. Antinomi Epistemologi immanuel kant

Al-Ghazâlî menjelaskan bagaimana ia sampai pada keyakinan tentang kebenaran hakiki, melewati fase keragu-raguan. Ia menganggap daya inderawi tidak bisa memuaskan pencariannya tentang kebenaran hakiki. Hal ini karena keterbatasan fungsi inderawi dalam menggapai sesuatu. Ia jelaskan berikut ini: ... ت ا ا أ , ؟ ا ﺡ ها أو او ا ا إ هو ك , آ ا -. و , ك - ﻥأو ك ﻥأ ف 2 3 42 ة4ه 6 او 7 ا -ﺙ 9 2د , ةرذ ةرذ = ر4 ا 3 , ف ا ﺡ . - ﺡ . ا ?آ . ا إ و ر 4 ا را4 ا 9ﺹ , ﻥأ 3 ل4 4B ا دCا -ﺙ را4 ا ضرCا آأ . اEه .ﺡF G ا -آ ﺡ B -. ت ا أو , ﻥ H و 2 ا -آ ﺡ E. و , I E. 2ا4 Iإ . 257 Kelemahan daya inderawi, merupakan alasan al-Ghazâlî tidak menerima secara penuh kebenaran informasi dari hasil tangkapannya. Kelemahan itu bisa berakibat fatal. Siapapun dapat keliru jika hanya berpegang pada aspek lahiriah pengalaman. Namun, tidak sampai di sini. Pada kelanjutannya, keragu-raguan al- Ghazâlî juga menyerang daya kognitif akal, dan segala bentuk pertimbangan rasional. Misalnya, menyerang cara berpikir ahli fiqh karena menggunakan konsep analogi, serta terhadap Mutakallimûn yang rasional, meskipun ia masih menganggap bahwa kalâm adalah ilmu yang luhur, karena mengupas hal-hal pokok dalam agama. 258 Al-Ghazâlî juga menganggap bahwa rasio pada dirinya bermasalah. Kapasitasnya sebagai sumber pengetahuan memiliki sejumlah persoalan. Akal 257 “Darimana kepercayaan kepada indera muncul, sedangkan yang paling kuat adalah indera penglihatan? Penglihatan melihat bayang-bayang, maka terlihat bayang-bayang itu diam tak bergerak. Mata memutuskan tiadanya gerakan. Kemudian dengan pengujian dan penyaksian sesaat, diketahui bahwa bayang-bayang itu bergerak, dengan pergerakan yang tidak langsung seketika. Tapi, berangsur-angsur, sehingga tiada waktu untuk diam. Mata melihat pada bintang, terlihat kecil seukuran dinar. Namun, bukti-bukti ilmu ukur menunjukkan bahwa ukuran bintang lebih besar dari bumi. Ini dan contoh-contoh semisalnya merupakan hasil penemuan fungsi inderawi. Hal itu ditolak dan diragukan oleh fungsi akal, sebagai kebohongan yang tidak ada jalan lain kecuali membantahnya.” Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, tahqîq oleh Ahmad Syamsuddîn Bairût: Dâr Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1409 H., 1988 M., h. 27- 28 258 Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al- Ghazâlî, al-Juz` 3 Bairût: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H., 1994 M., h. 58 hampir sama seperti halnya kemampuan inderawi; tidak bisa secara total dijadikan pegangan kebenaran hakiki. Dalam bentuk penalaran rasional, kebenaran diperoleh dengan mengambil sejumlah bukti-bukti melalui premis-premis yang tersusun secara sistematis. Namun, kebenaran itu justru tidak bersifat final. Jika terdapat argumentasi dengan alur berpikir yang lebih kokoh, maka kebenaran itu tidak lagi dapat dipertahankan. 259 Yang menarik, al-Ghazâlî membandingkan penalaran seseorang saat terjaga dengan keadaannya saat tertidur. Ia berkata: … ار أ م ا 4 2 كا أ , Iا ﺡأ Hو , K Kﺵ Iو ارا او ﺙ B 4 2و B ا , -ﺙ M Nو ﺹأ Kا4 2 و KO H P 7 . - ﻥأ -2 Q : نأ F - B Tﻥأ ا K ﺡ إ UV Wﺡ ه 3 وأ G K 4 2 P ﺝ ن . , . K إ K آ K إ B ﻥ ن . ﺡ K 3 أ Y نأ . , ﻥ K ن . B ا UV ﺹ ﺡ I تI ﺥ K 2 T ه P ﺝ نأ T ا K تدرو اذ\ B . 260 Al-Ghazâlî mengandaikan bahwa dalam keadaan mimpi, segala sesuatu terlihat begitu nyata. Segala sesuatu seolah hadir dan dapat dirasakan, termasuk kegiatan berpikir. Al-Ghazâlî mempertanyakan batas yang jelas antara daya rasional yang hadir pada saat terjaga dan ketika bermimpi. Ia menyimpulkan bahwa kedua keadaan itu tidak bisa dibuktikan jika berpijak pada posisi subjek. Oleh karena itu, diperlukan hal lain sebagai basis penguat kebenaran hakiki. Pada kelanjutannya, keragu-raguan al-Ghazâlî bahkan mendekati titik klimaks. Ia akhirnya menyerang hukum kausalitas. Serangan itu ia tujukan secara khusus kepada para filosof Muslim, seperti al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Al-Ghazâlî 259 Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 28 260 “….adapun ketika jiwa melihatmu meyakini banyak hal di dalam tidur, membayangkan keadaan, dan menganggap semua itu tetap dan stabil, sehingga tidak ada keraguan mengenai keadaan di dalamnya, kemudian kamu terbangun, dan tahu bahwa semua khayalan dan anggapanmu tidak memiliki dasar serta kemampuan: dengan apa kamu meyakini ketika terbangun, baik melalui indera maupun akal bahwa hal itu adalah benar haqq, dengan mengaitkannya pada keadaanmu di dalamnya? Padahal mungkin sekali keadaan sadarmu datang seketika, sama seperti keadaan ketika tidur. Dengan begitu, maka sadarmu dinilai tidur dengan mempertimbangkan pada keadaan tersebut. Maka ketika telah mengetahui keadaan itu, kamu yakin bahwa semua yang di bayangkan akal adalah khayalan dan tidak ada manfaat darinya.” Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al- Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 28