Deduksi Transendental Epistemologi immanuel kant
tempat duduk atasnya dengan bagian depan penyangga punggung. Kemudian melihat kaki kursi, lalu mengalihkan perhatian ke bagian belakang penyangga.
Kesadaran atas bagian kursi itu berbeda-beda, khususnya antara depan, dan belakang. Tapi, keseluruhan informasi tersebut bisa disatukan di bawah satu
kendali kesadaran diri, karena diatur dan dihubungkan oleh hukum tetap, tak sewenang-wenang non-arbitrary. Adanya hukum tersebut bisa diketahui dengan
mengamati setiap kejadian, yang membawa implikasi pada struktur perubahan objek, dan bisa diamati oleh siapa saja yang ingin mengetahuinya.
Lebih jauh Kant mengatakan, agar kesadaran atas beragam objek itu mungkin terjadi, subjek harus menganggap semua penampakkan objek berasal
dari diri mereka sendiri. Jadi, segala representasi harus bisa dipahami berasal dari diri subjek self-ascribable.
194
Dengan kata lain, Kant menekankan pentingnya kesadaran pribadi bahwa segala representasi yang beragam berasal dari dirinya.
Kesadaran tersebut selalu berkesesuaian dengan waktu. Tidak ada kesadaran yang bersifat tetap, abadi, dan lepas dari temporalitas. Kesadaran terhadap pengalaman
yang berurutan adalah mungkin di dalam waktu-waktu berbeda. Dengan begitu, kesadaran dapat dijelaskan kaitannya dengan penyatuan beragam penampakkan
objek secara umum.
195
Namun, untuk terciptanya kesadaran melalui waktu, dibutuhkan adanya memori.
196
Memori menyimpan sejumlah informasi seputar pengalaman yang dialami seseorang. Dengannya, segala pengalaman yang diraih bisa dipahami dan
dipikirkan kembali di saat-saat yang berbeda. Di dalam memori tersebut, segala
194
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 130
195
Gilles Deleuze, Kant’s Critical Philosophy, trans., Hugh Tomlinson and Barbara Habberjam London: The Athlone Press, 1995, h. 15
196
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 106
bentuk pengalaman hadir dan saling memiliki keterkaitan. Semua kemungkinan yang dialami kemudian mengalami sintesis.
Kant membagi sintesis tersebut menjadi tiga bentuk: pertama, sintesis penangkapan dalam intuisi synthesis apprehension in intuition; kedua, sintesis
reproduksi di dalam imajinasi; ketiga, sintesis pengenalan dalam sebuah konsep. Ketiganya merupakan aspek yang terjadi dalam satu proses, bukan rangkaian
tahapan berjenjang yang harus dilewati. Ketiga sintesis tersebut ada bersama, ketika seseorang sadar atas sesuatu hal. Sintesis pertama adalah suatu kondisi di
mana intuisi menangkap segala macam penampakkan objek, dan kemudian menempatkannya di bawah satu representasi.
197
Terjadinya sintesis pada tahap ini berkesesuaian dengan fungsi a priori ruang dan waktu, yang menentukan batas-
batas tertentu dari penampakkan objek. Objek yang bermacam-macam tersebut hadir di dalam intuisi secara berurutan.
Sintesis kedua adalah reproduksi sejumlah data yang sudah didapat secara berurutan pada masa lalu, untuk diingat dan dipikirkan pada saat ini. Data lama
yang ada di dalam pikiran dihadirkan kembali sebagai bahan pemikiran. Dari sini dapat diketahui bahwa sintesis kedua mengaitkan sejumlah objek yang hadir
secara berurutan dalam kurun waktu tertentu, dalam hubungan yang sudah ditentukan pula dalam masa lalu. Sintesis ini memungkinkan hadirnya objek
sebagai gambaran di dalam pikiran.
198
Sintesis ketiga adalah keadaan dimana seseorang sadar bahwa ketika menghadirkan data lama dalam pikirannya, data tersebut sama seperti bentuknya
semula. Karena jika tidak demikian, maka data tersebut kemungkinan besar akan
197
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 229
198
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 229-230
berubah. Perubahan itu bisa menjadikan data tersebut tidak berguna; tidak valid sebagai sumber informasi. Sintesis ini merupakan penjelasan Kant, dalam upaya
menjawab keraguan tentang berubah-ubahnya gambaran objek dalam pikiran.
199
Objek yang berada dalam pikiran, merupakan landasan munculnya konsep. Aktivitas mental dalam mengolah data, selalu bekerja dengan aturan yang non-
arbitrary. Aturan tersebut adalah hukum yang mengatur hubungan setiap representasi satu sama lain. Hukum yang mengatur bersifat tetap, sehingga bisa
menerapkan konsep-konsep a priori terhadap beragam data. Meskipun diatur oleh hukum tetap, Kant menganggap bahwa representasi di dalam waktu selalu
bersitegang dengan subjektivitas individu. Di sini, ia menawarkan dua macam cara dalam memandang waktu. Yang pertama, waktu sebagaimana dipahami dari
sudut pandang subjek. Waktu di sini sangat terkait erat dengan keberadaan subjek dalam memandang objek. Bisa diartikan jika waktu dalam pengertian ini sangat
subjektif. Yang kedua adalah waktu dalam kaitannya dengan keberadaan objek. Waktu ini yang menyelimuti objek, dan lepas sama sekali dari unsur subjek.
Kant tidak bermaksud menyalahi pendapatnya pada estetika transendental bahwa waktu itu satu dan hadir secara beruntut. Pada dasarnya, waktu tidak bisa
diterima indera perceived, karena ia bukan objek. Pembagian atas waktu dinilai sebagai upaya menjelaskan sudut pandang antara sisi objek dengan subjek. Secara
ontologis, keberadaan waktu bersifat a priori, tetap satu dan tidak terbagi. Namun, pembagian itu ditujukan untuk mempermudah penjelasan. Oleh karena itu, secara
epistemologis pembagian waktu dapat dimungkinkan. Waktu dari sudut pandang
199
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 230-231
subjek adalah sesuatu yang hadir begitu saja given pada diri subjek. Sedangkan waktu dari sudut pandang objek adalah kesesuaian objek dengan aturan a priori.
Dalam analisisnya mengenai aturan a priori, Kant sangat mengutamakan kedudukan kausalitas. Ia menentang keras pandangan Hume bahwa kausalitas
hanya berupa aktivitas mental yang bersifat subjektif, karena hanya didapat dari kesan-kesan inderawi.
200
Namun, sebenarnya terdapat suatu persamaan pendapat antara Hume dan Kant mengenai masalah ini.
Meskipun menentang Hume, Kant sepakat mengenai ketentuan hukum kausalitas yang tidak hanya dalam hubungan konseptual, atau tataran kebenaran
kata-kata. Dalam penjelasan mengenai kategori kausalitas, Kant dengan tegas mengatakan bahwa pemahaman kausalitas tidak diperoleh dari analisis fakta
semata, tapi sudah merupakan sintesis. Selain itu, Kant sepakat dengan Hume bahwa kausalitas tidak bisa ditunjukkan dengan menerapkan konsep umum seperti
eksistensi, kejadian, permulaan eksistensi, dan sebagainya. Tapi, kausalitas dapat dibuktikan kebenarannya dengan argumen transendental—argumen yang bersifat
a priori, dan tidak berhubungan secara langsung dengan pengalaman empiris. Kritik Hume atas kausalitas, sebenarnya diarahkan pada pemikiran bahwa setiap
kejadian pasti memiliki sebab. Sebaliknya, Kant meringkas pernyataannya bahwa bukti hukum kausalitas hanya bisa diterapkan pada peristiwa yang bisa nampak
observable events
201
pada indera. Dengan begitu, setiap kejadian di luar batas- batas pengalaman tidak bisa dikatakan memiliki kaitan dengan kausalitas.
Penjelasan tentang kausalitas dimulai dari penelusuran kaidah berikut. Misalnya, objek kejadian A menyebabkan kejadian B, karena dalam kasus yang
200
David Hume, A Treatise of Human Nature, h. 131
201
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 163
diteliti, peristiwa A selalu diikuti peristiwa B. Informasi tersebut berdasarkan fakta yang diperoleh pengalaman. Namun, Kant mempermasalahkan jika
kausalitas hanya diperoleh dengan analisis atas fakta-fakta, terutama menyangkut cara subjek menerima kejadian dalam tempo berurutan, dan perbedaannya dengan
ketetapan yang tidak berubah. Ia mempertanyakan bagaimana seseorang bisa mengetahui kejadian A, diikuti kejadian B, kemudian menyebabkan munculnya C,
di dalam durasi waktu tertentu secara berurutan, padahal waktu sendiri tidak bisa dicerap indera. Selain itu, ia mempertanyakan pula kedudukan benda pada dirinya
sendiri, yang tidak bisa diketahui subjek. Di sini, Kant mempermasalahkan cara memandang suatu peristiwa yang terkait dengan kausalitas.
Kant menguraikan kerumitan di atas dengan paparan sebagai berikut. Terjadinya peristiwa A diikuti peristiwa B, kemudian memunculkan C, dalam
waktu tertentu dan dapat dilakukan berulang-ulang, menandai adanya sebuah hukum yang tetap. Hukum tersebut bekerja pada setiap peristiwa yang nampak
pada subjek, dalam waktu objektif. Waktu objektif yang dituju Kant adalah waktu yang meliputi keberadaan objek, sekaligus subjek. Namun, karena subjek
memiliki struktur kesadaran a priori dalam dirinya, sehingga ada keterbatasan kemampuan subjek dalam menangkap objek. Yang dapat ditangkap subjek justru
hanya penampakkannya saja, dan bukan objek pada dirinya. Terlebih karena Kant mengkonseptualisasikan pengalaman sebagai substansi, maka yang diterima
subjek adalah sifat-sifat objek dan bukan pengalaman sebagai substansi yang permanen. Sampai di sini, Kant menganggap bahwa subjek bisa menerapkan
kaidah a priori, untuk bisa menghasilkan sintesis atas segala hal yang bisa menampakkan diri kepada subjek. Sintesis itu bersifat a priori, karena lepas dari
unsur-unsur a posteriori. Rangkaian peristiwa tersebut adalah gambaran singkat proses yang harus dilewati suatu peristiwa, untuk mencapai keadaan tertentu.
Meskipun sistemnya disebut transendental, Kant dengan menunjukkan penolakan atas idealisme—suatu teori yang menurut Kant mendeklarasikan bahwa
eksistensi objek dalam ruang di luar diri manusia, diragukan dan tidak mampu dibuktikan, atau palsu dan tidak mungkin. Idealisme dibagi Kant menjadi dua:
pertama, idealisme problematik; kedua, idealisme dogmatik.
202
Yang pertama diwakili oleh Descartes, dengan ketetapan hanya satu kepastian empiris, yakni,
“aku berpikir”. Kelompok kedua diwakili Berkeley, yang menganggap segala sesuatu di dalam ruang hanyalah imajinasi, dan baik ruang maupun objek-objek di
dalamnya tidak terpisahkan dalam dirinya. Idealisme dogmatik sudah dikaji dalam pembahasan sebelumnya mengenai ruang dan waktu. Berikutnya, kritik
dialamatkan pada idealisme problematik. Kelompok idealisme problematik menganggap sumber utama pengetahuan
tentang objek fisik menyangkut kausalitas, hanya didasarkan pada kesadaran subjektif. Menurut Kant, kesadaran selalu berhubungan dengan sesuatu di luar.
Objek luar memiliki kaitan mendalam, dan bisa dijelaskan kedudukannya secara objektif. Misalnya, kesadaran tentang masa lalu, yang bisa hadir kembali
sekarang. Kesadaran tersebut merujuk pada sesuatu yang dialami. Objek kesadaran tetap berbeda dari subjek. Meskipun Kant mengajukan bahwa ruang
dan waktu bersifat a apriori, tetapi objek di luar diri subjek tetap dianggap nyata. Kant tidak meragukan sama sekali realitas di luar subjek.
202
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 326