Kritik atas Rasionalisme dan Empirisme

Sedangkan putusan sintetik adalah sejenis putusan yang predikatnya mampu menambah sesuatu kebenaran baru pada subjek. Putusan semacam ini disebut juga putusan amplifikasi. 116 Dalam putusan ini, predikat tidak berada dalam subjeknya. Contohnya dalam kalimat, “semua tubuh berat” memiliki berat. Predikat putusan tersebut, berisi informasi baru yang sebelumnya tidak terdapat di dalam subjek. Konsep berat, berhubungan dengan sesuatu di luar subjek. Selain itu, putusan ini mencakup pula semua putusan yang berkaitan dengan pengalaman. Karena berisi informasi baru, maka realitas empiris ikut menentukan kebenaran putusan tersebut. Hal ini mengindikasikan, jika kalimat, “semua tubuh berat”, dinyatakan dalam ruang yang tidak ada daya gravitasi, maka putusan tersebut dapat dianggap tidak benar. 117 Selanjutnya, antara kaum rasionalis dan empiris sepakat tidak adanya putusan analitik a posteriori. Putusan analitik berkaitan dengan analisis konsep komponen subjek, sehingga tidak menambah informasi baru. Putusan analitik pada gilirannya selalu a priori. Sedangkan a posteriori merujuk pada pembuktian kebenaran dengan menambah informasi baru di luar subjek, serta dikaitkan dengan kenyataan empiris. Istilah a priori dan a posteriori merupakan dua bentuk penalaran berbeda, yang sudah dimulai sejak masa Aristoteles. 118 Kant sepakat dengan kaum rasionalis dan empiris mengenai ketiga putusan di atas. Namun, ia menolak bahwa putusan sintetik a priori tidak mungkin. Kant mencontohkan misalnya penalaran matematika, perhitungan 7+5 = 12. Jumlah 12 adalah hasil penalaran yang tidak diperoleh dari analisis angka 7 dan 5. Jumlah 12 adalah informasi baru. Selain itu, proposisi matematis selalu bersifat a priori, 116 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 141 117 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 13 118 Thomas Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 33 karena mereka membawa keniscayaan dalam dirinya, yang tidak didapat dari aspek empiris. 119 Proposisi aritmatika selalu sintetis. Oleh karena itu, selain analisis atas konsep, Kant mengatakan bahwa jumlah 12 tersebut diperoleh dengan bantuan intuisi. Selain matematika, contoh lain misalnya, dalam penalaran pengetahuan alam Physica. Prinsip-prinsip fisika dalam dirinya berbentuk putusan sintetik a priori. Misalnya, proposisi “semua perubahan dalam dunia fisik tidak merubah kuantitas materi”, atau “semua hubungan efek yang bergerak dan efek yang berlawanan selalu sama”. Kedua proposisi tersebut, menurut Kant adalah putusan sintetik a priori. Pada proposisi pertama, konsep “berubah” tidak diperoleh dari analisis atas konsep materi. Materi dapat dikenali dengan kehadirannya di dalam ruang, sehingga perubahan berarti menambahkan sesuatu di luar subjek. Begitu pula konsep “sama” dalam proposisi kedua, tidak diperoleh atas analisis semata, tetapi, melampaui batas konsep yang dituju. Dengan begitu, kedua proposisi tersebut adalah hasil sintesis. Selain itu, konsep berubah pada proposisi pertama dan konsep sama dalam proposisi kedua, tidak diperoleh melalui penginderaan secara langsung. Tapi, sudah merupakan hasil pemikiran. Dengan demikian, berlaku a priori. 120 Contoh lainnya adalah metafisika. Misalnya putusan, “dunia diciptakan oleh Tuhan”, “manusia memiliki jiwa”, atau “di dunia ini terdapat kebebasan”. Bagi Kant, konsep tentang Tuhan, keabadian jiwa, kebebasan, dan sebagainya adalah sesuatu yang tidak bisa dibuktikan lewat pengalaman, karena abstrak. Kant menyerang kaum rasionalis yang menyangkal ketidakmungkinan putusan hal 119 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 144 120 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 145 semacam itu, berdasarkan pertimbangan analitik. Ia juga sekaligus membantah kalangan empiris, yang menentang ketidakmungkinannya dari sisi a posteriori. Tapi, ketiga konsep: Tuhan, jiwa, dan kebebasan, merupakan informasi yang tidak diperoleh dari pengalaman, dan mampu memberi informasi baru sehingga berupa sintesis, atau lengkapnya berbentuk sintetik a priori. 121 Di sini perlu dipahami bahwa a priori dalam pengertian Kant bukan berarti sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan bukti-bukti empiris. Konsep dalam matematika atau pun dalam ilmu alam, kendati a priori namun selalu bisa diwujudkan dalam realitas empiris. Yang dimaksud a priori di sini adalah dapat diketahui secara independen atau tidak tergantung pada pengalaman. Namun, bukan berarti lepas sama sekali dari pengalaman. Mungkin seseorang mengetahui konsep dalam ilmu alam, atau perhitungan bahwa 2+6 = 8 dari membacanya di dalam buku, atau mungkin seseorang tahu dan paham pernyataan dalam kaidah tertentu yang memerlukan pembelajaran, sehingga mencakup proses yang melibatkan pengalaman. Oleh karena itu, maksud pengetahuan independen dari pengalaman adalah bisa diketahui tanpa pengalaman, kecuali untuk pengalaman yang diperlukan untuk mempelajari istilah-istilah penyusun konsep tertentu. 122

B. Konsep Ruang dan Waktu

Kant menegaskan pentingnya kedudukan pengalaman, sebagai sebuah cara agar konsep-konsep a priori bisa diwujudkan dalam dunia nyata. Bagi Kant, pemikiran membutuhkan konsep, sekaligus sesuatu agar konsep itu bisa diterapkan. Kant berkata bahwa pemikiran tanpa isi adalah kosong, dan intuisi 121 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 146 122 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 7-8 tanpa konsep adalah buta. 123 Misalnya, seseorang berpikir tentang rumah. Rumah dalam pikiran orang tersebut adalah sebuah konsep. Agar konsep bisa diketahui, dan dipahami, harus mampu diwujudkan dalam tataran empiris. Sesuatu bisa dinyatakan dalam tataran empiris, ketika seseorang sadar akan kehidupannya. Kesadaran tersebut berhubungan dengan objek di dalam pengalaman. Menurut Kant, kesadaran diperoleh dari pengalaman, dan tidak ada kesadaran yang mendahului pengalaman. Bahkan dengan pengalaman kesadaran dimulai. 124 Kesadaran itu selalu terarah kepada objek. Untuk dapat menangkap realitas, dibutuhkan kemampuan sensibilitas. Daya sensibiltas ini mengumpulkan sejumlah data dari luar, yang dengannya seseorang mampu mendapatkan informasi, guna dipikirkan untuk mendapatkan pemahaman. Bagi Kant, sensibilitas adalah kapasitas penerimaan untuk mencapai representasi atas objek- objek melalui suatu cara tertentu. Fungsi sensibiltas hanya menangkap dan tidak memberi penilaian atas penampakkan. Kant menjelaskan bagaimana sebuah objek dapat diketahui subjek. Para filsuf sebelumnya berpendapat bahwa setiap bentuk penampakkan objek merupakan suatu cara di mana subjek yang mengamati objek. Subjek dengan susunan kesadaran tertentu, mendatangi objek untuk memperoleh pemahaman atas objek. Dalam pandangan Kant, yang terjadi adalah sebaliknya. Justru objek yang menampakkan dirinya kepada subjek. Subjek sebagai pengamat, menangkap adanya representasi dari objek. Pandangan ini dianggapnya sebagai sebuah terobosan baru dalam filsafat. Ia menyamakannya dengan revolusi Copernicus dalam ilmu alam. Kant berkata: 123 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 193-194 124 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 136 “Hence let us once try whether we do not get farther with the problems of metaphysics by assuming that the object must conform to our cognition, which would agree better with the requested possibility of an a priori cognition of them, which is to establish something about objects before they are given to us. This would be just like the first thoughts of Copernicus, who, when he did not make a good progress in the explanation of the celestial motions if he assumed that the entire celestial host revolves around the observer, tried to see if he might not have greater success if he made the observer revolve and left the stars at rest. Now in metaphysics we can try in a similar way regarding the intuition of objects. If intuition has to conform to the constitution of objects, then I do not see how we can know anything of them a priori; but if the object as an object of the senses conforms to the constitution of our faculty of intuition, then I can very well represent this possibility to myself.” 125 Daya sensibilitas merupakan kemampuan subjektif setiap individu. Efek dari objek atas kapasitas representasi yang dipengaruhi objek, oleh Kant disebut sensasi sensation. Sedangkan intuisi yang berhubungan dengan objek melalui sensasi disebut empiris empirical, dan objek-objek intuisi empiris yang sudah ditentukan batas-batasnya disebut penampakkan appearance. 126 Dalam proses hadirnya penampakkan, menurut Kant, terdapat dua bentuk fungsi murni intuisi sebagai prinsip kesadaran a priori: ruang dan waktu. 127 Dua hal ini dijelaskan sebagai bagian dari estetika transendental. Dengan ini, posisi Kant cukup jelas. Ia menolak rasionalisme yang mengutamakan aspek a priori, sekaligus tidak 125 “Oleh karena itu, mari kita upayakan apakah kita tidak melangkah lebih jauh dengan problem metafisik dengan mengasumsikan bahwa objek harus menyesuaikan dengan kesadaran kita, yang lebih baik dengan kemungkinan sebuah kesadaran a priori tentang mereka, yang harus menyusun sesuatu tentang objek sebelum mereka hadir kepada kita. Ini akan menjadi seperti pemikiran pertama Kopernikus, ketika ia tidak membuat kemajuan dalam pergerakan benda-benda langit, jika ia mengasumsikan semua benda-benda langit berevolusi mengitari pengamat manusia di bumi, berusaha melihat apakah ia tidak memiliki keberhasilan besar jika membuat pengamat berevolusi dan membiarkan bintang-bintang tetap diam. Sekarang, dalam metafisik kita bisa mengusahakan hal yang sama berkenaan dengan intuisi objek. Jika intuisi harus berkesesuaian dengan susunan objek, saya tidak mengerti bagaimana mengetahui mereka secara a priori; tapi jika objek sebagai objek inderawi menyesuaikan dengan susunan fakultas intuisi kita, maka saya bisa dengan sangat baik menghadirkan kemungkinan ini kepada diri saya sendiri. ” Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 110 126 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 155, 172 127 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 174 sependapat dengan empirisme yang memutlakkan pengalaman. Bagi Kant, kedua hal itu akan saling berpengaruh dalam terbentuknya pengetahuan. Ruang bukan konsep empiris. Tapi, tempat segala bentuk penginderaan ditentukan batas-batas keluasannya. Dalam ruang, objek dapat dihubungkan satu dengan lainnya, dalam penampakkan dan bukan dalam benda pada dirinya. Ruang tidak bersifat diskursif. Tapi, intuisi murni a priori, yang menjadi dasar semua intuisi luar. Jika tidak ada ruang, maka tidak ada yang bisa hadir kepada subjek. 128 Sama seperti ruang, waktu bukan konsep empiris yang didapat dari pengalaman. Waktu adalah kondisi formal a priori penampakkan secara umum. Secara tegas Kant menyatakan bahwa waktu adalah sesuatu yang riil, yakni sebuah bentuk riil dari intuisi terdalam. 129 Waktu mendasari kemungkinan prinsip hubungan apodiktik waktu, atau aksioma secara umum. Dengan waktu, aktualisasi setiap penampakkan menjadi mungkin. Waktu hanya satu, tidak simultan, tetapi beruntut. Waktu tidak bisa menentukan batas penampakkan luar, atau bentuk dan posisi. Tapi, hanya menyajikan hubungan representasi keadaan terdalam. 130 Hubungan antara ruang dan waktu adalah sebagai berikut. Waktu adalah kondisi a priori semua penampakkan secara umum. Waktu menentukan kondisi terdalam, yang menengahi kondisi terdalam dengan penampakkan luar. Sedangkan ruang, sebagai fungsi murni a priori intuisi luar, terbatas sebagai sebuah kondisi murni dengan intuisi luar. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa setiap penampakan luar berada di dalam ruang dan ditentukan secara a priori batas-batasnya oleh ruang. Dalam kaitan ini, semua penampakkan secara umum, yakni semua objek indera dalam keadaan terdalam berada di dalam waktu, dan 128 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 175 129 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 182 130 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 180 secara tepatnya berhubungan dengan waktu. 131 Penegasan Kant tentang ruang dan waktu merupakan upaya mengukuhkan validitas objektif semua objek penampakkan. Kant tidak sependapat dengan Newton yang menganggap ruang dan waktu itu riil dan absolut. Bagi Newton, ruang dan waktu dianggap riil karena berada di dunia nyata dan terlepas dari pikiran manapun, kecuali pikiran Tuhan. Disebut absolut, karena ruang dan waktu ada secara independen dan melekat pada diri subjek. Andaikata tidak ada hal-hal empiris pun, maka keduanya tetap ada. Kant juga tidak sependapat dengan Leibniz yang berpendapat bahwa ruang dan waktu keduanya adalah ideal dan relatif. Bagi Leibniz, ruang dan waktu hanya berkaitan dengan penampakan monad, sehingga bersifat ideal dan tidak riil. Namun, Leibniz tidak beranggapan bahwa ruang dan waktu tidak nyata. Ia hanya menganggap hal itu relatif. 132 Contoh yang biasa ia berikan adalah fenomena pelangi. Bagi Leibniz, munculnya pelangi merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa dikatakan riil. Hal itu hanya penampakan monad yang bersifat ideal, karena berkaitan secara relatif dengan sudut pandang tiap-tiap individu. Menurut Kant, ruang dan waktu secara empiris riil dan secara transendental ideal. 133 Disebut riil, karena ruang dan waktu berkaitan dengan penampakan objek-objek luar. Meskipun kedudukan penampakan tersebut sudah berupa sintesis antara unsur a posteriori dan a priori, namun penampakan adalah hal yang nyata dan bukan ilusi. Dengan penampakan itu, subjek mendapat informasi yang akan diteruskan ke dalam struktur a priori lain dalam dirinya. 131 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 181 132 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 28 133 Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant Wellwood: Burn Oates, 1999, h. 241