otonom di dalam masyarakat tidak ditempatkan di dalam posisi yang subordinat- terpinggirkan ketika agama masuk ke dalam wilayahnya. Pada aras inilah, agama dan
budaya mengalami proses pembauran yang konstruktif. Dengan kata lain, agama dan identitas kultural masyarakat setempat mengalami proses yang sama untuk secara
bersama-sama membangun peradaban yang baru yang tidak saling mengalahkan, melainkan peradaban baru yang khas dialami masyarakt setempat. Dengan demikian,
secara lebih luas, agama dan identitas kultural tidak akan mengalami ketegangan, yang akan merusak harmonisasi masyarakat di tengah pluralitas agama dan budaya.
63
Islam yang merupakan agama perdamaian, memberikan tentunya meberikan ruang untuk berbeda sebagai bangsa. Mengingat pada awal Islam dibangun di kota
Madinah. Di sanalah Islam dibangun dan berkembang. Nyatanya Islam bisa berdiri dan tegak dengan masyarakat yang plural, menjalin sebuah kontrak politik yang saling
menguntungkan. Masyarakat atau umat selain Islam juga hidup damai dan mampu berdampingan bahu membahu demi sebuah pemerintahan yang kokoh dan adil. Itu
semua muncul karena ada kesadaran bahwa pluralitas suatu bangsa itu adalah bagian dari rahmat Sang Pencipta.
C. Islam dan Gender
Wacana gender menjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai, gender selalu dijadikan alasan dalam perbedaan antara laki-laki dan perempuan. BAMUSI sebagai
sayap Islam PDIP angkat bicara di dalam Buletin Jumat Baitul Muslimin Indonesia dan memberikan pandangan tentang persoalan gender
64
. Bahwa al-Quran mengakui perbedaan laki-laki dan perempuan secara anatomis. Meski demikian, al-Quran tidak
63
Misrawi dan Zada, Islam Melawan Terorisme, hal. 36.
64
Buletin Jumat Baitul Muslimin Indonesia, Perinsip Kesetaraan Jender, No. 15Th II II- Juni 2008.
menganut pandangan perbedaan gender, dengan kata lain, meskipun terdapat keunikan seksual, tetapi al-Quran tidak mengasosiasikannya dengan simbolisme
jender. Para ulama juga menjelaskan bahwa pada dasarnya objek pembicaraan yang digunakan al-Quran terhadap laki-laki dan perempuan bersifat umum. Meski terdapat
beberapa ayat bahkan surah-surah al-Quran yang berspesifikasi perempuan seperti surah al-Nisa dan surah al-Thalaq. Ini lebih menunjukkan pada karakteristik dan
keistimewaan perempuan, terlebih lagi bagi keberlangsungan generasi manusia. Akan tetapi bagi sebagian ulama ortodoks dan kalangan konservatif muslim. Hal ini
dianggap sebagai fungsi utama seorang perempuan yaitu menjaga rumahtangganya, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Sebagaimana telah dipraktikkan di
beberapa negara muslim atau negara berpenduduk muslim dengan membatasi peranan wanita sebatas dalam rumah.
Hal in menimbulkan pertanyaan, benarkah Islam membatasi peranan perempuan? Tidakkah berarti Islam telah menzalimi hak-hak perempuan? Dalam al-
Marah fi al-Tashawwur al-Qurani , Susan Fahd al-Hawwal menjelaskan bahwa Islam
memperlakukan wanita setara dengan laki-laki, dengan tidak membeda-bedakan nilai imbalan atau pahala yang diterima keduanya dalam setiap perbuatan baik,
sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran: 195, Maka Tuhan memperkenankan permohonannya dengan berfirman, sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain.
Selain itu, pembatasan ruang lingkup perempuan bukanlah permintaan al- Quran. Sebab al-Quran tidak mencegah perempuan untuk keluar rumah, juga tidak
ada penyebutan bahwa mereka harus ditemani muhrimnya ketika keluar rumah. Hal ini mungkin lebih pada persoalan pencegahan, dan bukan prinsip. Sedangkan di sisi
lain, pada prinsipnya al-Quan justru melengkapi perempuan dengan hak mencari nafkah.
Begitu pula ketika berbicara mengenai kepatuhan perempuan terhadap suaminya yang biasa dinyatakan beberapa ulama konservatif dengan menyitir QS al-
Nisa ayat 34. Asghar Ali Engineer dalam bukunya Pembebasan Perempuan 2003 menyebutkan bahwa kita tidak akan menemukan konsep tentang kepatuhan yang total
terhadap suami di dalam al-Quran. Istilah qanitat yang digunakan di sini seringkali diterjemahkan sebagai taat kepada suami. Padahal dalam konteks al-Quran, kata ini
juga memiliki padanannya yang digunakan untuk laki-laki yaitu qanitin. Mayoritas ahli tafsir al-Quran pun sepakat bahwa ketaatan di sini adalah ketaatan kepada Allah,
bukan kepada suami. Hal ini pun akan terlihat jelas apabila kita mempertimbangkan penggunaannya pada beberapa ayat lain, seperti QS. Al-Ahzab 31 dan 35, serta al-
Tahrim ayat 5. Bahkan, meskipun al-Quran mengakui perbedaan seksual, tak sekalipun al-
Quran menyatakan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki, atau bahwa mereka merupakan unsur ciptaan yang lebih rendah, atau bahkan sebaliknya bahwa laki-laki
merupakan unsur ciptaan yang lebih tinggi. Justru al-Quran menegaskan bahwa yang menjadi perbedaan mereka bukanlah status seksual mereka, melainkan ketakwaan
mereka. Atau sebagaimana yang diistilahkan Amina Wadud adalah perilaku kesalehan dan kesadaran karena Allah dalam menajalankan perilaku tersebut, al-Quran
Menurut Perempuan , 2006. Nilai perbedaan berdasarkan ketakwaan ini disimpulkan
secara jelas dalam surah al-Hujarat: 13:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal
. Begitu pula dalam prinsip kepemimpian, al-Quran mengedepankan kesetaraan
dalam melaksanakan suatu tugas. Bahwa yang dibutuhkan dalam beraktivitas politik adalah kemampuan memimpin dan kapasitas intelektual. Jadi, sesungguhnya
pertanyaannya adalah siapa sebenarnya yang paling cocok melaksanakan tugas kepemimpinan, berdasarkan kualifikasi dan dan karakteristik tersebut. Namun,
mengingat al-Quran diturunkan pada masyarakat Arab yang kental dengan budaya patriarkinya, di mana laki-laki mapan di ruang publik, sehingga tentu saja laki-laki
menjadi yang paling cocok dalam melaksanakan aktivitas politik tersebut. Pada dasarnya, tidak terdapat teks al-Quran yang melarang perempuan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. Ataupun untuk memiliki suatu pekerjaan atau keahlian selama hal itu bersifat positif. Dan selama ulama sepakat
bahwa asal mula suatu hukum adalah mubah boleh, maka tidak ada nash yang melarangnya. Terlebih lagi penetapan suatu hukum itu berlaku secara setara terhadap
laki-laki dan perempuan, kecuali apabila ada nash yang menghususkannya.
65
Terkait dengan masalah ini, al-Quran telah menjelaskan secara tegas dalam Surah al-Taubah [9] ayat 71-72:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka
menyuruh mengerjakan yang maruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-
orang yang mumin lelaki dan perempuan, akan mendapat surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan
mendapat tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.
65
Buletin Jumat Baitul Muslimin Indonesia, Perinsip Kesetaraan Jender, No. 15Th II II- Juni 2008.
Dalam hal ini, Sayyid Qutub menjelaskan bahwa sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain, berarti laki-laki dan perempuan saling
tolong menolong dan menjalankan perintah Allah, baik dalam menyeru pada kebenaran, mencegah kebatilan, maupun dalam hal kepemimpinan umat manusia di
muka bumi. Ini cukup menjelaskan bahwa meskipun laki-laki lebih mapan di ruang publik, tetapi pada realitasnya tidak semua laki-laki memiliki kemampuan dan
kemapanan dalam hal politik. Juga tidak memungkiri adanya perempuan yang lebih independen
dan berwawasan luas, dan berkompeten dalam memimpin suatu bangsa, meskipun sebagian besar mereka bergerak di ranah internal.
Selanjutnya, ayat yang paling penting berkenaan dengan pola hubungan laki- laki dan perempuan, sekaligus sebagai legalitas kepemimpinan laki-laki. Menurut
beberapa kalangan para ulama adalah QS. Al-Nisa [6] ayat 34: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebahagian
dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.
Berkaitan dengan ayat ini, Amina Wadud menekankan dua hal, pertama; pelebihan seperti apa yang diberikan, dan yang kedua; apa yang mereka belanjakan
dari harta mereka, yakni norma dan cita-cita sosio-ekonomi. Menurutnya, kedua hal ini adalah syarat laki-laki dapat menjadi pemimpin atas perempuan. Apabila tidak
terpenuhi salah satu di antaranya, maka laki-laki tidak qawwam tidak menjadi pemimpin atas perempuan.
Berbicara mengenai pelebihan, al-Quran menggunakan istilah fadhdhala, yang memiliki pengertian bahwa pelebihan tersebut tidak dapat diperolah melalui
amalan tertentu, melainkan diberikan oleh Allah kepada orang yang dikehendakinya, dan dalam bentuk yang dikehendakinya pula. Selanjutnya, mengenai pelebihan
materi, hanya ada satu ayat al-Quran yang berbicara mengenai kelebihan laki-laki atas perempuan, yaitu ayat waris. Sehingga, apabila pelebihan yang diberikan hanya
terbatas materi, tentunya hal itu akan lebih dijelaskan lagi oleh al-Quran. Meski demikian, pelebihan inipun masih dibatasi pula dengan pembagian pelebihan atas
sebagian yang lain, sebagian laki-laki dan sebagian perempuan. Sayyid Qutub menjelaskan bahwa qiwamah seseorang berhubungan dengan
keluarga. Dalam hal ini beliau membatasi pada hubungan suami istri, dan adanya kewajiban pemberian nafkah merupakan hak istimewa bagi laki-laki dalam
terwujudnya qawwam atas perempuan. Dalam al-Marah fi al-Tashawwur al-Qurani juga ditegaskan bahwa
kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam ayat ini, dikhususkan dalam relasi hubungan suami istri keluarga. Adapun kepemimpinan perempuan di luar lingkup
tersebut, tidak terdapat nash yang melarangnya. Sehingga tidak mustahil pembagian pelebihan atas yang lain, memungkinkan adanya perempuan yang berkompeten dan
handal dalam memimpin, yang tidak dikaruniakan pada sebagian laki-laki lain. Demikian pula sebaliknya, tidak menutup kemungkinan pula lahirnya laki-laki yang
sabar dan piawai dalam mengatur rumah tangga dan perawatan anak, yang tidak diberikan pada sebagian perempuan-perempuan lain. Akhirnya, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Amina Wadud bahwa kepemimpinan bukan merupakan karakteristik abadi dari semua laki-laki, maka perawatan anak pun bukanlah
karakteristik abadi dari setiap perempuan. Pada kekinian, kiprah perempuan dalam arena publik juga dapat ditelusuri
dalam pentas sejarah nasional bangsa Indonesia. Perjuangan kaum perempuan di masa
penjajahan kolonial tak kalah heroiknya dengan kaum pria. Kita kenal Cut Nyak Dien, tokoh pejuang perempuan yang tangguh asal Aceh, Cut Meutia, juga Kartini, yang
hingga kini namanya sering dijadikan simbol gerakan emansipasi perempuan. Dan juga banyak dijumpai dewasa ini, perempuan berperan aktif dan berkiprah di ruang
publik politik.
66
Seperti aktif menjadi politisi, anggota parlemen, menteri, dan meraih posisi di jabatan publik lainnya. Oleh karena itu, upaya berbagai kalangan
untuk menuntut kuota 30 bagi perempuan dalam politik adalah relevan dengan dinamika saat ini. Dari paparan itu sangat jelas bahwa Islam tidak pernah memasung
perempuan untuk berkiprah dalam ruang publik.
67
D. Islam dan Kepemimpinan