Tiga Kecenderungan Akal Epistemologi immanuel kant

adanya alam, beserta segala isinya. Hukum-hukum alam jelas menunjukkan arah yang harus diselidiki akal. Menempatkan kebesaran Tuhan sebagai sumber segala sebab adalah alasan malas a lazy reason untuk berpikir. 248 Guna menghindari kekeliruan pemahaman terhadap beberapa persoalan di atas, Kant menjelaskan bahwa hal-hal metafisika selalu berhubungan dengan wilayah noumena. Noumena adalah benda pada dirinya, atau bisa diartikan sebagai objek kesadaran yang tidak diproduksi oleh pengalaman inderawi. 249 Ini dikontraskan dengan fenomena. Siapa pun tidak bisa mengetahui noumena. Misalnya, ide tentang kebebasan. Kebebasan hanya berada di wilayah noumena, bukan sebagai fenomena. Segala fenomena di dunia dikendalikan oleh hukum yang mengatur dan bersifat niscaya, yakni hukum sebab akibat. Oleh karena itu, kedua wilayah tersebut sebaiknya tetap dipisahkan. Metafisika sebagai kecenderungan alamiah akal natural disposition of reason, bisa dianggap aktual. Tapi, kedudukannya tetap hanya sebuah ilusi. Jika kita meneliti alam dengan berpegang pada metafisika, maka yang didapat adalah kesia-siaan. 250 Begitu pula misalnya, ide tentang Tuhan. Bagi Kant, ide tentang Tuhan sebenarnya berguna mengarahkan kehidupan manusia. Ia sendiri tidak diragukan sangat percaya adanya Tuhan, kebebasan, dan keabadian. 251 Kendati demikian, Kant menegaskan bahwa persoalan agama sama sekali tidak memiliki kesadaran secara ilmiah pada diri subjek. 252 Kepercayaan 248 Immanuel Kant, Religion and Rational Theology, trans., ed., Allen W. Wood and George Di Giovanni Cambridge: Cambridge University Press, 2005, h. 344 249 Thomas Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 391 250 Beryl Logan ed., Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics in Focus New York: Routledge, 1996, h. 122 251 A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason Chicago: Chicago University Press, 1984, h. 246 252 Allen W. Wood, “Rational Theology, Moral Faithful, and Religion”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant Cambridge: Cambridge University Press, 2006, h. 406 pada realitas absolut, memungkinkan seseorang mengikuti anjuran moralitas, untuk mencapai kebahagiaan hidup. Klaim-kalim moralitas agama, memiliki alur pemikirannya pada kepercayaan kepada Tuhan. Tuhan dipandang sebagai wujud paling sempurna Ens perfectissimum, atau wujud paling nyata Ens realissimum, 253 sebagai pencipta alam semesta. Namun, Kant tetap yakin bahwa tidak ada bukti empiris yang meyakinkan mengenai hal-hal metafisika semacam itu. 254 Kant menjelaskan lebih lanjut permasalahan moralitas dalam karyanya, Kritik der praktischen Vernunft. 255

G. Tinjauan Pengetahuan Menurut al-Imâm al-Ghazâlî

Paparan tentang al-Ghazâlî pada bagian ini, bertujuan menghadirkan sebuah pandangan dalam tradisi intelektual Islam. Al-Ghazâlî termasuk yang dikenal sebagai perumus epistemologi Islam. 256 Meskipun antara pemikiran al- Ghazâlî dan Kant sangat berbeda, tapi yang dituju di sini adalah kritik dari keduanya terhadap hal-hal empiris sekaligus klaim rasionalis. Keduanya berhasil meruntuhkan dan membangun kembali rumusan dari dua bentuk kecenderungan penalaran tersebut. 253 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer dan Allen W. Wood, Cambridge: Cambridge University Press, 2000 h. 570 254 A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason, h. 198 255 Dalam karya ini, Kant berusaha menjelaskan bahwa klaim moralitas terkait erat dengan akal praktis. Yang menarik dari Kant adalah ia sangat mengutamakan aspek kewajiban sebagai basis kesadaran moral seseorang, yang bertumpu pada maxim-nya. Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, h. 40 256 Pemikiran brilian mengenainya dapat dilihat berkenaan dengan klasifikasi ilmu. Bagi al-Ghazâlî dan beberapa sarjana Islam lainnya, ilmu bersifat hierarkis; ada yang di atas dan ada yang di bawah. Namun, dalam rentang sejarah umat Islam, klasifikasi al-Ghazâlî adalah yang paling bertahan hingga sekarang. Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto Bandung: Mizan, 1997, h. 235