62
dan pemikir, bukan penguasa. Pandangannya bukan keputusan yang mengikat orang lain, melainkan pandangan yang bisa didiskusikan dengan bebas. PLO
sendiri telah mengirimkan ucapan selamat pada Najib saat ia menerima nobel dan memuji sikap-sikap positifnya terhadap masalah Palestina.
Terlepas dari berbagai keberatan dan pertanyaan di seputar kenetralan panitia nobel dan seputar kepatutan Najib untuk menerima hadiah nobel sastra,
harus diakui bahwa hadiah nobel masih merupakan hadiah sastra dunia terpenting. Seluruh dunia sangat memperhatikan dan menantikannya setiap tahun dengan
penuh suka cita, dan orang yang menerimanya langsung menjadi pusat perhatian di seantero dunia. Demikian juga harus diakui bahwa nobel sastra yang diterima
Najib tidak hanya berpengaruh pada popularitas pribadi dan sastra Najib,
55
tetapi juga pada seluruh model sastra Arab yang tersedia dalam bahasa asing. Di samping pembaca lokal, kini sastra Arab mempunyai pembaca dunia. Selain itu,
para penguasa dan lembaga-lembaga resmi menjadi peduli dengan sastra dan sastrawan. Para pejabat di Mesir dan dunia Arab menjadi sadar bahwa sastra Arab
mampu menjadi sumber nilai bagi negerinya. Keberhasilan Najib juga dapat bermakna kemenangan politik dunia bagi Arab pada saat beragam frustasi
meliputinya dari setiap sisi.
56
B. Najib Mah{fuz} dan Kelas Menengah Mesir
Bahwa karya-karya Najib mengandung nilai-nilai humanis dan universal, dan publik internasional telah mengakui muatan humanisme dan universalitas
karya Najib adalah kenyataan yang tidak terbantahkan dari fakta historis
55
Najib mengakui bahwa hadiah nobel berpengaruh terhadap perbaikan kondisi materinya dan luasnya gerakan penerjemahan atas karya-karyanya. Namun, nobel juga dirasakan
Najib secara pribadi berdampak tidak baik. Pertama, sejak pengumuman kemenangan nobelnya, tiada hari tanpa permintaan wawancara koran, radio atau TV, dari Mesir atau dari negara-negara
dunia. Ini tentu membebaninya karena dua alasan: bertentangan dengan sifat introvertnya yang tidak suka popularitas; dan kesehatannya tidak lagi mampu menanggung beban fisik ini, terutama
dalam usia lanjutnya. Kedua, Perasaan-perasaan bermusuhan yang tampak pada beberapa sastrawan, tetapi ini mampu dihadapinya secara rasional. Namun, yang pasti pengaruh positif
nobel diakuinya jauh lebih besar dari ketidakbaikannya. Lihat, Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at
, 166.
56
Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz}, 38-39.
63
pemberian nobel sastra kepadanya pada tahun 1988. Namun, bahwa karya-karya Najib mengambil tempat peristiwa dan tokoh-tokoh cerita dari tempat dan
kalangan tertentu adalah kenyataan lain dalam karya-karyanya yang juga tidak bisa dipungkiri. Dari dua kenyataan ini pertanyaan di seputar kaitan antara karya
sastra dan sastrawan, dan antara sastrawan dan lingkungannya patut dimunculkan: karya sastra sebenarnya merupakan ekspresi tentang siapa, sastrawan atau
lingkungan sekitarnya? Dalam hubungannya dengan Najib, pertanyaan ini pun menjadi: karya-karya Najib itu merupakan ekspresi tentang dirinya sendiri atau
ekspresi tentang lingkungan dan masyarakat sekitarnya? Apabila jawabannya adalah pertama, maka mengapa karya-karya tersebut dinikmati dan mendapat
apresiasi masyarakat di sekitarnya, bahkan masyarakat internasional. Apabila jawabannya kedua, maka lingkungan atau masyarakat seperti apa yang
terekspresikan dalam karya-karya Najib. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan memperjelas posisi kelas sosial Najib.
Karya sastra pada dasarnya merupakan wujud konkret dari pengalaman, pikiran, emosi, dan apa yang diangankan oleh pengarang baca: sastrawan.
Dengan daya imajinasi dan invensinya, sastrawan mampu menyatakan pengalaman, pikiran, emosi, dan angan-angannya ini dalam wujud tulisan yang
membentuk dunia yang utuh. Jika sumber tulisan itu merupakan “dunia dalam” sastrawan, maka tulisan adalah “dunia luar”nya yang sesuai dengan dunia dalam
itu.
57
Tentu saja, harus digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kesesuaian antara “dunia luar” dan “dunia dalam” di sini adalah “dunia luar” sebagaimana
yang dipahami oleh pengarangnya sendiri, bukan penikmat karyanya. Pada kenyataannya, kesesuaian dua dunia ini tidak selalu bisa diverifikasi, mengingat
dunia kedua biasanya menjadi wilayah penikmatnya. Sebagai makhluk sosial, sastrawan adalah bagian dari lingkungan sekitar
dan harus hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Jika ia secara fisik mungkin dapat mengambil jarak dan hidup terpisah dari masyarakatnya, maka secara
mental-spiritual ia tidak mungkin dapat lepas dari masyarakatnya. Bahasa yang
57
Redyanto Noor, Pengantar Pengkajian Sastra Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, 2005, 35.
64
digunakannya adalah salah satu bukti dari keterkaitannya dengan lingkungan sekitarnya.
58
Oleh karena itu, pengalaman, pikiran, emosi, dan angan-angan yang terjelma dalam wujud karya sastra tersebut hampir bisa dipastikan bukan hanya
pengalaman, pikiran, perasaan, dan angan-angan sastrawan semata, melainkan juga pengalaman, pikiran, perasaan, dan angan-angan lingkungan dan
masyarakatnya. Dengan kata lain, di samping merupakan ekspresi tentang diri sastrawan, karya sastra juga merupakan ekspresi tentang lingkungan dan
masyarakat sastrawan. Bedanya ekpresi pertama adalah langsung, sedangkan ekpresi kedua adalah tidak langsung.
Daya invensi dan imajinasi sastrawan dalam konteks ini perlu mendapat penekanan agar tidak timbul kesan bahwa sastrawan hanya memindahkan
kenyataan eksternal ke dalam untaian verbal, tanpa menambah atau menguranginya sedikitpun. Kata “invensi” mengacu pada gabungan atau
penggunaan baru atas pengalaman dan pengetahuan yang ada.
59
Dengan daya invensinya, sastrawan mampu mengolah dan menghasilkan karya baru dari bahan-
bahan mentah yang dimilikinya ketika berinteraksi, baik secara fisik maupun non fisik, dengan masyarakatnya. Bahan-bahan mentah ini kemudian disatukan dan
selanjutnya terbangunlah sebuah dunia yang “utuh.” Kemampuan sastrawan menyatukan dan membangun citra dalam angan-angan atau pikirannya tentang
sesuatu ini disebut daya imajinasi. Sesuatu yang dimaksud di sini bisa berupa kenyataan yang pernah dialaminya dan kenyataan yang belum pernah dialami
tetapi “yang mungkin ada.” Dengan dua daya ini, sastrawan menjadi pribadi aktif dan mampu menghasilkan karya-karya yang orisinil.
60
Karena karya sastra pada hakekatnya juga merupakan ungkapan tentang lingkungan dan masyarakat dengan segala pengalaman, pikiran, perasaan, dan
angan-angannya, maka tidak mengherankan kemunculan karya sastra selalu
58
Saini K.M., Protes Sosial, 8.
59
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sociology Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd., 1972, edisi III, 466.
60
St. Sunardi, The Ecstasy of Creation: The Birth of Modern Egyptian Society in Najib Mah}fuz}’s Trilogi
Yogyakarta: Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, tt., 74-5.
65
mendapat tanggapan dari masyarakat pembaca. Tidak jarang respon ini menembus batas-batas geografis, budaya, dan zaman. Karya sastra kemudian
menjadi alat komunikasi antara sastrawan dan masyarakat pembacanya, pembaca lokal dan, bisa jadi, pembaca internasional sebagaimana yang terjadi pada karya-
karya sastra Najib. Lokalitas, bagi Najib, seolah hanya titik tolaknya untuk menyapa dan menjalin komunikasi dengan dunia internasional. Pertanyaan
selanjutnya adalah lokalitas manakah yang dipilih Najib untuk menjadi titik tolaknya: masyarakat Mesir seluruhnya, masyarakat Kairo saja atau bahkan hanya
kelas sosial tertentu masyarakat Kairo. Cerita-cerita Najib hampir selalu dibuat di distrik-distrik kota Kairo
yang berpenduduk padat. Fokusnya pada “the little man” yang menghadapi tradisi-tradisi yang sedang berubah, pemberontakan generasi-generasi yang lebih
muda, dan godaan nilai-nilai Barat.
61
Aristokrat, kelas menengah ke atas, kelas pekerja, dan kaum petani nyaris tidak mendapat tempat dalam karyanya. Ketika
individu-individu dari kelompok-kelompok ini muncul, maka mereka biasanya dipotret dari luar dan melalui kaca mata protagonis borjuis kecil dalam
Miramar , misalnya, tokoh utama Zahra yang seorang petani diceritakan dari
empat sudut pandang yang satu pun tidak berasal dari Zahra sendiri. Karena itu, ia kemudian dijuluki para kritikus sebagai novelis borjuis kecil.
62
Tokoh-tokoh fiktifnya, seperti Ah}mad ‘Akif Khan al-Khalili, al-Sayyid Rid}wan
H{usayni dan al-Sayyid Salim ‘Ulwan Zuqaq al-Midaq, Kamal ‘Abd al- Jawwad dan Yasin Trilogi, dan H{asan Bidayah wa Nihayah adalah
tokoh-tokoh dari kelas sosial borjuis kecil. Problem borjuis kecil sebagai titik tolak kreatifitas Najib didasari oleh
kenyataan bahwa kelas sosial ini menunjukkan potret yang menarik dalam situasi masyarakat yang sedang berubah. Karena lingkungan yang berubah, memiliki
akses terhadap pendidikan, dan bisa melihat pesona material peradaban Barat,
61
Lihat, http:litweb.netbiogsmahfouz_naguib.html, Naguib Mahfouz 1911-, 30 Juni 2010.
62
Rasheed el-Enany, Naguib Mahfouz: The Pursuit, 28. Lihat pula, Yusuf al- Sharuni, al-Rawa’iyun, 13.
66
kelas borjuis ini membangun harapan-harapan perubahan. Ia ingin mendaki kelas sosial yang lebih tinggi dan lepas dari akar-akar lama yang mempertautkannya
dengan kelas bawah miskin. Karena persiapannya tidak cukup, harapan- harapannya pun kandas. Ia pun menjadi tersiksa: tidak lagi merasa nyaman
dengan kehidupan sebagaimana yang dijalani dan dirasakan kelas rendah, juga tidak mampu memenuhi ambisi-ambisinya naik ke kelas sosial atas atau borjuis
besar untuk menikmati harta, pangkat, dan kekuasaan yang dinikmati kelas itu.
63
Tidak jarang, harapan dan ambisinya yang gagal ini harus dibayarnya dengan menggadaikan kehormatan seperti yang dialami oleh Mah}jub ‘Abd al-Da’im
dalam al-Qahirah al-Jadidah atau dengan kematian seperti yang dialami ‘Abbas al-Hilu dalam Zuqaq al-Midaq dan H{asanayn dalam Bidayah wa
Nihayah .
Meskipun tersiksa dan mengalami krisis yang berujung pada akhir yang tragis, kelas ini memiliki keutamaan mengagumkan, bahkan barangkali hanya
merekalah yang memiliki keutamaan-keutamaan yang mengangkat nilai kemanusiaan. Di antara keutamaan mereka adalah memiliki rasa tanggung jawab
atas keluarga, berkorban demi keluarga, dan mengorbankan diri demi keluarga dan saudara. Keputusan Ah}mad ‘Akif untuk mengubur mimpi melanjutkan
studi, kerelaannya bekerja setamat sekolah menengah demi menggantikan peran produktif sang ayah yang dipensiunkan dini, dan penundaannya menikah adalah
salah satu contoh sifat kemanusiaan yang dimiliki kelas ini, yang mensakralkan keluarga dan berkorban demi keluarga.
64
Apakah dengan menulis tentang suatu kelas sosial itu secara otomatis penulisnya memiliki kaitan dengannya tidaklah bisa dipastikan. Hal ini karena
menulis sesuatu tidak selalu identik memiliki kaitan dengan sesuatu. Untuk memastikan kelas penulis, tampaknya karya-karya penulis tersebut harus dilihat
secara utuh, tidak parsial. Dalam kaitannya dengan karya-karya Najib yang
63
Muh}ammad H{asan ‘Abdullah, al-Waqi‘iyah fi al-Riwayah al-‘Arabiyah Kairo: Maktabah Usrah, 2005, 523 dan 525.
64
Sasson Somekh, The Changing, 142.
67
banyak menyoal proses perubahan dan pengaruhnya terhadap kelas sosial borjuis kecil, meskipun tokoh-tokoh borjuis ini umumnya berakhir tragis sehingga ada
kritikus yang menyimpulkan nuansa pesimisme Najib, “nada” utama sikap Najib adalah memberikan penghargaan atas perjuangan mereka untuk berubah
dan bertahan hidup. Akhir tragis nasib mereka itu tidaklah berarti bahwa Najib merasa pesimis dengan perjuangan mereka. Dengan akhir seperti ini, Najib ingin
menunjukkan kokohnya benteng pertahanan tradisi masyarakat untuk menerima perubahan, karena kegagalan dan nasib tragis para tokoh borjuis kecil itu lebih
disebabkan oleh faktor-faktor luar. Dari sini, tidaklah jauh dari kebenaran bila dikatakan bahwa Najib, terutama dalam fase realismenya, adalah penulis, jubir,
dan berkecenderungan dalam pemikiran kepada kelas borjuis kecil. Hal lain yang menunjukkan kaitan Najib dengan kelas sosial ini adalah
pengakuannya sendiri bahwa “borjuis kecil” merupakan “calon penyelamat manusia” dengan posisinya yang berada di tengah-tengah di antara borjuis atas
yang, menurutnya, arogan dan berusaha mengendalikan dan mengeksploitasi masyarakat dan kaum proletar yang, dalam pandangannya, juga ingin merebut
kekuasaan dari para eksploitatornya.
65
Jika Najib dalam pemikiran berkecenderungan kepada borjuis kecil, maka apakah Najib secara sosial juga terkait dengan kelas bourjuis kecil?
Dengan kata lain, apakah ia sendiri bagian dari kelas sosial borjuis kecil? Untuk menjawab pertanyaan ini, pengertian kelas sosial masyarakat pada umumnya, dan
kelas sosial masyarakat Mesir atau Kairo dan kelas borjuis kecilnya pada khususnya, dan latar kehidupan Najib perlu dilihat.
Kelas sosial biasa disebut kelas saja didefinisikan sebagai “a group of people within a society who possess the same socioeconomic status.
”
66
Dalam pengertian ini kesamaan status sosio-ekonomi menjadi kriteria utama kelas sosial.
Perbedaan dalam peran ekonomilah yang menentukan apakah sesorang menjadi bagian dari suatu kelas atau tidak. Peran ekonomi ini, dalam pemikiran Karl
Marx, terkait dengan sarana produksi. Hanya saja, kelas dalam pengertian
65
Rasheed el-Enany, Naguib Mahfouz: The Pursuit, 28.
66
Lihat, “Social Class,” Encyclopaedia Britannica, 1995, CD.
68
sosiologis melibatkan lebih dari sekedar kelas saja dalam pengertian logis. Dalam logika, semua orang yang berambut merah dapat diklasifikasikan bersama-sama
dalam suatu kelas logis. Namun, orang-orang yang berambut merah bukanlah kelas sosial, melainkan hanya suatu kategori. Mereka bukan suatu kelompok yang
berperilaku serupa, yang sadar atas identitas dan kepentingan mereka sendiri.
67
Kesadaran kelas di sini bisa bermakna kesadaran atas tingkat sosial dan status seseorang di masyarakat saja atau bisa bermakna kesadaran kelas sebagaimana
yang dimaksud Karl Marx. Kesadaran kelas, menurutnya, mencakup kesadaran tentang kelasnya sendiri dan kelas lain, sebuah perasaan tentang identitas
kelompok yang didasarkan pada posisi kelas yang sama, perasaan tentang ketidakadilan; dan kesadaran atas perlunya aksi politik kelompok untuk
mengubah struktur sosial yang ada. Kesadaran kelas ini, baginya, adalah mekanisme dasar, alat perubahan-perubahan struktur yang mendasar di
masyarakat. Jika Karl Marx hanya menekankan faktor ekonomi dalam pengelompokan kelas, maka Sorokin menambahkan faktor pekerjaan. Lain lagi
dengan C. Wright Mills. Ia mendasarkan keanggotaan kelas itu pada jumlah dan sumber pendapatan, dengan peluang kehidupan yang sama akibat dari situasi
kelas yang sama. Peluang kehidupan ini mencakup antara lain kesehatan dan pendidikan.
68
Perbedaan penentuan komponen dasar kelas ini kemudian berpengaruh pada perbedaan pengelompokan kelas. Karl Marx, misalnya, meskipun mengakui
keragaman kelas sosial, menekankan peran dua kelas: mereka yang mengontrol struktur produksi dan mereka yang harus menjual tenaganya. Di masyarakat
Eropa abad ke-19, dua kelas dasar ini adalah kapitalisborjuis dan pekerja kasarproletar. Kahl dan Rossides menyebut ada lima struktur kelas, yang
didasarkan pada pendapatan, pekerjaan, pendidikan, dan tabungan. Kelima
67
Peter Worsley et, al., Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding, terjem. Hartono Hadikusumo Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992, 199.
68
Vincent Jeffries dan H. Edward Ransford, Social Stratification: A Multiple Hirarchy Approach
Boston: Allyn and Bacon, Inc., 1980, 73.
69
struktur kelas ini adalah kelas atas, menengah atas, menengah bawah, pekerja, dan kelas bawah.
69
Meskipun ada beragam teori kelas, para sosiolog umumnya menunjukkan
tiga kelas: atas, pekerja bawah, dan menengah. Kelas atas dicirikan oleh
kepemilikan kekayaan yang besar. Dengan kekayaan ini mereka dapat menampilkan gaya hidup yang didasarkan pada kegiatan-kegiatan bersenang-
senang, memiliki pengaruh besar terhadap keputusan politik dan kebijakan ekonomi, dan mampu memberikan kepada anak-anaknya pendidikan unggul dan
peluang ekonomi yang membantu mengekalkan kekayaan keluarga. Kelas pekerja terdiri dari para pekerja kasar pada industri-industri dan pabrik-pabrik
besar. Dalam kelas ini ada pekerja ahli skilled worker, semi ahli semiskilled worker
, dan tidak ahli unskilled worker, tetapi semuanya tidak memiliki cukup properti dan tergantung pada upah. Standar hidup yang relatif rendah, akses yang
terbatas pada pendidikan tinggi, dan jauh dari ruang pengambilan keputusan
penting adalah kondisi riil kelas ini. Kelas menengah mencakup para pekerja
administrasi level menengah dan atas, supervisor, manager, dan pemilik toko berskala kecil, pengusaha, dan petani. Kelas menengah paling atas para manager
dan profesional kaya di perusahaan-perusahaan besar bergabung dalam kelas atas, sedangkan kelas menengah paling bawah yang bekerja di pemasaran,
distribusi, dan transportasi yang bergaji rendah bergabung dalam kelas pekerja.
70
Masyarakat Mesir atau Kairo, seperti halnya masyarakat di belahan dunia yang lain, juga mengenal kelas meskipun sekat-sekat kelas ini tidak sampai
menghalangi seseorang untuk melakukan mobilitas sosial apabila ia memiliki kesempatan. ‘Abd al-‘Az}im Ramad}an menyatakan bahwa di Mesir terdapat
kelas-kelas sosial. Di sana ada kelas aristokrat Islam yang berkuasa, terdiri dari elemen-elemen Albania, Turki, dan Syirkasi. Aristokrat Islam ini muncul sejak
masa Muh}ammad ‘Ali. Pada saat yang sama juga muncul kelas kapitalis Eropa, yang terdiri dari para pedagang dan pemodal berkebangsaan Perancis, Inggris, dan
69
Peter Worsley et, al., Pengantar Sosiologi, 177-8. Lihat pula, Vincent Jeffries dan H. Edward Ransford, Social Stratification, 74.
70
Lihat, “Social Class,” Encyclopaedia Britannica, 1995, CD.
70
Eropa lainnya. Selain aristokrat Islam dan kapitalis Eropa ini, masyarakat Mesir terbagi dalam kelas sosial borjuis, kelas bawah, dan kelas proletar.
Petani yang memiliki tanah terbatas yang diolah sendiri atau bersama keluarganya dan buruh tani adalah anggota utama kelas bawah. Para pekerja di
pabrik-pabrik besar adalah anggota kelas proletar. Kelas borjuis ada dua macam, yaitu borjuis besar dan borjuis kecil. Borjuis besar memiliki dua sayap, yaitu
sayap agricultural; dan sayap industri, perdagangan, dan keuangan. Borjuis kecil memiliki tiga sayap: industri dan perdagangan, intelegensia, dan petani. Kelas
borjuis ini jumlahnya sedikit dibandingkan dengan kelas bawah maupun proletar. Sayap intelegensia terdiri dari para pegawai negeri dan profesional bebas seperti
pengacara, insinyur, dokter, jurnalis, guru, dan akuntan. Kelas ini muncul sejak masa Muh}ammad ‘Ali Pasha akibat transformasi pendidikan dari sistem
kuttab dan masjid menjadi sistem sekolah, tempat anak didik belajar ilmu-ilmu
modern dan bahasa asing. Di Mesir sayap yang menjadi tulang punggung kelas borjuis kecil ini memainkan peran yang sama dengan peran yang dimainkan oleh
kelas menengah Eropa dalam menopang demokrasi liberal.
71
Dari struktur kelas sosial seperti ini, di mana posisi kelas Najib? Tampaknya, Najib adalah bagian dari kelas borjuis kecil dari sayap intelegensia.
Ia merupakan produk transformasi pendidikan yang dijalankan Muh}ammad ‘Ali Pasha. Selain di Kuttab Shaykh Buh}ayri, ia menempuh seluruh
pendidikannya di jalur formal: Sekolah Dasar H{usayn, Sekolah Menengah Fu’ad I, dan Universitas Kairo. Setelah menjadi sarjana, ia pun langsung bekerja
sebagai pegawai negeri. Pekerjaan ini ia jalani selama 37 tahun hingga pensiun. Ayahnya, ‘Abd al-‘Aziz Ibrahim Ah}mad Pasha, juga seorang pegawai
walaupun golongan rendah. Ibunya, meskipun hanya sebagai ibu rumah tangga, memiliki kebiasaan mengunjungi museum Mesir, sebuah kebiasaan yang jarang
dilakukan oleh masyarakat kelas bawah. Tempat tinggalnya, al-‘Abbasiyah, adalah distrik tempat permukiman kelas aristokrat dan menengah. Najib sendiri
hanya pernah satu kali pergi ke desa di al-Fayyum semasa kecilnya dan tinggal
71
‘Abd al-‘Az}im Ramad}an, S}ira‘ al-T{abaqat fi Mis}r Kairo: al-Hay’ah al- Mis}riyah al- ‘Ammah li al-Kitab, 1997, 145.
71
selama satu minggu, untuk menghabiskan liburan musim panas. Ketika itu ia tidak melihat dan mendalami kehidupan para petani. Bahkan, Najib tidak pernah pergi
ke s}a‘idupper egypt seperti al-Uqs}ur Louxor dan Aswan.
72
Semua fakta dan latar ini memperkuat posisinya sebagai bagian dari kelas menengah Mesir.
C. Najib Mah{fuz} dan Karya-karyanya