Islam dan Fundamentalisme Islam dan PDIP : studi terhadap aktivitas politik dan pandangan keagamaan baitul muslim Indonesia

merupakan harta publik. Karena posisinya yang sedemikian rupa, maka penggunaan anggaran negara juga harus diprioritaskan untuk kepentingan masyarakat, terutama masyarakat kelompok bawah. Dalam Islam juga diatur tentang kebijakan penyediaan pelayanan publik dasar yang berpihak pada masyarakat luas sehingga infrasrukturnya memberi manfaat luas bagi masyarakat pro-poor infrastucture. Selain itu, Islam juga memberi aturan tentang pemerataan dan distribusi pendapatan yang memihak rakyat miskin. 69 Terdapat tiga instrumen utama dalam Islam terkait distribusi pendapatan yaitu aturan kepemilikan tanah, penerapan zakat, serta menganjurkan qardul hasan, infak 70 , dan wakaf . 71

F. Islam dan Fundamentalisme

Fundamentalisme tidak kalah pentingnya selain isu-isu di atas, karena fundamentalisme melekat dengan intoleransi. Fundemantalisme diartikan sebagai paham yang selalu menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalah tanpa mengedepankan dialog damai. Dalam isu fundemantalisme, pada Majalah Baitul Muslimin Indonesia edisi No. 5 November 2008. BAMUSI menyatakan pandangannya dan ikut serta dalam meluruskan pemahaman tentang fundamentalisme. BAMUSI ynag merupakan sayap Islam PDIP mengatakan bahwa 69 Topik Utama,Kemiskinan Tanggung Jawab Siapa?Majalah Bulanan Baitul Muslimin, Keberagamaan, Kebangsaan Kebhhinekaan, No. 07 Februari 2009: h. 7. 70 Pemberian sumbangan harta dsb selain zakat wajib untuk kebaikan. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 378 . 71 Benda bergerak atau tidak bergerak untuk kepentingan umum sebagai pemberian yang ikhlas. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 1123 . fundamentalisme adalah fenomena kultural yang melanda agama-agama. Fundamentalisme dalam tradisi Kristen di Amerika, misalnya merupakan sebuah perlawanan atas mereka yang ingin menyimpang dari doktrin dan teks keagamaan. Begitu pula fundamentalisme dalam tradisi Islam juga merupakan mempertahankan sejarah, doktrin dan teks keagamaan. Oleh karena itu, fundamentalisme adalah fenomena historis, khususnya pergulatan antara doktrin dengan zaman yang senantiasa berubah. Walaupun tidak sama persis, arus-arus fundamentalisme dalam tradisi agama-agama mempunyai kemiripan. Kemiripannya tidak hanya dalam hal interpretasi doktrin keagamaan, melainkan juga ekspresi doktrin keagamaan dalam konteks sosial. 72 Melihat gelombang fundamentalisme agama-agama yang semakin gencar, tentu saja tugas reformasi agama amatlah berat dan sulit. Sebab fenomena mutakhir jauh lebih kompleks, merata dan memasuki hampir seluruh arena kehidupan. Di sini, kalangan agamawan harus bekerja keras untuk melakukan sedikitnya dua hal berikut: pertama , kalangan agamawan dari pelbagai agama harus memahami secara betul tentang fungsi dan posisi agama di tengah-tengah masyarakat. Artinya, kalangan agamawan harus mengembalikan agama kepada khittah-nya, yaitu sebagai pembawa obor keadilan sosial dan toleransi. Tatanan politik dan ekonomi, baik dalam konteks global dan nasional sementara ini tidak memberikan harapan bagi keadilan sosial. Agama dalam hal ini harus mampu menjadi lembaga moral dan lembaga kontrol atas pelbagai gerakan yang berbau dan mengarah pada ketidakadilan sosial. Di samping itu harus mengampanyekan pentingya toleransi. Tanpa toleransi, agama akan kehilangan maknanya untuk mencipatakan kehidupan yang humanis. 72 Topik Utama, Nasionalisme vs Fundamentalisme, Majalah Bulanan Baitul Muslimin, Keberagamaan, Kebangsaan Kebhinekaan, No. 05 November 2008: h. 7. Kedua , kalangan agamawan dari pelbagai agama harus mendorong lahirnya gerakan bersama untuk kemanusiaan. Pluralitas adalah sunnatullah. Sejatinya pluralitas memberi harapan bagi kemaslahatan publik, tanpa harus membatasi pada kepentingan yang bersifat sektarian. Agama harus mempunyai komitmen untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan konflik sosial. Karena dengan cara seperti itu, agama akan memberikan sebuah makna yang lebih dekat dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Kedua hal inilah setidaknya yang akan mampu menetralisir fundamentalisme agama-agama serta mengambilalih peran agama untuk tujuan kemanusiaan dan keadilan sosial. Tapi harus diakui bahwa mewujudkan hal tersebut tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan, karena fundamentalisme makin lama makin memperlihatkan kekuatannya. Kolaborasi agama, politik dan ekonomi adalah kekuatan yang betul-betul riil. Atas dasar itu, toleransi dapat dijadikan salah satu alternatif untuk membendung arus fundamentalisme dalam intra-agama. Toleransi meniscayakan adanya pemahaman yang baik, benar dan tepat terhadap apa yang terdapat dalam agama serta mengajak untuk memahami pihak lain dengan perspektif humanis. Sedangkan dalam konteks antar-agama, toleransi dapat membuka cakrawala tentang pentingnya kebersamaan dan kerukunan global. Hidup di tengah ideologi benturan hanya akan melahirkan sebuah trauma yang berkepanjangan tentang kebencian dan kecurigaan terhadap orang lain. Karena itu, diperlukan sebuah paradigma yang memadai untuk membagun toleransi dalam konteks keberagamaan. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga poin penting yang menjadi catatan berkaitan dengan toleransi berbasis agama: pertama, secara dogmatik, toleransi harus dibangun di atas kesadaran untuk menerima pihak yang dianggap salah. Dalam khazanah Islam, terutama pasca munculnya denominasi dan mazhab, klaim terhadap kelompok dan tafsir yang salah senantiasa mengemuka dan menjadi senjata ampuh untuk mengeksklusi kelompok lain. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan toleransi untuk memahami pandangan pihak lain yang dianggap salah. Sikap toleransi penting karena setiap orang mempunyai hak untuk salah dan berfikir objektif. Kendatipun ia salah, tetapi ia masih mempunyai hak untuk hidup dan berpendapat. Dalam tradisi Islam, menghargai pihak yang salah sangat penting. Sebab kesalahan dalam berijtihad masih mendapatkan tempat di sisi Tuhan dari pada bertaklid. Kalangan fundamentalis pada umumnya tidak pernah memberikan ruang toleransi kepada kelompok yang salah. Mereka cenderung mengambil jalan vonis sesat 73 dan kafir 74 terhadap pihak yang salah. Karena itu, kalangan fundamentalis bisa disebut sebagai pihak yang mengembangkan intoleransi, karena menolak untuk menerima pihak yang salah. Bukan hanya itu, mereka menganggap pihak yang salah sebagai pihak yang keluar dari agama. Dalam pandangan pemikiran keislaman kontemporer bahwa istilah fundamentalisme dipandang oleh sebagian kalangan bukan istilah yang tepat untuk digunakan kalangan Muslim. Muhammad Imarah 1999, pemikir Muslim asal Mesir, melakukan kritik yang mendasar terhadap upaya mencampuradukkan antara fundamentalisme Islam dan fundamentalisme Kristen. Menurut Imarah, keduanya mempunyai doktrin dan pengalaman berbeda. Fundamentalisme dalam tradisi Islam adalah upaya menggali dan bahkan mengembangkan dasar-dasar keagamaan, 73 Tidak melalui jalan yang benar di dalam agama. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 930 . 74 Orang yang tidak percaya kepada Allag dan rasul-Nya. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 429 . sebagaimana terdapat dalam dasar-dasar agama ushuluddin dan dasar-dasar fikih ushul al-fiqh. Dari segi doktrinal sebenarnya fundamentalisme Islam mempunyai pengalaman yang jauh lebih baik karena telah melahirkan keilmuan Islam yang cukup spektakuler sepanjang sejarah Islam. Tentu saja, pengalaman tersebut bisa dikatakan berbeda dengan pengalaman Kristiani maupun Yahudi yang mana fundamentalisme terkait dengan pengalaman politik kekuasaan yang cenderung menjadikan agama sebagai justifikasi kekuasaan. 75 Pandangan tersebut tidak selamanya benar. Karena dalam sejarah Islam juga menyisakan sebuah fase sejarah yang hampir sama. Disiplin ushuluddin dan ushululfiqh juga tidak bisa dipisahkan dari realitas politik pada zamannya. Pertarungan antara faksi Ashariyah dan Mutazilah dalam komunitas Sunni juga telah melahirkan konflik yang amat menyejarah, bahkan telah mempengaruhi kekuasaan. Di samping itu, pada ranah fikih muncul konflik di antara pengikut mazhab yang juga melibatkan kekuasaan. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain untuk melihat fundamentalisme secara objektif. Memandang fundamentalisme yang berbasis agama harus menggunakan perspektif yang lebih tepat. Fundamentalisme yang berbasis agama mempunyai dua karakteristik. Pertama, fundamentalisme positif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi keagamaan sebagai sumber moral dan etika kemaslahatan publik. Fundamentalisme dalam hal ini mempunyai visi dan misi untuk menjadikan doktrin keagamaan sebagai elan vital bagi etika sosial dan pemberdayaan masyarakat. Tapi harus diakui, bahwa fundamentalisme juga bisa terjerembab pada karakter yang kedua, yaitu fundamentalisme negatif, fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi sebagai sumber dan justifikasi atas kekerasan. Dalam hal 75 Topik Utama, Nasionalisme vs Fundamentalisme, h. 7-8. ini, agama-agama samawi mempunyai pengalaman yang relatif sama-sama tragis, baik dalam ruang lingkup intra-agama maupun antar-agama. Hal tersebut terjadi, karena agama menjadi tameng bagi kepentingan kelompok tertentu. Fundamentalisme tidak menghadirkan pemahaman yang memadai terhadap agama, tetapi justru menjadikan agama sebagai pelindung bagi kemapanan dan tindakan otoriter yang dilakoni oleh kekuasaan. Oleh karena itu, fundamentalisme dalam tradisi agama mempunyai karakternya sendiri-sendiri. Tidak statis dan monolitik. Termasuk dalam rangka membaca fundamentalisme Islam, menggunakan pendekatan empatik saja tidak cukup untuk melihat arus-arus lain yang terdapat dalam gerakan keagamaan kontemporer. Karena fundamentalisme tidak hanya mempunyai satu wajah. Selalu ada wajah ganda dalam fundamentalisme. Karenanya, untuk melihat keragaman corak fundamentalisme dalam tradisi Islam bisa dilihat dari keragaman aliran, mazhab, institusinya dan tradisinya. Dengan demikian, pandangan Muhammad Imarah tentang fundamentalisme Islam dengan mudah dipatahkan, karena melihat fundamentalisme Islam secara doktrinal saja tidak cukup dan cenderung menyederhanakan masalah. Apalagi hanya melihat fundamentalisme dari sisi positifnya dan tanpa melihat sisi-sisi negatifnya di balik fundamentalisme. Pandangan Muhammad Imarah bahkan bisa dianggap terlalu apologetik, karena fundamentalisme Islam pada hakikatnya tidak berakar kuat pada paham keagamaan yang diwarisi oleh ulama terdahulu, tetapi justru merupakan gerakan-gerakan keagamaan mutakhir, mempunyai cara pandang monolitik terhadap agama serta-merta sebagian dari mereka mewujudkannya dalam tindakan intoleran. Sisi negatif yang mulai kentara dari fundamentalisme adalah pergeseran ranah fundamentalisme dari ranah privat menuju ranah publik. Artinya, bila selama ini fundamentalisme agama-agama hanya berkutat dalam kaitan umat dengan tekss, maka fundamentalisme mutakhir bergulat dengan politik praktis. Fundamentalisme digunakan sebagai kendaraan untuk merengguh panggung politik. Salah satu fenomena fundamentalisme di era modern adalah kecenderungan politik. Mereka yang mengusung islamisasi politik dan kekerasan dengan atas nama agama bukanlah fundamentalis, melainkan gerakan radikal-politis. Sebab fundamentalisme mempunyai karakter tersendiri yang berbeda dengan kalangan fundamentalis. Mereka juga disebut sebagai kalangan fundamentalis yang politis. Sebab mereka menggunakan kendaraan sebagai kendaraan politik. Contoh penegakan Syariat Islam di pelbagai daerah, baik melalui hak otonomi daerah maupun otonomi khusus, merupakan salah satu bentuk dari fundamentalisme politik. Dalam konteks keindonesiaan, Bung Karno sebenarnya sudah meletakkan pemahaman tentang bagaimana agama diletakkan dalam ruang publik. Ia memberikan pemahaman, bahwa yang dimaksud dengan ketuhanan dalam Pancasila adalah ketuhanan yang berkeadaban. Agama bukan untuk membangun gairah keberagamaan saja, melainkan juga bertujuan untuk membangun keadaban publik. Keinginan untuk membangun gairah keberagamaan harus sejarah dengan gairah untuk membangun perdamaian dan toleransi. Keragaman agama merupakan fakta historis yang menyerah pada bangsa ini, karenanya harus dijadikan sebagai kekuatan yang membebaskan, bukan justru sebagai ancaman. Dalam hal ini, ketuhan yang berkeadaban dalam konteks kebangsaan harus didukung oleh demokrasi yang dapat membangun keadilan, yang dikenal dengan sosio-demokrasi. Di samping itu juga didukung oleh kebangsaan yang dapat mendorong kemanusiaan, yang biasa dikenal dengan sosio-nasionalisme. Inti dari itu semua, bahwa yang mesti dibangun dalam konteks kebangsaan adalah gotong-royong. Karena itu, sebelum gerakan fundamentalisme menjadi sesuatu yang berdampak negatif pada bangsa ini, alangkah indahnya bila semua warga negara menjadikan nasionalisme sebagai pilihan ideologis dalam konteks berbangsa dan bernegara. Adapun agama menjadi kekuatan nilai yang justru mendorong demokrasi dan spirit kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 76

G. Islam dan Terorisme