Islam dan Nasionalisme Islam dan PDIP : studi terhadap aktivitas politik dan pandangan keagamaan baitul muslim Indonesia

BAB IV PANDANGAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA BAMUSI TENTANG ISU- ISU ISLAM KONTEMPORER

A. Islam dan Nasionalisme

Dalam Majalah Bulanan Baitul Muslimin Indonesia BAMUSI, pada edisi perdana menghadirkan wacana Penjaga Gawang Nasionalisme. Islam yang sejati tidaklah mengandung asas anti-nasionalis, tutur Bung Karno di dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi . Sedari awal, bangsa ini ditakdirkan lahir dalam kemajemukan agama, suku dan bahasa. Islam dan kebangsaan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam bentangan sejarah bangsa ini. BAMUSI memiliki konsern membangun kebangsaan yang religius tentunya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Meskipun demikian wacana dialektika Islam dan kebangsaan tidak pernah surut dari pentas politik nasional. Bermula dari wacana Piagam Jakarta, yang di dalamnya termuat tujuh kata dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun dengan itikad baik untuk menjadikan Negara ini sebagai rumah besar kebhinekaan, para pendiri bangsa ini menyepakati redaksi sila pertama menjadi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Naskah tersebut ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, AA. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejono, Abulkahar Muzakar, H. A. Salim, Ahmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. 56 Tidak seperti Negara lain, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, Negara tercinta ini mempunyai ijtihad kebangsaan yang sangat luar biasa. Di tengah 56 Redaksi, Salam; Rumah Islam Kebangsaan, Majalah Bulanan Baitul Muslimin, Keberagamaan, Kebangsaan Kebhhinekaan, No. 01 Juli 2008. h. 3 tarikan Negara-negara lain yang menawarkan dua kutub ekstrem, yaitu tarikan fundamentalisme Saudi Arabia, Pakistan Iran dan Malaysia dan sekularisme Turki, bangsa ini mengambil jalan tengah, yaitu ijtihad kebangsaan. 57 Nadirsyah Hosein 2007 dalam Sharia and Constitutional Reform in Indonesia, menyatakan Indonesia merupakan model dari kalangan moderat-substansialistis dalam mengakomodasi hukum agama tertentu. Sebab meskipun Pancasila menerima keyakinan tentang Tuhan Yang Esa, tetapi di sisi lain menerapkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. KH. Ahmad Shiddiq, tokoh kharismeatik dari Nahdlatul Ulama menggarisbawahi teologi kebangsaan yang dapat memperkuat keberislaman, kebangsaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Menurut dia, ada tiga model pertalian yang harus dibangun di ruang publik. Pertama, pertalian keislaman al- ukhuwah al-islamiyyah , pertalian kebangsaan al-ukhuwah al-wathaniyyah dan pertalian kemanusiaan al-ukhuwah al-basyariyyah Ketiga hal di atas merupakan ijtihad yang paling otentik, bahkan dapat dikatakan tidak ditemukan di Negara-negara lain, yang mayoritas penduduknya muslim. Dalam hal ini, tidak berlebihan jika banyak kalangan yang menyebutkan, bahwa Indonesia merupakan salah satu bentuk peaceful Islam, yaitu Islam berkarakter damai. Dalam wawancara khusus dengan seorang tokoh penting dalam PDIP Taufiq Kiemas mengatakan bahwa berdirinya BAMUSI di tubuh PDIP merupakan langkah awal mengusung Indonesia kepada pintu gerbang nasionalisme sejati. Dan ini mendapat respon baik dari kalangan tokoh-tokoh Islam bahwa lahirnya BAMUSI akan mempertemukan hubungan Islam dan nasionalisme. Secara khusus salah satu 57 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 432. tokoh Muhammadiyah menyatakan bahwa PDIP seharusnya mengambil langkah strategis untuk menghubungkan keduanya, antara Islam dan nasionalisme, dan menegasikan pandangan yang selama ini melekat pada PDIP sebagai sarangnya orang-orang nasionalis dan tidak memiliki respon terhadap kemajuan Islam. 58 Selanjutnya perdebatan yang tida pernah berakhir tentang dikotomi Islam dan nasionalisme sekarang menjadi renungan bagi semua kalangan bahwa kemajuan Indonesia ke depan tidak terletak pada pundak nasionalis saja, atau sebaliknya pada pundak Islam saja. Akan tetapi haruslah berjuang bersama membuang jauh-jauh paradigma dikhotomi Islam dan nasionalisme yang selama ini menjejali pikiran bangsa Indonesia. 59 Indonesia adalah negara yang otentik memiliki identitas yang beragam dan tidak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Negara Indonesia ini adalah negara kesatuan yang harus dijunjung tinggi, jangan sampai terpecah dan terbelah oleh perbedaan pandangan tentang Islam dan nasionalisme. Apalagi sampai terbersit untuk mendirikan Negara Islam. Para founding fathers telah merumuskan sebuah formula final bahwa Negara Kesatuan Republik Indnonesia terdiri dari masayarakat yang plural dan mampu untuk bisa tetap berada kokoh dalam bingkai nasionalisme yang khas Indonesia. Nasionalisme Indonesia bukanlah murni dari cangkokan paham Barat, tetapi nasionalisme yang khas Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno. 60 Kesatuan nasionalisme sudah terangkum dalam Pancasila sebagai pedoman dasar dan modal bagi bangsa kita. Dalam Pancasila tidak termaktub bahwa sila-sila 58 Wawancara Taufiq Kiemas, Penjaga Gawang Nasionalisme,Majalah Bulanan Baitul Muslimin, Keberagamaan, Kebangsaan Kebhinekaan, No. 01 Juli 2008: h. 11-15 59 Kiemas, Penjaga Gawang Nasionalisme, h. 11-15 60 Wawancara Syafii Anwar, Halal Bihalal; Damai di Hati, Damai di Bumi,Majalah Bulanan Baitul Muslimin, Keberagamaan, Kebangsaan Kebhinekaan, No. 04 Oktober 2008: h.15 yang tedapat dalam Pancasila itu bertentangan dengan semangat Islam. Mulai dari sila pertama sampai sila kelima merupakan ajaran agung yang harus ditegakkan di atas bumi pertiwi Indonesia. Islam dan nasionalisme searah dan sejalan demi persatuan Indonesia. Nasionalisme adalah Bhineka Tunggal Ika dan ini menjadi jati diri bangsa yang harus dijadikan dasar dalam berbangsa dan bernegara. Seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Said Aqil Siradj, ia mengatakan bahwa seharusnya bangsa berjuang dan belajar dari fouding father. Para tokoh kemerdekaan berjuang hingga titik darah penghabisan untuk memproklamirkan kemerdekaan. Yang menarik untuk ditiru, kata dia, bagaimana cara berunding tim 9. Ia menegaskan, bahwa tokoh-tokoh ini berasal dari kalangan nasionalis, Syariat Islam, NU, Muhammadiyah, Kristen dan Katolik. Meski berasal dari latar belakang yang beragam, mereka tidak mempersoalkan agama. Kalau semua komponen bangsa bisa memperthankan seperti itu, itulah jati diri bangsa, itulah Bhineka Tunggal Ika yang merupakan jati diri bangsa. 61

B. Islam dan Pluralisme