Kegunaan Penelitian Landasan Teori 1. Sastra, Pengarang, dan Masyarakat

21

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian atas novel-novel realis Najib Mah{fuz} ini, secara teoritis, diharapkan dapat berguna bagi pengembangan wacana keilmuan di bidang kritik sastra, terutama terhadap karya-karya sastra yang lahir di tengah- tengah masyarakat yang memiliki problem penempatan agama dalam konteks kehidupan masyarakat modern yang majemuk. Penelitian ini juga diharapkan dapat meretas jalan bagi peneliti atau kritikus sastra selanjutnya untuk melihat dan membandingkan berbagai gagasan tentang agama Islam dan kemodernan dari para sastrawan di berbagai belahan dunia, terutama dunia Muslim atau yang mayoritas penduduknya beragama Islam, termasuk Indonesia. Secara praksis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam menempatkan agama dan membangun masyarakat beragama dalam konteks berbangsa dan bernegara. Hal ini penting, terutama bagi masyarakat multiagama dan tempat agama memiliki peran penting dalam seluruh aspek kehidupannya, termasuk Indonesia.

E. Landasan Teori

E. 1. Sastra, Pengarang, dan Masyarakat

Pada hakekatnya sastra adalah ekspresi tentang masyarakat dengan segala sistem, kepercayaan, milieu, dan pemikiran yang ada. Sastrawan sendiri, sebagai penghasil sastra, tidaklah jatuh ke tengah masyarakatnya dari langit, melainkan lahir dan tumbuh dari masyarakatnya dan dari segala yang dilihat, dirasakan, dan didengarnya. 53 Sejauh-jauh seorang sastrawan hendak mengelak dari segala fakta yang melahirkan, mengasuh, dan mendewasakannya, ia tidak mungkin membuat karya sastra yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan pengalaman, pengetahuan, pikiran, dan perasaannya sendiri. 54 “Semua karya sastrawan itu 53 Shawqi D{ayf, al-Bahth al-Adabi: T{abi‘atuh, Manahijuh, Us}uluh, Mas}adiruh Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1992, 96. 54 Ariel Heryanto, “Sastra, Sejarah, dan Sejarah Sastra” dalam Budaya Sastra Jakarta: CV. Rajawali, 1984, 49. Lihat pula, ‘Abdullah Muh}ammad al-Ghudhami dan ‘Abd al-Nabi S}t}if, Naqd Thaqafi am Naqd Adabi? Damaskus: Dar al-Fikr, 2004, 110. 22 mengambil inspirasi dari kehidupan ... Bahkan, ketika novel itu produk dari perenungan dan pemikirannya, bukan dari peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, maka pemikiran itu sendiri pada dasarnya merupakan produk dari interaksi sastrawan dengan realitas yang dijalaninya,” tegas Najib Mah}fuz}. 55 Dengan kata lain, tidak ada karya sastra yang dapat menghuni suatu wilayah otonom yang serba fiktif, imajiner, dan terlepas dari sangkut-pautnya dengan dunia “luar” sastra. 56 Setiap teks --menurut Fredric Jameson-- pada dasarnya mengandung gema sosial, historis, dan politis. 57 Gema dunia “luar” sastra dalam setiap teks sastra ini tampak lebih kentara pada karya-karya sastra realis. Imajinasi dan idealisasi tidak mendapat porsi besar dalam karya-karya semacam ini. Lukisan tentang kenyataan secara apa adanya 55 Najib Mah}fuz}, Wat}ani Misr: H{iwarat ma‘a Muh}ammad Salmawi Kairo: Dar al-Shuruq, 1997, 80. 56 Adanya unsur imajinasiinvensi dan fakta dalam karya sastra ini melahirkan persoalan tentang pembedaan antara sejarah history dan fiksi fiction yang, selanjutnya, menyebabkan munculnya beragam istilah, seperti fiksi sejarah historical fiction dan sejarah fiksional fictional history . Bagi, Robert F. Berkhofer, JR., sebagaimana sejarawan, novelis fiksi sejarah tetap membedakan antara dunia fiksi dan fakta dalam karya atau tulisan mereka meskipun mereka mungkin menciptakan tokoh-tokoh utama novel dan menempatkannya dalam konteks historis yang seriil mungkin, sedangkan novelis sejarah fiksional bisa mencampuradukkan keduanya. Hanya saja, Berkhofer mengakui bahwa sejarah dan novel sejarah sama-sama menggunakan alat-alat interpretasi untuk mengelaborasi bukti dokumenter dan artifactual. Pengakuan yang tidak jauh berbeda juga datang dari Hayden White ketika ia membalik pertanyaan teoritis Erich Auerbach dan E. H. Gombrich, “Komponen-komponen ‘historis” apa dalam seni ‘realis’?” what are the ‘historical’ componens of a ‘realistik’ art ? menjadi “Unsur-unsur artistik apa dalam historiografi realis?” what are the ‘artistic’ elements of a’realistic’ historiography?. Menurut White, pembedaan antara “sejarah” dan “fiksi” yang disarkan pada fakta bahwa seorang sejarawan itu “menemukan” cerita-ceritanya sedangkan seorang penulis fiksi itu “menciptakannya” adalah kabur, karena “invensi’ penciptaan juga memainkan peran dalam kerja sejarawan. Penulisan sejarah, dalam pandangannya, juga melalui proses seleksi dan penyusunan data dari catatan sejarah yang belum terproses unprocessed historical record agar catatan tersebut lebih dapat dipahami oleh audiens tertentu. Di sana juga ada proses yang disebutnya emplotment, yaitu cara pengurutan peristiwa menjadi kisahcerita, sehingga jenis kisahcerita tersebut pelan-pelan dapat dikenali romantik, tragik, komik atau satiris. Lihat, Robert F. Berkhofer, JR., Beyond the Great Story: History as Text and Discourse Cambridge: Harvard University Press, 1997, 66-8. Lihat pula, Hayden White, Metahistory: the Historical Imagination in Nineteenth-Century Europe Baltimore London: the Johns Hopkins University Press, 1975, 2-7. 57 Yoseph Yapi Taum, Pengantar Teori sastra Flores: Nusa Indah, 1997, 54. Bandingkan dengan pandangan Roger Fowler yang memandang sastra sebagai wacana sosial social discourse. Menurutnya, teks sastra harus dilihat sebagai relasi-relasi berbagai agen di antara pengguna bahasa, bukan hanya relasi-relasi ungkapan, melainkan relasi-relasi kesadaran, ideologi, peran, dan kelas. Lihat, Roger Fowler, Literature as Social Discourse: The Practice of Linguistic Criticism London: Batsford Academic and Educational Ltd., 80. 23 adalah ciri utama karya-karya sastra realis. 58 Dalam konteks Mesir, sastra realis didefinisikan oleh Ah{mad D{ayf sebagai: sastra yang memotret senyata mungkin petani di ladangnya, pengusaha di tempat usahanya, pangeran di istananya, sarjana di antara buku-buku dan mahasiswanya, tokoh agama di antara para jamaahnya.” 59 Oleh karena itu, menganalisis karya sastra dengan hanya berkutat pada struktur “dalam” tidak saja akan melepaskan karya tersebut dari konteks dan fungsi sosialnya tetapi sekaligus mengenyampingkan manusia --termasuk pengarang-- yang berada di sekitarnya. Dalam kenyataannya, sastra merupakan sesuatu yang berada dan lahir dalam suatu peta sosial budaya dan dalam kondisi sosio-historis tertentu. Struktur luar, tempat lahirnya karya ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan memiliki hubungan erat dengan struktur dalam karya sastra. Hubungan yang erat antara struktur “dalam” dan “luar” sastra itu didasarkan pada kelahiran sastra itu sendiri yang disebabkan oleh dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan peduli terhadap dunia nyata yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman. Karena watak sastra yang demikian, sastra dapat memberikan kepuasan estetik dan sekaligus kepuasan intelek bagi 58 Memang tujuan paling umum realisme adalah menyajikan representasi tentang dunia riil, baik dunia eksternal maupun diri manusia, secara obyektif, seksama, dan sebenar-benarnya. Untuk mencapai tujuan ini, kaum realis memakai sejumlah strategi: menggunakan rincian yang deskriptif dan evokatif; menghindari yang tidak masuk akal, imajiner, dan mitis; mengikuti atau memenuhi tuntutan probabilitas dan meniadakan peristiwa-peristiwa yang mustahil; memasukkan tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dari seluruh strata sosial, dan tidak hanya para penguasa dan bangsawan; memfokuskan pada kekinian dan memilih topik-topik dari kehidupan kontemporer, bukan merindukan masa lalu yang diidealisasikan; dan menekankan pada sosial, bukan individual atau melihat individu sebagai makhluk sosial. Semua tujuan dan strategi ini didasari oleh sebuah penekanan pada observasi langsung, faktualitas, pengalaman, dan induksi menyimpulkan kebenaran-kebenaran umum hanya atas dasar pengalaman yang berulang-ulang. Dengan mengambil strategi-strategi ini, realisme merupakan reaksi terhadap idealisasi, retrospeksi historis, dan dunia-dunia imajiner yang menjadi ciri romantisisme. Lihat, M.A. Rafey Habib, A History of Literary Criticism: from Plato to the Present Oxford: Blackwell, 2005, 471. 59 Lihat, J. Brugman, An Introduction to the History of Modern Arabic Literature Leiden: E.J. Brill, 1984, 4-5. Lihat pula, Matti Moosa, The Origins of Modern Arabic Fiction London: Lynne Rienner, 1997, 269; dan Yusuf al-Sharuni, al-Rawa’iyun al-Thalathah: Najib Mah}fuz}, Yusuf al-Siba‘i , Muh}ammad ‘Abd al-H{alim ‘Abdullah Kairo: al- H{ad}arah al-‘Arabiyah, tt., 13. 24 penikmatnya. Kepuasan estetik didapat penikmat dari keahlian pengarang dalam mengungkapkan kenyataan dan kepuasan intelek diperolehnya dari kenyataan yang diangkat pengarang itu sendiri. Kenyataan ini meliputi aspek sosial, budaya, politik, agama, dan aspek-aspek lain yang terkait dengan keseluruhan kehidupan pengarang dan masyarakat penikmat karyanya. Membaca karya sastra berarti membaca suatu segi kebudayaan. Dalam karya sastra terpancar pemikiran, kehidupan, dan tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat. 60 Dapatlah dipahami apabila Grebstein mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami seutuhnya terlepas dari milieu, budaya, atau peradaban, tempat kelahirannya. Ia haruslah dikaji dalam konteks yang seluas mungkin, daripada hanya karya itu sendiri. Setiap karya sastra, menurutnya, merupakan hasil atau akibat dari interaksi berbagai faktor sosial dan budaya yang kompleks. Karya sastra itu sendiri adalah sebuah obyek budaya yang kompleks. Bagaimanapun juga, ia adalah sebuah fenomena yang tidak berdiri sendiri. 61 Hanya saja, gema sosial masyarakat ini hadir dalam karya sastra setelah mengalami serangkaian olahan dan polesan dari pengarang. Kenyataan dalam karya sastra adalah kenyataan yang tidak lepas dari “konstruksi” pengarang, kenyataan yang telah ditafsirkan. “Bagaimanapun juga, dunia riil tidak otomatis direproduksi dalam fiksi tetapi direpresentasikan olehnya, melalui bahasa, media yang juga dikonstruksi secara sosial,” tandas Samah Selim. 62 Kenyataan tersebut bukanlah sekedar copy atau jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis. Pengarang tidak semata-mata melukiskan kenyataan obyektif, tetapi 60 Okke K. S. Zaimar, Menelusuri Makna “Ziarah” Karya Iwan Simatupang Jakarta: Intermasa, 1990, 1. 61 Sheldon Norman Grebstein Ed., Perspectives in Contemporary Criticism New York, 1968, 164-165. “The literary work cannot be fully understood apart from the milieu or culture or civilization in which it was produced. It must be studied in the widest possible context rather than by itself. Every literary work is the result of complex interaction of social and cultural factors and is itself a complex cultural object. It is, in any case, not an isolated phenomenon .” 62 “The real world is not, after all, mechanically reproduced in fiction but represented by it, through language, which is in turn a socially constructed medium .” Lihat, Samah Selim, The Novel and the Rural Imaginary in Egypt 1880-1985 New York London: RoutledgeCurzon, 2004, 128. 25 mengolahnya sedemikian rupa sesuai dengan kualitas kreativitasnya. 63 Tanpa olahan oleh hal terakhir ini, kenyataan yang dihadirkannya tentu menjadi tidak bermakna. 64 Dengan kata lain, kenyataan faktual, bagi pengarang, tidak lebih dari semacam rangsangan untuk menciptakan kenyataan estetisnya sendiri. Pengolahan pengarang atas kenyataan ini lahir sebagai akibat otomatis dari fakta bahwa pengarang --sebagaimana pengakuan Najib Mahfuz} sendiri-- menulis itu lebih dimotivasi oleh keinginan menyampaikan sebuah pemikiran daripada oleh keinginan menulis itu sendiri. 65 Ia ingin menawarkan “the possible imagined world,” sebuah dunia imajiner yang tidak mustahil ada, sebagai sebuah alternatif dari kenyataan faktualnya yang penuh kontradiksi. Sistem berpikir atau ide yang diyakini dan dipilih pengarang sendiri inilah yang disebut sebagai ideologi atau --dalam istilah Lucien Goldmann-- pandangan dunia pengarang. 66 Hanya saja, karena pengarang adalah bagian dari sebuah kelompok masyarakatnya, maka ideologi atau pandangan dunianya sebenarnya juga mewakili ideologi atau pandangan dunia kelompok sosialnya. 67 Ilmu sastra yang menelaah karya atau struktur “formaldalam” sastra dalam hubungannya dengan pengarang dan masyarakat pembacanya sebagai struktur “luar” karya sastra ini dikenal dengan sosiologi sastra. Bila pembagian 63 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, 6-7. 64 H{amid Lah}amdani, al-Naqd al-Rawa’i wa al-Ideologiya Beirut: al- Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi , 1990, 29. 65 Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah: Qira’ah fi ‘Aql Najib Mah{fuz} Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mis}riyah, 1994, 25. 66 Bagi Lennard Davis, novel tidak melukiskan kehidupan. Ia melukiskan kehidupan sebagaimana direpresentasikan oleh ideologi, yaitu sistem penandaan yang, dalam interpenetrasinya dengan psikis individu, membuat hal-hal “memiliki makna” tertentu bagi budaya dan individu-individu dalam budaya tersebut. Kehidupan merupakan serangkaian peristiwa dan persepsi yang luas dan tidak terkoordinir, sedangkan novel itu sistem pengalaman yang telah diorganisir sebelumnya, tempat para tokoh, tindakan, dan obyek harus bermakna sesuatu dalam hubungannya dengan sistem novel itu sendiri, dengan budaya tempat novel itu ditulis, dan dengan pembaca dalam budaya tersebut. Lihat Lennard Davis, Resisting Novel: Ideology and Fiction New York: Methuen, 1987, 24-5. 67 Pandangan dunia, bagi Goldmann, adalah istilah bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama- sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. Lihat, Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, 16. 26 Rene Wellek dan Austin Warren atas dua pendekatan utama dalam teori atau ilmu sastra, intrinsik dan ekstrinsik, diikuti, maka sosiologi sastra termasuk ilmu yang mempergunakan pendekatan ekstrinsik. 68 Dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra tidak jatuh dari langit; hubungan-hubungan yang ada antara sastra, sastrawan, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari. 69 Kajian tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat, menurut Ian Watt seperti disebutkan oleh Hashim Awang, dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, konteks sosial pengarang. Ini terkait dengan posisi atau kedudukan sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang dan isi karya sastranya juga termasuk dalam pokok ini. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, yaitu sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan masyarakat. Pandangan sosial pengarang, menurut Watt, harus diperhitungkan bila seseorang menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Di sini ada tiga pandangan tentang fungsi karya sastra: sebagai pembaharu, sebagai hiburan, sebagai media untuk mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. 70 Kajian yang pertama dan ketiga disebut juga sosiologi komunikasi sastra, sedang kajian yang kedua disebut penafsiran teks sastra secara sosiologis. 71 Dalam aplikasinya, ketiga kajian tersebut, meski berbeda dalam penekanannya, tidak dapat betul-betul dipisahkan dari yang lain. 68 Dalam pendekatan instrinsik, karya sastra dipisahkan dari lingkungannya, dalam arti ia dianggap otonom dan bisa dipahami tanpa harus mengaitkannya dengan lingkungannya. Dalam pendekatan ekstrinsik, hubungan-hubungan yang ada antara karya sastra dan lingkungannya itu hendak diungkap. Pendekatan terakhir ini beranggapan bahwa karya sastra tidak bisa dipahami seutuhnya jika dilepaskan dari lingkungan tempat kelahirannya. Lihat uraian Rene Wellek dan Austin Warren tentang ini dalam Theory of Literature New York: Hartcourt, Brace World Inc., 1956. 69 Sapardi Djoko Damono, Priyayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an, Yogyakarta: Bentang, 2000, 12. 70 Hashim Awang, Kritikan Kesusastraan: Teori dan Penulisan Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988, 26-7. 71 Dick Hartoko dan B. Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra Yogyakarta: Kanisius, 1986, 129. 27 E.2. Agama dan Perubahan Proses perubahan sosial, politik, dan ekonomi, yang mula-mula berlangsung pada masyarakat Barat, lalu diikuti oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat non-Barat biasa disebut dengan modernisasai. 72 Al-Sayyid Yasin, penasehat Pusat Kajian Politik dan Strategi di Harian al-Ahram, mengajukan definisi yang cukup sederhana. Menurutnya, modernisasi al-tah}dith adalah naql mujtama‘ taqlidi ila mujtama‘ h}adith , perubahan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. 73 Selanjutnya, manusia modern, sebagaimana dikemukakan oleh Alex Inkeles, mempunyai atribusi-atribusi internal dan eksternal. Secara eksternal, manusia modern adalah agen dan produk dari indikator-indikator modernitas, seperti urbanisasi, pendidikan, politisasi, industrialisasi, dan komunikasi yang luas. Secara internal, manusia modern itu terbuka untuk menerima pengalaman baru, dan terbuka untuk pembaharuan dan perubahan; mampu membentuk dan memberi opini atas sejumlah besar problem dan issu di lingkungannya; bersikap lebih demokratis terhadap berbagai pendapat; berorientasi kepada masa sekarang dan masa depan, bukan masa lampau; berdisiplin dalam waktu; berorientasi pada perencanaan dan pengorganisasian sebagai cara mengatur kehidupannya; percaya bahwa manusia dapat belajar untuk menguasai lingkungannya; percaya bahwa dunia ini dapat diperhitungkan di bawah kontrol manusia, bukan takdir; memiliki kesadaran tentang martabat orang lain dan respek terhadap mereka; percaya kepada ilmu pengetahuan dan teknologi; dan percaya kepada keadilan distributif, yaitu jasa, bukan askripsi, sebagai kriteria penghargaan. 74 Dalam proses perubahan atau modernisasi ini, biasanya yang menjadi tolak ukur adalah bangsa Barat. Hal ini wajar karena modernitas mula-mula lahir 72 Reinhard Bendix, “Apa Itu Modernisasi” dalam Beling dan Totten, Modernisasi Masalah Model Pembangunan , terjem. Mien Joebhaar dan Hasan Basri Jakarta: CV. Rajawali, 1985, 4. 73 Lihat kumpulan makalah seminar “al-H{adathah wa Ma Ba‘d al-H{adathah,” yang diselenggarakan oleh Jam‘iyah al-Da‘wah al-Islamiyah al-‘Alamiyah pada 13 Maret 1998, 13. 74 Lihat, Ghulam Nabi Saqib, Modernization of Muslim Education in Egypt, Pakistan, and Turkey: A Comparative Study Lahore: al Faried, 1983, 22-3. 28 dari kalangan bangsa-bangsa Barat sebelum akhirnya menyebar ke seluruh dunia. 75 Adalah sebuah takdir sejarah bahwa modernitas lahir dari Barat sebagaimana sebelumnya zaman Agraria yang disebut sebagai permulaan sejarah lahir dari Lembah Mesopotamia bangsa Sumeria. Menurut Arnold Toynbee, seperti yang dikutip oleh Nurcholish Madjid, modernitas telah mulai sejak menjelang akhir abad XV M, ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri, karena ia telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen pada abad pertengahan. 76 Modernitas menemukan momentumnya pada dua peristiwa yang kurang lebih terjadi secara simultan, yaitu: 1 Revolusi Industri di Inggris yang kemudian menimbulkan kemajuan pesat dalam berbagai bidang kehidupan; dan 2 Revolusi Perancis yang telah meletakkan dasar bagi norma-norma baru dalam hubungan sosial umat manusia. 77 Oleh karena itu, wajarlah bila bangsa-bangsa Barat lebih dahulu menikmati kemudahan hidup dan kemakmuran yang diwujudkan oleh modernitas daripada bangsa-bangsa di belahan dunia yang lain. Hanya saja, ketika teknologi yang berbasis ilmu pengetahuan--salah satu penopang modernitas-- 78 membuat modernitas yang mula-mula lahir di Barat ini menjagat mengglobal dan menjadikan jarak antarbelahan dunia semakin pendek, 75 Modernitas didefinisikan sebagai sebuah periode sejarah postradisional yang ditandai oleh industrialisme, kapitalisme, negara bangsa, dan berbagai bentuk pengawasan. Istilah “modernitas” dari bahasa latin yang berarti “sekarang” yang menunjuk pada makna yang berlawanan dengan “lama” qadim pertama kali dipakai pada awal era Elizabeth I 1523-1603. Lihat, Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice London: Sage, 2000, 111 dan 387. Lihat pula, Shukri Muh}ammad ‘Iyad, al-Madhahib al-Adabiyah wa al-Naqdiyah ‘ind al- ‘Arab wa al-Gharbiyîn Kuwait: al-Majlis al-Wat}ani li al-Thaqafah wa al-Funun wa al- Adab, 1993, 19; dan Muh}ammad Kamil D{ahir, al-S{ira‘ bayn al-Tayyârayn al-Dini wa al-‘Almani fi al-Fikr al-‘Arabi al-H{adith wa al-Mu‘as}ir Beirut: Dar al- Biruni, 1994, 12. 76 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000, 450. 77 Harvey Cox, Religion in the Secular City New York: Simon Schuster, 1984, 182. 78 Begitu dominannya peran teknologi yang berdasar pada ilmu pengetahuan dalam modernitas, sehingga ada anggapan bahwa zaman sekarang lebih tepat jika disebut sebagai zaman Teknik, bukan zaman Modern. Penopang modernitas yang lain adalah rasionalisme, sekularisasi agama, penggandaan keuntungan, dan negara bangsa nation state dalam sistem politik. Lihat, Harvey Cox, Religion, 183; lihat pula, Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam Chicago: the University of Chicago Press, 1974, jilid III, 201. 29 maka kontak dan penerusan teknik-teknik dan ide-ide seperti tentang negara bangsa nation state, demokrasi, persamaan hak, dan industri pun terjadi, dari -- meminjam ungkapan Reinhard Bendix-- masyarakat-masyarakat majuperintis kepada masyarakat-masyarakat pengikut. Sebuah perubahan sosial, berupa kemajuan politik dan ekonomi, kemudian dapat disaksikan dalam beberapa masyarakat perintis, lalu disusul oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat pengikut. Fenomena inilah yang disebut sebagai modernisasi. 79 Gelombang modernisasi ini lalu menyebar dan menjadi agenda utama semua bangsa. Bahkan, sejak Perang Dunia II istilah modernisasi dapat dikatakan telah menjadi mode. Seolah-olah modernisasi merupakan kunci sukses mencapai taraf modernitas, sebuah prestasi yang telah mengantarkan bangsa-bangsa Barat meraih supremasi atas dunia, baik dalam bidang sosial, budaya, politik maupun ekonomi. Dunia Islam pun, terutama Mesir, tidak luput dari gelombang besar modernisasi ini. Modernisasi yang dilangsungkan di dunia Islam kemudian menimbulkan berbagai perubahan, baik pada level institusi sosial, ekonomi, dan politik maupun pada level individu. Pada level terakhir ini lahirlah individu-individu modern dalam masyarakat. Di antara ciri individu modern adalah terdidik secara lebih baik, lebih terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan non tradisional, dan lebih terbuka pada media komunikasi massa yang lebih baru. Individu modern juga ditandai oleh keterbukaannya pada pengalaman baru dan keinginannya untuk berubah. Pandangan dan wawasannya tidak sempit atau terbatas pada milieu tempat tinggalnya, tetapi menembus entitas yang lebih luas seperti negara, kawasan, dan dunia. Ia berpartisipasi dalam isu-isu dan aktivitas-aktivitas sosial. Ia sangat independen dari sumber-sumber pengaruh tradisionalnya. Dalam membuat keputusan tentang kehidupan pribadi dan publiknya, ia tidak tergantung pada pemimpin-pemimpin agama atau tokoh-tokoh kampung. Individu modern 79 Reinhard Bendix, “Apa Itu Modernisasi” dalam Beling dan Totten, Modernisasi, 4 dan 10. 30 menolak sikap pasif dan fatalis dalam menjalani dan mengontrol kehidupannya. Ia selalu memiliki spirit rasionalitas. 80 Perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh modernisasi ini, secara tidak terhindarkan, juga merembet ke dalam area agama. Hal ini karena di samping Barat yang merupakan tolak ukur modernitas telah melakukan sekularisasi yang berujung pada pemarjinalan dan pereduksian peran agama dalam urusan-urusan dunia, 81 juga karena perubahan dan perkembangan merupakan sifat dasar dan tuntutan ilmu pengetahuan. 82 Dalam perspektif Karl Marx, perubahan bidang ekonomi dan materi yang dibawa ilmu pengetahuan dan teknologi akan berpengaruh terhadap kepercayaan, nilai, dan perilaku manusia termasuk keberagamaan dan sikap manusia terhadap agamanya. Dalam pengalaman masyarakat Barat, misalnya, perubahan ekonomi dan materi telah menyebabkan kehadiran Tuhan di tengah-tengah mereka menjadi jarang dan itu pun hanya dalam ruang yang terbatas, dan mereka hanya mempertimbangkan efek setiap tindakannya di dunia saja, bukan lagi efek ukhrawinya. 83 Namun, harus dikatakan bahwa --mengikuti pendapat Max Weber-- kepercayaan, nilai, dan perilaku 80 Javaid Saeed, Islam and Modernization: A Comparative Analysis of Pakistan, Egypt, and Turkey London: Praeger, 1994, 17-18. 81 M. Amien Rais, dalam kata pengantarnya atas terjemahan buku Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis, menyebutkan beberapa definisi sekularisasi. Para theolog Kristen Katolik mendefinisikan sekularisasi sebagai the confiscation of church properties and functions by worldly secular or non-ecclesiastical authorities, or as the relaxation of religious rules in order to permit a “religious” to live outside the cloister in the world ; sedangkan bagi kalangan Kristen Protestan, sekularisasi adalah removal from denominational or clerical control, loss of a trancendent dimension, hostility, to traditional theology, and preoccupation with temporal or material things as opposed to eternal or “spiritual” ones . George Jacob Holyoahe humanis Inggris yang tidak menyukai gereja di masanya pada pertengahan abad ke-19 memaknai sekularisasi sebagai suatu paham yang berkaitan dengan kewajiban hidup manusia di atas muka bumi yang didasarkan semata-mata pada pertimbangan “manusiawi,” dan dimaksudkan terutama untuk mereka yang menganggap teologi yang ada tidak jelas atau tidak cukup, tidak dapat dijadikan andalan. Lihat, Donald Eugene Smith, Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis , terjem. Machnun Husain Jakarta: CV. Rajawali, 1985, xiii. 82 Harun Nasution dan Azyumardi Azra Ed., Perkembangan Modern dalam Islam Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, 1. 83 Sidi Gazalba, Islam Perubahan Sosiobudaya: Kajian Islam tentang Perubahan Masyarakat Jakarta: Pusataka Alhusna, 1983, 233-234. 31 manusia tidah hanya dipengaruhi oleh ekonomi materi, melainkan juga oleh ide- ide tentang agama. 84 Selanjutnya, seluruh agama pada dasarnya merupakan perpaduan kepercayaan dan sejumlah ritual, 85 dan kepercayaan ini dapat diungkapkan melalui pemikiran dan perbuatan. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang bisa dilihat dari berbagai dimensi. Para sarjana Barat menggunakan dimensi yang berbeda-beda dalam penelitiannya tentang keberagamaan individu. Ada yang menggunakan pendekatan unidimensional yang menggunakan satu kriteria seperti frekuensi kehadiran seseorang pada ritual-ritual agama, pentingnya agama bagi kehidupannya sehari-hari atau frekuensi berdoanya. Ada pula, tetapi ini muncul belakangan, yang menggunakan pendekatan multidimensional. Lenski, misalnya, membedakan dua bentuk keberagamaan: ortodoksi doktrinal mengakui kepercayaan-kepercayaan sentral sebuah kelompok agama dan devotionalism merasakan kontak personal dengan Tuhan. Lain lagi dengan Charles Glock dan Rodney Stark. Ia mencoba mengoperasionalkan 8 dimensi keberagamaan: 1 pengalaman experiential, yaitu perasaan telah berhubungan erat dengan Tuhan; 2 ritualistik frekuensi partisipasi dalam pelayanan ibadah sebuah jamaat; 3 devotional kesetiaan pada kebaktianketaatan pribadi dan keteraturan dalam doa tersendiri; 4 kepercayaan tingkat kecocokan dengan kepercayaan kelompok; 5 pengetahuan atau intelektual tingkat pengetahuan tentang kepercayaan- kepercayaan dan doktrin-doktrin kelompoknya; 6 konsekuensi, yaitu sejauh mana komitmen dan perilaku agama mempengaruhi sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari; 7 komunal jumlah teman satu sekte; 8 dan partikularisme kepercayaan bahwa keimanannya sendirilah yang akan memberikan harapan keselamatan. 86 84 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Jilid 1, terjem. Robert M.Z. Lawang Jakarta: PT Gramedia, 1988, 237. 85 Fransiesco Jose Moreno, Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusia , terjem. M. Amin Abdullah Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994, 21. 86 Lihat, Keith A. Roberts, Religion in Sociological Perspective Belmont: ThomsonWadsworth, 2004, 14-15. 32 Beragam dimensi yang digunakan para sarjana untuk mengukur keberagamaan seseorang tersebut tentu dipengaruh oleh sifat dan posisi agama, tempat mereka melakukan penelitiannya. Dalam konteks masyarakat Mesir dan terutama dalam konteks literer novel-novel realis Najib Mah}fuz, tampaknya dimensi yang bersifat eklektif dapat digunakan. Dimensi eklektif ini adalah: 1 keyakinan individu atas eksistensi dan kekuasaan Tuhan dimensi keyakinan dan pengalaman; 2 pengetahuannya tentang agama dimensi pengetahuan; 3 ketaatannya dalam menjalankan ajaran atau ritual agama seperti dalam Islam shalat, puasa, dan haji dimensi ritual; 4 sejauh mana komitmen keagamaannya mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari dimensi konsekuensi; dan 5 pandangannya terhadap makna dan peran agama dalam kehidupan dimensi persepsi fungsional. Hanya saja, seorang individu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya yang, dalam perspektif sosiologis, memiliki kelompok atau golongan atau kelas sosial. Individu-individu yang menempati kelas yang sama dalam struktur sosial biasanya mempunyai kecenderungan yang sama dalam bersikap, berpikir, dan memandang realitas termasuk realitas agama. 87 Oleh karena itu, tipologi keberagamaan pun dapat dibangun berdasarkan kelompok atau golongan atau kelas sosial, tempat individu berada. Di sini, kelompok sosial berdasar kelas bawah, menengah, dan atas dan pendidikan tampaknya lebih masuk akal untuk menjadi dasar kontruksi tipologi keberagamaan, mengingat dua hal. Pertama, kedua kelompok sosial ini memiliki akses dan merasakan implikasi yang berbeda, baik yang positif maupun yang negatif, dari proses modernisasi yang sedang berlangsung. Kedua, sikap individu terhadap agama dan keberagamaannya tidak saja dipengaruhi oleh intensitas dan frekuensi persentuhan dan penyerapannya atas modernisasi dan segala dampaknya, tetapi juga oleh 87 Bagi Chris Weedon, misalnya, ada hubungan erat antara kelas dan identitas dalam banyak konteks sosial. Kelas membentuk, umpamanya, makna-makna yang diberikan pada cara- cara tertentu dalam berbicara dan berpakaian, pada bentuk-bentuk eksklusif dalam pendidikan dan keanggotaan di organisasi-organisasi tertentu. Kelas juga mempengaruhi cara-cara para individu saling berinteraksi. Lihat, Chris Weedon, Identity and Culture: Narratives of Difference and Belonging Berkshire: Open University Press, 2004, 11. 33 milieu tempat ia lahir dan tumbuh besar sebagai sosialisasi dasar-dasar pengetahuan agama dan kepatuhan beragama. Ibrahim A‘rab, sebagaimana yang dilakukan banyak Islamolog lain, 88 mengelompokkan keberagamaan umat Islam atau praksis Islam menjadi tiga. 89 Pertama, Islam popular al-Islam al-Sha‘bi, tempat ibadah memperoleh ciri atau bercampur dengan tradisi. Kedua, Islam formal al-Islam al-rasmi, yang terkait dengan institusi fiqh yang biasanya menjadi alat ideologis bagi negara. Ketiga, Islam politik al-Islam al-siyasi yang kemudian menjelma menjadi gerakan-gerakan Islam dan para propaganda negara Islam, solusi Islam, dan penerapan syariah Islam. Ah}mad Zayd mengelompokkan keberagamaan masyarakat Mesir ke dalam lima pola. Pertama, pola keberagamaan arketif atau dasar al-namat} al- as}li , yaitu pola yang telah dikenal oleh masyarakat Mesir cukup lama. Perilaku beragama pola ini didasarkan pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban pokok agama. Keberagamaannya pun bersifat personal, sehingga sang ayah tidak menentukan perilaku keberagamaan tertentu kepada anak-anak atau istrinya. Selain itu, keyakinan agama bercampur dengan keyakinan masyarakat. Kedua, pola keberagamaan ritualis al-namat} al-t}uqusi. Keberagamaan di sini tidak hanya tercermin dalam pelaksanaan ritual wajib agama, tetapi juga dalam upaya terus-menerus untuk belajar agama secara sendiri. Agama pun menjadi sumber moralitas yang utama. Pemakaian hijab bagi para perempuan, berlomba membaca al-Qur’an dan buku-buku agama dalam waktu-waktu tertentu, shalat di masjid, dan melaksanakan haji dan umrah merupakan simbol-simbol agama yang lekat 88 Ernest Gellner membagi model atau tipologi Islam menjadi dua, yaitu Islam Tinggi high Islam dan Islam Rakyat folk Islam. Islam Tinggi dibawa oleh para sarjana perkotaan berpendidikan yang merefleksikan keinginan dan nilai-nilai kelas menengah kota. Islam model ini bersifat skripturalis, menekankan hukum, puritan, literal, sederhana, egaliterarian, dan anti- ekstasisme. Islam rakyat adalah Islam sebagaimana dipraktikkan oleh massa rakyat, terutama masyarakat desa dan anggota suku, sebagian besar tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Mereka percaya khurafat, suka ekstasisme, hirarkis, suka tawas}s}ul, dan sifat lembaganya adalah adanya pemujaan kepada wali. Lihat, Riaz Hassan, Faithlines: Muslim Conceptions of Islam and Society Karachi: Oxford University Press, 2003, 119. 89 Ibrahim A’rab, al-Islam al-Siyasi wa al-H{adathah Beirut: Afriqiya al- Sharq, 2000, 10. Lihat pula, Gerda Sengers, Women and Demons: Cult Healing in Islamic Egypt Boston: Brill, 2003, 20. 34 dengan pola ini. Ketiga, pola keberagamaan formalistik al-namat} al- shaklani . Perasaan keagamaan pola ini tidak mendalam, dalam arti pelaksanaan ritual agama lebih karena orang lain, sehingga ia terkesan formalis. Agama juga tidak menjadi panduan moral individu. Simbol keagamaan yang dimunculkannya antara lain mengenakan pakaian putih saat pergi ke masjid, membawa tasbih, memanjangkan jenggot, dan menunaikan haji atau umrah berkali-kali. Keempat, pola keberagamaan aktivis al-namat} al-nashit} siyasiyan , yaitu keberagamaan yang ditandai oleh keinginan untuk mengubah lingkungannya. Pola ini ada yang moderat dan ada yang ekstrim. Kelima, pola keberagamaan patrimonial al-namt} al-abawi, pola keberagamaan yang mirip formalis, tetapi juga ditandai oleh pemanfaatan agama secara politik dan ekonomi. Membagikan zakat, membangun masjid, dan memberi makan di hari raya adalah sebagian cirinya, yang biasanya diiringi dengan promosi diri, terutama saat pemilihan umum. 90 Meskipun modernisasi telah melahirkan beragam sikap masyarakat terhadap agama dalam kaitannya dengan tantangan modernitas dan beragamnya kecenderungan keberagamaan mereka, dapat dipastikan bahwa agama akan tetap hadir dalam kehidupan manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Modernisasi sama sekali tidak membuat agama mati, tetapi hanya membuat sikap orang terhadap agama dan perilaku keberagamaannya mengalami perubahan. Dalam beberapa hal, modernisasi bahkan dapat memperkokoh posisi agama di tengah-tengah masyarakat. 91 Dengan landasan teoritis di atas, maka disertasi ini dirancang dengan menggunakan kerangka konseptual sebagai berikut: Keberagamaan Masyarakat Mesir 90 Ah}mad Zayd, Tanaqud}at al H{adathah fi Mis}r Kairo: Ein, 2005, 81-4. 91 Soedjatmoko, Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan, Sejarah, dan Ilmu Pengetahuan Jakarta: LP3ES, 1988, xxxv-vi. 35 Faktual Pengarang Keberagamaan Masyarakat Mesir Ideologi atau dalam Novel pandangan dunia pengarang Kelas Bawah dan Menengah Tidak terdidik Dimensi Keberagamaan: 1 Keyakinan dan Pengalaman Kelas Menengah Terdidik 2 Pengetahuan 3 Ritual 4 Konsekuensi Kelas Atas 5 Persepsi Fungsional

F. Kajian Pustaka