Sejarah Epistemologi Epistemologi immanuel kant

perdebatan dan pengujian sejumlah tradisi yang sudah taken for granted oleh masyarakat. Mereka juga tak luput mempersoalkan hakikat pengetahuan manusia. Di kemudian hari, banyak orang yang merasa tertarik untuk mendapatkan pendidikan dan bimbingan dari mereka. Kaum muda banyak yang tertarik dengan ajaran Sofis. Fokus perhatian kaum Sofis adalah menjadikan masyarakat tersadar akan kegunaan ilmu pengetahuan. Mereka yang mendapat didikan Sofis bisa menjadi orator ulung, serta orang yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan tugas utama mereka yakni, menghadirkan sains dan instruksi retorika dalam kehidupan publik. 53 Kata Sofis sendiri dalam bahasa Yunani memiliki arti positif. Secara etimologis, Sofisme berasal dari kata Yunani σόφισ α dibaca sophisma, dari kata σοφίζω dibaca sophizo, berarti “saya bijaksana.” Kata σοφιστής dibaca sophistēs berarti orang yang melakukan kebijaksanaan, dan kata σοφός dibaca sophόs berarti orang bijak. 54 Kaum Sofis di zaman Yunani kuno adalah sekelompok guru filsafat yang dikenal bijak. Kritik kaum Sofis dalam masalah pengetahuan, memainkan peranan cukup penting dalam wacana filsafat setelahnya. Saat ini kata Sofisme telah mengalami perubahan arti menjadi: argumentasi salah yang kelihatan valid, 55 sebuah arti yang sangat berbeda dari makna asalnya Ajaran Sofis di belakang hari mendapat celaan dari masyarakat. Hal ini disebabkan pola pengajaran yang mereka terapkan. Pendekatan pengajaran yang dikembangkan Sofis, dibangun di atas kesadaran akan kebebasan dan demokrasi dalam kehidupan polis. Kekuatan retorika adalah kuncinya. Kecenderungan kebebasan yang mereka suarakan, akhirnya sampai pada titik ekstrem. Meraka 53 W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 113 54 http:en.wikipedia.orgwikiSophism , artikel diakses pada 01 Mei 2010 55 Thomas Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 530 alpa untuk memberikan sebuah batasan yang jelas, terkait dengan kebebasan. Apa yang mereka ajarkan akhirnya hanya berupa kemampuan berdebat tanpa arah dan tanpa tuntunan mencapai kehidupan yang bermartabat, kontras dengan gelar Sofis yang mereka sandang. Protagoras 481-411 SM., tokoh Sofis yang paling berpengaruh misalnya, memiliki diktum yang terkenal: “manusia adalah ukuran segala-galanya”. 56 Manusia dijadikan sebagai titik pangkal dan inti segala hal. Kebenaran dan kesalahan, baik dan buruk, dapat didefinisikan menurut kadar ukuran manusia. Namun, ia tidak memberikan kejelasan terkait apa yang dimaksud manusia dalam pemikirannya. Jika yang dikehendaki dari manusia adalah manusia secara umum, maka cakupannya menjadi sangat luas. Setiap orang akan memiliki sudut pandang berbeda dalam memahami arti manusia, sehingga ukuran manusia sebagai patokan segala-galanya akan berbeda satu sama lain. Pandangan semacam ini jelas menggiring pada relativisme. 57 Implikasi yang sama berlaku dalam perdebatan tentang pengetahuan. Kaum Sofis tidak memberikan kaidah baku terkait masalah epistemologi, sehingga apa yang diajukan terjerumus ke dalam relativisme. Inilah batu sandungan kaum Sofis. Persoalan epistemologi yang menjadi perdebatan filosofis berkepanjangan, dipelopori oleh perdebatan ini. Perdebatan antara yang universal dan yang relatif. Salah satu contoh ekstrem terlihat misalnya dari Gorgias 483- 375 SM., yang tidak mengakui bahwa manusia bisa mendapatkan pengetahuan. Ia beranggapan tiadanya realitas, dan jika pun ada, manusia sama sekali tidak 56 Plato menjelaskan pandangan Protagoras dalam dialog antara Socrates dan Theatetus. Irwin Edman, ed., The Works of Plato, trans., The Jowet Translation New York: Simon and Schuster Inc., 1928, h. 494 57 Irwin Edman, ed., The Works of Plato, h. 495 mampu memahami realitas; jika pun bisa, maka manusia tidak bisa membicarakan pengetahuan tentang realitas itu. 58 Namun, ia pun pada akhirnya tidak memberikan penyelesaian terkait persoalan ini. Sebagai akibat dari diktum terkenal Protagoras dan Grogias tersebut, sudah menjadi kebiasaan kaum Sofis adalah sikap mereka yang cenderung tidak konsisten dalam berpendapat. Hari ini mereka mengatakan bahwa “a” adalah baik, tapi esok ketika ditanya tentang “a”, jawaban yang diberikan akan berbeda. Seseorang akhirnya tidak bisa memegang perkataan dan pendirian Sofis, karena bagi mereka sesuatu dapat berubah sesuai dengan keadaan. Sebagaimana kondisi manusia, yang selalu mengalami perubahan sepanjang waktu. Kondisi fisik dan batin manusia yang berubah, turut pula mempengaruhi segalanya. Apa yang didapat hari ini, dapat menjadi baik, tapi dapat pula menjadi buruk di kemudian hari, tergantung bagaimana kondisi seseorang. Yang terpenting adalah cara dalam pembuktian. Argumentasi yang kuat, digunakan untuk meyakinkan orang dan memenangkan perdebatan. Karena sikap dan pendirian kaum Sofis di atas, masyarakat Yunani berangsur-angsur beralih memihak Socrates 470-399 SM., dan para muridnya. Sebuah perjuangan yang melelahkan dengan harga yang teramat mahal—bahkan harus mengorbankan nyawa Socrates sendiri dengan meminum racun. Wacana epistemologi pada babak berikutnya dirumuskan lebih jelas oleh Plato 428-347 SM.—murid Socrates yang paling setia. Plato-lah orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan mendasar tentang epistemologi: “apa yang bisa kita ketahui?” 59 Pertanyaan sederhana ini menandai babak baru diskursus filosofis. Di kemudian hari, pertanyaan akan jauh lebih kompleks dan rumit. Munculnya 58 D.W. Hamlyn, “Epistemology,” h. 9 59 Robert Ackermann, Theories of Knowledge: A Critical Introduction New York: McGraw-Hill Company, 1965, h. 14 beragam gagasan dan ide bermuara untuk memecahkan kerumitan seputar pertanyaan tentang di manakah pengetahuan itu benar-benar dapat diperoleh, dan sebanyak apa pengetahuan bisa kita pikirkan? Apakah indera menyediakan pengetahuan? Bisakah akal memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan yang benar? Sederetan pertanyaan inilah yang dibahas Plato dan para filsuf dalam diskursus filosofis di masa-masa berikutnya. Paparan epistemologi dalam pembahasan selanjutnya, lebih diarahkan kepada masa tertentu sejak perumusan awalnya, dan langsung dilarikan ke zaman modern. Periodisasi ini dipilih, mengingat akar sejarah kemunculannya sangat diperlukan guna memetakan perkembangannya dari awal, dan zaman di saat perdebatan itu begitu ramai ketika Immanuel Kant hidup. Tidak dijelaskannya perdebatan epistemologis di zaman pertengahan, karena perhatian pemikir pada masa itu yang kurang memberi ruang pada pengembangan filsafat secara mandiri. Sebagaimana disebutkan Bertrand Russel, filsafat pada masa itu berada di bawah kendali agama Kristen. Filsafat digunakan untuk membentengi peran agama, sebagai alat penalaran yang memperkokoh iman. 60 Kebanyakan pemikir modern kerapkali mengritik hal itu, karena reduksi filsafat sebagai kajian dogmatis tidak membawa kebaikan sama sekali. Selain itu, alasan filsafat abad pertengahan tidak dibahas, mengingat dampaknya tidak terlalu signifikan bagi ulasan epistemologi Immanuel Kant. Sistem filsafat Kant, tidak menggali sumbernya dari filsafat abad pertengahan. Tapi, jelas memiliki akar yang kuat dari semangat kebangkitan Eropa pada masa modern. 60 Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day London: George Allen and Unwin Ltd., 1961, h. 303-306

B. Rasionalisme

Istilah rasionalisme berasal dari bahasa Latin ratio, bermakna akal. 61 Dalam diskursus filsafat, rasionalisme merujuk pada suatu kecenderungan para filsuf yang lebih menitikberatkan kemampuan akal sebagai kemampuan dalam menggapai pengetahuan. Akal dijadikan sumber utama dalam memperoleh pengetahuan. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, Parmenides sempat menyinggung pandangan semacam ini. Namun, gagasan yang paling jelas dan luas baru bisa dilacak di zaman klasik pada pemikiran Plato. Plato menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia bersumber dari dunia ide. Alam ide merupakan sumber segala sesuatu. Ia bersifat abadi, kekal, dan tak dapat diubah. Alam ide bersifat transenden. Segala sesuatu yang ada di alam semesta, merupakan perwujudan dari alam ide. Pengetahuan yang dihasilkan manusia, pada dasarnya merupakan penyingkapan atas apa yang ada di alam ide. Dunia ide adalah alam abadi, tempat segala sesuatu berasal. Ia menjadi prototype sesuatu di dunia. Jika a disebut “rumah” misalnya, maka sebenarnya konsep “rumah” sudah terdapat di dunia ide. Yang nampak di dunia adalah bayang-bayang atas konsep rumah yang abadi di alam ide. Pengetahuan bersifat universal. Ini berbeda dari keyakinan semata. Bagi Plato, pengetahuan berbeda dari keyakinan yang benar. Mungkin suatu pengetahuan terdiri dari keyakinan yang benar. Tapi keyakinan itu harus disertai dasar-dasar logos, 62 meskipun dalam prakteknya baik pengetahuan maupun keyakinan yang benar mengandung unsur kebaikan. Plato juga kurang memberikan penilaian positif pada indera. 61 Bernard Williams, “Rationalism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., VII New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972, h. 69 62 D.W. Hamlyn, “Epistemology,” h. 12 Bagi Plato, hasil pencerapan indera hanyalah objek dari opini. 63 Opini tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan valid serta universal. Opini tidaklah netral, dan karenanya perlu dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan dengan kontemplasi mendalam. Hasil kontemplasi merupakan bentuk pencitraan atas apa yang ada di dunia ide. Untuk dapat mengetahui hakekat sesuatu, maka orang perlu mengembangkan kemampuan penalarannya. Hal-hal yang dipikirkan manusia, sebenarnya sudah terlebih dahulu diketahui jiwa. Sesuatu yang inderawi mampu mengingatkan jiwa atas apa yang pernah diketahui, dan yang tidak diketahui oleh pengalaman: hakikat benda-benda. Manusia yang sudah terbebaskan dari unsur inderawi, mampu memahami hakekat segala sesuatu. Plato mencontohkan hal ini dengan kisah para tawanan yang berada di dalam gua, membelakangi api, menghadap ke dinding. Para tawanan mengira realitas yang sebenarnya adalah apa yang ditangkap oleh indera. Mereka pikir dunia adalah sejauh yang bisa dicerap indera; mereka tertipu dengan informasi inderawi. Padahal, dunia yang sebenarnya berada di luar ruang tahanan. Dunia yang sangat luas, tak terjangkau oleh indera. Plato mengisahkan bahwa seorang tawanan berhasil kabur. Ia keluar, dan menemukan kelapangan dunia. Ia kaget. Ia sadar bahwa dunia yang sebenarnya tidak seperti yang diyakini kawan- kawannya dalam tahanan. Karena tergerak kata hatinya, ia pun kembali untuk menyadarkan mereka. Tapi di saat kembali dan menceritakan kebenaran, ia malah dibenci. Mereka tak mempercayai apa yang dikatakannya. Akhirnya ia pergi keluar seorang diri. 64 Begitulah kisah orang yang berusaha memberikan penjelasan tentang hakekat kebenaran. Ia akan menghadapi pelbagai macam 63 D.W. Hamlyn, “Epistemology”, h. 10 64 Bertrand Russel, History of Western Philosophy, h. 141 rintangan, misalnya masyarakat yang tidak mampu berpikir sejauh pengalaman mereka. Mereka selalu mencela ketika dikabarkan kebenaran. Di abad Modern, rasionalisme menemukan sentuhan baru dalam pemikiran René Descartes 1596-1650. Bapak filsafat Modern ini menjadi pelopor rasionalisme dalam perdebatan epistemologi. Bahkan, pengaruhnya masih dirasakan sampai zaman Kant pada abad ke-18. Kelak kritik-kritik Kant terhadap rasionalisme antara lain ditujukan untuk menjawab gagasan yang diajukan olehnya. 65 Sistem epistemologi Descartes dimulai dengan sikap keragu-raguan. Pandangan semacam ini merupakan upaya sungguh-sungguh mencari akar yang kuat dan pasti sebagai fondasi bagi ilmu pengetahuan. Sistem Descartes disebut keraguan metodis la doute methodique. 66 Keraguan metodis adalah meragukan segala hal, termasuk prinsip-prinsip matematika, Tuhan bahkan mencakup eksistensi manusia. Pribadi manusia sebagai makhluk hidup, mungkin sekali tidak nyata. Mungkin kehidupan yang dialami saat ini hanya mimpi. Mungkin manusia tertipu, misalnya oleh setan yang sangat jahat. 67 Tidak ada yang bisa menjamin bahwa apa yang dialami bebas dari tipu muslihat. Keraguan Descartes pada titik ini tidak diarahkan menjadi sikap skeptis terhadap realitas. Keraguan tersebut merupakan sesuatu yang berasal dari dalam manusia itu sendiri, dan tidak berasal dari luar. Keraguan ini menemukan legitimasinya dalam kerja pikiran manusia yang sadar. Kesadaran adalah hal pokok yang mendasari filsafat Barat pada masa ini. Kesadaran dibentuk dalam skema berpikir. Pikiran manusia diupayakan menemukan suatu asas yang pasti 65 Norman F. Cantor and Peter L. Klein ed., Seventeenth-Century Rationalism: Bacon and Descartes Waltham: Blaisdell Publishing Company, 1969, h. 20 66 F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche Jakarta: Gramedia, 2007, h. 38 67 Norman F. Cantor and Peter L. Klein ed., Seventeenth-Century Rationalism, h. 120 dan memiliki legitimasi ilmiah yang kokoh. Apa yang disadari adalah kenyataan yang sebenarnya. Kesangsian adalah hal yang paling mungkin dialami manusia yang sadar diri. Keraguan adalah hal yang paling tidak mungkin diragukan, bahkan oleh orang yang paling ragu sekalipun. Keraguan itu dirumuskannya dalam kalimat, “cogito ergo sum: saya berpikir, maka saya ada”. Dalam karyanya, Discours de la Methode, Descartes berkata: “Thus, as our senses deceive us at times, I was ready to suppose that nothing was at all the way our senses represented them to be. As there are men who make mistakes in reasoning even on the simplest topics in geometry, I judge that I was as liable to error as any other, and rejected as false all the reasoning which I had previously accepted as valid demonstration. Finally, as the same percepts which we have when awake may come to us when asleep without their being true, I decided to suppose that nothing that had ever entered my mind was more real than the illusions of my dreams. But I soon noticed that while I thus wished to think everything false, it was necessarily true that I who thought so was something. Since this truth, “I think, therefore I am”, was so firm and assured that all the most extravagant suppositions of the skeptics were unable to shake it, I judged that I could safely accept it as the first principle of the philosophy I was seeking”. 68 Descartes beranggapan bahwa manusia memiliki sebuah perangkat ide dalam dirinya. Dari ide ini kelak muncul sejumlah pengetahuan. Ide tersebut berjumlah tiga: ide bawaan innate, ide yang didapat dari luar adventitious, dan ide yang diciptakan factitious. 69 Ide bawaan berfungsi membentuk seperangkat 68 “Jadi, karena indera menipu kita, saya telah mengira-ngira bahwa tak ada yang dihadirkan sebagaimana adanya oleh indera. Sebagaimana orang-orang membuat kesalahan- kesalahan dalam penalaran bahkan tentang topik-topik paling sederhana dalam geometri, saya memutuskan bahwa saya kemungkinan besar salah seperti yang lain dan menolak semua penalaran palsu yang saya terima sebelumnya sebagai demonstrasi valid. Akhirnya, hal-hal yang dicerap ketika kita sadar, mungkin hadir kepada kita sama seperti ketika kita tidur. Saya memutuskan untuk mengira-ngira bahwa tak ada yang memasuki pikiran saya lebih daripada ilusi mimpi-mimpi saya. Namun, saya segera melihat bahwa ketika saya bermaksud memikirkan segalanya salah, hal itu cukup benar bahwa saya yang berpikir adalah sesuatu yang ada. Karena kebenaran ini, “saya berpikir, maka saya ada,” sangat kokoh dan terjamin bahwa orang yang paling luarbiasa skeptis pun tak mampu menggoyahkannya. Saya menilai bahwa saya dapat menerima hal ini secara aman sebagai prinsip filsafat pertama yang saya cari.” René Descartes, Discourse on Method and Meditations, trans., Laurence J. Lafleur Indianapolis: Bobbs-Merrill Educational Publishing, 1982, h. 24 69 F. Cantor and Peter L. Klein ed., Seventeenth-Century Rationalism, h. 130 aturan dalam mendapatkan kepastian, kebenaran, yang berdasarkan asas-asas a priori dalam diri subjek. Ide kedua merupakan bentuk kesadaran atas benda-benda yang ada di luar diri subjek, semisal merasakan cuaca, mendengar kegaduhan, melihat gambaran sesuatu, dan sebagainya. Ide ketiga adalah pemikiran yang dihasilkan subjek. Dari ide yang dipaparkan di atas, Descartes melanjutkan suatu pembagian tentang substansi. Substansi tersebut terdiri dari Tuhan, pikiran, dan materi. 70 Ketiga hal tersebut adalah klasifikasi tentang ide-ide bawaan, dan merupakan substansi-substansi berbeda. Pikiran manusia diketahui sebagai wujud substansi yang pasti dan melekat pada diri manusia sejak lahir. Materi dalam bentuk tubuh manusia juga tidak dapat disangsikan keberadaannya, maka pendirian tentang keberadaannya tidak dapat diragukan. Sedangkan ide Tuhan disebutnya pula bagian dari ide bawaan, karena ide Tuhan juga tak terbantahkan. Tuhan adalah titik tolak untuk mencapai kebenaran. Model pembagian seperti ini ditentang keras oleh tokoh rasionalis lain, misalnya Baruch de Spinoza 1632-1677. Spinoza menawarkan monisme 71 yang mengatasi sistem Descartes. Ia mengajukan satu prinsip tunggal, substansi. Substansi menjadi sumber segalanya. Ide tentang Tuhan, materi, dan pikiran tidak lain adalah satu substansi. Mustahil bahwa terdapat ketiga substansi yang berbeda-beda, karena segala sesuatunya berada dalam kuasa Tuhan. Dengan begitu, semuanya adalah satu substansi. Tuhan tak jauh berbeda dari substansi tunggal, begitu pula alam materi. Tuhan yang menguasai alam, tidaklah berbeda dari alam yang dikuasainya. Oleh karena 70 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy Redland: American Book Company, 1951, h. 115 71 Monisme diartikan sebagai pandangan yang meyakini adanya kesatuan tunggal, dan menolak dualisme maupun pluralitas. Thomas Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 362