1.3. Religiusitas Religiousness
1.3.1. Pengertian Religiusitas
Kata religiousity religiusitaskeberagamaan berasal dari bahasa Latin; religisitas, dan pertama kali ditulis dalam bahasa Inggris pada Abad ke-15. Pengertian awal
dari religiusitas ini digunakan untuk mengartikan ungkapan berlebihan atau patologis dari perasaan keberagamaan Kavros, dalam Leeming, Madden,
Marlan, 2010 Menurut Zinnbauer dalam Lopez, 2009, “Religiusitas dapat dipahami
sebagai suatu pencarian individu atau kelompok pada hal yang sakral yang terbuka pada konteks kesakralan tradisional.
Secara bahasa, keberagamaan religiousness berasal dari kata agama religion. Dalam The Cambridge Dictionary of Psychology Matsumoto, 2009,
secara psikologis agama memiliki arti: a. Sebagai pencarian spesifik atas kebermaknaan
b. Agama berkonstribusi untuk memperkuat kontrol diri self-control c. Dimotivasi oleh kebutuhan untuk penyatuan, integrasi, dan harmoni
d. Sebagai pemenuhan kebutuhan atas kasih sayang dan dukungan sosial, termasuk juga pembentukan identitas dan jati diri.
e. Mengembangkan dan memperkuat kecenderungan altruistik. Sementara, Kavros dalam Leeming, et.a., 2010, menyatakan bahwa
banyak definisi tentang agama telah diusulkan, tetapi satu pendekatan untuk menghindari bias budaya dan ideologi sekular, maka agama mencakup beberapa
aspek, yaitu:
a. Doktrin Ajaran agama b. Mitos
c. Etika aturanmoral d. Peribadatan Ritual
e. Pengalaman Keberagamaan f. Institusi sosial pendidikan atau pelayanan sosial
Keberagamaan telah dipertimbangkan sebagai suatu unsur pokok dan positif dalam perkembangan manusia oleh banyak psikolog Amerika pada abad
keduapuluh seperti William James, G. Stanley Hall, George Coe, dan Edwin Starbuck. Selama masa ini psikolog Eropa seperti Sigmund Freud dan Carl Gustav
Jung juga melahirkan karya yang berpengaruh yang menggambarkan hubungan antara pengalaman beragama dengan penyakit jiwa atau kesehatan mental. dalam
Lopez, 2009.
Beberapa definisi agama: Kata agama diperoleh dari bahasa Latin, religare, mengikat atau
mengendalikan. Dan pertama kali ditulis dalam bahasa Inggris pada abad kesebelas. Agama didefinisikan sebagai suatu sistem kepercayaan, ibadah,
keimanan atau ketaatan pada suatu prinsip. Barat secara umum memandang agama sebagai suatu sistem perilaku dan keyakinan ke arah hal yang sakral atau
kekuatan tertinggi Leeming, et.al. 2010. James 2002, menyatakan bahwa: “Agama adalah berbagai perasaan,
tindakan, dan pengalaman manusia secara individual dalam keheningan mereka,
sejauh mereka memahami diri mereka berada dalam hubungan dengan apapun yang mereka pandang sebagai yang Ilahi”.
Menurut Fromm 1988, “Agama adalah satu sitem berfikir dan berperilaku yang dilakukan bersama kelompok yang memberikan kerangka
orientasi dan objek pengabdian” Freud 1961:”Agama dapat dibandingkan dengan kondisi neurosis pada
anak-anak, dan cukup optimis untuk mengira bahwa manusia akan mengatasi tahapan neurotik ini, seperti halnya banyak anak-anak yang tumbuh dengan
kondisi neurosis yang serupa”. Menurut Argyle dan Beit-Hallahmi dalam Paloutzan Park, 2005,
Agama adalah suatu sistem kepercayaan yang bersifat ketuhanan atau kekuatan yang melampaui manusia, dan praktek beribadah atau ritual lainnya yang
dihubungkan dengan kekuatan tersebut. Religiusitas amat sangat terkait dengan kehidupan manusia, kematian,
moralitas, kebajikan, keadilan sosial, perbaikan diri, dan kehidupan yang lebih baik. Keyakinan bergama dan perilaku religius memiliki pengaruh yang sangat
besar pada individu, kelompok, dan budaya sepanjang sejarah. Sejak beberapa abad lalu, psikolog dan ilmuan sosial lain telah menguji fenomena beragama baik
melalui deskripsi teoritis maupun penelitian empiris. Zinnbauer, dalam Lopez, 2003.
1.3.2. Dimensi-dimensi Religiusitas