teman-temannya, atau menganalisis keyakinannya secara kritis sesuai dengan meningkatnya pengetahuan remaja.
2. Periode Keraguan Religius
Berdasarkan penelitian secara kritis terhadap keyakinan masa kanak-kanak, remaja sering bersikap skeptis pada berbagai bentuk perilaku keberagamaan,
seperti berdoa atau ibadah lainnya, kemudian mulai meragukan isi religius, seperti ajaran mengenai sifat Tuhan dan kehidupan sesudah mati. Bagi
sebagian remaja keraguan ini dapat membuat mereka kurang taat pada agama, namun pada sebagian lainnya berusaha mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul.
3. Periode Rekonstruksi Agama
Lambat laun remaja membutuhkan keyakinan beragama secara lebih matang, meskipun ternyata keyakinan pada masa kanak-kanak tidak lagi
memuaskan. Jika hal ini terjadi maka remaja mulai memperkokoh keyakinanan pada agamanya, atau bahkan sebaliknya mencari keyakinan
baru yang dapat menjawab sikap skeptis yang sedang terjadi.
1.5. Kerangka Berpikir
Remaja sebagai periode perkembangan yang paling bergejolak, dituntut untuk beradaptasi pada setiap permasalahan secara lebih matang. Menurut Erikson
dalam Santrock, 2002, jika remaja gagal dalam pencarian jati diri dan dalam menyelesaikan setiap tekanan dan permasalahan yang dihadapi, maka ia akan
mengalami kebingungan identitas identity confusion.
J.J. Arnett dalam “International Encyclopedia of Adolescence 2007, menjelaskan bahwa banyak faktor yang disebut sebagai sumber utama
permasalahan pada remaja, salah satunya adalah status ekonomi keluarga. Faktor ini diasumsikan berperan penting bagi remaja dalam mengambil keputusan untuk
keluar dari rumah dan tinggal di jalanan, atau bahkan memutuskan untuk bunuh diri. Lerner Steinberg
dalam Diclemente, et.al., 2009
, mempertegas hal ini dengan menyatakan bahwa kemiskinan adalah faktor yang signifikan bagi
kehidupan jutaan remaja, kemiskinan menjadi faktor resiko yang menetap sejak mereka kanak-kanak hingga remaja.
Dalam kelompok masyarakat marginal, sebagai akibat dari persaingan global dan perkembangan teknologi, remaja tumbuh dalam keterbatasan dan
kesengsaraan. Mereka mengalami lebih banyak faktor resiko dan ancaman psikologis ketika dibenturkan dengan ketidakmampuan beradaptasi secara siap
dengan beragam perubahan dan tekanan yang terjadi di lingkungan. Sehingga kemudian berkembang kelompok anak jalanan perkotaan yang semakin hari
menjadi semakin ramai, saat mereka berusaha melawan konflik psikologis, justru mereka menghindar dari masalah dan sumber stres.
Resiliensi sebagai konstruk psikologi mencoba menggambarkan bagaimana pola adaptasi dibutuhkan agar remaja dapat keluar dari tekanan atau
kesengsaraan untuk menjadi individu yang resilient. Dalam hal ini, banyak faktor yang mempengaruhi resiliensi yang telah dikemukakan oleh banyak tokoh
psikologi yang mengkaji resiliensi, namun setidaknya ada dua faktor yang konsisten selalu disebut oleh para tokoh tersebut, dua faktor yang kemudian
penulis jadikan variabel bebas bagi resiliensi dalam penelitian ini, yaitu: self- esteem dan religiusitas.
Self-esteem menurut Matsumoto 2009, adalah tingkat kecenderungan sikap, gagasan, evaluasi atas diri sendiri, sejarah, proses-proses mental, dan
perilaku yang positif. Self-esteem berhubungan dengan banyak aspek dari pemikiran, emosi dan perilaku serta sering dipertimbangkan sebagai bagian inti
dalam memahami individu. Kerangka hubungan self-esteem sebagai faktor bagi resiliensi salah satunya dijelaskan oleh Werner dan Smith dalam Reich, et.al,
2010, melalui penelitian longitudial study selama 40 tahun, mendapati bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi resilience outcome adalah self-esteem,
karakteristik keluarga dan lingkungan sosial. Menurut Holahan, Moos, Schiaffino dan Revenson dalam Reich, et.al., 2010, individu dengan self-esteem yang tinggi
diketahui memiliki penilaian yang lebih positif atas kejadian stress. Sementara religiusitas religiousness menurut Zinnbauer dalam Lopez,
2003, adalah suatu pencarian individu atau kelompok pada hal yang sakral yang terbuka pada konteks kesakralan tradisional. Religiusitas menurut Fetzer 2003,
adalah seberapa kuat individu penganut agama merasakan pengalaman beragama sehari-hari daily spiritual experience, mengekspresikan keagamaan sebagai
sebuah nilai value, meyakini ajaran agama belief, memaafkan forgiveness, melakukan praktek beragama secara pribadi private religious practice,
menggunakan agama sebagai coping religiousspiritual coping, mendapat dukungan sesama penganut agama religious support, mengalami sejarah
keberagamaan religiousspiritual history, mengikuti organisasi atau kegiatan
keagamaan organizational religiousness dan meyakini pilihan agamanya religious preference.
Menurut Pargament dan Cummings dalam Gordon, et.al., 1995, religiusitas adalah faktor resiliensi yang signifikan bagi banyak orang. Sementara
menurut Griffith 2010, dalam “Religion That Heals, Religion That Harms”, menyatakan bahwa, tiap agama kepercayaan telah membuktikan suatu metode,
aturan dan ajaran yang dibentuk untuk membangun resiliensi bagi penganutnya dalam rangka menghadapi penderitaan yang tak terhindarkan. Menurut Pargament
dan Cummings dalam Reich, et.al., 2010, sesungguhnya religiusitas itu sendiri adalah resilient bagi sumber stres dalam hidup; maksudnya, dalam masa-masa
sulit agama efektif dalam membantu seseorang untuk membangun hubungan dengan hal yang sakral, yaitu agama dan resiliensi. Kerangka hubungan antara
self-esteem dan religiusitas sebagai faktor bagi resiliensi melalui dimensi-dimensi yang ada di dalamnya, digambarkan dalam bagan di bawah ini:
Daily Spiritual Experience
Values
RESI LI ENSI PADA
REMAJA
Perasaan Tentang Diri Sendiri
Perasaan Tentang Hidup
Perasaan Tentang Orang Lain
Beliefs Forgiveness
Private Religious Practices
Religious Spiritual Coping
Religious Support Religious Spiritual
History Organizational
Religiousness
Bagan 1 Kerangka Hubungan
Self-Esteem, Religiusitas terhadap Resiliensi
Keterangan: Arah panah dalam kerangka
berpikir di atas adalah ke arah kanan menuju resiliensi
pada remaja.
1.6. Hipotesis Penelitian