penjajahan kolonial tak kalah heroiknya dengan kaum pria. Kita kenal Cut Nyak Dien, tokoh pejuang perempuan yang tangguh asal Aceh, Cut Meutia, juga Kartini, yang
hingga kini namanya sering dijadikan simbol gerakan emansipasi perempuan. Dan juga banyak dijumpai dewasa ini, perempuan berperan aktif dan berkiprah di ruang
publik politik.
66
Seperti aktif menjadi politisi, anggota parlemen, menteri, dan meraih posisi di jabatan publik lainnya. Oleh karena itu, upaya berbagai kalangan
untuk menuntut kuota 30 bagi perempuan dalam politik adalah relevan dengan dinamika saat ini. Dari paparan itu sangat jelas bahwa Islam tidak pernah memasung
perempuan untuk berkiprah dalam ruang publik.
67
D. Islam dan Kepemimpinan
Di dalam buku, Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan yang diterbitkan oleh BAMUSI, dikatakan bahwa dalam sejarah peradaban dunia, pemimpin atau
kepemimpinan merupakan faktor yang sangat menentukan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa wajah sebuah peradaban adalah wajah pemimpin itu sendiri.
BAMUSI dalam kepemimpinan tidak melihat apakah seorang pemimpin itu perempuan atau laki-laki, kepemimpinan itu boleh saja dan untuk siapa saja asalkan
seseorang itu mampu dan memiliki kemampuan managerial dan kepemimpinan. Secara mendasar BAMUSI memberikan pemahaman tentang kepemimpinan dalam
Islam. Ada sejumlah istilah menunjuk kata pemimpin atau kepemimpinan, di
antaranya adalah raun atau raiyyatun. Istilah ini merujuk kepada hadits Nabi Muhammad SAW bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus
66
Vandana Shiva Maria Mies, Ecofeminism; Perspectif Gerakan Perempuan Lingkungan Yogyakarta: IRE Press, 2005, h. 73.
67
Buletin Jumat Baitul Muslimin Indonesia, Perempuan dalam Islam, No. 14Th II 1-Juni 2008.
bertanggungjawab atas mereka yang dipimpin. Dari kata ini bisa dipahami bahwa kata rakyat dalam bahasa Indonesia sesungguhnya mempunyai akar historis dengan
kata raiyyah sebagaimana tertulis dalam hadits tadi. Di dalam al-Quran, pemimpin juga disebut dengan qawwam; yaitu merujuk
pada al-Quran, laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan... para ulama tafsir berbeda pendapat, apakah yang harus memimpin adalah laki-laki? Realitasnya
tidak semua publik adalah laki-laki. Dalam sejarahnya, perempuan juga tampil sebagai pemimpin publik, baik dalam konteks politik maupun keumatan.
Di samping itu, di dalam al-Quran disebutkan bahwa pemimpin adalah khalifah. Kata khalifah tercantum dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 30:
Ingatlah saat Tuhanmu berkata kepada para malaikat bahwa Aku menciptakan khalifah mandataris di muka bumi
. Kata khalifah di sini tidak spesifik seperti pemimpin.
Ayat yang lebih jelas menunjukkan kata khalifah bermakna pemimpin adalah ayat yang berbunyi: Wahai Daud, sesungguhnya Allah telah menjadikan kamu
sebagai khalifah di dunia; karena itu tegakkanlah hukum . Istilah khalifah yang
bermakna pemimpin sudah dipakai sejak Rasulullah SAW wafat. Abu Bakar adalah khalifah pertama melanjutkan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin agama dan
politik, bukan sebagai nabi. Bersama Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali juga dikenal sebagai Khulafa al-Rasyidun penerus Nabi Muhammad SAW. Sejak itu
kepemimpinan dikendalikan oleh khalifah, yang lebih dikenal dengan sistem monarki. Khalifah pertama ialah Dinasti Umayyah, monarki keturunan Muawiyah, dilanjutkan
Dinasti Abbasiyah, monarki keturunan Abbas. Para pemimpin monarki muslim ini disebut khalifah. Sejak itulah sistem pemertintahan dalam dunia Islam menggunakan
istilah khilafah, misalnya kekhalifahan UtsmaniOttoman Empire, Mogul di India,
Persia dan sejumlah kerajaan kecil. Para kepala negara kerajaan Islam disebut khalifah atau sultan. Ini juga berkembang di Indonesia.
Terakhir, istilah pemimpin juga dikenal dengan al-imam, merujuk kepada sebuah hadits bahwa imam itu harus diikuti oleh makmum. Dari kata ini
berkembang istilah al-imamah, yaitu suatu konsep kepemimpinan politik Syiah Dua Belas
di Iran yang menegaskan bahwa yang paling berhak melanjutkan kepemimpinan politik dan agama Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib dan
keluarganya. Karena itu seluruh kepemimpinan Sunni tidak sah. Syiah dan Sunni bertikai secara politik tentang ini dan mereka berhasil membangun imperium masing-
masing. Syiah Dua Belas di Iran adalah kelompok Syiah yang menonjol dan seorang imam Syiah sangat berpengaruh. Contohnya ialah Imam Khumaini. Singkat kata,
imam merupakan referensi yang otoritatif secara keilmuan, keagamaan, politik marja al-taqlid dan karena itu sangat dipatuhi, didengar serta diikuti fatwa-
fatwanya. Imam al-Mawardi, dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, mengatakan al-imamah
maudhuatun likhilafatin nubuwwatin fi haratsati al-din wa siyasat al-dunya . Artinya,
kepemimpinan itu harus ditegakkan untuk melanjutkan visi kenabian yaitu melestarikan agama dan mengatur kehidupan dunia.
Misi kenabian ada sepanjang sejarah. Al-Quran menyebutkan Allah SWT mengutus para nabi agar jalan peradaban manusia senantiasa lurus menuju kedamaian
sejati. Kenyataan menunjukkan bahwa kebiasaan, sistem kehidupan, kepercayaan, dan sejarah sering diwarnai oleh penyimpangan dan kerusakan di mana-mana. Sisi gelap
sejarah dalam al-Quran disebut al-dhulumat. Para nabi diutus untuk menyelamatkan umat dari kegelapan, mengajak peradaban baru. Al-Quran mengungkapkan misi ini
sebagai pemberian petunjuk kepada manusia hudan li al-nass, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju jalan yang terang-menderang.
Dalam teori Mawardi, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Pertama, secara politik, Muhammad
membangun kepemimpinan berdasarkan prinsip keadilan, toleransi, egalitarianisme, kebersamaan dan persatuan, juga kejujuran. Prinsip-prinsip ini tertuang dalam Piagam
Madinah. Dalam Piagam ini tidak ada sedikit pun disebutkan bahwa negara yang dipimpin oleh Muhammad adalah negara Islam, apalagi khilafah.
Kedua , secara pribadi, ada empat sifat yang dipegang teguh Muhammad SAW
dalam menjalankan kepemimpinannya yaitu shiddiq berlaku benar, jujur, memihak serta menegakkan kejujurankebenaran, tabligh transparan, toleran, menyampaikan
yang benar adalah benar dan salah adalah salah untuk kemaslahatan, amanah bisa dipercaya dalam mengemban tugas kepemimpinan dan fathanah cerdas, peka,
mampu membaca tanda-tanda zaman dan membawa umat kepada kehidupan masa depan yang tercerahkan.
Ketiga , karena kemuliaan pribadinya, Nabi Muhammad SAW menjadi
panutan. Ia sangat didengar dan diikuti, mampu menjaga martabat pribadi dan masyarakatnya. Sebaliknya, masyarakat juga menghargainya. Ia adalah hakim yang
mampu menyelesaikan persoalan umat, imam pemimpin yang diikuti oleh jamaahnya atau pengikutnya. Tapi, sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW
tetap bersahaja, tidak memiliki jarak dengan umat. Maka dari itu, paradigma kepemimpinan sebenarnya tidak mengacu pada jenis
kelamin dan status sosial. Kepemimpinan merupakan konsep yang menekankan pada kompetensi, kemampuan yang diterjemahkan dalam konteks keberpihakan terhadap
rakyat. Sebagimana disebutkan dalam hadits di atas, kepemimpinan harus
mempertimbangkan kepentingan yang dipimpin, yaitu rakyat. Dalam sebuah kaidah fikih
disebutkan bahwa sikap dari kebijakan seorang pemimpin harus mempertimbangkan kepemimpinan dan kemaslahatan bersama.
Dari konsep ini tampak bahwa kepemimpinan pada hakikatnya mengacu pada kemampuan dan kepercayaan publik kepada pemimpin terpilih itu. Konsep ini
sebenarnya lebih dekat dengan konsep kepemimpinan modern dalam konteks demokrasi, yang di dalamnya seorang pemimpin dipilih karena mempunyai
kemampuan dalam seni memimpin dan dipercaya oleh publik melalui mekanisme pemilihan umum.
Dalam Islam, perempuan mendapat apresiasi yang tinggi. Salah satu bendera yang dibawanya ialah bendera kesetaraan al-musawah dalam harkat kemanusiaan,
termasuk antara laki-laki dan perempuan. Derajat perempuan diangkat menjadi sama dengan laki-laki, baik dalam harkat dan martabat maupun dalam hak dan kewajiban.
Sejarah Islam mencatat bahwa perempuan yang ikut memainkan peran publik bersama-sama kaum laki-laki. Lihatlah Khadijah dan Aisyah juga ada Hafsah dan
Fatimah. Mereka sering ikut berdiskusi tentang tema-tema sosial dan politik. Bahkan, Aisyah pernah menjadi jenderal perang. Sejumlah perempuan tercatat ikut terjun di
medan pertempuran, misalnya Nusaibah binti Kab dan Ummu Athiyyah. Al-Syifa, seorang perempuan cerdas di era pemerintahan Umar ibn Khattab, pernah diangkat
menduduki jabatan sebagai manager pasar di Madinah. Dengan demikian, keberadaan seorang pemimpin tidak ditentukan oleh jenis
kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan. Belajar dari kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, kita harus menyadari bahwa kepemimpinan merupakan
tanggungjawab untuk memajukan umat, bukan justru menyengsarakannya. Keberadaan seorang pemimpin sangatlah vital. Tetapi yang jauh lebih penting adalah
pemimpin yang betul-betul memberikan jalan keluar bagi rakyat yang dipimpinnya, terutama dalam rangka mengubah wajah kemiskinan dan kemelaratan menuju wajah
keadilan dan kesejahteraan.
68
E. Islam dan Kemiskinan