Konsep Transendental Akal Epistemologi immanuel kant

Pada contoh tersebut, didapat adanya kesadaran hal partikular, yakni sarjana, dalam konsep universal, yakni makhluk hidup. Singkatnya, proses dalam setiap sillogisme 213 dapat dijelaskan menjadi: pertama, proposisi pertama diletakkan sebagai premis mayor, melalui pemahaman yang menghimpun keragaman dalam sebuah konsep tertentu. Kedua, menghadirkan kesadaran tertentu di bawah kondisi aturan-aturan pemahaman, dan dijadikan premis minor melalui kekuatan putusan. Ketiga, menentukan kesadaran a priori yang menyeluruh mencakup prinsip pemahaman untuk mencapai kesimpulan inference partikular. Proses yang ketiga dihasilkan oleh fungsi a priori akal, dan tidak berhubungan secara langsung dengan objek empiris. Menurut Kant, akal murni der reinen Vernunft bukan hanya berisi konsep-konsep yang direfleksikan. Tapi, juga konsep-konsep yang disimpulkan. Ini dibedakan dari konsep pemahaman, yang merupakan hasil pemikiran a priori, tetapi tidak menyatukan atau menyimpulkan prinsip pemahaman. Konsep akal murni meliputi banyak putusan, seperti halnya konsep pemahaman yang berfungsi menghasilkan pemahaman atas segala penampakkan objek. Konsep akal memiliki validitas objektif. Kant menyebutnya konsep-konsep yang disimpulkan secara benar conceptus ratiocinati. Namun, bisa juga menghasilkan kesimpulan yang salah atau sekedar ilusi. Kant menamakannya konsep yang mengelabui conceptus ratiocinantes. 214 Konsep akal murni berbeda dari pemahaman. Konsep pemahaman adalah susunan kategori. Adapun konsep akal murni adalah ide-ide transendental. 215 Ide 213 Kant menyebut silogisme sebagai Vernunftschluß, yang secara bahasa berarti an inference reason. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 390 214 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 394 215 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 395 menurut Kant adalah sesuatu yang merujuk pada konsep non-empiris, tidak dari pengalaman, melainkan dihasilkan rasio. 216 Ide tersebut mengikat semua bentuk penalaran, dalam sebuah kesatuan. Namun, Kant menolak ide menurut Plato. Bagi Kant, Plato telah memperlakukan konsep ide sebagai sesuatu yang abstrak: semacam pola dasar archetype bagi segala sesuatu di dunia, yang tidak memiliki kaitan dengan realitas empiris, bahkan melewati batas-batas pemahaman—bagian terakhir ini yang sangat ditentang oleh Aristoteles. 217 Ide tersebut mengalir dari akal tertinggi, dan akal manusia bekerja dengan mengingat segala sesuatu yang sudah ada sebelumnya, sehingga tidak menemukan keaslian pemikirannya. Meskipun cukup abstrak, menurut Kant, Plato tetap berpegang bahwa hasil konkret ide berada pada tataran praktis practical. 218 Seperti ide kebebasan, kebaikan, termasuk kesadaran matematis, dapat diketahui dan dijelaskan dengan paparan pengalaman seseorang. Di sisi lain, Kant menolak pandangan Plato bahwa alam ide adalah bentuk yang sempurna, abadi, dan tidak berubah. Bagi Kant ide merupakan susunan pemikiran manusia. Tetapi, Plato tidak selalu salah. Kant sepakat dengannya terkait bukti-bukti ide yang tidak hanya berada dalam tataran akal manusia, melainkan sebagai sebab yang cukup jelas atas beragam aksi dan objeknya di alam. 219 Dalam kehidupan sehari-hari, ide bisa menjadi sebab terjadinya interaksi antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya. Interaksi tersebut terjadi karena pemikiran yang menuntun manusia untuk bertindak. Pikiran sendiri dapat berisi 216 Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant Cambridge: Cambridge University Press, 2006, h. 229 217 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 395 218 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 396 219 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 397 gambar-gambar atas fenomena alam. Namun, itu hanya sekedar gambar. Untuk bisa mengetahui bentuk riil objek, caranya dengan melihat bentuk aslinya di dunia, tempat manusia itu hidup, melalui sensibiltas. Cara ini tidak terlepas dari ketentuan hukum alam yang melingkupi kehidupan manusia, begitu pula susunan akal pikiran subjek sebagai pengamat. Bagi Kant, ide atau konsep akal Jerman: der Vernunftbegriff 220 adalah konsep yang dibentuk oleh gagasan atau pemikiran, yang melewati kemungkinan pengalaman. Dengan begitu, bersifat murni a priori. Ide teoretis berlaku seperti konsep empiris, yakni sebagai penyatu, 221 meskipun keduanya memiliki objek berbeda. Objek penyatuan yang dimaksud adalah pengetahuan empiris, yang sudah mengalami pengujian pada tahap rasio. Konsep yang membentuk ide, selama tidak berada dalam kerangka sensibilitas disebut notio. Kant tidak memungkiri bahwa sumber data pikiran berasal dari luar, dan tidak menolak bahwa akal memiliki sejumlah kecenderungan alamiah a priori, meskipun yang terakhir itu tidak digolongkan sebagai pengetahuan. Baginya, selama persepsi merujuk pada subjek sebagai sebuah modifikasi keadaan, maka disebut sensasi sensatio. Jika persepsi tersebut lepas dari pandangan subjektifitas, atau objektif, maka disebut kesadaran cognitio. Kesadaran dapat berbentuk hasil pencerapan intuisi, atau konsep intuitus vel conceptus. Intuisi berkaitan dengan objek secara langsung, dan bersifat singular. Sedangkan konsep ditengahi oleh catatan yang berskala umum pada semua jenis penampakkan. 222 Semua struktur dasar ini, akhirnya berperan dalam menghasilkan kesimpulan final pada tahap akal. 220 Immanuel Kant, Kritik der reinen Vernunft, nach der ersten und zweiten Original- Ausgabe herausgegeben von Raymund Schimdt Felix Meiner Verlag: Hamburg, 1990, h. 354 221 Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, h. 230 222 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 398-399 Menurut Kant, kesimpulan akal tercapai karena universalitas kesadaran menurut konsep. Sifat universalitas tersebut berkesesuaian dengan susunan silogisme, yang membentuk putusan secara a priori di keseluruhan kondisinya. 223 Universalitas yang dimaksud adalah jarak wilayah yang sempurna dalam suatu kondisi, ketika kesimpulan akhir silogisme diperoleh. Objek dalam kesimpulan tersebut sebelumnya sudah termasuk bagian premis mayor, di bawah kondisi yang lebih luas. Kant mencontohkan bahwa kalimat, “Caius adalah makhluk hidup”, didapatkan dari pengolahan pemahaman sebagai kesimpulan akal. Sebelumnya, pemahaman sudah mencoba menelusuri secara lebih detail dan luas, paparan yang berkenaan dengan objek yang dibicarakan, yakni Caius, dengan sesuatu yang lebih universal, maka didapatlah kata, “manusia”. Lalu dibuat susunan silogisme, “semua manusia adalah makhluk hidup”, “Caius adalah manusia”, maka “Caius adalah makhluk hidup”. Susunan silogisme tersebut adalah hasil kinerja fungsi a priori subjek, dalam mengolah sejumlah data guna menghasilkan kesimpulan. Dalam penalaran silogisme, premis mayor membuat gambaran umum dan menyeluruh atas objek yang berada dalam suatu kondisi. Setelah itu, baru kesimpulannya yang diarahkan berbentuk objek tertentu. Objek tersebut berupa hal partikular, yang dijelaskan secara menyeluruh dalam totalitas kondisinya. Konsep transendental akal tidak lain adalah menemukan totalitas kondisi atas sesuatu yang hadir dikondisikan totality of conditions to a given conditioned thing. 224 Kerja akal selanjutnya semakin memperbanyak kesatuan totalitas tersebut. Totalitas tersebut adalah konsep akal yang selaras dengan kinerja pemahaman melalui kategori-kategori. Penelusuran konsep akal tersebut bisa dijelaskan sebagai 223 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 399 224 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 400 penemuan pengetahuan yang terkondisikan a conditioned knowledge, 225 yang selalu terarah pada keadaan yang tidak dikondisikan an unconditioned. Penelusuran itu dilakukan dalam tiga bentuk: Pertama, sintesis kategoris di dalam subjek; kedua, sintesis hipotesis dari sekumpulan rangkaian; ketiga, sintesis disjunktif dari bagian-bagian dalam sebuah sistem. 226 Ketiga bentuk sintesis itu selaras dengan susunan kategori relasi: substansi, sebab akibat, dan komunitas. Kant tidak bermaksud menganggap bahwa pengetahuan yang tidak dikondisikan itu ada. Hal itu hanya sebagai cara menjelaskan bahwa akal selalu bekerja mencari sintesis atas segala macam pemahaman dalam bentuk kesimpulan tiga macam susunan: silogisme kategoris, silogisme hipotesis, dan silogisme disjunktif. 227 Sintesis atas apa yang tidak dikondisikan sebenarnya tidak pernah dianggap sebagai pengetahuan. Dengan tiga bentuk silogisme tersebut, Kant tidak bermaksud menjelaskan hal abstrak. Kendati tidak berhubungan secara langsung dengan objek, tetapi konsep akal berisi informasi yang berkenaan dengan realitas empiris. Rumusan ini terkait dengan kegunaan dasar-dasar kerangka teoretis sains. Terkadang rumusannya dianggap sebagai upaya untuk menyediakan fondasi metafisika bagi sains Newtonian. 228 Menurut Kant, selama subjek menggunakan kekuatan pemahaman dan akalnya, maka akan banyak kesimpulan akal yang bermunculan. Hal tersebut 225 Sebenarnya Kant tidak menjelaskan secara eksplisit maksud a conditioned dan an unconditioned. Tapi, jika menelusuri secara detail, kita bisa mengasumsikan bahwa yang pertama adalah sesuatu yang memiliki kaitan dengan realitas empiris, kendati sudah dimurnikan. Sedangkan yang kedua merujuk pada sesuatu yang tidak memiliki dasar empiris. Bandingkan misalnya, Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 280 226 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 400 227 Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 281 228 Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant Cambridge: Cambridge University Press, 2006, h. 228 menandai perwujudan pemahaman yang luas, menuju kepada totalitas yang semakin mengerucut. Misalnya pada penalaran, “semua manusia adalah makhluk hidup”, “semua sarjana adalah manusia”, maka “semua sarjana adalah makhluk hidup”. Susunan silogisme ini sebenarnya sudah merupakan totalisasi kesimpulan yang diperoleh akal. Premis mayor, “semua manusia adalah makhluk hidup”, merupakan kesimpulan dari silogisme yang mencakup objek yang lebih luas: “semua hewan adalah makhluk hidup”, “manusia adalah hewan,” maka, “semua manusia adalah makhluk hidup”. Dari sini dapat dipahami bahwa kesimpulan terakhir silogisme bisa dibentuk kembali menjadi premis mayor, yang mampu membawahi konsep-konsep secara lebih spesifik, dengan kapasitas yang sebelumnya diperoleh dari data yang lebih luas. Akal mampu membuat penyatuan menyeluruh atas beragam kesimpulan yang sudah diperoleh sebelumnya, guna mendapatkan kesimpulan baru. Penyatuan tersebut menurut Kant, dianggap absolut. Absolut ditujukan untuk menandai bahwa sesuatu adalah valid secara internal, dan juga valid dalam setiap hubungannya. 229 Dengan kata lain, Kant bermaksud menunjukkan bahwa penyatuan beragam kesimpulan akal sebagai sesuatu yang tetap dan mungkin pada dirinya. Di sisi lain, setiap kesimpulan itu memiliki keterkaitan, sehingga bisa dihubungkan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, konsep transendental akal selalu menuntun pada totalitas absolut dalam sintesis atas kondisi-kondisi objek. Totalitas absolut tersebut bukan konsep yang digunakan dalam pengalaman. Tapi, berhubungan hanya dengan pemahaman yang memberi dasar-dasar aturan pengalaman. Kant menyebut totalitas absolut sebagai kesatuan akal dalam penampakkan the unity of reason in appearances, dan 229 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 401 dibedakan dengan bentuk-bentuk kategori sebagai kesatuan pemahaman the unity of understanding. 230 Selama terjadi penyatuan dalam penampakkan, akal juga berupaya menghadirkan sesuatu yang universal dalam setiap hubungan penampakkan, yang terkait dengan: 1 relasi terhadap subjek; 2 hubungan dengan objek-objeknya, baik sebagai penampakkan, atau objek dalam pemikiran secara umum. Kant mengatakan bahwa dua hal tersebut dapat diperinci dengan mempertimbangkan ide atas representasi, yang berkaitan dengan: 1 hubungannya dengan subjek; 2 hubungan dengan keragaman objek dalam penampakkan; 3 hubungan dengan semua hal secara umum. 231 Dari ketiga pembagian di atas, akal membuat kesatuan sintetis atas segala representasi. Akal bahkan membuat kesatuan sintesis yang tidak dikondisikan. Kendati ujung dari sintetis ini adalah semacam klaim metafisik, Kant tetap mengakuinya sebagai bagian dari kerja akal. Bagi Kant, ketiga hal tersebut membawahi ide transendental dalam tiga perincian yang berisi kesatuan absolut yang tidak dikondisikan: 1 kesatuan absolut pemikiran subjek; 2 kesatuan absolut rangkaian kondisi penampakkan; 3 kesatuan absolut kondisi semua objek pemikiran secara umum. 232 Yang pertama adalah objek psikologi. Akal menyediakan ruang bagi penjelajahan ide tentang jiwa rasional psychologia rasionalis, dalam bentuk sintesis kesatuan yang tidak dikondisikan, yakni ego permanen yang dipahami sebagai substansi. Yang kedua adalah objek kosmologi. Di sini akal berperan mendukung sains transendental dunia atau kosmologi rasional cosmologia rasionalis. Akal membuat sintesis atas keragaman objek, yang terarah 230 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 402 231 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 405 232 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 406 pada kesatuan kausalitas yang tidak dikondisikan, sehingga berupa kosmologi spekulatif. Yang ketiga adalah objek teologi, sebagai basis rasional penalaran teologi theologia rasionalis. Pada bagian terakhir ini, akal mencari kesatuan yang tidak dikondisikan dalam bentuk wujud tertinggi atas segala kemungkinan yang bisa dipikirkan. Di sini konsep Tuhan hadir sebagai penyatu segala sesuatu. Namun, ketiga ide tersebut tidak ditunjang oleh pemahaman dengan objek dalam tatanan empiris. Ketiganya menjadi problem akal murni, karena tidak memiliki deduksi objektif atas penampakkan. 233 Ketiganya hanya merupakan pengenalan subjektif setiap individu, atas dasar kemampuan alamiah akal. 234 Hal seperti ini tidak bisa dihindari. Dengan ini Kant menjawab seseorang yang terpelajar sekalipun, bisa memiliki kecenderungan membuat totalisasi kesimpulan akal tanpa bukti empiris. Kant mengakui kecenderungan semacam ini. Kant mengakui banyak kemungkinan jalur yang ditempuh guna menghasilkan kesimpulan akal. Pada dasarnya, akal menyediakan dasar teoritis, baik bagi pemikiran ilmiah yang berbasis pada premis-premis yang tepat dan akurat sesuai fakta, sekaligus juga struktur pemikiran yang tidak berpijak pada pengalaman empiris. Keduanya diakui bersumber dari akal. Susunan silogisme terakhir, disebut Kant kesimpulan yang menyesatkan sophistical. Ini dibedakan dari yang pertama, yang disebutnya kesimpulan rasional rational inferences. 235

F. Tiga Kecenderungan Akal

Sejalan dengan fungsi akal yang bersifat regulatif, pada sisi lain akal juga memberi fondasi bagi sejumlah kecenderungan alamiah yang menghasilkan 233 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 406 234 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 407 235 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 409 kesimpulan, tetapi berada di luar pengetahuan. Kant membaginya menjadi tiga: paralogisme, antinomi, dan ideal akal murni. 236

F. . Paralogisme

Paralogisme adalah bentuk penalaran, yang susunannya menyalahi kaidah silogisme, tanpa perlu melihat lebih jauh informasi yang dikandungnya apakah salah atau benar. 237 Paralogisme hanya berisi sesuatu yang bersifat abstrak, tidak riil. Kant membagi kecenderungan ini menjadi empat: pertama, ide tentang substansi substantiality; kedua, jiwa terdiri dari hal-hal sederhana simplicity; ketiga, kesadaran identitas numerik tentang diri dalam waktu-waktu berbeda personality; keempat, eksistensi yang hanya dianggap sebagai sebab menurut persepsi ideality. 238 Keempat hal tersebut adalah problem akal. Problem di sini diartikan sebagai kemustahilan membuktikan data empiris, berkaitan dengan kebenaran hal- hal tersebut. Pertama, substansi 239 adalah sesuatu yang abstrak, dan tidak ada dalam realitas. 240 Kedua, kendati pemikiran dapat dikaitkan dan dipisah dengan beragam hal, tetapi jiwa tidak bisa didistribusikan atau dibagi-bagi. Jiwa meliputi kedudukan subjek yang berpikir secara menyeluruh. 241 Ketiga, identitas kesadaran dalam waktu-waktu berbeda hanyalah kondisi formal pemikiran, tidak menunjukkan identitas numerik subjek. Perubahan hanya terjadi berkenaan dengan kesadaran subjek dengan penampakkan objek, dan bukan subjek pada 236 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 410 237 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 411 238 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 413 239 Lewat karya-karyanya, proyek filosofis Kant berhasil mereduksi semua fakultas atau kapasitas jiwa menjadi tiga hal: fakultas untuk mengetahui, fakultas kesenangan dan kesakitan, dan fakultas keinginan desire. Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans., J.H. Bernard Promoteus Books: New York, 2000, h. 14 240 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 417 241 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 419 dirinya yang ditentukan secara numerik. 242 Keempat, kesadaran atas objek di luar secara langsung membuktikan bahwa sesuatu di luar subjek adalah nyata berada di dalam ruang. 243 Kedudukannya yang terikat hukum sebab akibat adalah nyata, dan tidak hanya ketika menampakkan diri pada persepsi subjek. Di sini, Kant secara tegas menentang pandangan kaum idealis, yang tidak mengakui hukum sebab akibat pada realitas di luar subjek, selama tidak diketahui persepsi langsung melalui pengalaman.

F. . Antinomi

Bagian kedua dari kecenderungan alamiah akal adalah antinomi. Penjelasannya berkaitan dengan ketiga konsep: Tuhan, jiwa, dan kebebasan. Bagi Kant, antinomi antinomy 244 tidak berisi informasi yang bersumber dari data empiris. Kant mengajukan empat pasang antinomi, berupa tesis sekaligus anti- tesisnya. Tesis pertama berisi pernyataan bahwa dunia memiliki permulaan di dalam waktu dan terbatas secara ruang. Anti-tesisnya berupa penyangkalan dunia memiliki permulaan waktu, dan tidak terbatas secara ruang. Tesis kedua berupa pernyataan bahwa semua bentuk benda-benda yang tersusun, berasal dari subtansi sederhana. Anti-tesisnya adalah pendapat bahwa tidak ada substansi sederhana. Tesis ketiga berupa pernyataan bahwa segala sesuatu di alam semesta ditentukan oleh hukum, yang mengikat dan berlaku secara objektif. Anti-tesisnya adalah pendapat bahwa segala sesuatu memiliki kebebasan, tidak terikat hukum apapun. Tesis keempat berupa pernyataan bahwa terdapat realitas tertinggi an absolutely necessary being sebagai pengatur. Anti-tesisnya menyatakan bahwa tidak ada 242 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 423 243 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 429 244 Dalam logika Modern, istilah ini merujuk pada kesimpulan yang tidak mungkin. Tapi, disusun berdasarkan bukti proposisi yang benar. Thomas Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy London: Penguin Books Ltd., 2000, h. 29 realitas tertinggi, baik di dalam maupun di luar dunia. Segala sesuatu ada dengan sendirinya, dan pada dasarnya saling bergantung satu sama lain. Dalam kesimpulan mengenai keempat antinomy di atas, Kant berpendapat bahwa semua tesis adalah pendapat milik kaum rasionalis dogmatik, sedangkan anti-tesisnya milik kaum empiris. 245 Kant tidak sepakat dengan semua tesis, karena metafisika tidak bisa menjadi pengetahuan. Isi dari pengetahuan hanya bisa meluas berkenaan dengan pengalaman. Begitu pula ia tak sependapat dengan anti- tesisnya, karena dengan begitu telah mempersempit perspektif seseorang. Bagi Kant, akal manusia memiliki kecenderungan untuk berpikir bebas, bahkan keluar dari batas-batas pengalaman. Di sini, posisi Kant cukup jelas, yakni menjadikan persoalan di atas sebagai bukan bagian pengetahuan.

F. . Ideal Akal Murni

Bagian terakhir dari kecenderungan alamiah akal adalah ideal akal murni. Bagian ini masih memiliki kaitan dengan dua bentuk kecenderungan sebelumnya. Kant menjelaskan bahwa ideal akal murni berupaya mencari asas-asas rasional atas problem wujud tertinggi the highest being, ens summum, sebagai objek di dalam akal. 246 Wujud tertinggi adalah Tuhan, sebagai penguasa alam semesta. Menurut Kant, selama ini terdapat tiga cara pembuktian mengenai Tuhan: pertama, bukti teologis the phsyco-theological proof; kedua, bukti kosmologis the cosmological proof; ketiga, bukti ontologis the ontological proof. 247 Tapi, kesemua pembuktian itu tidak menguatkan kebenaran adanya Tuhan. Tuhan tetap sesuatu yang abstrak, dan tidak bisa dianalisis. Tuhan tidak bisa dijadikan alasan 245 Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant Wellwood: Burn Oates, 1999, h. 293 246 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 557 247 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 563 adanya alam, beserta segala isinya. Hukum-hukum alam jelas menunjukkan arah yang harus diselidiki akal. Menempatkan kebesaran Tuhan sebagai sumber segala sebab adalah alasan malas a lazy reason untuk berpikir. 248 Guna menghindari kekeliruan pemahaman terhadap beberapa persoalan di atas, Kant menjelaskan bahwa hal-hal metafisika selalu berhubungan dengan wilayah noumena. Noumena adalah benda pada dirinya, atau bisa diartikan sebagai objek kesadaran yang tidak diproduksi oleh pengalaman inderawi. 249 Ini dikontraskan dengan fenomena. Siapa pun tidak bisa mengetahui noumena. Misalnya, ide tentang kebebasan. Kebebasan hanya berada di wilayah noumena, bukan sebagai fenomena. Segala fenomena di dunia dikendalikan oleh hukum yang mengatur dan bersifat niscaya, yakni hukum sebab akibat. Oleh karena itu, kedua wilayah tersebut sebaiknya tetap dipisahkan. Metafisika sebagai kecenderungan alamiah akal natural disposition of reason, bisa dianggap aktual. Tapi, kedudukannya tetap hanya sebuah ilusi. Jika kita meneliti alam dengan berpegang pada metafisika, maka yang didapat adalah kesia-siaan. 250 Begitu pula misalnya, ide tentang Tuhan. Bagi Kant, ide tentang Tuhan sebenarnya berguna mengarahkan kehidupan manusia. Ia sendiri tidak diragukan sangat percaya adanya Tuhan, kebebasan, dan keabadian. 251 Kendati demikian, Kant menegaskan bahwa persoalan agama sama sekali tidak memiliki kesadaran secara ilmiah pada diri subjek. 252 Kepercayaan 248 Immanuel Kant, Religion and Rational Theology, trans., ed., Allen W. Wood and George Di Giovanni Cambridge: Cambridge University Press, 2005, h. 344 249 Thomas Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 391 250 Beryl Logan ed., Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics in Focus New York: Routledge, 1996, h. 122 251 A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason Chicago: Chicago University Press, 1984, h. 246 252 Allen W. Wood, “Rational Theology, Moral Faithful, and Religion”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant Cambridge: Cambridge University Press, 2006, h. 406