mengurangi self-esteem yang dimiliki, meskipun individu tersebut teridentifikasi sebagai individu yang sehat, begitu juga yang memiliki
penyakit, tidak menghasilkan perubahan yang berarti pada self-esteem.
2. Dukungan Sosial Social Support
Dukungan sosial sering dihubungkan dengan resiliensi Hildon et al. 2009; Maddi et al. 2006. Penelitian lain menunjukkan bahwa resiliensi dan
dukungan emosional bukan dukungan instrumen menghasilkan kualitas hidup yang lebih tinggi pada individu usia lanjut Netuveli Blane,
2008. Penelitian pada orang dewasa di New York, Poindexter dan Shippy 2008, yang dilakukan pada partisipan yang mengalami positif HIV,
menunjukkan bahwa jaringan dukungan sosial yang unik berkonstribusi pada resiliensi. Para peneliti juga melakukan penelitian pada lima
kelompok yang memiliki jaringan dukungan sosial informal yang terdiri atas individu-individu yang kebanyakan mengidap positif HIV.
Meskipun upaya untuk memperoleh dukungan sosial menurun karena ketakutan dan stigma yang dialami, namun mereka mampu
merelokasi sumber daya dan mengisi dukungan melalui sumber daya HIV positif pada komunitas mereka. Para partisian menunjukkan bahwa
kehilangan anggota kelompok karena kematian menyediakan kesempatan bagi para anggota untuk memperkuat ikatan dukungan.
3. Spiritualitas Spirituality
Faktor lain yang mempengaruhi resiliensi dalam menghadapi tekanan dan penderitaan
adalah ketabahan
hardiness dan
keberagamaan
religiousness serta spiritualitas spirituality Maddi et al. 2006. Spiritualitas membutuhkan suatu pencarian di alam semesta, suatu
pandangan bahwa dunia lebih luas daripada diri sendiri, spiritualitas juga berarti ketaatan pada suatu ajaran agama yang spesifik. Penelitian
tentang ketabahan, keberagamaan dan spiritualitas menunjukkan kualitas- kualitas yang membantu individu dalam mengatasi kondisi stres dalam
hidup dan menyediakan perlindungan pada individu dalam menghadapi depresi dan stres Maddi et al. 2006.
Aspek positif dari spiritualitas juga turut membantu individu dalam memulihkan perasaan kontrol diri saat sakit, dan membantu perkembangan
adaptasi saat sakit kronis dan tidak seimbang Crowther et al. 2002. Pada suatu hasil penelitian, spiritualitas memiliki hubungan dengan resiliensi
pada orang yang selamat dari penyakit kanker; meskipun individu tersebut memiliki resiko lebih dalam mengembangkan depresi dan kecemasan,
tetapi tingkat spiritualitas dan personal mereka tumbuh lebih baik setelah pemulihan Costanzo et al. 2009
4. Emosi Positif Positive Emotions
Bereaksi dengan emosi yang positif saat mengalami krisis dapat menjadi cara dalam menurunkan dan mengatasi respon stres secara lebih efektif
Davis et al. 2007. Kemudian, emosi positif juga dapat menjadi pelindung dalam menghadapi ancaman terhadap ego. Perangkat teori ini dibangun
dan dikembangkan oleh Fredrickson 1998 yang menyatakan bahwa sebagai manusia yang berkembang, emosi positif telah membantu dalam
beradaptasi pada situasi-situasi stres. Secara spesifik, respon negatif terhadap stres respon melawan atau menghindar adalah sifat yang
terbatas, karena memilih respon positif selama mengalami stres memungkinkan beragam respon yang lebih luas.
Dalam serangkaian penelitian, Tugade dan Fredrickson 2004, menemukan bahwa respon positif saat mengalami stres berhubungan
dengan menurunnya tegangan secara fisiologis, dan mendukung adanya hubungan antara pikiran dan tubuh. Kemudian, coping stres diketahui
lebih tinggi saat individu diinstruksikan untuk melihat situasi stres sebagai suatu tantangan yang dapat membantu mereka tumbuh dengan lebih baik
daripada sebagai suatu ancaman yang merugikan. Kerangka kognitif tersebut dapat menjadi cara untuk meningkatkan resiliensi. Studi
berikutnya menunjukkan suatu bukti adanya hubungan antara emosi positif dan penilaian positif atas situasi. Melalaui beberapa penelitian tersebut,
menunjukkan bahwa individu yang memiliki resiliensi lebih baik, lebih memungkinkan untuk mengalami emosi positif dan memanfaatnya untuk
mengatasi stres. Wagnid dan Young dalam Reich, et.al, 2010, mengembangkan suatu
skala resiliensi secara psikometri yang dikembangkan melalui wawancara pada individu yang resilient. Skala tersebut dibangun melalui analisis faktor yang
mempengaruhi resiliensi, yaitu: ketenangan hati, ketekunankekerasan hati, kepercayaan diri, kesendirian, dan spiritualitaskebermaknaan.
Tabel 2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Menurut Wagnid dan Young
No. Faktor - faktor Resiliensi
Penjelasan
1. Ketenangan hati
equanimity Ketenangan hati adalah berpegang teguh pada
pendirian dalam hidup 2.
Ketekunankekerasan hati perseverance
Ketekuan berarti keberlanjutan untuk berusaha keras mengatasi kemalangan.
3. Kepercayaan diri
self-reliance Kepercayaan diri meliputi keyakinan seseorang
pada kemampuannya.
4. Kesendirian
existential aloneness Perasaan sendiri adalah pengungakapan keunikan
masing-masing individu dan keyakinan atas keberlangsungan hidup sepanjang waktu.
5. Spiritualitas
spiritualitymeaningfulness Spiritualitas memiliki peran yang penting dalam
resiliensi yaitu melalui kemampuan individu untuk membangun kesimpulan atas kejadian yang
terjadi pada dirinya, juga mencakup kebutuhan individu akan untuk perubahan, fleksibilitas dan
tumbuh.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Werner dan Smith dalam Reich, et.al. 2010, dengan longitudial study selama 40 tahun, menyimpulkan
bahwa terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi resilience outcome yaitu:
1 Karakteristik individual, seperti self-esteem dan purpose in life; 2 Karakteristik keluarga, seperti kasih sayang ibu dan dukungan
keluarga; dan 3 Lingkungan sosial yang lebih luas, khususnya yang mempunyai
contoh peran orang dewasa yang menyediakan dukungan tambahan
Faktor-faktor umum diantara populasi seperti memiliki peran yang berarti pada suatu komunitas, self-efficacy, self-esteem, hubungan yang aman, keamanan,
dan optimisme, berkonstribusi terhadap resiliensi Kirby Fraser, 1997 dalam Reich, et.al. 2010
Faktor-faktor lingkungan juga berkonstribusi bagi resiliensi, kualitas pengasuhan dan keterbukaan keluarga Bradley, Tellegen, Pellegrini, Larkin
Larsen, Rutter, tugas sehari-hari dan kekokohan spiritualitas Clark, Gordon, meningkatkan kemungkinan resiliensi dalam konteks keadaan-keadaan yang
menantang dalam Gordon, 1994. Garmezy, Greef Ritman, Rutter, dan Shinner dalam Reich, et.al.,
2010, menjelaskan bahwa kepribadian resilient ditandai oleh sifat trait yang merefleksikan suatu kekuatan, dapat dibedakan dengan baik, kepribadian yang
terintegrasi self structed, dan sifat-sifat yang menunjukkan kekuatan dan hubungan interpersonal timbal balik dengan orang lain. Kekuatan diri tersebut
dibuktikan oleh: •
Harga Diri Self esteem •
Kepercayaan Diri Self-confidenceself efficacy •
Pemahaman Diri Self understanding •
Orientasi Masa Depan yang Positif A positive future orientation •
Kemampuan untuk mengelola perilaku-perilaku dan emosi-emosi negatif Ability to manage negative behaviors and emotions.
1.1.4. Karakteristik Resiliensi