Empirisme Epistemologi immanuel kant
misalnya tentang wujud air. Pikiran pasif tidak mampu membedakan antara potensi air, dengan air yang sudah diaktualkan zatnya. Sedangkan pikiran aktif,
bekerja dalam batas-batas yang memungkinkan suatu pemahaman utuh tentang objek. Pikiran dalam hal ini tidak tercampur, dan dapat dipisahkan, berada dalam
batas-batas aktivitas esensial alamiahnya.
88
Informasi tentang entitas objek didapat dari inderawi, yang bekerja dengan fungsi-fungsinya dalam batas-batas
penerimaan. Informasi lalu dirumuskan dalam skema pembagian yang jelas, antara yang potensial dan aktual. Pengetahuan aktual identik dengan objeknya.
Dalam hal individual, pengetahuan potensial lebih dulu ada secara waktu dari pengetahuan aktual. Namun, pengetahuan aktual bersifat universal, dan dalam
ruang lingkup alam semesta, sama sekali tidak yang lebih dulu atau pun terkemudian secara waktu. Pikiran bebas dari unsur waktu. Pikiran menampakkan
sesuatu apa adanya, dan tidak lebih. Ia terus-menerus bekerja, dan tanpanya tak ada yang bisa dipikirkan.
89
Tokoh empirisme yang berpengaruh cukup signifikan di abad modern adalah John Locke 1632-1704. Locke tidak setuju dengan pandangan rasionalis,
misalnya tentang ide-ide bawaan dan daya inderawi yang kurang diperhatikan. Bagi Locke, pikiran manusia ketika dilahirkan adalah dalam keadaan kosong,
tabula rasa. Ide bawaan mengandung sejumlah persoalan, semisal perbedaan antara si cerdas dan si idiot yang keduanya sejak lahir memiliki kesempatan sama
dalam menggapai pengetahuan.
90
Pengetahuan manusia berkembang seiring
88
McKeon ed., Introduction to Aristotle, h. 220
89
McKeon ed., Introduction to Aristotle, h. 221
90
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, Garry Fuller, etc., ed., London: Routledge, 2000, h. 50
dengan interaksi dan pendidikan yang diraih.
91
Menurutnya, pikiran manusia ketika lahir semacam kertas putih, kosong. Pikiran mendapat pengetahuan setelah
manusia mulai menggunakan inderanya. Locke menulis: “The senses at first let in particular ides, and furnish the yet empty
cabinet: and the mind by degree growing familiar with some of them, they are lodged in memory, and names got to them. Afterward the mind
proceeding farther, abstracts them, and by degree learns the use of general names.”
92
Locke memandang bahwa ruang adalah hasil penyusunan ide-ide abstrak dari penginderaan yang sangat rumit, bersifat partikular, yang kemudian menjadi
sebuah bentuk kompleks. Ide dengan begitu di bentuk dalam ruang yang berasal dari faktor eksternal. Menurut Locke, manusia mendapat ide lewat sensasi dan
refleksi. Dengan sensasi manusia bisa mengetahui hal-hal semacam warna, suara, cuaca, dan sebagainya. Melalui refleksi, manusia dapat menjadi sadar terhadap
keadaan internalnya, semisal keinginan, keraguan, pemikiran, dan seterusnya.
93
Kedua hal itu menjalankan fungsi bersama membentuk pengetahuan; kombinasi kedua unsur tersebut dapat menghasil pemahaman mendalam. Melalui penyatuan
itu, manusia dapat menerima ide-ide kesatuan, keteraturan, kesakitan, dan lain- lain. Hal itu semuanya dibentuk dalam suatu susunan kerja pikiran.
Pikiran bekerja dalam hal menerima dan mengolah informasi apa adanya. Hasil kerja pikiran disebut ide. Apa yang diterima pikiran, tetap tidak sama
dengan sesuatu yang sebenarnya. Hasil pencerapan indera, menjadi sumber utama dalam proses pengetahuan. Ide dalam pandangan Locke, terbagi menjadi dua: ide
91
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 59-60
92
“Pertama, indera mengambil ide-ide tertentu, dan memenuhi susunan kosong: dan pikiran meningkat sesuai derajatnya mengenali ide-ide tersebut, yang di tempatkan dalam memori,
dan menamai mereka. Pada kelanjutannya, pikiran berlanjut mengabstraksikan mereka, dan dengan sesuai peningkatan derajat mempelajari kegunaan nama-nama umum tersebut.” John
Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 51
93
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 67-68
sederhana dan ide kompleks.
94
Ide sederhana adalah infromasi yang dihasilkan pencerapan inderawi, atas fakta-fakta partikular. Data partikular ini kemudian
menjadi sumber bagi suatu skema yang lebih luas, yakni ide kompleks. Ide kompleks berasal dari sejumlah kumpulan ide-ide partikular yang diangkat
menjadi skala luas,
95
misalnya fakta-fakta tertentu tentang manusia. Manusia terdiri dari kelompok-kelompok, dan tipe yang berbeda-beda. Ada tipe kurus,
gemuk, tinggi dan pendek. Ini disebut fakta-fakta partikular. Dari data itu kemudian dirumuskan suatu benang merah, yang menggambarkan konsep
manusia secara umum. Hasil terakhir ini disebut ide kompleks. Dalam kinerja untuk menghasilkan ide, pikiran didorong oleh suatu kekuatan tersembunyi yang
bersifat metafisik. Kekuatan ini disebut dengan kualitas.
96
Locke membagi antara kualitas primer dan kualitas sekunder. Kualitas primer merupakan sesuatu yang melekat pada objek, tidak bisa dipisahkan dan
diubah. Ia membentuk seperangkat aturan yang mengarahkan bagaimana objek dapat ditangkap subjek. Kualitas primer adalah asas objek, misalnya gerakan,
perluasan, durasi waktu, dan kepadatan. Adapun kualitas sekunder adalah unsur- unsur subjektif, yang tidak memiliki realitas metafisik. Ia tidak terdapat di dalam
objek. Kualitas sekunder adalah kekuatan yang muncul dalam diri manusia berupa berbagai macam sensasi, yang dihasilkan oleh kualitas primer.
97
Ia bersifat relatif, misalnya warna, suara, rasa, dan sebagainya. Lewat kualitas sekunder, nyala api
dapat menghasilkan sensasi panas dan membakar. Sensasi ini muncul dalam diri
94
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 71
95
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 76
96
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 185
97
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 144
manusia. Sensasi api tersebut dihasilkan dari kualitas primer yang berada dalam api, yang kemudian diterima oleh subjek.
Pembagian Locke atas ide dan kualitas, tidak bisa diterima oleh George Berkeley 1685-1753—salah satu tokoh empiris. Bagi Berkeley, ide dan
pengalaman adalah sama. Tak ada perbedaan antara persepsi, kualitas, ide, dan pengalaman. Objek-objek disebut ada, karena keberadaannya yang bisa dipersepsi
indera. Segala bentuk hal-hal metafisik, pada dasarnya tidak berwujud, karena tidak bisa diketahui lewat indera. Terkenal diktum dari Berkeley: Esse est percipi
to be is to be perceived.
98
Maksud kalimat tersebut adalah sesuatu ada wujudnya karena dapat diterima indera; objek-objek di luar manusia dianggap ada selama
dapat diterima indera. Objek-objek tersebut merupakan substansi material, yang diterima keberadaannya berkat persepsi indera. Sehingga jika persepsi itu tidak
ada, maka objek material tidak ada sama sekali. Kesadaran subjek dalam mempersepsi, menentukan batas-batas keberadaan benda-benda. Putusan rasional
tentang suatu objek, ditentukan berdasarkan pengetahuan atas objek tersebut. Dengan begitu, dunia tidak lebih dari kesan-kesan. Namun, Berkeley menghadapi
sejumlah persoalan khususnya menyangkut mekanisme kerja indera, dan ketergantungan terhadapnya. Oleh karena itu, ia kemudian memberi jalan keluar
dengan mengemukakan adanya pikiran atau roh tak terbatas, yang diidentifikasi sebagai Tuhan. Tuhan tidak saja diartikan sebagai pencipta segala sesautu. Bagi
Berkeley, Tuhan yang membuat manusia memiliki indera dan mampu mempergunakan inderanya.
99
98
Robert Ackermann, Theories of Knowledge, h. 149
99
Thomas Mautner ed., The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 66
Pandangan Berkeley di atas diradikalkan oleh tokoh empiris lainnya, David Hume 1711-1776. Gaya pemikiran Hume menggambarkan sikap skeptik.
Ia sepakat dengan kedua tokoh empiris Inggris terkait tidak adanya ide-ide bawaan. Namun, Hume mengarahkan kritik terhadap kecenderungan yang masih
menyelimuti pandangan empiris pada umumnya, semisal masalah substansi, istilah-istilah metafisika, dan kausalitas. Mengenai masalah susbtansi yang masih
diyakini Locke, Hume memandangnya tidak lebih dari sekedar persepsi. Konsep substansi yang diketahui manusia, sebenarnya hanyalah persepsi atas benda-benda
material. Yang mampu diketahui pikiran hanyalah persepsi-persepsi tersebut,
100
dan tidak lebih. Objek di luar kesadaran manusia tidak termasuk yang dipikirkan. Di samping itu, menurut Hume tidak ada hubungan yang jelas antara persepsi
dengan objek-objek yang diindera. Bukti-bukti keterkaitan antara objek dengan persepsi subjek tidak bisa ditemukan secara jelas. Yang kemudian dijelaskan
Hume adalah bagaimana sebenarnya mekanisme kerja pikiran dalam menghasilkan keberadaan konsep-konsep substansi.
Bagi Hume, pemahaman tentang substansi didapat ketika terjadi interaksi dengan benda-benda, misalnya bola billiard berbentuk bulat, merah, dan padat.
Dari situ pikiran menangkap kesatuan konsep tentang bola tersebut. Pada dasarnya keberadaan substansi bola itu sebatas ada dalam pikiran. Persepsi yang dialami
subjek bersifat khayali. Substansi adalah kumpulan persepsi atas benda. Begitu pula misalnya dengan kesadaan manusia. Ke-aku-an dipahami sebagai faktor
penunjang keberadaan manusia yang sadar. Kesadaran ini pada gilirannya bermasalah. Kesadaran hanya dialami ketika keadaan tertentu, yakni saat persepsi-
100
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 218
persepsi bekerja. Kesadaran hanya keadaan sementara. Ketika tidur, atau setelah meninggal, orang tidak lagi menyadari keberadaannya, karena persepsi-persepsi
menghilang.
101
Hume memandang bahwa kesadaran manusia pun termasuk kumpulan dari persepsi, a bundle of perceptions.
102
Serangan keras Hume berikutnya adalah tentang kausalitas. Hume menolak adanya ketetapan standar hukum ini. Baginya mustahil dijelaskan secara
empiris saling ketergantungan suatu kejadian terhadap kejadian lain. Pemahaman sebab-akibat pada dasarnya berasal dari kesan-kesan inderawi.
103
Suatu peristiwa yang terjadi diiringi peristiwa lainnya, tidak bisa langsung disimpulkan ketetapan
hukum universal. Yang justru terjadi adalah keberurutan peristiwa, misalnya api membakar kertas. Pada peristiwa itu tidak bisa disimpulkan terdapat hukum
bahwa api membakar kertas yang niscaya. Hal itu hanya berada dalam batas kemungkinan. Peristiwa terbakarnya kertas ketika bersentuhan dengan api, tidak
bisa dijadikan standar adanya kausalitas yang pasti.
101
David Hume, A Treatise of Human Nature Middlesex: Penguin Book, 1985, h. 300
102
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 220
103
David Hume, A Treatise of Human Nature, h. 131