Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian tentang resiliensi, tujuan dan manfaat penelitian, dan pembatasan masalah serta sistematika penulisan.

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam menghadapi persaingan dunia global saat ini, dan di antara perkembangan teknologi yang pesat, telah menciptakan kelompok masyarakat yang hidup dengan kondisi sosioekonomi yang rendah, kaum miskin kota, kelompok-kelompok marginal, anak jalanan, dan masyarakat yang hidup dalam keterbatasan. Dalam konteks remaja, dimana menurut Beyth, Marom Fischoff dalam Diclemente, Santelli, Crosby, 2009, Remaja adalah suatu periode kehidupan yang ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, sosial dan emosional yang terjadi secara cepat. Secara normatif perkembangan remaja ditunjukkan dengan meningkatnya kemandirian, perubahan dalam hubungan keluarga, prioritas hubungan dengan teman sebaya, pembentukan identitas, meningkatnya kesadaran moral dan nilai, kematangan kognitif, dan semua yang berangkat dari perubahan fisiologis yang cepat. Namun dalam pertumbuhan positif yang sangat pesat tersebut, masa perkembangan remaja juga membawa peningkatan eksplorasi dan perilaku mengambil resiko yang membahayakan. 1 Secara alami remaja menjadi mudah tertekan dengan beragam resiko yang mengancam perkembangan psikologis mereka. Bahkan dewasa ini tidak ada seorang anak pun yang terbebas dari tekanan, perubahan yang terjadi secara cepat dan lingkungan yang memberi pengaruh stress telah menciptakan resiko baru bagi anak-anak dan remaja Goldstein, Brooks, 2005. Adriana Feder dalam Reich, Zautra Hall, 2010 juga menyatakan bahwa kebanyakan orang sangat rentan terhadap kejadian traumatis dalam kehidupan mereka, dan sebagian besar lainnya memikul beban stres secara persisten sepanjang waktu. Menurut Schilling, Aseltine Gore dalam Reich, et.al., 2010, terdapat hubungan yang nyata antara kondisi kesehatan psikologis yang dialami remaja berusia antara 18-22 tahun secara partikular dengan kemunduran dalam kondisi sosioekonomi, dimana remaja dalam kondisi sosioekonomi yang rendah akan mudah menghadapi masalah-masalah psikologis. Hal ini menggambarkan bahwa remaja yang menghadapi tekanan baik karena kondisi sosioekonomi yang rendah, lingkungan, maupun sikap diskriminasi atau remaja yang berada dalam kesenjangan sosial, akan menghadapi ancaman serius dalam tahap perkembangan yang sedang dijalani. Salah satu kelompok remaja yang memiliki resiko tinggi dalam tahap perkembangan tersebut adalah remaja yang bersekolah di Yayasan HIMMATA, Plumpang, Jakarta Utara, dimana secara umum remaja yang bersekolah di yayasan ini adalah remaja dengan latar belakang keluarga dengan status sosioekonomi yang rendah miskin. HIMMATA atau Himpunan Pemerhati Masyarakat Marginal Kota, adalah yayasan yang berdiri pada 24 Agustus 2000 dengan tujuan memberikan pendidikan yang layak dan setara dengan lembaga pendidikan lainnya bagi remaja berusia antara 12-21 tahun dengan latar belakang keluarga tidak mampu, remaja yatim piatu atau ditinggalkan orang tua, dan remaja yang hidup atau tinggal di jalanan. Seperti pada kebanyakan yayasan sosial lainnya, Yayasan HIMMATA tumbuh dan berkembang dari swadaya masyarakat dan donatur, termasuk pemerintah. Oleh karenanya setiap remaja yang bersekolah di yayasan ini tidak dipungut biaya sama sekali, dengan syarat mereka berasal dari keluarga miskin dibuktikan dengan surat keterangan miskin dari RT, RW, dan kelurahan di mana mereka tinggal. Latar belakang geografis dan sosiologis masyarakat Jakarta Utara yang perkembangannya tidak sebaik di Jakarta Selatan maupun Jakarta Pusat, dimana masyarakat marginal kota di Jakarta Utara menjadi sangat ketara dan kental dengan potret sosial kemiskinan, menjadikan yayasan seperti HIMMATA strategis bagi perkembangan pendidikan dan sosial masyarakat miskin kota. Program pendidikan yang disediakan oleh HIMMATA adalah program pendidikan paket C bagi SMP dan SMA, walaupun para siswa di yayasan ini tidak dipungut biaya sama sekali sampai mereka lulus tahap ahkir Sekolah Menengah Atas SMA, namun kurikulum dan sistem pendidikan yang diterapkan sama dengan penyelenggaran sekolah pada umumnya, termasuk program ekstrakulikuler seperti marawis, futsal dan lain-lain. Sebagai nilai tambah yang ada pada yayasan ini adalah program yang berkaitan dengan peningkatan keberagamaan siswa, yaitu seluruh siswa diwajibkan untuk mengikuti shalat berjamaah di mushola jika waktu shalat telah tiba, diikuti dengan berdo’a dan dzikir bersama. Remaja dengan latar belakang keluarga tidak mampu, ditinggalkan orang tua yatim piatu, dan remaja yang tinggal di pemukiman yang kurang layak, serta hidup di jalanan seperti yang terdapat di Yayasan HIMMATA, secara alami menurut Goldstein dan Brooks 2005, menjadi mudah tertekan dengan beragam resiko yang mengancam perkembangan psikologis mereka. Tetapi Goldstein dan Brooks 2005, menekankan bahwa yang menjadi keyakinan adalah setiap individu remaja mampu mengembangkan kerangka berpikir untuk menjadi resilient. Mereka akan mampu mengurai stress dan tekanan secara lebih efektif, mampu mengatasi setiap tantangan, mampu kembali dari kekecewaan, kesengsaraan dan trauma, mengembangkan tujuan yang jelas dan realistis, mampu memecahkan masalah, dan mampu berhubungan dengan orang lain secara nyaman, serta mampu menyikapi dirinya dan orang lain dengan penghargaan. Individu yang resilient sebagaimana dipaparkan di atas adalah individu yang memiliki resiliensi yang baik, dimana resiliensi menurut Gordon, 1993 dalam Gordon Other, 1994, didefinisikan sebagai kemampuan untuk berkembang dengan baik, matang dan bertambahnya kompetensi dalam menghadapi keadaan-keadaan dan rintangan-rintangan yang sulit. Dalam rangka untuk berkembang dengan baik, matang dan bertambahnya kompetensi tersebut, seseorang harus menerapkannya pada semua sumber daya mereka; biologis, psikologis, dan lingkungan. Sementara menurut Ruther dalam Mccubbin, 2001, resiliensi adalah suatu hasil yang positif dari proses adaptasi dalam menghadapi kesengsaraan seperti kemiskinan. Maka individu yang resilient adalah mereka yang adaptif; tak terkalahkan dan tidak mudah terserang. Menurut Luthar dalam MacDermid, Samper, Schwarz, Nishida Nyaronga, 2008, resiliensi didefinisikan sebagai suatu fenomena atau proses yang secara relatif mencerminkan adaptasi positif saat mengalami ancaman atau trauma yang signifikan. Resiliensi adalah konstruk yang lebih tinggi yang menggolongkan dua dimensi yang berbeda, yaitu; ancaman yang signifikan dan adaptasi positif, dan ini tidak pernah secara langsung diukur, melainkan secara tidak langsung dapat disimpulkan berdasarkan bukti dua penggolongan konstruk tersebut. Werner Smith dalam Diclemente, et.al., 2009 menjelaskan bahwa penelitian tentang resiliensi baru dimulai pada tahun 1954 ketika Emmy Werner menerbitkan hasil penelitian tentang resiliensi yang melibatkan sekelompok remaja yang lahir di pulau Kauai, Hawaii selama hampir 5 dekade. Werner memulai penelitiannya dengan sebuah pertanyaan sederhana: “Why some children did well socially and emotionally in the face of adversity?” Kemudian pada awal tahun 1950an terdapat sejumlah penelitian yang dilakukan untuk bertujuan menjawab pertanyaan serupa yang diajukan oleh Werner. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Norman Garmezy, dimana ia membangun kerangka berpikir penelitian dengan sebuah pertanyaan sederhana, “What causes strength to overcome what causes harm?” Pada intinya, penelitian tentang resiliensi fokus pada pertanyaan mengapa seseorang yang hidup dalam kesengsaraan dan tekanan dapat kembali sehat, sementara yang lain tidak. Penelitian resiliensi menurut Cutuli Masten dalam Lopez, 2009 kemudian berkembang sebagai penelitian pada individu yang memiliki resiko atas masalah perkembangan, termasuk anak-anak yang memiliki resiko karena latar belakang keluarga mereka seperti, memiliki orang tua dengan beberapa gangguan mental, dan pengalaman hidup seperti, kemiskinan atau kekerasan lingkungan. Sementara para peneliti lain yang mengembangkan resiliensi pada tahun 1970an dan 1980an, yaitu Lois Murphy, Michael Rutter, dan Garmezy, mereka menilai pentingnya perkembangan positif yang tidak diduga-duga dan mulai mencari penjelasan atas resiliensi. Dari permulaan tersebut, para pelopor teori resiliensi memiliki tujuan untuk memperoleh pengetahuan untuk mengembangkan hasil yang lebih baik diantara individu-individu dengan resiko tinggi pada permasalahan hidup Cutuli Masten dalam Lopez, 2009. Penelitian resiliensi lebih banyak dikembangkan pada anak-anak dan remaja, karena anak-anak dan remaja adalah populasi utama dimana resiliensi terjadi pada rentang waktu tersebut Ahern et al., dalam Resnick, Gwyther Roberto, 2011. Goldstein Brooks 2005 dalam Handbook of Resilience in Children, menjelaskan bahwa resiliensi mengurangi tingkat faktor-faktor resiko risk factors, dan meningkatkan level faktor-faktor pelindung protective factors, Baik secara langsung maupun tidak, resiliensi mengurangi timbulnya kondisi mudah terserang vulnerabilities dan meningkatkan kompetensi dan kekuatan individu dalam menghadapi tantangan dan kesulitan, Merubah derajat kondisi faktor resiko dan faktor pelindung yang muncul untuk dihubungkan dengan kelemahan dan kekuatan individu untuk melawan serangan dari gangguan dan untuk menghasilkan resiliensi dalam menghadapi tantangan yang serius. Alasan lainnya dikemukakan oleh Benard, Burgoa dan Wheldon dalam Goldstein dan Brooks, 2005, bahwa penelitian resiliensi penting dalam rangka membangun komunitas yang mendukung pada pengembangan manusia berdasarkan pada hubungan saling membantu, juga menunjukkan remaja pada kebutuhan akan stabilitas psikologis dan rasa memiliki, dan penelitian resiliensi penting karena resiliensi telah lama dikenal oleh para peneliti psikologi dan menjadi konstribusi yang baik bagi psikologi, serta karena resiliensi mengarah pada kebijaksanaan hati dan intuisi sebagai panduan bagi intervensi klinis, Menurut Masten dan Coatsworth dalam Goldstein Brooks, 2005 ada dua hal utama yang perlu diperhatikan dalam mempelajari resiliensi. Pertama, adanya ancaman yang signifikan. Seseorang tidak dapat dikatakan sebagai individu yang resilient jika ia tidak menghadapi ancaman atau kesengsaraan yang signifikan yang mengancam perkembangan psikologisnya. Kedua, hasil yang baik. Yaitu seseorang dikatakan resilient jika ia berhasil menghadapi ancaman atau kesengsaraan dengan baik. Resiliensi sendiri saat ini telah menjadi payung istilah untuk mencakupi banyak perbedaan aspek individu dalam menghadapi kesulitan adversity McCubbin, 2001. Wolin Wolin dalam Waxman, Gray, Padron, 2003, menjelaskan bahwa istilah “resiliensi” telah diadopsi sebagai pengganti dari istilah sebelumnya yang digunakan untuk mendeskripsikan fenomena seperti kondisi tidak mudah terancam, tak terkalahkan, dan ketabahan, karena usaha pengenalan istilah ini melibatkan proses individu untuk menjadi resilient. Istilah resiliensi secara umum merujuk pada faktor-faktor yang membatasi perilaku negatif yang dihubungkan dengan stress dan hasil yang adaptif meskipun dihadapkan dengan kemalangan atau kesengsaraan”. Waxman, et.al. 2003. Maka resiliensi terkait sangat erat dengan stress, dan keduanya adalah konstruk yang tidak dapat dipisahkan, karena resiliensi hanya bisa dijelaskan ketika ada kondisi kesengsaraantekanan yang dihadapi seseorang, sementara kondisi kesengsaraan atau tekanan tersebut memicu stress; dan manajemen stres yang mengarah pada adaptasi yang positif adalah resiliensi Blum Blum, dalam Diclemente, Santelli Crosby, 2009 . Sementara itu, kesengsaraan atau tekanan yang dihadapi individu bisa beragam bentuknya, diantaranya adalah individu yang mengalami masalah medis Brown Harris dalam Goldstein Brooks, 2005, keluarga yang memiliki resiko Beardslee, Beardslee Podorefsky, Hammen, Worsham, Compas, Ey, dalam Goldstein Brooks, 2005, masalah-masalah psikologis Hammen dalam Goldstein Brooks, 2005, orang tua yang bercerai Sandler, Tein, West, dalam Goldstein Brooks, 2005, kehilangan atau ditinggalkan orang tua Lutzke, Ayers, Sandler, Barr, dalam Goldstein Brooks, 2005, masalah- masalah yang terjadi di sekolah Skinner Wellborn dalam Goldstein Brooks, 2005, dan kemiskinan Furstenberg, dalam Goldstein Brooks, 2005. Faktor-faktor dalam skala yang luas seperti kondisi pasca perang atau bencana alam, dipastikan dapat menyebabkan stress, tetapi faktor yang lebih umum pada level makro adalah faktor-faktor seperti kemiskinan, diskriminasi, dan ketidakadilan Cicchetti Dawson, dalam Diclemente, et.al., 2009. Sebagai contoh, kemiskinan menurut Lerner Steinberg dalam Diclemente, et.al. 2009 , menjadi faktor resiko yang signifikan bagi kehidupan jutaan remaja, dimana faktor tersebut menetap sejak mereka kanak-kanak hingga remaja. Sementara menurut Furstenberg Diclemente, et.al., 2009 , kemiskinan pada remaja berkembang dari keadaan keluarga dan lingkungan sekitar yang miskin yang kemudian menjadi faktor resiko. Meskipun dampak kemiskinan lebih spesifik terjadi pada perkembangan masa kanak-kanak, tetapi kemiskinan menjadi salah satu faktor negatif yang paling signifikan bagi kondisi kesehatan mental dan fisik remaja. Sejumlah penelitian menunjukkan hubungan yang nyata antara kemiskinan dan permasalahan psikologis pada remaja, dan remaja yang tumbuh dalam kemiskinan memiliki resiko lebih tinggi menghadapi masalah-masalah psikologis. Para peneliti resiliensi yang terdiri dari psikolog dan psikiatri, selama tahun 1970-an telah mendapati fakta bahwa sejumlah anak-anak yang hidup dalam kondisi sosioekonomi yang rendah seperti kemiskinan, cenderung akan menghadapi hambatan dalam perkembangan psikologis Garmezi, 1991; Murphy Morarty, 1976; Rutter, 1979; Werner, 1995, dalam Reich, Zautra Hall, 2010. Berdasarkan data dari Kementrian Sosial Republik Indonesia 2011, pada tahun 2008 terdapat 6.767.159 warga miskin di Indonesia, hampir miskin sejumlah 7.561.831 dan warga yang sangat miskin sejumlah 2.989.038 jiwa. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik BPS, 2010 jumlah total penduduk miskin di Indonesia yang berada di kota sebanyak 11.097.800 jiwa, dan yang terdapat di desa sebanyak 19.925.600 jiwa. Lalu untuk data mengenai anak jalanan, jumlah anak jalanan berdasarkan data Departemen Sosial Republik Indonesia 2011, pada tahun 2007 terdapat 104.497 jiwa, dan pada tahun 2008 sebanyak 109.454 jiwa. Berdasarkan data tersebut, maka dapat dipahami bahwa masyarakat miskin Indonesia sangat memungkinkan untuk menjadi populasi sosial dalam penelitian terkait ketahanan psikologis yang tercakup dalam resiliensi, karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kemiskinan memiliki resiko lebih tinggi menghadapi masalah-masalah psikologis. Dalam resiliensi, banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya adalah self-esteem dan religiusitas. Self-esteem menurut Santrock dalam Educational Psychology 2009, mengacu pada suatu gambaran menyeluruh dari individu. Self- esteem juga berarti harga diri self-worth atau gambaran diri self-image. Sebagai contoh, seorang anak dengan self-esteem yang tinggi mungkin merasa bahwa dirinya bukan hanya seorang anak, melainkan seorang anak yang baik. Menurut Nicholson dalam Guindon, 2010, self-esteem khususnya pada remaja, adalah prediktor yang paling signifikan bagi resiliensi. Burns dan Covington dalam Owens, Stryker Goodman, 2006, menjelaskan bahwa, Self-esteem diargumentasikan sebagai pelindung individu dari pengaruh sakit dan mencegah dari berbagai macam permasalahan hidup. Dasar pemikiran ini mengasumsikan bahwa individu dengan self-esteem yang tinggi yang berlawanan dengan individu dengan self-esteem yang rendah, memiliki sikap yang secara sosial lebih dapat diterima dan bertanggungjawab. Bagaimanapun individu tersebut menjadi lebih resilient dalam menghadapi perubahan dalam hidup, dan secara umum menunjukkan pencapaian yang lebih tinggi, dan pada akhirnya secara sosioemosional lebih baik. Sementara religiusitas religiousness adalah seberapa kuat individu penganut agama merasakan pengalaman beragama sehari-hari daily spiritual experience, mengalami kebermaknaan hidup dengan beragama meaning, mengekspresikan keagamaan sebagai sebuah nilai values, meyakini ajaran agama beliefs, memaafkan forgiveness, melakukan praktek beragama secara pribadi private religious practices, menggunakan agama sebagai coping religiousspiritual coping, mendapat dukungan sesama penganut agama religious support, mengalami sejarah keberagamaan religiousspiritual history, komitmen beragama commitment, mengikuti organisasi atau kegiatan keagamaan organizational religiousness dan meyakini pilihan agamanya religious preference dalam Fetzer, 2003. Pargament dan Cummings dalam “Handbook of Adult Resilience” 2010, menyatakan bahwa faktor resiliensi yang signifikan bagi banyak orang adalah religiusitas religiousness. Para peneliti tersebut mengidentifikasi bagaimana religiusitas membantu banyak orang dalam menahan pengaruh krisis dalam hidup. Lebih dari sekedar suatu pendekatan dalam mereduksi agama, agama memiliki pengaruh yang unik bagi resiliensi. dalam Reich, 2010. Studi-studi empiris juga telah menunjukkan hubungan yang nyata antara kejadian stress dengan berbagai bentuk keterlibatan keberagamaan. Bearon, Koeing, Bjorck, Cohen, Ellison, Taylor, Lindenthal et.al., dalam Lopez, 2003. Dari pemaparan beberapa faktor yang mempengaruhi resiliensi di atas, peneliti menggunakan self-esteem dan religiusitas sebagai faktor yang mempengaruhi resiliensi pada remaja di Yayasan HIMMATA. Dimana penelitian kedua faktor tersebut akan diukur berdasarkan pada dimensi masing-masing variabel dan signifikansinya terhadap resilensi. Dengan asumsi bahwa jika self- esteem dan religiusitas remaja tinggi, maka resiliensi yang mereka miliki juga tinggi, yang artinya kemampuan beradaptasi remaja terhadap berbagai macam ancaman dan kesengsaraan juga tinggi. Maka melalui resiliensi ini akan terukur kemampuan adaptasi, kompetensi, perkembangan dan kematangan psikologis remaja di Yayasan HIMMATA dalam menghadapi berbagai macam ancaman dan tantangan hidup yang mereka hadapi.

1.2. Perumusan dan Pembatasan Masalah