. Paralogisme Epistemologi immanuel kant

pada realitas absolut, memungkinkan seseorang mengikuti anjuran moralitas, untuk mencapai kebahagiaan hidup. Klaim-kalim moralitas agama, memiliki alur pemikirannya pada kepercayaan kepada Tuhan. Tuhan dipandang sebagai wujud paling sempurna Ens perfectissimum, atau wujud paling nyata Ens realissimum, 253 sebagai pencipta alam semesta. Namun, Kant tetap yakin bahwa tidak ada bukti empiris yang meyakinkan mengenai hal-hal metafisika semacam itu. 254 Kant menjelaskan lebih lanjut permasalahan moralitas dalam karyanya, Kritik der praktischen Vernunft. 255

G. Tinjauan Pengetahuan Menurut al-Imâm al-Ghazâlî

Paparan tentang al-Ghazâlî pada bagian ini, bertujuan menghadirkan sebuah pandangan dalam tradisi intelektual Islam. Al-Ghazâlî termasuk yang dikenal sebagai perumus epistemologi Islam. 256 Meskipun antara pemikiran al- Ghazâlî dan Kant sangat berbeda, tapi yang dituju di sini adalah kritik dari keduanya terhadap hal-hal empiris sekaligus klaim rasionalis. Keduanya berhasil meruntuhkan dan membangun kembali rumusan dari dua bentuk kecenderungan penalaran tersebut. 253 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer dan Allen W. Wood, Cambridge: Cambridge University Press, 2000 h. 570 254 A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason, h. 198 255 Dalam karya ini, Kant berusaha menjelaskan bahwa klaim moralitas terkait erat dengan akal praktis. Yang menarik dari Kant adalah ia sangat mengutamakan aspek kewajiban sebagai basis kesadaran moral seseorang, yang bertumpu pada maxim-nya. Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, h. 40 256 Pemikiran brilian mengenainya dapat dilihat berkenaan dengan klasifikasi ilmu. Bagi al-Ghazâlî dan beberapa sarjana Islam lainnya, ilmu bersifat hierarkis; ada yang di atas dan ada yang di bawah. Namun, dalam rentang sejarah umat Islam, klasifikasi al-Ghazâlî adalah yang paling bertahan hingga sekarang. Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto Bandung: Mizan, 1997, h. 235 Al-Ghazâlî menjelaskan bagaimana ia sampai pada keyakinan tentang kebenaran hakiki, melewati fase keragu-raguan. Ia menganggap daya inderawi tidak bisa memuaskan pencariannya tentang kebenaran hakiki. Hal ini karena keterbatasan fungsi inderawi dalam menggapai sesuatu. Ia jelaskan berikut ini: ... ت ا ا أ , ؟ ا ﺡ ها أو او ا ا إ هو ك , آ ا -. و , ك - ﻥأو ك ﻥأ ف 2 3 42 ة4ه 6 او 7 ا -ﺙ 9 2د , ةرذ ةرذ = ر4 ا 3 , ف ا ﺡ . - ﺡ . ا ?آ . ا إ و ر 4 ا را4 ا 9ﺹ , ﻥأ 3 ل4 4B ا دCا -ﺙ را4 ا ضرCا آأ . اEه .ﺡF G ا -آ ﺡ B -. ت ا أو , ﻥ H و 2 ا -آ ﺡ E. و , I E. 2ا4 Iإ . 257 Kelemahan daya inderawi, merupakan alasan al-Ghazâlî tidak menerima secara penuh kebenaran informasi dari hasil tangkapannya. Kelemahan itu bisa berakibat fatal. Siapapun dapat keliru jika hanya berpegang pada aspek lahiriah pengalaman. Namun, tidak sampai di sini. Pada kelanjutannya, keragu-raguan al- Ghazâlî juga menyerang daya kognitif akal, dan segala bentuk pertimbangan rasional. Misalnya, menyerang cara berpikir ahli fiqh karena menggunakan konsep analogi, serta terhadap Mutakallimûn yang rasional, meskipun ia masih menganggap bahwa kalâm adalah ilmu yang luhur, karena mengupas hal-hal pokok dalam agama. 258 Al-Ghazâlî juga menganggap bahwa rasio pada dirinya bermasalah. Kapasitasnya sebagai sumber pengetahuan memiliki sejumlah persoalan. Akal 257 “Darimana kepercayaan kepada indera muncul, sedangkan yang paling kuat adalah indera penglihatan? Penglihatan melihat bayang-bayang, maka terlihat bayang-bayang itu diam tak bergerak. Mata memutuskan tiadanya gerakan. Kemudian dengan pengujian dan penyaksian sesaat, diketahui bahwa bayang-bayang itu bergerak, dengan pergerakan yang tidak langsung seketika. Tapi, berangsur-angsur, sehingga tiada waktu untuk diam. Mata melihat pada bintang, terlihat kecil seukuran dinar. Namun, bukti-bukti ilmu ukur menunjukkan bahwa ukuran bintang lebih besar dari bumi. Ini dan contoh-contoh semisalnya merupakan hasil penemuan fungsi inderawi. Hal itu ditolak dan diragukan oleh fungsi akal, sebagai kebohongan yang tidak ada jalan lain kecuali membantahnya.” Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, tahqîq oleh Ahmad Syamsuddîn Bairût: Dâr Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1409 H., 1988 M., h. 27- 28 258 Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al- Ghazâlî, al-Juz` 3 Bairût: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H., 1994 M., h. 58