Fiskal Daerah
Kondisi kemampuan iskal daerah ditunjukkan oleh besarnya sumber-sumber pendapatan daerah. Ketergantungan iskal sebagai indikator kemampuan iskal daerah dalam memenuhi kebutuhan belanja dapat
dilihat dari besarnya rasio DAU terhadap belanja daerah. Indikator lain atas kemampuan iskal daerah diperoleh dari rasio antara PAD terhadap belanja daerah, dikenal sebagai kemandirian iskal.
Data-data Kemandirian Fiskal, dan Ketergantungan Fiskal yang berasal dari rata-rata Pendapatan asli Daerah PAD, Belanja Total, Dana Alokasi Umum DAU periode 2007-2009 pada empat kabupaten dan kota di
propinsi DI Yogyakarta ditampilkan pada Tabel 1. Data-data yang dianalisis diambil dari berbagai sumber, khususnya berbagai dokumen realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk semua kota dan kabupaten pada
periode 2007-2009. Untuk melihat perbedaan kemandirian secara visual dapat diperhatikan Gambar 1. Data-data
iskal kabupatenkota tersebut menunjukkan adanya variasi dalam kapasitas iskal selama tahun 2007-2009 di provinsi DIY.
Dari analisis tentang ketergantungan iskal ini dapat dikatakan bahwa secara umum, kotakabupaten tersebut mempunya rata-rata rasio ketergantungan iskal 50,45. Dengan demikian, sekitar 51 sumber pembelanjaan
didapat dari sumber di luar daerah, khususnya dari pemerintah di atasnya, yaitu pemerintah pusat dan pememrintah provinsi dalam bentuk transfer iskal. Analisis secara lebih mendalam dapat dipakai untuk mengetahui penyebab
angka ketergantungan tersebut. Beberapa sebab yang bisa dikemukakan adalah: 1 secara alamiah daerah tersebut memang tidak memiliki banyak sumber pendapatan, 2 eisiensi kinerja yang kurang baik sehingga
mempertinggi tingkat pengeluaran, 3 daerah tersebut memiliki agenda pencapaian pembangunan yang terlalu tinggi, 4 terdapat ketidaksesuaian antara sumber alokasi dan jenis pengeluaran.
Kinerja Fiskal Daerah: Kasus Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Jaka Sriyana
127
Tabel 1. Rata-Rata Ketergantungan Fiskal KotaKabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, 2007-2009
No. DIY
KMF KTF
1. Kota Yogyakarta
19,39 40,4
2. Kulon progo
7,67 50,43
3. Sleman
14,83 52,17
4. Gunung kidul
5,92 53,28
5. Bantul
8,08 56,52
Sumber: Data diolah dari Realisasi APBD, tahun 2007-2009. KMF=Kemandirian Fiskal; KTF=Ketergantungan Fiskal.
Gambar 1. Rata-Rata Ketergantungan Fiskal KabupatenKota di DIY Tahun 2007-2009
4.2. Hasil Analisis Kinerja Fiskal