Konsep Dua Belas Kategori sebagai Turunan Derivation Dua Belas
Logika transendental menjadi arah bagi penjelasan kenapa munculnya konsep a priori dalam diri subjek. Logika transendental adalah pengetahuan yang
menentukan asal-usul, wilayah, dan validitas objektif kesadaran. Logika transendental hanya berurusan dengan hukum-hukum pemahaman dan akal,
sejauh kedua hal ini berkaitan dengan objek-objek secara a priori. Logika transendental tidak seperti halnya logika umum, atau tipe logika kedua yang
berfungsi sebagai alat. Logika transendental berhubungan, baik dengan hal empiris maupun kesadaran akal dengan tanpa perbedaan,
147
serta bukan menjadi alat semata. Secara keseluruhan, logika transendental terbagi menjadi dua: analitik
transendental dan dialektik transendental. Analitik transendental merupakan bagian dari logika transendental yang
menguraikan elemen-elemen kesadaran murni pemahaman dan prinsip-prinsip, yang tanpanya tak ada objek yang bisa dipikirkan.
148
Objek dalam hal ini sudah terlepas dari unsur luar dan berada dalam wilayah a priori. Kant membandingkan
logika transendental ini dengan estetika transendental. Yang pertama berurusan dengan upaya memisahkan pemahaman dari unsur-unsur luar, dan yang kedua
mengisolasi data inderawi dalam ruang dan waktu dari sensibilitas. Kegunaan analitik transendental adalah menemukan suatu hukum dan prinsip murni,
mengenai kesadaran subjek atas pemahaman yang telah diisolasi dari aspek empirisnya. Dengan begitu, pemahaman akan menemukan legitimasi keabsahan
informasi mengenai hubungan antara objeknya secara a priori. Adapun dialektik transendental berkaitan dengan kritik dialektik ilusi
pemahaman. Di sini kritik diarahkan kepada pemahaman dan akal, yang kerap kali
147
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 196-197
148
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 199
mendasarkan perkiraan pada ilusi. Kritik ini bertujuan agar pemahaman lepas dari pengaruh cara berpikir yang keliru, dengan menemukan kesalahan perkiraan yang
didapat tanpa penelusuran memadai terkait klaim kebenarannya. Kritik diakhiri pada titik kulminasinya, guna mencapai prinsip-prinsip transendental yang
memberi penilaian dan mengevaluasi pemahaman murni, menuntun pemahaman melawan tipu muslihat yang menyesatkan.
149
Dialektika transendental adalah proses terakhir setelah analitik transendental. Pada tahap ini, semua yang sudah
dimurnikan pada wilayah analitik, disatukan guna mencapai kesatuan menyeluruh. Dalam analitik transendetal, analisis ditujukan pada kesadaran murni a
priori ke dalam elemen-elemen kesadaran pemahaman murni. Kant menjelaskan beberapa poin terkait analisis tersebut sebagai berikut: 1 konsep-konsep yang
digunakan bersifat murni dan tidak empiris; 2 konsep tersebut bukan berasal dari intuisi, ataupun sensibilitas, melainkan pemikiran dan pemahaman; 3 merupakan
konsep elementer dan bisa secara jelas dibedakan dari turunannya, atau dari percampurannya; 4 skema konsep tersebut bersifat sempurna dan secara
keseluruhan menghabiskan keseluruhan pemahaman murni.
150
Dari kejelasan konsep ini, pemahaman murni tidak saja memisahkan dirinya dari sesuatu yang
empiris, tapi bahkan dari sensibilitas. Melalui konsep murni, akan didapatkan keseluruhan kesadaran pemahaman. Pembahasan berikutnya akan menguraikan
seputar konsep pemahaman murni, dan setelahnya dijelaskan prinsip-prinsip yang mengatur konsep tersebut.
Antara konsep pemahaman murni dan prinsip-prinsipnya harus ada hubungan yang memadai. Hubungan itu berjalan timbal-balik, dan menandai
149
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 200
150
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 201
kejelasan antara kesempurnaan keseluruhannya secara a priori. Bagi Kant, munculnya kesadaran diperoleh lewat pemahaman tentang sesuatu yang sudah
terbentuk dalam konsep-konsep. Munculnya konsep tersebut, terjadi setelah adanya penelusuran secara mendalam terkait beragam hal. Dengan begitu,
kesadaran diperoleh melalui diskursif, bukan intuitif.
151
Ia hadir diupayakan dengan kemampuan akal, bukan seketika dari luar.
Setiap konsep dalam pemahaman bekerja dengan fungsinya masing- masing. Melalui fungsi tersebut, pemahaman bekerja di bawah kesatuan aksi
terhadap representasi yang berbeda-beda di bawah satu kesamaan a common one.
152
Konsep-konsep tersebut berjalan sebagai pemikiran yang spontan, dan seketika. Perbedaannya dengan intuisi, yakni intuisi bekerja dalam tahap
penerimaan kesan-kesan dari luar secara seketika. Sedangkan konsep, merupakan pemikiran secara langsung terhadap data yang sudah diserap indera. Pemikiran
membuat putusan terhadap data yang sudah didapat dari luar. Selain itu, yang membedakan intuisi dari konsep a priori, yakni intuisi hanya berhubungan dengan
objek yang diintuisikan. Adapun konsep, selain berhubungan dengan objek yang dipikirkan, juga berhubungan dengan sejumlah representasi yang lain dalam
konsep-konsep yang beragam. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya penghubung antara konsep dengan objek-objek representasi tersebut. Kesadaran terhadap
objek, tidak serta merta datang secara langsung, tapi diupayakan lewat pemikiran, berupa putusan. Putusan menengahi antara konsep dan objek representasi.
Menurut Kant, dalam setiap putusan terdapat konsep yang berkaitan dengan banyak hal, termasuk yang hadir tanpa diupayakan given. Misalnya
151
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
152
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
putusan, “semua tubuh bisa dibagi”. Menurut Kant, konsep bisa dibagi berhubungan dengan konsep-konsep yang lain, misalnya dengan tubuh, bentuk,
berat, atau penampakan—sesuatu yang hadir tanpa diupayakan. Objek dalam putusan tersebut, dihadirkan melalui konsep dalam keterbagian. Semua putusan
pada dasarnya sama seperti itu. Contoh lain seperti konsep, “kuda”. Untuk bisa mengerti tentang kuda, contoh empiris bisa dengan mudah dihadirkan, yakni
berupa bentuk fisik dari kuda, dan penjelasan bahwa kuda adalah hewan herbivora. Namun, fakta empiris saja tidak cukup. Putusan mengarahkan sejumlah
penyelidikan abstrak, yang mengikat setiap jenis hewan yang menyerupai konsep kuda. Dalam hal ini, diperlukan penyelidikan secara logis, bahwa jika A adalah B,
dan B adalah C, maka A adalah C. Penjelasan silogistik semacam ini, menurut Kant tidak didapatkan dari fakta empiris, melainkan murni a priori.
153
Putusan apapun selalu merupakan fungsi-fungsi kesatuan di antara representasi, yang memungkinkan adanya representasi hal yang lebih luas atas
hal-hal yang bersifat partikular. Karena kesadaran terhadap objek dimediasi oleh putusan, sehingga bisa dikatakan bahwa pemahaman adalah fakultas untuk
memutuskan faculty for judging.
154
Dengan demikian, segala bentuk pemikiran pada dasarnya tidak bisa lepas dari putusan-putusan.
Putusan berada dalam skala rasional, yang bekerja dalam memberikan informasi terkait objek yang hadir melalui intuisi. Menurut Kant, jika kita
mengabstraksikan isi semua putusan secara umum, dan sampai pada bentuk pemahaman
murni, akan ditemukan bahwa fungsi
pemikiran dapat
153
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 52
154
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
dikelompokkan ke dalam empat jenis putusan. Tiap jenis putusan membawahi tiga keadaan moment. Daftar putusan tersebut dijelaskan berikut ini
155
:
. Putusan Kuantitas
Universal Partikular
Singular
. .
Putusan Kualitas Putusan Relasi
Affirmative Kategoris
Negative Hipotetis
Ketidakterbatasan infinite Disjunktif
. Putusan Modalitas
Problematis Penegasan Assertotic
Keniscayaan Apodictic Putusan yang pertama adalah kuantitas. Putusan ini berkaitan dengan
jumlah sesuatu. Sudah diketahui secara umum bahwa bilangan sesuatu berhubungan dengan sifat keumuman, kekhususan, atau kesatuan. Kant menyebut
yang pertama putusan universal. Yang kedua disebut partikular. Yang ketiga disebut singular. Ketiganya saling berkaitan, dan menentukan jumlah sesuatu
sebagai tujuannya. Contoh putusan universal semisal, “semua makhluk hidup pasti mati”. Dalam putusan ini, subjek makhluk mencakup segala sesuatu yang
bernyawa, tanpa pengecualian. Hal ini dapat dipahami secara sederhana. Tapi, perlu diperhatikan bahwa tiap-tiap putusan tidak bekerja sendiri-sendiri,
melainkan bersamaan dengan putusan-putusan lainnya.
156
Misalnya dalam contoh di atas, “semua makhluk hidup pasti mati”. Proposisi ini tidak saja merupakan
155
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 206
156
Paul Guyer, Kant New York: Routledge, 2007, h. 73
contoh putusan universal, tapi juga mengandung maksud putusan affirmatif, kategorikal, dan apodiktif.
Selanjutnya adalah putusan partikular. Misalnya jika bentuk subjek dalam contoh di atas diubah menjadi, “manusia pasti mati”. Maksud dalam kalimat ini
hanya berlaku pada jenis makhluk hidup yang disebut manusia, sehingga mengecualikan makhluk lainnya. Putusan jenis ini disebut partikular, karena
bersifat khusus. Selain itu, juga berisi maksud putusan affirmatif, kategoris, dan apodiktif. Kemudian, ketika subjek putusan itu diubah menjadi nama pribadi
seperti, “Budi pasti mati”, maka predikat dalam putusan ini hanya mencakup sosok tertentu. Kalimat ini termasuk dalam putusan singular, affrimatif, kategoris,
dan apodiktif. Bagian kedua adalah putusan kualitas. Putusan ini memiliki tiga bentuk.
157
Yang pertama adalah affirmatif, atau pengakuan. Pengakuan dimaksud pencakupan terhadap sesuatu. Misalnya putusan, “jiwa adalah elemen bagi
makhluk hidup”. Dalam putusan ini, predikatnya memberi pengakuan tentang suatu hal, yakni makhluk hidup. Putusan ini dikategorikan affirmatif, karena
mengandung makna penyetujuan. Selain itu, juga mengandung maksud putusan singular, kategoris, dan apodiktif.
Namun, jika contoh tersebut diubah dalam bentuk penolakan menjadi, “jiwa bukan elemen bagi makhluk hidup”, maka menjadi contoh putusan negatif,
singular, kategoris, dan problematik. Tapi, Kant tidak berhenti dalam wilayah ini. Baginya, jika suatu kalimat ditarik lebih jauh, maka dapat diketahui bahwa
maknanya berada dalam bentuk yang lebih luas tak terbatas. Misalnya dikatakan,
157
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 207-208
“itu bukan makhluk hidup”. Kalimat ini mencakup segala hal yang bukan makhluk hidup, dan tidak terbatas infinite. Kalimat tersebut, juga berisi maksud
putusan singular, kategoris, dan apodiktif. Sejak awal, Kant menyadari adanya hubungan yang mengikat antara
berbagai proposisi. Hubungan tersebut juga turut menandai kejelasan makna. Hal ini disebutnya putusan relasi. Kant membaginya menjadi: kategoris, hipotetis, dan
disjunktif.
158
Yang pertama adalah putusan yang terdiri dari subjek dan predikat. Dua komponen ini membentuk sebuah putusan, tanpa disertai unsur lain dari luar.
Contohnya seperti kalimat yang sudah disebutkan di atas, “manusia pasti mati”. Putusan ini dibentuk dalam susunan subjek-predikat, dalam bentuk satu proposisi,
serta dapat memberi makna tanpa mengaitkan unsur-unsur lain dari luar. Selain itu, juga berisi makna putusan singular, affirmatif, dan apodiktik.
Yang kedua adalah putusan yang dibentuk oleh dua proposisi. Jika yang ada hanya satu, maka tidak bisa memberi makna secara sempurna. Artinya,
keniscayaan hubungan kedua proposisi, menjadi unsur luar yang harus ada agar terbentuknya keseluruhan makna. Misalnya putusan, “air mendidih, karena
dipanaskan sampai 100 derajat celcius”. Putusan ini terdiri dari dua proposisi, yang bermakna secara sempurna dengan susunan dua proposisi. Meskipun
demikian, tiap-tiap proposisi sudah mengandung putusan sendiri, yakni singular, dan problematis. Yang ketiga adalah putusan yang dibentuk dari banyak proposisi.
Misalnya putusan, “dunia ada, apakah melalui kesempatan buta, atau melalui keniscayaan terdalam, atau karena sebab abadi”. Susunan kalimat ini secara
keseluruhan termasuk putusan disjunktif. Artinya, jika dunia terwujud tidak
158
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 208-209
menurut proposisi pertama, atau menurut proposisi kedua, atau ketiga, tidak ada kejelasan. Dalam putusan itu, tidak ada kontradiksi, sehingga termasuk jenis
putusan disjunktif tidak sempurna. Ketiga proposisi tersebut menempati putusan- putusan tertentu, yakni yang pertama singular, affrimatif, dan apodiktif; yang
kedua dan seterusnya adalah bentuk putusan singular, affirmatif, dan problematis. Bagian yang terakhir, yakni putusan modalitas, tidak memberikan
penjelasan tentang isi dari putusan. Putusan modalitas hanya berkenaan dengan masalah nilai copula
159
pengikat, dalam hubungan dengan pemikiran secara umum.
160
Kant mengakui bahwa putusan modalitas tidak selalu dinyatakan dalam ungkapan linguistik secara eksplisit.
161
Putusan ini terbagi menjadi tiga: problematik, assertotik, dan apodiktik. Misalnya dapat dilihat dalam kalimat, “jika
ada keadilan sejati, maka iblis jahat harus dihukum”. Dalam putusan ini, informasi yang dijelaskan berisi suatu maksud yang dikaitkan dengan kondisi subjek. Dalam
putusan problematis, analisis diarahkan pada kemungkinan dan ketidakmungkinan informasi. Perlu ditegaskan di sini bahwa semua putusan modalitas selalu
arbitrary. Artinya, memberi ruang terjadinya kemungkinan pemahaman menurut selera tertentu dari subjek. Putusan ini hanya berkesesuaian dengan sikap subjek,
daripada isi putusan itu sendiri.
162
Sehingga munculnya pemahaman berbeda, tetap bisa diterima. Dalam hal ini, kemungkinan terciptanya keadilan sejati
sehingga iblis jahat bisa dihukum, atau justru sebaliknya tidak ada keadilan sejati, menjadi wilayah persoalan bagaimana sikap subjek ketika menyatakan putusan.
159
Copula adalah ekspresi dalam kalimat, yang mengikat antara subjek dengan predikat. Tapi, jika predikat sudah melekat dengan subjeknya, maka copula tidak dibutuhkan lagi. Thomas
Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 113
160
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 209
161
Paul Guyer, Kant New York: Routledge, 2007, h. 74; Lihat juga, A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason Chicago: Chicago University Press, 1984,
h. 142
162
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 57
Kemungkinan apapun bisa terjadi, sejauh dipahami dalam ruang lingkup subjek. Meskipun demikian, masing-masing dari dua proposisi tersebut, merupakan
bentuk putusan tersendiri. Yang pertama adalah singular, affirmatif, dan problematik. Sedangkan bagian kedua adalah putusan singular, affirmatif, dan
assertotik. Putusan modalitas kedua, yakni assertotik, berhubungan dengan informasi
penegasan atau pun fakta aktual.
163
Misalnya dicontohkan berikut, “Immanuel Kant lahir di Königsberg”. Putusan ini membatasi informasi yang berisi fakta
dalam kenyataan. Selain itu, kalimat ini juga termasuk putusan singular, dan affirmatif. Sedangkan bagian ketiga, yakni apodiktik, adalah putusan yang berisi
keniscayaan. Misalnya dalam kalimat, “manusia pasti mati”. Putusan ini berkaitan dengan informasi yang bersifat niscaya bahwa manusia pasti mati. Kendati
putusan modalitas terkait dengan kehendak subjek, isi putusan apodiktif diarahkan untuk menjelaskan sesuatu yang bersifat niscaya berdasarkan pada pertimbangan
rasional. Selain itu berisi apodiktif, kalimat tersebut juga berisi putusan partikular, affirmatif, dan kategorikal.
Dengan ketiga bentuk putusan modalitas, proses pemikiran dapat dijelaskan dalam bentuk problematis, kepastian, dan keniscayaan. Ketiganya
berada dalam bentuk pemikiran rasional secara umum.
164
Kesemua putusan yang memiliki fungsi a priori tersebut, bekerja dalam upaya menjembatani antara objek dan kesadaran. Tanpa itu, kesadaran terhadap
data yang sudah ditempatkan dalam ruang dan waktu tidak bisa muncul. Dalam kerjanya, putusan mengarahkan sejumlah representasi objek dari ruang dan waktu
163
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 209
164
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 210
dalam satu kesadaran. Keragaman objek diolah dan ditempatkan ke dalam skala yang lebih sederhana. Fungsi ini menimbulkan sebuah sintesis, antara pelbagai
bentuk objek. Sintesis tersebut bersifat murni.
165
Sintesis murni tersebut mengumpulkan elemen-elemen dasar kesadaran, dan menyatukan mereka dalam bentuk-bentuk tertentu. Bentuk tersebut adalah hal
pertama yang menandai asal-usul munculnya kesadaran. Kesadaran dibentuk atas dasar informasi menyeluruh yang diperoleh dari penyelidikan terhadap objek.
Sintesis murni atas objek kemudian menghasilkan konsep-konsep pemahaman murni. Konsep-konsep pemahaman murni ini adalah hasil terjadinya sintesis
murni.
166
Di dalam konsep-konsep murni, secara analitis segala jenis representasi yang berbeda disatukan. Logika transendental mengarahkan sintesis murni
representasi di bawah satu konsep pemahaman. Ketika konsep pemahaman sudah didapatkan, hal pertama yang hadir
secara a priori bagi kesadaran atas semua objek adalah keragaman intuisi murni. Setelah itu, muncul sintesis keragaman, yang diperoleh melalui imajinasi. Namun,
kedua hal itu belum bisa menghasilkan kesadaran secara utuh. Dibutuhkan hal lain agar kesadaran bisa muncul, yakni konsep yang memberikan kesatuan sintesis
murni, yang terdiri hanya dalam representasi kesatuan sintetis.
167
Kant menjelaskan bahwa konsep murni pemahaman diterapkan pada objek intuisi
secara umum dan bersifat a priori.
168
Kant menyebut konsep-konsep murni pemahaman sebagai kategori. Berikut bagan keseluruhan kategori tersebut:
165
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 210
166
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 211
167
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 211
168
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 212
. Kategori Kuantitas
Kesatuan Unity Pluralitas Plurality
Totalitas Totality
. .
Kategori Kualitas Kategori Relasi
Realitas Substansi dan Aksidensi Substantia et Accident
Negasi Kausalitas dan Ketergantungan
Limitasi Komunitas
. Kategori Modalitas
Kemungkinan-Kemustahilan Eksistensi-Non-Eksistensi
Keniscayaan-Kontingensi Meskipun istilah kategori sudah digunakan Aristoteles, pengertian dan
jumlah kategori menurut Kant, berbeda sama sekali. Kategori dalam pengertian Kant diartikan sebagai elemen dalam semua pengetahuan, dan berjumlah dua
belas. Sedangkan Aristoteles mengartikan kategori sebagai kind of predication sejenis predikat, atau kind of being sejenis wujud, dan berjumlah sepuluh buah,
yakni: substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, kepemilikan, aktivitas, dan kepasifan.
169
Kant mengakui bahwa Aristoteles sudah membuka jalan penyelidikan luar biasa dalam masalah ini.
Namun, karena tidak memiliki prinsip secara menyeluruh, Aristoteles hanya mengumpulkan dan mendatanya secara tidak sempurna. Penjelasannya
masih mengandung sejumlah celah, karena tidak mencakup keseluruhan konsep- konsep pemahaman murni. Bagi Kant, semua kategori adalah konsep-konsep
leluhur pemahaman murni ancestral concepts of pure understanding yang memiliki sejumlah konsep turunan derivative concepts, sebagai kesempurnaan
169
Thomas Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 89
sistem filsafat transendental. Bisa dikatakan bahwa kategori tersebut adalah predicables
170
pemahaman murni.
171
Kedua belas kategori dalam penjelasan Kant, dikelompokkan menjadi empat tema utama, bekerja dalam tatanan rasional, dan merupakan turunan
derivation dari empat jenis putusan. Sehingga dalam penjelasan fungsinya masing-masing, tidak bisa mengesampingkan bagaimana sebuah putusan bekerja.
Kategori merupakan konsep pemahaman murni, yang diterapkan pada semua elemen objek. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kategori tersebut, dalam
skala ketat, memberi legitimasi pertimbangan rasional yang terlepas dari unsur a posteriori. Menurut Kant, segala pertimbangan subjek terhadap penampakkan
objek selalu berkesuaian dengan kategori-kategori tersebut. Kant berkata: “Categories are concepts that describe laws a priori to appearances, thus
to nature as the sum total of all appearances nature materialiter spectata…”
Ia melanjutkan, “…thus on the categories, all possible perceptions, hence everything that
can ever reach empirical counsciousness, i.e., all appearances of nature, as far as their combination is concerned, stand under the categories, on
which nature considered merely as nature in general depends, as the original ground of its necessary lawfulness as natura formaliter
spectata”
172
170
Istilah umum dalam logika yang menunjuk pada predikat. Penggunaannya sudah digunakan sejak Aristoteles dalam lima bentuk: horos, idiom, genos, diaphora, symbebēkos.
Thomas Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 442-443
171
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 213
172
“Kategori-kategori adalah konsep-konsep yang menggambarkan hukum a priori terhadap penampakkan, demikian pula terhadap alam sebagai jumlah total semua penampakkan
nature materialiter spectata…” Ia melanjutkan, “…jadi, pada kategori, semua persepsi yang mungkin, karena segala hal yang bisa mencapai kesadaran empiris, yakni semua penampakkan
alam sejauh perhatian kombinasi mereka, berdiri di bawah kategori-kategori, di mana alam dipertimbangkan hanya sebagai alam secara umum bergantung, sebagai dasar yang asli bagi
keabsahan hukum yang mungkin sebagai natura formaliter spectata”. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 263
Kategori-kategori itu ditempatkan dan diterapkan dalam memahami keberadaan objek, dengan menggambarkan hukum a priori terhadap
penampakkan, sekaligus terhadap alam sebagai jumlah total penampakkan. Kategori-kategori tersebut bekerja bersama-sama. Sehingga dalam satu proposisi
diketemukan beberapa bentuk kategori. Berikut ini penjelasan satu persatu kedua belas kategori tersebut.