. Ideal Akal Murni Epistemologi immanuel kant

hampir sama seperti halnya kemampuan inderawi; tidak bisa secara total dijadikan pegangan kebenaran hakiki. Dalam bentuk penalaran rasional, kebenaran diperoleh dengan mengambil sejumlah bukti-bukti melalui premis-premis yang tersusun secara sistematis. Namun, kebenaran itu justru tidak bersifat final. Jika terdapat argumentasi dengan alur berpikir yang lebih kokoh, maka kebenaran itu tidak lagi dapat dipertahankan. 259 Yang menarik, al-Ghazâlî membandingkan penalaran seseorang saat terjaga dengan keadaannya saat tertidur. Ia berkata: … ار أ م ا 4 2 كا أ , Iا ﺡأ Hو , K Kﺵ Iو ارا او ﺙ B 4 2و B ا , -ﺙ M Nو ﺹأ Kا4 2 و KO H P 7 . - ﻥأ -2 Q : نأ F - B Tﻥأ ا K ﺡ إ UV Wﺡ ه 3 وأ G K 4 2 P ﺝ ن . , . K إ K آ K إ B ﻥ ن . ﺡ K 3 أ Y نأ . , ﻥ K ن . B ا UV ﺹ ﺡ I تI ﺥ K 2 T ه P ﺝ نأ T ا K تدرو اذ\ B . 260 Al-Ghazâlî mengandaikan bahwa dalam keadaan mimpi, segala sesuatu terlihat begitu nyata. Segala sesuatu seolah hadir dan dapat dirasakan, termasuk kegiatan berpikir. Al-Ghazâlî mempertanyakan batas yang jelas antara daya rasional yang hadir pada saat terjaga dan ketika bermimpi. Ia menyimpulkan bahwa kedua keadaan itu tidak bisa dibuktikan jika berpijak pada posisi subjek. Oleh karena itu, diperlukan hal lain sebagai basis penguat kebenaran hakiki. Pada kelanjutannya, keragu-raguan al-Ghazâlî bahkan mendekati titik klimaks. Ia akhirnya menyerang hukum kausalitas. Serangan itu ia tujukan secara khusus kepada para filosof Muslim, seperti al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Al-Ghazâlî 259 Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 28 260 “….adapun ketika jiwa melihatmu meyakini banyak hal di dalam tidur, membayangkan keadaan, dan menganggap semua itu tetap dan stabil, sehingga tidak ada keraguan mengenai keadaan di dalamnya, kemudian kamu terbangun, dan tahu bahwa semua khayalan dan anggapanmu tidak memiliki dasar serta kemampuan: dengan apa kamu meyakini ketika terbangun, baik melalui indera maupun akal bahwa hal itu adalah benar haqq, dengan mengaitkannya pada keadaanmu di dalamnya? Padahal mungkin sekali keadaan sadarmu datang seketika, sama seperti keadaan ketika tidur. Dengan begitu, maka sadarmu dinilai tidur dengan mempertimbangkan pada keadaan tersebut. Maka ketika telah mengetahui keadaan itu, kamu yakin bahwa semua yang di bayangkan akal adalah khayalan dan tidak ada manfaat darinya.” Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al- Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 28 menawarkan pembacaan berbeda atas hukum kausalitas. Baginya, selama ini proses yang terjadi adalah persepsi inderawi menangkap adanya suatu kejadian. Lalu secara tergesa-gesa, akal menjustifikasi bahwa terdapat keniscayaan sebab- akibat sababiyyah di dalamnya. Al-Ghazâlî berkata: ةد 2 ا 4 2 نا Vا , 4 2 و , ﻥ43 رو U G , ] ﺵ آ كاذ اEه G , اEه كاذ Iو , ﺥCا ت ﺙV ه4ﺡأ ت ﺙإ Iو , ﻥ Iو ﺥCا , ﺥCا د ﺝو ه4ﺡأ د ﺝو ةرو U G , ه4ﺡأ م43 ةرو U Iو ﺥCا م43 , ب 6 او ي ا , آCاو P 6 او , ر ا ء و قا ﺡVاو , c 6 ا ع Nو ر او , ت او ا eﺝو , ءاو4 ا ب ﺵو ء 6 او .... f ا 261 Bagi al-Ghazâlî semua peristiwa alamiah, kejadian-kejadian di dunia fisik, tidak menunjukkan adanya kepastian kausalitas. Misalnya, kejadian terbakarnya kayu ketika bertemu api. Pada dasarnya, bukan karena api yang bisa membakar. Terbakarnya kayu ketika bertemu api, hanya sebuah fenomena alamiah. Hal itu tidak menunjukkan ketetapan hukum, karena api pada dirinya adalah benda mati jamâd. Api tidak bisa berbuat apa-apa pada kayu. Al-Ghazâlî menanggap bahwa semua sebab kembali pada Allah. 262 Dalam setiap kejadian, selalu terdapat penyebab utama Allah, dan penyebab perantara yang menengahi rangkaian peristiwa alamiah. Kedua hal ini ada bersamaan. Tapi, sebab utama menjadi penentu dalam setiap peristiwa. Sebab utama berbeda dari sebab perantara. Oleh karena itu, sebab perantara semisal api, tidak memegang peranan primer. 261 “Pertalian antara sesuatu yang diyakini sebagai sebab, dan sesuatu yang diyakini sebagai musabab, bukan kepastian bagi saya. Bahkan, dari keduanya bukanlah ini sebab, dan itu musabab. Adapun ketetapan salah satunya, tidak mengindikasikan ketetapan yang lain. Begitu pula, ketiadaan salah satunya, tidak mengindikasikan ketiadaan yang lain. Maka tak ada kepastian, adanya salah satunya, menetapkan adanya yang lain. Begitu juga ketiadaan salah satunya, tidak memastikan ketiadaan yang lain. Misalnya, munculnya rasa segar dengan minum; kenyang dengan makan; terbakar dengan bertemu api; keluarnya cahaya dengan munculnya mathari; kematian dengan terputusnya leher; sehat dengan minum obat, dan sebagainya.” Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah Qâhirah: Dâr al-Ma‘ârif, 1392 H., 1972 M., h. 293 262 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. 240 Sebagai catatan pembanding, al-Ghazâlî menawarkan sistem epistemologi yang bertitik tolak pada pengalaman mistis. Bagi al-Ghazâlî, pengetahuan tertinggi adalah berupa penyingkapan kasyf, atau dengan penyaksian misteri ilahi musyâhadah. Ia berupa cahaya yang diturunkan Allah kepada manusia yang hatinya bersih. Pengetahun ini ia sebut ‘ilm ladunî ilmu yang halus. Ilmu ini tidak didapat dari penjelajahan pemikiran, sehingga terbebas dari kesalahan. Objek di dalamnya menyangkut hal-hal lahiriah bersifat inderawi, maupun hasil refleksi pemikiran rasional. Kehalusan ilmu ini sangat menancap di dalam hati sanubari, sehingga tidak meninggalkan sedikit pun ruang keragu-raguan. Sehingga andaikata ada orang yang dapat mengatakan bahwa tiga lebih besar dari sepuluh, dengan segala argumentasi yang ia miliki, hal itu tidak akan menggoyahkan keyakinan bahwa sepuluh lebih besar daripada tiga. Yang tersisa di dalam pikiran tidak lebih dari perasaan takjub dengan kemampuan orang tersebut. Ia berkata: ر إ م ا يا ه +, ا - ا نأ + 012 , و ن إ ر -هاو 56ا , 7ذ 0 9 : ا ;: و ... Ia melanjutkan, … =?ا A 0آأ ة0 ا نأ DE اذإ F , GH I + ل I : , Iأ + أ G9ﺏ =?ا Gﺏ 1 Iو M ا اه , , 7ذ ت9ه ﺵو , +: 0 + ﺏ 7ﺵأ - , إ , + GMP -و E ﺕر9I =Rآ A S :ا , ? :E 7 ا T . 263 Secara umum, al-Ghazâlî membedakan antara ‘ilm husûlî dengan ‘ilm hudûrî. Yang pertama merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara belajar, sedangkan yang kedua didapatkan dari kehadiran. Menurut al-Ghazâlî, 263 “Maka jelaslah bagi saya bahwa ilmu yakin adalah ilmu yang menyingkap objek yang diketahuinya al-ma‘lûm, dengan penyingkapan yang tidak meninggalkan keraguan bersamanya, dan tidak memungkinkan terjadinya kesalahan dan prasangka di dalam hati…”, ia melanjutkan, “…Maka ketika saya tahu bahwa sepuluh lebih besar dari tiga, ketika ada orang yang berucap: tidak, tetapi tiga lebih besar dengan bukti kemampuan saya bisa mengubah tongkat menjadi ular dan mengembalikannya lagi, dan saya menyaksikan kejadian itu, maka saya tidak meragukan pengetahuan saya dengan sebab itu, dan tiada yang tersisa selain perasaan takjub dengan kemampuannya. Adapun keraguan dengan apa yang telah saya ketahui, maka hal itu tidak terjadi.” Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 26