Konsep Dua Belas Kategori sebagai Turunan Derivation Dua Tinjauan Pengetahuan Menurut al-Imâm al-Ghazâlî . . . . . . . .

siginifikan, terutama dalam arus kemajuan ilmu pengetahuan hingga dewasa ini. Karena dengan pengkajian kembali epistemologi, kita akan menemukan beragam corak pemikiran yang dihasilkan umat manusia sebagai ekspresi kehidupan zamannya. Sistem epistemologi Kant sampai saat ini hadir sebagai salah satu kemajuan dalam wacana filsafat, tanpa memungkiri kritik-kritik yang dialamatkan pada beberapa kelemahannya. Berkat usahanyalah, sejumlah terobosan baru mulai bermunculan. Jika dipetakan, proyek filosofis Kant akan berpusat pada tiga persoalan mendasar: 1 Menjelaskan batas-batas pengetahuan manusia; 2 Memberikan ketentuan asas-asas moralitas; 3 Memberi kejelasan tentang batas-batas penilaian estetis. Bagian pertama dijabarkan Kant dalam buku, Kritik der Reinen Vernunft terjemahan Inggris: Critique of Pure Reason. Bagian kedua dijelaskan dalam karya, Kritik der Praktischen Vernunft terjemahan Inggris: Critique of Practical Reason. Bagian ketiga dijelaskan dalam karya, Kritik der Urteilkraft terjemahan Inggris: Critique of Judgment. Lewat ketiga karya tersebut, Kant bertujuan untuk menguji kesahihan pengetahuan manusia. Pengujian kesahihan dilakukan dengan mengupayakan pencarian struktur-struktur a priori dalam diri subjek. Kant dikenal sebagai orang yang mampu membalik sudut pandang dalam tradisi pemikiran. Hal-hal yang dulu selalu diterima begitu saja, ternyata dijungkirbalikkan oleh Kant. Sistem epistemologi Kant berusaha merumuskan masalah, yang lebih menitikberatkan pada kondisi subjek. Subjek yang dimaksud adalah manusia sebagai individu yang sadar diri dalam kehidupannya di dunia saat ini. Kant mempertanyakan peran dan fungsi a priori dalam diri subjek, terkait berbeda ketika memasuki zaman renaissance berikut masa-masa setelahnya. F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, h. 3-13 proses terciptanya pengetahuan. Alih-alih mempersoalkan isi pengetahuan, Kant terlebih dahulu memeriksa fungsi dan mekanisme dalam diri subjek agar dapat terciptanya pengetahuan. Dengan kata lain, validitas pengetahuan menjadi permasalahan kemampuan manusia dalam mengolah informasi yang diterimanya. Pencarian asas-asas a priori ini merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi filsafat Barat. Sebelum Kant, para filsuf cenderung tidak mempersoalkan permasalahan peranan subjek. Mereka menerima kemampuan subjek apa adanya. Mereka tidak memeriksa terkait peranan subjek ini. Ini dilema bagi Kant. Pada suatu titik tertentu, para filsuf menegaskan nilai-nilai keobjektifan. Namun, mereka tidak menjelaskan bagaimana kinerja struktur dalam diri tiap-tiap individu bisa menghasilkan pengetahuan objektif. Secara keseluruhan, Kant menelusuri jejak- jejak subjektifitas ini untuk ditempatkan pada kedudukan yang sepantasnya. Di samping tentunya, klaim universalitas masih layak untuk dipertahankan. Jika dulu para filsuf menggeluti masalah tentang isi pengetahuan, maka proyek filosofis Kant lebih dicurahkan untuk menguji seberapa jauh data dalam pikiran manusia itu mungkin disebut sebagai pengetahuan. Pengujian-pengujian ini dilakukan Kant dengan suatu perangkat yang berasal dari dalam diri manusia. Dengan acuan pada kemampuan subjek, Kant menerima suatu kepastian adanya dua hal a priori: ruang dan waktu. Dua hal ini menggiring pada pemahaman bahwa data maupun informasi dari luar, yang diterima kemampuan manusia, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektifitas tiap-tiap individu. Kant pada beberapa hal setuju dengan pandangan kaum empiris bahwa pengetahuan diperoleh dari luar diri manusia, lewat kemampuan inderanya.