BAB II GAMBARAN UMUM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO
2.1 Sejarah Keberadaan Masyarakat Karo
Menurut mitos yang masih hidup sampai sekarang, terutama di kalangan masyarakat Batak Toba, leluhur pertama dari seluruh orang Batak bernama Si Raja
Batak. Leluhur ini tinggal di kaki gunung Pusuk Buhit, yang terletak di sebelah barat Danau Toba. Keturunan Si Raja Batak ini mendiami pulau Samosir yang terletak di
tengah danau itu. Sebagian di antaranya menyeberang ke daratan dan tinggal terpencar di wilayah sekitar danau. Pada mulanya suku bangsa ini terbagi atas dua cabang, yakni
cabang Toba dan cabang Pakpak-Dairi. Cabang Toba terbagi lagi atas beberapa ranting, yaitu ranting Toba, Angkola, Mandailing dan Simalungun. Cabang Pakpak-Dairi terbagi
atas ranting Dairi dan Karo.
Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli
Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah
satu wilayah yang mereka diami dataran tinggi Karo yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Sebagian besar masyarakat suku
Karo tidak mau disebut sebagai orang Batak karena mereka merasa berbeda. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba.
Dari beberapa literatur yang penulis dapatkan tentang karo asal kata Karo berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo. Pada
jaman keemasannya kekuasaan Kerajaan HaruKaro mulai dari Aceh Besar sampai sungai Siak di Riau. Keberadaan HaruKaro di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa
desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja atau Banda Aceh sekarang, Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta
Laksamana Mahmud, Kuta Cane, dan lainnya. Dan terdapat suku karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee.
Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad 1981. Beliau menekankan bahwa penduduk asli
Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya Tarikh
Aceh dan Nusantara 1961 dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar selain kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Brahma Putra, dalam bukunya Karo Sepanjang Zaman
mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
2.2 Lokasi dan Batas Geografis