Konsep Dua Belas Kategori sebagai Turunan Derivation Dua Belas
                                                                                Logika  transendental  menjadi  arah  bagi  penjelasan  kenapa  munculnya konsep a priori dalam diri subjek. Logika transendental adalah pengetahuan yang
menentukan  asal-usul,  wilayah,  dan  validitas  objektif  kesadaran.  Logika transendental  hanya  berurusan  dengan  hukum-hukum  pemahaman  dan  akal,
sejauh  kedua  hal  ini  berkaitan  dengan  objek-objek  secara  a  priori.  Logika transendental  tidak  seperti  halnya  logika  umum,  atau  tipe  logika  kedua  yang
berfungsi  sebagai  alat.  Logika  transendental  berhubungan,  baik  dengan  hal empiris  maupun  kesadaran  akal  dengan  tanpa perbedaan,
147
serta  bukan  menjadi alat semata. Secara keseluruhan, logika transendental terbagi menjadi dua: analitik
transendental dan dialektik transendental. Analitik  transendental  merupakan  bagian  dari  logika  transendental  yang
menguraikan  elemen-elemen  kesadaran  murni  pemahaman  dan  prinsip-prinsip, yang  tanpanya  tak  ada  objek  yang  bisa dipikirkan.
148
Objek  dalam  hal  ini sudah terlepas dari unsur luar dan berada dalam wilayah a priori. Kant membandingkan
logika  transendental  ini  dengan  estetika  transendental.  Yang  pertama  berurusan dengan  upaya  memisahkan  pemahaman  dari  unsur-unsur  luar,  dan  yang  kedua
mengisolasi  data  inderawi  dalam  ruang  dan  waktu  dari  sensibilitas.  Kegunaan analitik  transendental  adalah  menemukan  suatu  hukum  dan  prinsip  murni,
mengenai  kesadaran  subjek  atas  pemahaman  yang  telah  diisolasi  dari  aspek empirisnya.  Dengan  begitu,  pemahaman  akan  menemukan  legitimasi  keabsahan
informasi mengenai hubungan antara objeknya secara a priori. Adapun  dialektik  transendental  berkaitan  dengan  kritik  dialektik  ilusi
pemahaman. Di sini kritik diarahkan kepada pemahaman dan akal, yang kerap kali
147
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 196-197
148
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 199
mendasarkan perkiraan pada ilusi. Kritik ini bertujuan agar pemahaman lepas dari pengaruh cara berpikir yang keliru, dengan menemukan kesalahan perkiraan yang
didapat  tanpa  penelusuran  memadai  terkait  klaim  kebenarannya.  Kritik  diakhiri pada  titik  kulminasinya,  guna  mencapai  prinsip-prinsip  transendental  yang
memberi  penilaian  dan  mengevaluasi  pemahaman  murni,  menuntun  pemahaman melawan  tipu  muslihat  yang  menyesatkan.
149
Dialektika  transendental  adalah proses  terakhir  setelah  analitik  transendental.  Pada  tahap  ini,  semua  yang  sudah
dimurnikan pada wilayah analitik, disatukan guna mencapai kesatuan menyeluruh. Dalam  analitik  transendetal,  analisis  ditujukan  pada  kesadaran  murni  a
priori  ke  dalam  elemen-elemen  kesadaran  pemahaman murni. Kant  menjelaskan beberapa  poin  terkait  analisis  tersebut  sebagai  berikut:  1  konsep-konsep  yang
digunakan bersifat murni dan tidak empiris; 2 konsep tersebut bukan berasal dari intuisi, ataupun sensibilitas, melainkan pemikiran dan pemahaman; 3 merupakan
konsep  elementer  dan  bisa  secara  jelas  dibedakan  dari  turunannya,  atau  dari percampurannya;  4  skema  konsep  tersebut  bersifat  sempurna  dan  secara
keseluruhan  menghabiskan  keseluruhan  pemahaman  murni.
150
Dari  kejelasan konsep  ini,  pemahaman  murni  tidak  saja  memisahkan  dirinya  dari  sesuatu  yang
empiris,  tapi  bahkan  dari  sensibilitas.  Melalui  konsep  murni,  akan  didapatkan keseluruhan  kesadaran  pemahaman.  Pembahasan  berikutnya  akan  menguraikan
seputar konsep pemahaman murni, dan setelahnya dijelaskan prinsip-prinsip yang mengatur konsep tersebut.
Antara  konsep  pemahaman  murni  dan  prinsip-prinsipnya  harus  ada hubungan  yang  memadai.  Hubungan  itu  berjalan  timbal-balik,  dan  menandai
149
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 200
150
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 201
kejelasan  antara  kesempurnaan  keseluruhannya  secara  a  priori.  Bagi  Kant, munculnya  kesadaran  diperoleh  lewat  pemahaman  tentang  sesuatu  yang  sudah
terbentuk  dalam  konsep-konsep.  Munculnya  konsep  tersebut,  terjadi  setelah adanya  penelusuran  secara  mendalam  terkait  beragam  hal.  Dengan  begitu,
kesadaran  diperoleh  melalui  diskursif,  bukan  intuitif.
151
Ia  hadir  diupayakan dengan kemampuan akal, bukan seketika dari luar.
Setiap  konsep  dalam  pemahaman  bekerja  dengan  fungsinya  masing- masing.  Melalui  fungsi  tersebut,  pemahaman  bekerja  di  bawah  kesatuan  aksi
terhadap  representasi  yang  berbeda-beda  di  bawah  satu  kesamaan  a  common one.
152
Konsep-konsep  tersebut  berjalan  sebagai  pemikiran  yang  spontan,  dan seketika.  Perbedaannya  dengan  intuisi,  yakni  intuisi  bekerja  dalam  tahap
penerimaan kesan-kesan dari luar secara seketika. Sedangkan konsep, merupakan pemikiran  secara  langsung  terhadap  data  yang  sudah  diserap  indera.  Pemikiran
membuat  putusan  terhadap  data  yang  sudah  didapat  dari  luar.  Selain  itu,  yang membedakan intuisi dari konsep a priori, yakni intuisi hanya berhubungan dengan
objek  yang diintuisikan. Adapun  konsep, selain berhubungan dengan objek  yang dipikirkan,  juga  berhubungan  dengan  sejumlah  representasi  yang  lain  dalam
konsep-konsep  yang  beragam.  Oleh  karena  itu,  dibutuhkan  adanya  penghubung antara  konsep  dengan  objek-objek  representasi  tersebut.  Kesadaran  terhadap
objek, tidak serta merta datang secara langsung, tapi diupayakan lewat pemikiran, berupa putusan. Putusan menengahi antara konsep dan objek representasi.
Menurut  Kant,  dalam  setiap  putusan  terdapat  konsep  yang  berkaitan dengan  banyak  hal,  termasuk  yang  hadir  tanpa  diupayakan  given.  Misalnya
151
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
152
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
putusan,  “semua  tubuh  bisa  dibagi”.  Menurut  Kant,  konsep  bisa  dibagi berhubungan  dengan  konsep-konsep  yang  lain,  misalnya  dengan  tubuh,  bentuk,
berat,  atau  penampakan—sesuatu  yang  hadir  tanpa  diupayakan.  Objek  dalam putusan  tersebut,  dihadirkan  melalui  konsep  dalam  keterbagian.  Semua  putusan
pada  dasarnya  sama  seperti  itu.  Contoh  lain  seperti  konsep,  “kuda”.  Untuk  bisa mengerti  tentang  kuda,  contoh  empiris  bisa  dengan  mudah  dihadirkan,  yakni
berupa  bentuk  fisik  dari  kuda,  dan  penjelasan  bahwa  kuda  adalah  hewan herbivora. Namun, fakta empiris saja tidak cukup. Putusan mengarahkan sejumlah
penyelidikan abstrak, yang mengikat setiap jenis hewan yang menyerupai konsep kuda. Dalam hal ini, diperlukan penyelidikan secara logis, bahwa jika A adalah B,
dan  B  adalah  C,  maka  A  adalah  C.  Penjelasan  silogistik  semacam  ini,  menurut Kant tidak didapatkan dari fakta empiris, melainkan murni a priori.
153
Putusan  apapun  selalu  merupakan  fungsi-fungsi  kesatuan  di  antara representasi,  yang  memungkinkan  adanya  representasi  hal  yang  lebih  luas  atas
hal-hal  yang bersifat partikular. Karena  kesadaran terhadap objek dimediasi oleh putusan,  sehingga  bisa  dikatakan  bahwa  pemahaman  adalah  fakultas  untuk
memutuskan faculty for judging.
154
Dengan demikian, segala bentuk pemikiran pada dasarnya tidak bisa lepas dari putusan-putusan.
Putusan  berada  dalam  skala  rasional,  yang  bekerja  dalam  memberikan informasi  terkait  objek  yang  hadir  melalui  intuisi.  Menurut  Kant,  jika  kita
mengabstraksikan  isi  semua  putusan  secara  umum,  dan  sampai  pada  bentuk pemahaman
murni,  akan  ditemukan  bahwa fungsi
pemikiran  dapat
153
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 52
154
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
dikelompokkan ke dalam empat jenis putusan. Tiap jenis putusan membawahi tiga keadaan moment. Daftar putusan tersebut dijelaskan berikut ini
155
:
. Putusan Kuantitas
Universal Partikular
Singular
. .
Putusan Kualitas Putusan Relasi
Affirmative Kategoris
Negative Hipotetis
Ketidakterbatasan infinite                                                                  Disjunktif
. Putusan Modalitas
Problematis Penegasan Assertotic
Keniscayaan Apodictic Putusan  yang  pertama  adalah  kuantitas.  Putusan  ini  berkaitan  dengan
jumlah  sesuatu.  Sudah  diketahui  secara  umum  bahwa  bilangan  sesuatu berhubungan dengan sifat keumuman, kekhususan, atau kesatuan. Kant menyebut
yang  pertama  putusan  universal.  Yang  kedua  disebut  partikular.  Yang  ketiga disebut  singular.  Ketiganya  saling  berkaitan,  dan  menentukan  jumlah  sesuatu
sebagai  tujuannya.  Contoh  putusan  universal  semisal,  “semua  makhluk  hidup pasti  mati”.  Dalam  putusan  ini,  subjek  makhluk  mencakup  segala  sesuatu  yang
bernyawa,  tanpa  pengecualian.  Hal  ini  dapat  dipahami  secara  sederhana.  Tapi, perlu  diperhatikan  bahwa  tiap-tiap  putusan  tidak  bekerja  sendiri-sendiri,
melainkan bersamaan dengan putusan-putusan lainnya.
156
Misalnya dalam contoh di  atas,  “semua  makhluk  hidup  pasti  mati”.  Proposisi  ini  tidak  saja  merupakan
155
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 206
156
Paul Guyer, Kant New York: Routledge, 2007, h. 73
contoh  putusan  universal,  tapi  juga  mengandung  maksud  putusan  affirmatif, kategorikal, dan apodiktif.
Selanjutnya adalah putusan partikular. Misalnya jika bentuk subjek dalam contoh di  atas  diubah  menjadi,  “manusia  pasti mati”.  Maksud dalam  kalimat  ini
hanya  berlaku  pada  jenis  makhluk  hidup  yang  disebut  manusia,  sehingga mengecualikan  makhluk  lainnya.  Putusan  jenis  ini  disebut  partikular,  karena
bersifat  khusus. Selain  itu,  juga  berisi  maksud putusan  affirmatif,  kategoris,  dan apodiktif.  Kemudian,  ketika  subjek  putusan  itu  diubah  menjadi  nama  pribadi
seperti,  “Budi  pasti  mati”,  maka  predikat  dalam  putusan  ini  hanya  mencakup sosok tertentu. Kalimat ini termasuk dalam putusan singular, affrimatif, kategoris,
dan apodiktif. Bagian kedua adalah putusan kualitas. Putusan ini memiliki tiga bentuk.
157
Yang  pertama  adalah  affirmatif,  atau  pengakuan.  Pengakuan  dimaksud pencakupan  terhadap  sesuatu.  Misalnya  putusan,  “jiwa  adalah  elemen  bagi
makhluk  hidup”.  Dalam  putusan  ini,  predikatnya  memberi  pengakuan  tentang suatu  hal,  yakni  makhluk  hidup.  Putusan  ini  dikategorikan  affirmatif,  karena
mengandung  makna  penyetujuan.  Selain  itu,  juga  mengandung  maksud  putusan singular, kategoris, dan apodiktif.
Namun,  jika  contoh  tersebut  diubah  dalam  bentuk  penolakan  menjadi, “jiwa bukan elemen bagi makhluk hidup”, maka menjadi contoh putusan negatif,
singular, kategoris, dan problematik. Tapi, Kant tidak berhenti dalam wilayah ini. Baginya,  jika  suatu  kalimat  ditarik  lebih  jauh,  maka  dapat  diketahui  bahwa
maknanya berada dalam bentuk yang lebih luas tak terbatas. Misalnya dikatakan,
157
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 207-208
“itu  bukan  makhluk  hidup”.  Kalimat  ini  mencakup  segala  hal  yang  bukan makhluk hidup, dan tidak terbatas infinite. Kalimat tersebut, juga berisi maksud
putusan singular, kategoris, dan apodiktif. Sejak  awal,  Kant  menyadari  adanya  hubungan  yang  mengikat  antara
berbagai proposisi. Hubungan tersebut juga turut menandai kejelasan makna. Hal ini disebutnya putusan relasi. Kant membaginya menjadi: kategoris, hipotetis, dan
disjunktif.
158
Yang pertama adalah putusan yang terdiri dari subjek dan predikat. Dua komponen ini membentuk sebuah putusan, tanpa disertai unsur lain dari luar.
Contohnya seperti  kalimat  yang  sudah  disebutkan  di  atas,  “manusia  pasti  mati”. Putusan ini dibentuk dalam susunan subjek-predikat, dalam bentuk satu proposisi,
serta  dapat  memberi  makna  tanpa  mengaitkan  unsur-unsur  lain  dari  luar.  Selain itu, juga berisi makna putusan singular, affirmatif, dan apodiktik.
Yang  kedua  adalah  putusan  yang  dibentuk  oleh  dua  proposisi.  Jika  yang ada  hanya  satu,  maka  tidak  bisa  memberi  makna  secara  sempurna.  Artinya,
keniscayaan  hubungan  kedua  proposisi,  menjadi  unsur  luar  yang  harus  ada  agar terbentuknya  keseluruhan  makna.  Misalnya  putusan,  “air  mendidih,  karena
dipanaskan  sampai  100  derajat  celcius”.  Putusan  ini  terdiri  dari  dua  proposisi, yang  bermakna  secara  sempurna  dengan  susunan  dua  proposisi.  Meskipun
demikian,  tiap-tiap proposisi  sudah  mengandung  putusan  sendiri,  yakni  singular, dan problematis. Yang ketiga adalah putusan yang dibentuk dari banyak proposisi.
Misalnya  putusan,  “dunia  ada,  apakah  melalui  kesempatan  buta,  atau  melalui keniscayaan  terdalam,  atau  karena  sebab  abadi”.  Susunan  kalimat  ini  secara
keseluruhan  termasuk  putusan  disjunktif.  Artinya,  jika  dunia  terwujud  tidak
158
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 208-209
menurut proposisi  pertama,  atau  menurut proposisi  kedua,  atau  ketiga,  tidak  ada kejelasan.  Dalam  putusan  itu,  tidak  ada  kontradiksi,  sehingga  termasuk  jenis
putusan disjunktif tidak sempurna. Ketiga proposisi tersebut menempati putusan- putusan  tertentu,  yakni  yang  pertama  singular,  affrimatif,  dan  apodiktif;  yang
kedua dan seterusnya adalah bentuk putusan singular, affirmatif, dan problematis. Bagian  yang  terakhir,  yakni  putusan  modalitas,  tidak  memberikan
penjelasan  tentang  isi  dari  putusan.  Putusan  modalitas  hanya  berkenaan  dengan masalah  nilai  copula
159
pengikat,  dalam  hubungan  dengan  pemikiran  secara umum.
160
Kant mengakui bahwa putusan modalitas tidak selalu dinyatakan dalam ungkapan  linguistik  secara  eksplisit.
161
Putusan  ini  terbagi  menjadi  tiga: problematik, assertotik, dan apodiktik. Misalnya dapat dilihat dalam kalimat, “jika
ada keadilan sejati, maka iblis jahat harus dihukum”. Dalam putusan ini, informasi yang dijelaskan berisi suatu maksud yang dikaitkan dengan kondisi subjek. Dalam
putusan problematis, analisis diarahkan pada kemungkinan dan ketidakmungkinan informasi.  Perlu  ditegaskan  di  sini  bahwa  semua  putusan  modalitas  selalu
arbitrary. Artinya, memberi ruang terjadinya  kemungkinan pemahaman menurut selera tertentu dari subjek. Putusan ini hanya berkesesuaian dengan sikap subjek,
daripada  isi  putusan  itu  sendiri.
162
Sehingga  munculnya  pemahaman  berbeda, tetap  bisa  diterima.  Dalam  hal  ini,  kemungkinan  terciptanya  keadilan  sejati
sehingga iblis jahat bisa dihukum, atau justru sebaliknya tidak ada keadilan sejati, menjadi  wilayah  persoalan  bagaimana  sikap  subjek  ketika  menyatakan  putusan.
159
Copula adalah ekspresi dalam kalimat, yang mengikat antara subjek dengan predikat. Tapi, jika predikat sudah  melekat dengan subjeknya, maka copula tidak dibutuhkan lagi. Thomas
Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 113
160
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 209
161
Paul  Guyer,  Kant  New  York:  Routledge,  2007,  h.  74;  Lihat  juga,  A.C.  Ewing,  A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason Chicago: Chicago University Press, 1984,
h. 142
162
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 57
Kemungkinan  apapun  bisa  terjadi,  sejauh  dipahami  dalam  ruang  lingkup  subjek. Meskipun  demikian,  masing-masing  dari  dua  proposisi  tersebut,  merupakan
bentuk  putusan  tersendiri.  Yang  pertama  adalah  singular,  affirmatif,  dan problematik.  Sedangkan  bagian  kedua  adalah  putusan  singular,  affirmatif,  dan
assertotik. Putusan modalitas kedua, yakni assertotik, berhubungan dengan informasi
penegasan  atau  pun  fakta  aktual.
163
Misalnya  dicontohkan  berikut,  “Immanuel Kant  lahir  di  Königsberg”.  Putusan  ini  membatasi  informasi  yang  berisi  fakta
dalam  kenyataan.  Selain  itu,  kalimat  ini  juga  termasuk  putusan  singular,  dan affirmatif. Sedangkan bagian  ketiga,  yakni apodiktik, adalah putusan  yang berisi
keniscayaan. Misalnya dalam kalimat, “manusia pasti mati”. Putusan ini berkaitan dengan  informasi  yang  bersifat  niscaya  bahwa  manusia  pasti  mati.  Kendati
putusan modalitas terkait dengan kehendak subjek, isi putusan apodiktif diarahkan untuk menjelaskan sesuatu  yang bersifat niscaya  berdasarkan pada pertimbangan
rasional. Selain itu berisi apodiktif, kalimat tersebut juga berisi putusan partikular, affirmatif, dan kategorikal.
Dengan  ketiga  bentuk  putusan  modalitas,  proses  pemikiran  dapat dijelaskan  dalam  bentuk  problematis,  kepastian,  dan  keniscayaan.  Ketiganya
berada dalam bentuk pemikiran rasional secara umum.
164
Kesemua  putusan  yang  memiliki  fungsi  a  priori  tersebut,  bekerja  dalam upaya  menjembatani  antara  objek  dan  kesadaran.  Tanpa  itu,  kesadaran  terhadap
data  yang  sudah  ditempatkan  dalam  ruang  dan  waktu tidak  bisa muncul.  Dalam kerjanya, putusan mengarahkan sejumlah representasi objek dari ruang dan waktu
163
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 209
164
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 210
dalam  satu  kesadaran.  Keragaman  objek  diolah  dan  ditempatkan  ke  dalam  skala yang  lebih  sederhana.  Fungsi  ini  menimbulkan  sebuah  sintesis,  antara  pelbagai
bentuk objek. Sintesis tersebut bersifat murni.
165
Sintesis  murni  tersebut  mengumpulkan  elemen-elemen  dasar  kesadaran, dan menyatukan mereka dalam bentuk-bentuk tertentu. Bentuk tersebut adalah hal
pertama yang menandai asal-usul munculnya kesadaran. Kesadaran dibentuk atas dasar  informasi  menyeluruh  yang  diperoleh  dari  penyelidikan  terhadap  objek.
Sintesis  murni  atas  objek  kemudian  menghasilkan  konsep-konsep  pemahaman murni.  Konsep-konsep  pemahaman  murni  ini  adalah  hasil  terjadinya  sintesis
murni.
166
Di dalam konsep-konsep murni, secara analitis segala jenis representasi yang  berbeda  disatukan.  Logika  transendental  mengarahkan  sintesis  murni
representasi di bawah satu konsep pemahaman. Ketika  konsep  pemahaman  sudah  didapatkan,  hal  pertama  yang  hadir
secara a priori bagi kesadaran atas semua objek adalah keragaman intuisi murni. Setelah itu, muncul sintesis keragaman, yang diperoleh melalui imajinasi. Namun,
kedua hal itu belum bisa menghasilkan kesadaran secara utuh. Dibutuhkan hal lain agar  kesadaran  bisa  muncul,  yakni  konsep  yang  memberikan  kesatuan  sintesis
murni,  yang  terdiri  hanya  dalam  representasi  kesatuan  sintetis.
167
Kant menjelaskan  bahwa  konsep  murni  pemahaman  diterapkan  pada  objek  intuisi
secara  umum  dan  bersifat  a  priori.
168
Kant  menyebut  konsep-konsep  murni pemahaman sebagai kategori. Berikut bagan keseluruhan kategori tersebut:
165
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 210
166
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 211
167
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 211
168
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 212
. Kategori Kuantitas
Kesatuan Unity Pluralitas Plurality
Totalitas Totality
. .
Kategori Kualitas Kategori Relasi
Realitas Substansi dan Aksidensi Substantia et Accident
Negasi Kausalitas dan Ketergantungan
Limitasi Komunitas
. Kategori Modalitas
Kemungkinan-Kemustahilan Eksistensi-Non-Eksistensi
Keniscayaan-Kontingensi Meskipun  istilah  kategori  sudah  digunakan  Aristoteles,  pengertian  dan
jumlah  kategori  menurut  Kant,  berbeda  sama  sekali.  Kategori  dalam  pengertian Kant  diartikan  sebagai  elemen  dalam  semua  pengetahuan,  dan  berjumlah  dua
belas.  Sedangkan  Aristoteles  mengartikan  kategori  sebagai  kind  of  predication sejenis predikat, atau kind of being sejenis wujud, dan berjumlah sepuluh buah,
yakni:  substansi,  kuantitas,  kualitas,  relasi,  tempat,  waktu,  posisi,  kepemilikan, aktivitas,  dan  kepasifan.
169
Kant  mengakui  bahwa  Aristoteles  sudah  membuka jalan penyelidikan luar biasa dalam masalah ini.
Namun,  karena  tidak  memiliki  prinsip  secara  menyeluruh,  Aristoteles hanya  mengumpulkan  dan  mendatanya  secara  tidak  sempurna.  Penjelasannya
masih mengandung  sejumlah celah,  karena tidak  mencakup keseluruhan  konsep- konsep  pemahaman  murni.  Bagi  Kant,  semua  kategori  adalah  konsep-konsep
leluhur  pemahaman  murni  ancestral  concepts  of  pure  understanding  yang memiliki  sejumlah  konsep  turunan  derivative  concepts,  sebagai  kesempurnaan
169
Thomas Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 89
sistem  filsafat  transendental.  Bisa  dikatakan  bahwa  kategori  tersebut  adalah predicables
170
pemahaman murni.
171
Kedua  belas  kategori  dalam  penjelasan  Kant,  dikelompokkan  menjadi empat  tema  utama,  bekerja  dalam  tatanan  rasional,  dan  merupakan  turunan
derivation  dari  empat  jenis  putusan.  Sehingga  dalam  penjelasan  fungsinya masing-masing, tidak bisa mengesampingkan bagaimana sebuah putusan bekerja.
Kategori  merupakan  konsep  pemahaman  murni,  yang  diterapkan  pada  semua elemen  objek.  Secara  sederhana  dapat  dikatakan  bahwa  kategori  tersebut, dalam
skala ketat, memberi legitimasi pertimbangan rasional  yang terlepas dari unsur a posteriori.  Menurut  Kant,  segala  pertimbangan  subjek  terhadap  penampakkan
objek selalu berkesuaian dengan kategori-kategori tersebut. Kant berkata: “Categories are concepts that describe laws a priori to appearances, thus
to  nature  as  the  sum  total  of  all  appearances  nature  materialiter spectata…”
Ia melanjutkan, “…thus on the categories, all possible perceptions, hence everything that
can  ever  reach  empirical  counsciousness, i.e., all  appearances of nature, as  far as  their  combination  is  concerned,  stand  under  the  categories, on
which  nature  considered  merely  as  nature  in  general  depends,  as  the original  ground  of  its  necessary  lawfulness  as  natura  formaliter
spectata”
172
170
Istilah  umum  dalam  logika  yang  menunjuk  pada  predikat.  Penggunaannya  sudah digunakan  sejak  Aristoteles  dalam  lima  bentuk:  horos,  idiom,  genos,  diaphora,  symbebēkos.
Thomas Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 442-443
171
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 213
172
“Kategori-kategori  adalah  konsep-konsep  yang  menggambarkan  hukum  a  priori terhadap  penampakkan,  demikian  pula  terhadap  alam  sebagai  jumlah  total  semua  penampakkan
nature  materialiter  spectata…”  Ia  melanjutkan,  “…jadi,  pada  kategori,  semua  persepsi  yang mungkin,  karena  segala  hal  yang  bisa  mencapai  kesadaran  empiris,  yakni  semua  penampakkan
alam  sejauh  perhatian  kombinasi  mereka,  berdiri  di  bawah  kategori-kategori,  di  mana  alam dipertimbangkan  hanya  sebagai  alam  secara  umum  bergantung,  sebagai  dasar  yang  asli  bagi
keabsahan hukum  yang  mungkin sebagai natura formaliter spectata”. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 263
Kategori-kategori  itu  ditempatkan  dan  diterapkan  dalam  memahami keberadaan  objek,  dengan  menggambarkan  hukum  a  priori  terhadap
penampakkan,  sekaligus  terhadap  alam  sebagai  jumlah  total  penampakkan. Kategori-kategori tersebut bekerja bersama-sama. Sehingga dalam satu proposisi
diketemukan beberapa bentuk kategori. Berikut ini penjelasan satu persatu kedua belas kategori tersebut.
                