1.4.2. Resiliensi pada Remaja
Harter dalam
Diclemente, et.al., 2009
menggambarkan remaja yang resilient adalah remaja yang memiliki “autensitas diri” personal authenticity, yang berarti
memiliki tanggung jawab pada pemikiran dan perasaan orang lain dan mengambil tindakan atas hal tersebut. Sebagai contoh, remaja yang berduka karena
kehilangan seseorang yang dicintai menunjukkan penyesuaian yang lebih baik ketika ia dapat mengingat kembali pengalaman positif bersama orang yang
dicintai tersebut. Masten dalam
Diclemente, et.al., 2009
, menjabarkan sifat-sifat individu yang termasuk dalam karakteristik resiliensi, yaitu: kecerdasan, self-regulation,
self-esteem, self-efficacy, dan internal locus of control. Kemudian Masten membuat daftar singkat yang secara luas dijelaskan memiliki hubungan sebagai
predictor bagi resiliensi pada remaja, yaitu: kemampuan memecahkan masalah, kontrol perilaku dan emosi yang efektif, memiliki persepsi diri yang positif atas
kemampuan dan penghargaan, percaya bahwa hidup memiliki makna, penuh harap hopefulness, keyakinan beragama dan afiliasi, bakat dan karakter yang
dinilai oleh masyarakat sebagai talenta dan daya tarik, teman yang prososial, ikatan sekolah yang efektif, dan hubungan dengan kecakapan, serta menghargai
orang yang lebih dewasa. Faktor-faktor tersebut secara berulang berhubungan dengan resiko kesehatan yang lebih minimal.
Lalu Wachs dalam
Diclemente, et.al., 2009
, menjelaskan hasil penelitian yang dilakukannya yang melibatkan anak-anak dari sejak kecil sampai remaja
tentang dimensi-dimensi tempramen individu yang berhubungan dengan
resiliensi, dimensi tersebut yaitu: memiliki tempramen yang baik, reaksi emosional, kemampuan bersosial, regulasi diri, dan perhatian atau fokus.
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan pada remaja berusia 11-15 tahun, menunjukkan bahwa remaja yang memiliki kemampuan sosial dan kualitas
hubungan yang baik dengan orang lain, secara signifikan dinilai memiliki resiliensi laten latent resilience Rajendran Videka, dalam
Diclemente, et.al., 2009
. Menurut Watcs dalam
Diclemente, et.al., 2009, r
emaja yang mengalami stress namun memiliki keterampilan sosial yang tinggi menunjukkan tingkat
permasalahan perilaku yang lebih rendah dan tingkat yang lebih tinggi pada kemampuan kognitif dan sosial-emosional. Demikian juga remaja yang memiliki
kemampuan ‘pendekatan’ yang lebih baik dalam menghadapi masalah, memiliki tingkat permasalahan yang lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang rendah
dalam kemampuan ‘pendekatan’ masalah. Berdasarkan pada penelitian longitudinal pada anak-anak di Kauai dan
tinjauan ulang pada penelitian-penelitain terkait, Werner dan Smith dalam
Diclemente, et.al., 2009
, menggambarkan anak-anak yang dapat mengatasi kondisi kesengsaraan dengan baik, mereka memiliki karakteristik temperamental
yang menimbulkan respon positif dari orang yang memberikan perhatian. Mereka aktif, penuh kasih saying, menyenangkan, baik, dan mudah bergaul. Pada usia
pra-sekolah, mereka mengembangkan suatu pola coping yang menggabungkan otonomi dengan kemampuan untuk meminta pertolongan ketika mereka butuh.
Remaja yang resilient adalah mereka yang ramah, otonomi, jaga diri dan secara emosional sensitif. Sifat-sifat tersebut juga memprediksi resiliensi pada tahun
selanjutnya Werner dan Beardslee dalam
Diclemente, et.al., 2009
menyatakan bahwa remaja yang memiliki keluarga yang tertekan, mereka memiliki
kemampuan yang berkembang lebih baik untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, dan dapat berpikir tentang kebutuhan mereka.
1.4.3. Self-Esteem pada Remaja