Konsep Transendental Akal Epistemologi immanuel kant
Pada contoh tersebut, didapat adanya kesadaran hal partikular, yakni sarjana, dalam konsep universal, yakni makhluk hidup.
Singkatnya, proses dalam setiap sillogisme
213
dapat dijelaskan menjadi: pertama, proposisi pertama diletakkan sebagai premis mayor, melalui pemahaman
yang menghimpun keragaman dalam sebuah konsep tertentu. Kedua, menghadirkan kesadaran tertentu di bawah kondisi aturan-aturan pemahaman, dan dijadikan
premis minor melalui kekuatan putusan. Ketiga, menentukan kesadaran a priori yang menyeluruh mencakup prinsip pemahaman untuk mencapai kesimpulan
inference partikular. Proses yang ketiga dihasilkan oleh fungsi a priori akal, dan tidak berhubungan secara langsung dengan objek empiris.
Menurut Kant, akal murni der reinen Vernunft bukan hanya berisi konsep-konsep yang direfleksikan. Tapi, juga konsep-konsep yang disimpulkan. Ini
dibedakan dari konsep pemahaman, yang merupakan hasil pemikiran a priori, tetapi tidak menyatukan atau menyimpulkan prinsip pemahaman. Konsep akal
murni meliputi banyak putusan, seperti halnya konsep pemahaman yang berfungsi menghasilkan pemahaman atas segala penampakkan objek. Konsep akal memiliki
validitas objektif. Kant menyebutnya konsep-konsep yang disimpulkan secara benar conceptus ratiocinati. Namun, bisa juga menghasilkan kesimpulan yang
salah atau sekedar ilusi. Kant menamakannya konsep yang mengelabui conceptus ratiocinantes.
214
Konsep akal murni berbeda dari pemahaman. Konsep pemahaman adalah susunan kategori. Adapun konsep akal murni adalah ide-ide transendental.
215
Ide
213
Kant menyebut silogisme sebagai Vernunftschluß, yang secara bahasa berarti an inference reason. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 390
214
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 394
215
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 395
menurut Kant adalah sesuatu yang merujuk pada konsep non-empiris, tidak dari pengalaman, melainkan dihasilkan rasio.
216
Ide tersebut mengikat semua bentuk penalaran, dalam sebuah kesatuan.
Namun, Kant menolak ide menurut Plato. Bagi Kant, Plato telah memperlakukan konsep ide sebagai sesuatu yang abstrak: semacam pola dasar
archetype bagi segala sesuatu di dunia, yang tidak memiliki kaitan dengan realitas empiris, bahkan melewati batas-batas pemahaman—bagian terakhir ini yang sangat
ditentang oleh Aristoteles.
217
Ide tersebut mengalir dari akal tertinggi, dan akal manusia bekerja dengan mengingat segala sesuatu yang sudah ada sebelumnya,
sehingga tidak menemukan keaslian pemikirannya. Meskipun cukup abstrak, menurut Kant, Plato tetap berpegang bahwa hasil
konkret ide berada pada tataran praktis practical.
218
Seperti ide kebebasan, kebaikan, termasuk kesadaran matematis, dapat diketahui dan dijelaskan dengan
paparan pengalaman seseorang. Di sisi lain, Kant menolak pandangan Plato bahwa alam ide adalah bentuk yang sempurna, abadi, dan tidak berubah. Bagi Kant ide
merupakan susunan pemikiran manusia. Tetapi, Plato tidak selalu salah. Kant sepakat dengannya terkait bukti-bukti
ide yang tidak hanya berada dalam tataran akal manusia, melainkan sebagai sebab yang cukup jelas atas beragam aksi dan objeknya di alam.
219
Dalam kehidupan sehari-hari, ide bisa menjadi sebab terjadinya interaksi antara manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya. Interaksi tersebut terjadi karena pemikiran yang menuntun manusia untuk bertindak. Pikiran sendiri dapat berisi
216
Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant Cambridge: Cambridge University Press, 2006, h. 229
217
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 395
218
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 396
219
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 397
gambar-gambar atas fenomena alam. Namun, itu hanya sekedar gambar. Untuk bisa mengetahui bentuk riil objek, caranya dengan melihat bentuk aslinya di dunia,
tempat manusia itu hidup, melalui sensibiltas. Cara ini tidak terlepas dari ketentuan hukum alam yang melingkupi kehidupan manusia, begitu pula susunan akal pikiran
subjek sebagai pengamat. Bagi Kant, ide atau konsep akal Jerman: der Vernunftbegriff
220
adalah konsep yang dibentuk oleh gagasan atau pemikiran, yang melewati kemungkinan
pengalaman. Dengan begitu, bersifat murni a priori. Ide teoretis berlaku seperti konsep empiris, yakni sebagai penyatu,
221
meskipun keduanya memiliki objek berbeda. Objek penyatuan yang dimaksud adalah pengetahuan empiris, yang sudah
mengalami pengujian pada tahap rasio. Konsep yang membentuk ide, selama tidak berada dalam kerangka sensibilitas disebut notio. Kant tidak memungkiri bahwa
sumber data pikiran berasal dari luar, dan tidak menolak bahwa akal memiliki sejumlah kecenderungan alamiah a priori, meskipun yang terakhir itu tidak
digolongkan sebagai pengetahuan. Baginya, selama persepsi merujuk pada subjek sebagai sebuah modifikasi keadaan, maka disebut sensasi sensatio. Jika persepsi
tersebut lepas dari pandangan subjektifitas, atau objektif, maka disebut kesadaran cognitio. Kesadaran dapat berbentuk hasil pencerapan intuisi, atau konsep
intuitus vel conceptus. Intuisi berkaitan dengan objek secara langsung, dan bersifat singular. Sedangkan konsep ditengahi oleh catatan yang berskala umum
pada semua jenis penampakkan.
222
Semua struktur dasar ini, akhirnya berperan dalam menghasilkan kesimpulan final pada tahap akal.
220
Immanuel Kant, Kritik der reinen Vernunft, nach der ersten und zweiten Original- Ausgabe herausgegeben von Raymund Schimdt Felix Meiner Verlag: Hamburg, 1990, h. 354
221
Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, h. 230
222
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 398-399
Menurut Kant, kesimpulan akal tercapai karena universalitas kesadaran menurut konsep. Sifat universalitas tersebut berkesesuaian dengan susunan
silogisme, yang membentuk putusan secara a priori di keseluruhan kondisinya.
223
Universalitas yang dimaksud adalah jarak wilayah yang sempurna dalam suatu kondisi, ketika kesimpulan akhir silogisme diperoleh. Objek dalam kesimpulan
tersebut sebelumnya sudah termasuk bagian premis mayor, di bawah kondisi yang lebih luas. Kant mencontohkan bahwa kalimat, “Caius adalah makhluk hidup”,
didapatkan dari pengolahan pemahaman sebagai kesimpulan akal. Sebelumnya, pemahaman sudah mencoba menelusuri secara lebih detail dan luas, paparan yang
berkenaan dengan objek yang dibicarakan, yakni Caius, dengan sesuatu yang lebih universal, maka didapatlah kata, “manusia”. Lalu dibuat susunan silogisme, “semua
manusia adalah makhluk hidup”, “Caius adalah manusia”, maka “Caius adalah makhluk hidup”. Susunan silogisme tersebut adalah hasil kinerja fungsi a priori
subjek, dalam mengolah sejumlah data guna menghasilkan kesimpulan. Dalam penalaran silogisme, premis mayor membuat gambaran umum dan
menyeluruh atas objek yang berada dalam suatu kondisi. Setelah itu, baru kesimpulannya yang diarahkan berbentuk objek tertentu. Objek tersebut berupa hal
partikular, yang dijelaskan secara menyeluruh dalam totalitas kondisinya. Konsep transendental akal tidak lain adalah menemukan totalitas kondisi atas sesuatu yang
hadir dikondisikan totality of conditions to a given conditioned thing.
224
Kerja akal selanjutnya semakin memperbanyak kesatuan totalitas tersebut. Totalitas tersebut adalah konsep akal yang selaras dengan kinerja pemahaman
melalui kategori-kategori. Penelusuran konsep akal tersebut bisa dijelaskan sebagai
223
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 399
224
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 400
penemuan pengetahuan yang terkondisikan a conditioned knowledge,
225
yang selalu terarah pada keadaan yang tidak dikondisikan an unconditioned.
Penelusuran itu dilakukan dalam tiga bentuk: Pertama, sintesis kategoris di dalam subjek; kedua, sintesis hipotesis dari sekumpulan rangkaian; ketiga, sintesis
disjunktif dari bagian-bagian dalam sebuah sistem.
226
Ketiga bentuk sintesis itu selaras dengan susunan kategori relasi: substansi, sebab akibat, dan komunitas.
Kant tidak bermaksud menganggap bahwa pengetahuan yang tidak dikondisikan itu ada. Hal itu hanya sebagai cara menjelaskan bahwa akal selalu bekerja mencari
sintesis atas segala macam pemahaman dalam bentuk kesimpulan tiga macam susunan: silogisme kategoris, silogisme hipotesis, dan silogisme disjunktif.
227
Sintesis atas apa yang tidak dikondisikan sebenarnya tidak pernah dianggap sebagai pengetahuan.
Dengan tiga bentuk silogisme tersebut, Kant tidak bermaksud menjelaskan hal abstrak. Kendati tidak berhubungan secara langsung dengan objek, tetapi
konsep akal berisi informasi yang berkenaan dengan realitas empiris. Rumusan ini terkait dengan kegunaan dasar-dasar kerangka teoretis sains. Terkadang
rumusannya dianggap sebagai upaya untuk menyediakan fondasi metafisika bagi sains Newtonian.
228
Menurut Kant, selama subjek menggunakan kekuatan pemahaman dan akalnya, maka akan banyak kesimpulan akal yang bermunculan. Hal tersebut
225
Sebenarnya Kant tidak menjelaskan secara eksplisit maksud a conditioned dan an unconditioned. Tapi, jika menelusuri secara detail, kita bisa mengasumsikan bahwa yang pertama
adalah sesuatu yang memiliki kaitan dengan realitas empiris, kendati sudah dimurnikan. Sedangkan yang kedua merujuk pada sesuatu yang tidak memiliki dasar empiris. Bandingkan
misalnya, Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 280
226
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 400
227
Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 281
228
Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant Cambridge: Cambridge University Press, 2006, h. 228
menandai perwujudan pemahaman yang luas, menuju kepada totalitas yang semakin mengerucut. Misalnya pada penalaran, “semua manusia adalah makhluk
hidup”, “semua sarjana adalah manusia”, maka “semua sarjana adalah makhluk hidup”. Susunan silogisme ini sebenarnya sudah merupakan totalisasi kesimpulan
yang diperoleh akal. Premis mayor, “semua manusia adalah makhluk hidup”, merupakan kesimpulan dari silogisme yang mencakup objek yang lebih luas:
“semua hewan adalah makhluk hidup”, “manusia adalah hewan,” maka, “semua manusia adalah makhluk hidup”. Dari sini dapat dipahami bahwa kesimpulan
terakhir silogisme bisa dibentuk kembali menjadi premis mayor, yang mampu membawahi konsep-konsep secara lebih spesifik, dengan kapasitas yang
sebelumnya diperoleh dari data yang lebih luas. Akal mampu membuat penyatuan menyeluruh atas beragam kesimpulan yang sudah diperoleh sebelumnya, guna
mendapatkan kesimpulan baru. Penyatuan tersebut menurut Kant, dianggap absolut. Absolut ditujukan untuk menandai bahwa sesuatu adalah valid secara
internal, dan juga valid dalam setiap hubungannya.
229
Dengan kata lain, Kant bermaksud menunjukkan bahwa penyatuan beragam kesimpulan akal sebagai
sesuatu yang tetap dan mungkin pada dirinya. Di sisi lain, setiap kesimpulan itu memiliki keterkaitan, sehingga bisa dihubungkan satu dengan yang lain. Oleh
karena itu, konsep transendental akal selalu menuntun pada totalitas absolut dalam sintesis atas kondisi-kondisi objek. Totalitas absolut tersebut bukan konsep yang
digunakan dalam pengalaman. Tapi, berhubungan hanya dengan pemahaman yang memberi dasar-dasar aturan pengalaman. Kant menyebut totalitas absolut sebagai
kesatuan akal dalam penampakkan the unity of reason in appearances, dan
229
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 401
dibedakan dengan bentuk-bentuk kategori sebagai kesatuan pemahaman the unity of understanding.
230
Selama terjadi penyatuan dalam penampakkan, akal juga berupaya menghadirkan sesuatu yang universal dalam setiap hubungan penampakkan, yang
terkait dengan: 1 relasi terhadap subjek; 2 hubungan dengan objek-objeknya, baik sebagai penampakkan, atau objek dalam pemikiran secara umum. Kant mengatakan
bahwa dua hal tersebut dapat diperinci dengan mempertimbangkan ide atas representasi, yang berkaitan dengan: 1 hubungannya dengan subjek; 2 hubungan
dengan keragaman objek dalam penampakkan; 3 hubungan dengan semua hal secara umum.
231
Dari ketiga pembagian di atas, akal membuat kesatuan sintetis atas segala representasi. Akal bahkan membuat kesatuan sintesis yang tidak dikondisikan.
Kendati ujung dari sintetis ini adalah semacam klaim metafisik, Kant tetap mengakuinya sebagai bagian dari kerja akal. Bagi Kant, ketiga hal tersebut
membawahi ide transendental dalam tiga perincian yang berisi kesatuan absolut yang tidak dikondisikan: 1 kesatuan absolut pemikiran subjek; 2 kesatuan absolut
rangkaian kondisi penampakkan; 3 kesatuan absolut kondisi semua objek pemikiran secara umum.
232
Yang pertama adalah objek psikologi. Akal menyediakan ruang bagi penjelajahan ide tentang jiwa rasional psychologia
rasionalis, dalam bentuk sintesis kesatuan yang tidak dikondisikan, yakni ego permanen yang dipahami sebagai substansi. Yang kedua adalah objek kosmologi.
Di sini akal berperan mendukung sains transendental dunia atau kosmologi rasional cosmologia rasionalis. Akal membuat sintesis atas keragaman objek, yang terarah
230
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 402
231
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 405
232
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 406
pada kesatuan kausalitas yang tidak dikondisikan, sehingga berupa kosmologi spekulatif. Yang ketiga adalah objek teologi, sebagai basis rasional penalaran
teologi theologia rasionalis. Pada bagian terakhir ini, akal mencari kesatuan yang tidak dikondisikan dalam bentuk wujud tertinggi atas segala kemungkinan yang
bisa dipikirkan. Di sini konsep Tuhan hadir sebagai penyatu segala sesuatu. Namun, ketiga ide tersebut tidak ditunjang oleh pemahaman dengan objek
dalam tatanan empiris. Ketiganya menjadi problem akal murni, karena tidak memiliki deduksi objektif atas penampakkan.
233
Ketiganya hanya merupakan pengenalan subjektif setiap individu, atas dasar kemampuan alamiah akal.
234
Hal seperti ini tidak bisa dihindari. Dengan ini Kant menjawab seseorang yang
terpelajar sekalipun, bisa memiliki kecenderungan membuat totalisasi kesimpulan akal tanpa bukti empiris. Kant mengakui kecenderungan semacam ini.
Kant mengakui banyak kemungkinan jalur yang ditempuh guna menghasilkan kesimpulan akal. Pada dasarnya, akal menyediakan dasar teoritis,
baik bagi pemikiran ilmiah yang berbasis pada premis-premis yang tepat dan akurat sesuai fakta, sekaligus juga struktur pemikiran yang tidak berpijak pada
pengalaman empiris. Keduanya diakui bersumber dari akal. Susunan silogisme terakhir, disebut Kant kesimpulan yang menyesatkan sophistical. Ini dibedakan
dari yang pertama, yang disebutnya kesimpulan rasional rational inferences.
235