Islam dan Pluralisme Islam dan PDIP : studi terhadap aktivitas politik dan pandangan keagamaan baitul muslim Indonesia

yang tedapat dalam Pancasila itu bertentangan dengan semangat Islam. Mulai dari sila pertama sampai sila kelima merupakan ajaran agung yang harus ditegakkan di atas bumi pertiwi Indonesia. Islam dan nasionalisme searah dan sejalan demi persatuan Indonesia. Nasionalisme adalah Bhineka Tunggal Ika dan ini menjadi jati diri bangsa yang harus dijadikan dasar dalam berbangsa dan bernegara. Seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Said Aqil Siradj, ia mengatakan bahwa seharusnya bangsa berjuang dan belajar dari fouding father. Para tokoh kemerdekaan berjuang hingga titik darah penghabisan untuk memproklamirkan kemerdekaan. Yang menarik untuk ditiru, kata dia, bagaimana cara berunding tim 9. Ia menegaskan, bahwa tokoh-tokoh ini berasal dari kalangan nasionalis, Syariat Islam, NU, Muhammadiyah, Kristen dan Katolik. Meski berasal dari latar belakang yang beragam, mereka tidak mempersoalkan agama. Kalau semua komponen bangsa bisa memperthankan seperti itu, itulah jati diri bangsa, itulah Bhineka Tunggal Ika yang merupakan jati diri bangsa. 61

B. Islam dan Pluralisme

Persoalan pluralisme di Indonesia juga menjadi sorotan tersendiri bagi BAMUSI. Menurut pandangan BAMUSI Indonesia yang plural merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dibangun. Fakta sejarah dan juga politik, menunjukkan bahwa founding fathers mendirikan Indonesia di atas fakta pluralisme suku, adat istiadat, agama, bahasa, ideologi dan sebagainya. Namun, dengan bermunculannya berbagai undang-undang dan peraturan yang dengan sengaja menafikan eksistensi kelompok-kelompok masyarakat lainnya, apakah pluralisme masih menjadi masa depan Indonesia? 61 Said Aqil Siradj, Bhineka Tunggal Ika Sebagai Jati Diri Bangsa,Majalah Bulanan Baitul Muslimin, Keberagamaan, Kebangsaan Kebhinekaan, No. 01 Juli 2008. h. 17. Kelihatannya Indonesia sedang digiring menuju perpecahan. Bangsa yang mengusung slogan Bhineka Tunggal Ika ini semakin hari terasa justru semakin rapuh karena perasaan kebersamaan semakin dikikis oleh anak-anak bangsanya sendiri. Artinya, yang mengoyak-ngoyak Indonesia bukan kekuatan luar, melainkan para anak kandung Ibu Pertiwi lewat aksi pemaknaan tafsir tunggal dan dominasi kultur tertentu yang membuat kebersamaan mengalami pelunturan secara sistematis. Arus anti-kebhinekaan yang menjalar liar dalam tubuh bangsa Indonesia akhir-akhir ini menimbulkan kerisauan tentang masa depan negeri ini: apa ada Indonesia di hari esok? Bangsa ini dikuatirkan akan hancur berkeping-keping, dan anak-anak bangsa akan saling mencakar hingga tercabik-cabik. Tanpa mengabaikan bahaya ancaman itu, PDI Perjuangan sebagai penjaga gawang nasionalisme mengambil langkah penyelamatan. Salah satu langkah spektakuler partai yang berpegang teguh pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945 ini adalah dengan menjadikan PDI Perjuangan sebagai Rumah Besar Kaum Nasionalis. PDI Perjuangan menjadi semacam rumah bersama bagi semua masyarakat Indonesia yang setuju dengan ideologi Pancasila, pro-kebhinekaan, dan yang mencintai keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI sebagaimana diamanatkan founding fathers. Pemikiran plural menjadi penting dan harus selalu didengungkan, mengingat bangsa Indonesia nyatanya sebagai bangsa yang plural yang harus dijaga bersama demi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ayal, PDIP sebagai partai yang mengusung kebangsaan selalu mendengungkan bahwa pluralitas bangsa merupakan niscaya dan rahmat dari Sang Pencipta yang harus selalu diindahkan dan selalu berada dalam bingkai kedamaian. Tidaklah mudah bagi masyarakat atau bangsa untuk mengakui pluralisme yang berkembang di Indonesia, tanpa adanya kesadaran yang tinggi bahwa bangsa Indonesia adalah Negara kesatuan Republik Indonesia. Semua warga negara memiliki kesamaan hak dan kewajiban dan tidak ada diskriminasi, semuanya menjadi kesatuan yang utuh sebagai warga negara Indonesia. Islam di Indonesia seakan-akan harus mengambil karakter yang sama persis dengan kawasan Timur Tengah tanpa sedikitpun berinteraksi dengan budaya lokal setempat. Bukankah tantangan yang dihadapi sangat berbeda antara Indonesia dan kawasan Timur Tengah? Sehingga, Islam hadir dimanapun akan selalu berdialog dengan masyarakatnya. Di sinilah letak historisitas Islam yang dapat dijadikan sebagai pegangan ketika berinteraksi dengan pluralitas budaya. Sejatinya, watak dan karakter Islam yang apresiatif terhadap budaya lokal adalah watak yang damai, ramah, dan toleran. Karena watak Islam yang demikian ini, tidak menyuguhkan praktek kekerasan. Dengan kata lain, tidak menggunakan cara- cara ekspansi atau kolonialisasi untuk mendialogkan Islam dengan kebudayaan lokal. Penyebaran Islam di Indonesia yang tidak melalui ekspansi ini, memunculkan konsekuensi bahwa Islam di Indonesia lebih lunak, jinak, dan akomodatif terhadap kepercayaan, praktik keagamaan, dan tradisi lokal. 62 Sebagaimana dikemukakan Hassan Hanafi, apa yang dibutuhkan Indonesia dan juga dunia Islam lainnya sesungguhnya sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu. Di satu sisi, legitimasi teritorial, identitas budaya, nasionalisme, dan khasanah warisan. Di sisi lain, legitimasi modernitas yang ditandai keterbukaan, kebebasan, keadilan, supremasi hukum, dan lain-lain. Dengan dua perpaduan antara Islam normatif dengan Islam historis, maka jalan tengah bagi Islam sebagai agama yang absolut tidak akan kehilangan identitas absolutnya di tengah perubahan zaman. Sebaliknya, budaya sebagai entitas yang 62 Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme Jakarta: LSIP Lembaga Studi Islam Progresif, 2004, hal. 34. otonom di dalam masyarakat tidak ditempatkan di dalam posisi yang subordinat- terpinggirkan ketika agama masuk ke dalam wilayahnya. Pada aras inilah, agama dan budaya mengalami proses pembauran yang konstruktif. Dengan kata lain, agama dan identitas kultural masyarakat setempat mengalami proses yang sama untuk secara bersama-sama membangun peradaban yang baru yang tidak saling mengalahkan, melainkan peradaban baru yang khas dialami masyarakt setempat. Dengan demikian, secara lebih luas, agama dan identitas kultural tidak akan mengalami ketegangan, yang akan merusak harmonisasi masyarakat di tengah pluralitas agama dan budaya. 63 Islam yang merupakan agama perdamaian, memberikan tentunya meberikan ruang untuk berbeda sebagai bangsa. Mengingat pada awal Islam dibangun di kota Madinah. Di sanalah Islam dibangun dan berkembang. Nyatanya Islam bisa berdiri dan tegak dengan masyarakat yang plural, menjalin sebuah kontrak politik yang saling menguntungkan. Masyarakat atau umat selain Islam juga hidup damai dan mampu berdampingan bahu membahu demi sebuah pemerintahan yang kokoh dan adil. Itu semua muncul karena ada kesadaran bahwa pluralitas suatu bangsa itu adalah bagian dari rahmat Sang Pencipta.

C. Islam dan Gender