Mistis Kultural CORAK KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MESIR

164 dan juga perubahan keberagamaan masyarakat Mesir saat itu, sehingga perlu diurai lebih lanjut. Pengelompokan dan penamaan masing-masing corak keberagamaan diadaptasi dari pengelompokan dan penamaan yang dibuat oleh Ibrahim A‘rab, Ah}mad Zayd, dan islamolog seperti Ernest Gellner, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab I.

A. Mistis Kultural

Masyarakat Mesir dikenal sebagai masyarakat yang beragama. Dalam berbagai penelitian antropologis yang dilakukan banyak peneliti sejak tahun 1960- an disebutkan bahwa beragama merupakan karakter bangsa Mesir. Dalam masyarakat tempat Raja Firaun pernah menyatakan dirinya sebagai Tuhan ini ditemukan adanya perhatian yang besar terhadap agama dan hal-hal sakral dalam kehidupannya. Selain beragama, dalam penelitian-penelitian itu juga disebutkan bahwa karakter masyarakat Mesir juga dikuasai oleh pemikiran khurafat yang tampak dalam kepercayaannya kepada para wali dan tindakannya meminta barakah di makam-makam orang-orang yang shalih. 7 Dalam novel-novel realis Najib dua karakter dasar masyarakat Mesir ini dapat dikatakan terrepresentasikan secara jelas oleh kelas bawah dan kelas menengah tidak terdidiknya, segmen masyarakat Mesir yang kurang bersentuhan dengan proses modernisasi yang sedang berlangsung. Beriman kepada Allah dalam kelompok masyarakat ini adalah sangat sentral. Allah tampak selalu hadir dalam berbagai situasi yang mereka hadapi: saat senang dan, terlebih lagi, saat susah. Engkau jualah, Ya Allah, yang 7 H{amid ‘Ammar, misalnya, dalam penelitiannya tentang pendidikan sosial di salah satu desa di Mesir, menyebut beberapa ciri menonjol penduduk desa tersebut, yaitu antara lain memiliki perhatian besar terhadap hal-hal sakral dan upacara keagamaan, dan keberagamaannya tinggi yang terlihat dari pemahamannya atas konsep-konsep halal-haram dan najis-suci. Demikian juga dengan Sayyid Uwais. Ia, dalam penelitiannya, menunjukkan beberapa karakter orang Mesir dalam hubungannya dengan alam yang kasat mata dan alam yang tidak kasat mata atau dalam geraknya antara yang sakral dan yang profan. Ia juga menegaskan keterkaitan antara keberagamaan formal dan keberagamaan populer yang tampak jelas dalam bercampurnya penyembahan Tuhan dan pengkultusan para wali. Lihat, Ah}mad Zayd, al-Mis}r al-Mu‘as}ir: Muqarabah Naz}ariyah wa Empiriqiyah li Ba‘d} Ab‘ad al-Shakhs}iyah al- Qawmiyah al-Mis}riyah Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2005, 21- 22 dan 26. 165 menolongku, ucap ibu H{asanayn dengan penuh rasa syukur kepada Allah ketika H{asanayn berhasil menjadi perwira setelah menempuh pendidikan selama setahun di akademi perang. Siapa pun yang kemaren melihat kami kala terperosok dalam gelapnya keputusasaan dan sekarang melihat kami ketika segala hal di sekitar kami mengundang harapan, maka ia dari relung hatinya akan mengakui keadilan dan rahmat-Mu. 8 Kehadiran Allah ini bahkan lebih terasa di saat kesusahan menimpa dan menyelimuti mereka. Ketika terkena serangan jantung dan kesehatannya menurun drastis, al-Sayyid Salim ‘Ulwan yang merasa hidupnya lurus dan dalam batas-batas agama, misalnya, mempertanyakan kira-kira dosa apa yang menyebabkan dirinya disiksa Allah. 9 Sentralitas Allah dalam kehidupan mereka tampak dari banyak ungkapan mereka dalam berbagai situasi, tempat kata Allah menjadi subyek penentu perjalanan manusia dalam segala aspek kehidupannya. Rabbuna ya’khudhu biyadih semoga Allah menolongnya, al-h}amdulillah segala puji bagi Allah, h}amdan lillahi ‘ala al-salamah puji syukur bagi Allah yang telah memberi keselamatan, la samah}allahu semoga Allah tidak mengizinkannya, la qaddarallahu semoga Allah tidak menentukan demikian, bi idhniillahi dengan izin Allah, ma‘adhallah semoga Allah melindungi, hadha amrullah ini kehendak Allah, al-amru lillah segalanya terserah Allah, hadha bala’ minallah ini adalah ujian dari Allah, kafakallahu sharr al-marad} semoga Anda dihindarkan Allah dari penyakit allahumma ghufranaka ya Allah, mohon ampunan-Mu, kanallahu fi ‘aunik semoga Allah menolongmu, razaqakallah semoga Allah memberimu rizki, dan la h}awla wa la quwata illa billah tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena izin Allah adalah beberapa ungkapan yang bisa disebut sebagai tanda kesadaran mereka atas hadirnya Allah dalam seluruh kehidupan mereka. Allah, dalam keyakinan mereka, menciptakan dunia dengan segala isinya sebagai prima causa dan dunia kembali kepadanya sebagai final causa. Dialah yang abadi, dan di hadapan-Nya segala hal binasa dan tidak berarti. Allah menjadi sumber dan 8 Najib Mah}fuz}, Bidayah wa Nihayah Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 272. 9 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 175. 166 sekaligus muara dari semua kehendak, tindakan, dan prestasi serta kegagalan manusia. Keyakinan tentang kehadiran dan kemahakuasaan Allah ini dapat melahirkan sikap fatalis. Manusia dianggap tidak memiliki kehendak bebas untuk menentukan dan mendesain masa depannya. Manusia di dunia itu ibarat wayang. Perjalanan sejarahnya ditentukan dan diatur oleh sang dalang, yaitu Allah. Keberhasilan dan kesuksesan, pahit dan manis ataupun senang dan susah hidup manusia itu sepenuhnya merupakan hak prerogatif Allah. Manusia hanya bisa menjalani apa yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Allah tidak hanya menciptakan bentuk fisik manusia, tetapi juga bagaimana bentuk fisik ini berfungsi, berkehendak, dan berbuat. Ibarat komputer, casing, hardware, dan software manusia telah dirancang dan diprogram oleh Allah. Pada dasarnya, dalam Islam doktrinal mudah ditemukan doktrin-doktrin yang mendukung kehendak bebas untuk membuat keseimbangan antara kehendak Allah dan kehendak manusia lebih sejajar, tanpa mengancam hak Allah untuk menjadi mahakuasa. 10 Dalam Islam tanggung jawab individual benar-benar diakui. 11 Namun, sebagaimana yang disinyalir Hassan Hanafi, teologi fatalisme ini di level kebudayaan massa memang lebih dominan daripada teologi kebebasan berkehendak. 12 Tidaklah mengejutkan bila muncul kepercayaan dan perilaku- perilaku fatalis dari tokoh-tokoh yang berasal dari kelas masyarakat ini. Mu‘allim Nunu dalam KHAN tidak pernah berlindung ke bungker di saat berlangsung serangan udara di daerahnya. Apa Nunu bisa menghindari takdir atau menunda terjadinya ketentuan Allah. Tidakkah kamu mendengar lirik lagu 10 Doktrin yang mendukung kehendak bebas manusia dapat ditemukan, misalnya, dalam QS. al-Sajdah32:17, … Sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan; dan QS. al- Kahfi 18:29, Dan katakanlah, Kebenaran itu datangnya dari Tuhan-Mu; maka barang siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir. 11 Lihat, misalnya, QS. al-Baqarah2:286, Seseorang mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya; dan QS. al- Isra’ 17:15, Barang siapa yang berbuat sesuai dengan Hidayat Allah, maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk keselamatan dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat, maka sesungguhnya dia tersesat bagi kerugian dirinya sendiri. Seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa yang lain. 12 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion, Ideology, and Development Kairo: Dar Keeba, 2000, 15. 167 S{alih} ‘Abd al-H{ayi Nasibmu dalam hidup pastilah terjadi padamu, katanya memberi alasan sikap fatalisnya kepada Ah}mad Akif. 13 Hanya saja, fatalisme ini sama sekali tidak identik dengan sikap pesimistis dan menafikan adanya perasaan optimis dalam diri seseorang. Manusia memang diyakini tidak memiliki kehendak bebas di dunia ini, tetapi, pada saat yang sama, Allah diyakini tidak akan melupakan hamba-Nya. Dalam keyakinan mereka, Allah seolah-olah seorang raja yang super dan berkuasa penuh atas rakyatnya, tetapi raja super ini adalah raja yang penuh kasih dan adil, bukan raja yang sewenang-wenang. Inilah yang ditekankan Samirah pada anak-anaknya sepeninggal suaminya agar mereka siap menjalani hidup susah dan berjuang mengatasinya bersama-sama. Musibah kita adalah bencana. Kita hanya mempunyai Allah. Allah tidak melupakan hamba-hamba-Nya, katanya. Karena itu, kita tidak boleh berputus asa atas rahmat Allah. Namun, kita sepantasnya menyadari kondisi kita. Jika tidak, kita akan binasa. Kita juga perlu membiasakan diri kita untuk menanggung nasib yang telah ditentukan bagi kita dengan sabar dan penuh martabat. Allah bersama kita. 14 Optimisme dalam menjalani hidup bahkan ketika berada di jurang terdalam kesusahan ini diartikulasikan dengan satu kalimat, baik oleh Nafisah maupun H{asan, dua orang yang selama mendiang ayahnya masih hidup tidak berpikir mencari nafkah: yang pertama adalah seorang perempuan keluarga kelas menengah yang seperti telah dijelaskan dalam bab III tidak dituntut menjalankan fungsi produktif dan yang kedua adalah anak sulung yang manja dan parasit dalam keluarga sehingga tidak mampu menjalankan fungsi produktifnya. Tak seorang pun di dunia mati kelaparan, kata mereka. 15 Dengan konsepsi Allah seperti ini, mereka menjadikan al-Quran, yang berisi firman-firman Allah, sebagai sumber kebenaran. Masalah-masalah eksistensial dan makna hidup manusia di dunia berusaha mereka temukan jawabannya dengan merujuk kepada al-Quran. Ini terlihat dari permintaan al- Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad kepada anaknya, Kamal, untuk meralat artikel 13 Najib Mah}fuz}, Khan al Khalili dalam al A‘mal al-Kamilah, 33. 14 Najib Mah}fuz}, Bidayah, 19-20. 15 Najib Mah}fuz}, Bidayah, 19 dan 39. 168 mengenai as}l al-insan asal-usul manusia di majalah mingguan al-Balagh. Setelah membaca artikel itu, sang ayah galau. Di sana disebutkan bahwa seorang ilmuwan bernama Darwin menduga bahwa manusia itu keturunan binatang, dan bahkan merupakan evolusi dari kera. Ia galau karena sang anak, yang baru naik ke tahun ke-3 kuliahnya, menegaskan bahwa manusia itu keturunan hewan. Ia menganggap Darwin, yang sebelumnya dikiranya salah seorang dosen Kamal, sebagai kafir dan jatuh dalam perangkap setan. Jika asal-usul manusia itu kera atau hewan lain, maka Adam bukan bapak manusia. Ini sebuah kekufuran dan kelancangan atas kedudukan dan keagungan Allah. Saya mengenal banyak orang Qibti dan Yahudi di S{aghah dan mereka semua percaya pada Adam. Semua agama percaya pada Adam. Apa agama Darwin ini? Ia kafir, ucapannya sebuah kekufuran, dan menyebarkan pandangannya adalah sebuah kesembronoan, katanya. Katakan kepada orang Inggris yang kafir ini: Allah berfirman dalam kitab suci-Nya bahwa sesungguhnya Adam itu bapak manusia. 16 Al-Quran, menurutnya, telah menyebutkan bahwa Allah menciptakan Adam dari tanah, dan Adam adalah manusia pertama. 17 Al-Quran, bagi mereka, tidak hanya memberikan jawaban atas masalah- masalah eksistensial seperti ini, tetapi juga dapat menjadi alat mereka menghadapi kekuatan jahat yang dapat mengusik ketentraman hidup mereka. Meskipun kekuatan jahat ini tidak terlihat, mereka meyakini eksistensinya yang merupakan ulah makhluk-makhluk halus seperti setan dan jin. Dalam keyakinan mereka, setan itu makhluk halus penggoda manusia kepada kejahatan. Bagaimana kamu patuh pada ajakan setan setelah sebelumnya kamu bertaubat pada Allah?, tanya ibu Kamil kepadanya ketika dia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. 18 Setan 16 Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam novel, tampaknya ayat yang dimaksud al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad adalah ayat tentang penciptaan manusia di bumi dalam QS. al-Baqarah2:30-31, Ingatlah ketika Tuhan-mu berfiman kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau? Tuhan berfirman, Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda-benda seluruhnya... 17 Najib Mah}fuz}, Qas}r al-Shawq Kairo, Maktabah Mis}r, tt., 346-8. 18 Najib Mah}fuz}, al-Sarab Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 152. 169 diyakini sebagai kekuatan besar yang dapat melumpuhkan akal sehat seseorang. Inilah yang menjadi alasan Samirah tidak mempercayai berita sakit yang dikirim anaknya dan terdorong untuk melihatnya langsung ke T{ant}a, padahal selama ini ia sangat mempercayai kelurusan akal dan ketulusan anaknya ini untuk membantu keluarganya. Maaf, Anakku Sebagian prasangka itu dosa, tetapi aku telah lama memikirkan apa yang mungkin ditemui pemuda sepertimu. Aku memang percaya pada kelurusan akalmu, tetapi setan itu sangat lihai. Aku pun khawatir ia akan menyesatkanmu, katanya menyesalkan H{usayn yang berhenti memberi kiriman uang kepada keluarganya di Kairo. 19 Di samping mampu menjerumuskan manusia kepada kesesatan, setan juga mereka yakini dapat mengganggu, menakut-nakuti, dan mengusik kehidupan mereka. Namun, kemampuan dan tindakan-tindakan setan terakhir ini, dalam pandangan mereka, tidak dapat menyentuh orang-orang yang mempersenjatai diri dengan ayat-ayat al-Quran. Fungsi al-Quran pun menjadi ganda. Selain sebagai sumber kebenaran karena merupakan penjelmaan campur tangan Allah untuk membawa manusia kepada jalan keselamatan di dunia, al-Qur’an sekaligus juga sebagai alat pengusir keburukan yang ditimbulkan setan dan jin. Di sini al-Qur’an menjadi mantra penolak segala kekuatan jahat yang berada di luar kendalinya dan yang setiap saat mengancam kehidupan manusia. Anehnya, ancaman kekuatan jahat dan gangguan dari jin atau setan ini hanya dirasakan di malam hari yang gelap gulita, saat seseorang dalam keheningan dan kesendirian. 20 Berikut adalah deskripsi narator dalam BQ tentang ketakutan yang selalu menyergap Aminah di malam hari dan cara dia mengatasinya tersebut: 21 19 Najib Mah}fuz}, Bidayah, 219. 20 Keberadaan jin atau setan selalu diidentikkan dengan tempat-tempat gelap dan sunyi. Kepercayaan terhadap kesukaan jin atau setan dalam mengganggu manusia ini tampak melekat dalam diri para ibu dan anak-anak kecil. Oleh karena itu, dalam upaya pendisiplinan anak-anak kecil, misalnya, kepercayaan ini bahkan ditanamkan ke dalam diri mereka oleh guru-gurunya di sekolah. Lihat, Najib Mah}fuz}, Bayn al-Qas}rayn Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 50 dan 380; dan Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 28. 21 Najib Mah}fuz}, Bayn, 7. Terjemahannya adalah: “Agar hatinya tenang, Aminah biasa berkeliling ke kamar-kamar sambil ditemani pembantunya dan tangannya memegang lampu, lalu melemparkan pandangan penuh selidik dan ketakutan ke sudut-sudutnya seraya membaca surat-surat al-Qur’an yang dihafalnya untuk mengusir setan. Begitu sampai ke kamarnya, ia lalu menutup pintu dan beranjak ke tempat tidur sambil lisannya 170 ﻰﻜ و ﻄ ﺎﻬ تدﺎ ا نأ فﻮﻄ تاﺮ ﺎ ﺔ ﻄ ﻣ ﺎﻬ ﻣدﺎ ةدﺎﻣ ﺎهﺪ حﺎ ﺎ ﺎﻬﻣﺎﻣأ ﻰ ﻰ ﺎﻬ ﺎآرأ تاﺮﻈ ﺔ ﻣ ﺔ ﺋﺎ ... ﻰهو ﻮ ﺎﻣ ﻆ ﻣ رﻮﺳ نﺁﺮ ا ﺎ د ، ﻴ ﺎﻴ ﻰﻬ ﻰ إ ﺎﻬ ﺮ ﺎﻬ ﺎ سﺪ و ﻰ شاﺮ ا ﺎﻬ ﺎ و ﻚ ةوﻼ ا ﻰ ﺎﻬ ،مﻮ ا ﺪ و ﺎآﺎﻣ فﺎﺨ ﻴ ا ﻰ ﺎهﺪ ﻬ لوﻷا اﺬ ﻬ ، ﻴ ا ﺎ ﻬ - ﻰ ه ﻰ ا ﺮ ﺎ ا فﺎ ﺿأ ﺎﻣ ﺮ ﺎ ﻹا - ﺎﻬ أ ﻴ ﺎهﺪ و ﻰ ﻴ ا ،ﺮﻴ ﻜ ا نأو ﻴ ﺎﻴ ا ﻜ نأ ﻀ ﻼ ﻮ ﺬه تاﺮ ا ﺔ ﺪ ا ﺔ ﺳاﻮ ا ﺔﻴ ﺎﺨ ا ... ﻜ بد ﻰ إ ﺎﻬﻴ ذأ ﻬ ﺎ ه آو ﻈ ﻴ ﺳا ﻰ تﺎ ﻣ ، ﻬﺳﺎ أ ﺎﻣو ﻣ ﺚﻴ ﻣ إ نأ ﻮ ﺔ ﺎ ا ﺔ ﺪ او وأ عﺮﻬ ﻰ إ ﺔﻴ ﺮ ا ﺪ ﺎهﺮ ﺋاﺰ ا ﻣ ﺎﻬ ﻮ ﻰ إ راﻮ أ تﺎ ﺮ ا ﻰهﺎ او هﺮ و ا طﺎ ﺔﻜ ﺿ وأ ﺔ ﺳ دﺮ ﺎﻬ ﺎﻬﺳﺎ أ . . Kepercayaan dan praktik pengusiran setan banyak ditemukan pada kaum perempuan Mesir. Kelompok masyarakat yang, seperti ditunjukkan dalam bab III di atas, kebanyakan tidak memiliki akses ke dunia pendidikan ini sering dikaitkan dengan ritual zar di Mesir. Zar adalah sebuah praktik pengusiran atau, lebih tepatnya, perdamaian dengan jin atau setan. Praktik ini biasanya dijalankan ketika seseorang terkena mass, lams atau labs, sebuah kondisi psikis atau spiritual yang dalam literatur antropologi dilukiskan sebagai penguasaan atau perasukan possession. Pada umumnya possession ini berhubungan dengan seorang individu yang berperilaku seolah-olah ia saat itu kehilangan kontrol atas perilakunya, kondisi saat tindakan-tindakan yang disengaja berubah menjadi tindakan-tindakan tanpa sengaja, roh yang merasukinya mengarahkan tindakan-tindakan individu, dan orang tersebut selanjutnya tidak sadar bahwa ia telah melakukan tindakan- tanpa henti membaca ayat-ayat al-Qur’an sampai ia tertidur. Betapa ia pada awal-awal tinggal di rumahnya dulu sangat takut malam. Ia, yang jauh lebih banyak tahu dunia jin daripada dunia manusia, tidak lupa bahwa ia tidak hidup sendirian di rumah besar itu dan bahwa setan-setan tidak mungkin telah lama berkeliaran di kamar-kamar yang tua, luas, dan kosong itu. Betapa sering telinganya mendengar bisikan-bisikan mereka Betapa ia kerap terbangun oleh hembusan nafas- nafas mereka. Penolongnya hanyalah ia membaca surat al- Fatih}ah atau bergegas ke al- mashrabiyah dan dari celah-celahnya mengedarkan pandangannya yang tidak tentu arah kepada cahaya-cahaya di kereta dan cafe-cafe, dan menguping gelak tawa atau batuk yang membuatnya bisa mengambil nafas lega.” 171 tindakan tertentu. Di Mesir jinn dan asyad dianggap bertanggung jawab atas mass , lams , dan labs ini. 22 Ada beberapa penjelasan yang sering diberikan terhadap fenomena perasukan jin atau setan. Ada yang menyebutnya sebagai sebuah cara dramatis pengungkapan konflik-konflik dan harapan-harapan yang terepresi, tempat berbagai tindakan dilakukan oleh roh yang menguasai atau merasuk dan bukan oleh individu itu sendiri. Ada pula yang menjelaskannya sebagai sebuah tanda pengingat untuk berkomunikasi dan mendapatkan perhatian orang lain dengan mengambil peran orang sakit. Penjelasan lainnya adalah bahwa fenomena perasukan jin atau setan merupakan sebuah bentuk perilaku yang secara budaya disetujui yang memungkinkan masyarakat menyesuaikan diri dengan situasi- situasi sosial. 23 Dengan berbagai penjelasan ini, pengatribusian fenomena zar di Mesir dengan perempuan pun menjadi dapat dipahami. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab IV sebelumnya, perempuan bisa disebut masih merupakan kaum marjinal secara sosial dan kemampuan rasionya dipandang lebih lemah dari kaum laki-laki. Banyak harapan mereka yang harus direpresi karena norma sosial tidak memberikan keleluasaan bagi pemenuhannya. Tidak seperti laki-laki, kaum perempuan tidak memperoleh ruang ekspresi yang memadai bagi keinginan- keinginan dan harapan-harapannya. Kekuatan sosial demikian kemudian mereka proyeksikan sebagai asyad yang menguasai dan merasuki mereka. Hanya praktik zarlah yang mereka yakini akan memulihkan keadaan mereka semula. Inilah yang diyakini, misalnya, oleh Nyonya Dawlat ketika dirinya sakit. Ia, yang tidak diizinkan suaminya untuk mengadakan ritual zar di rumahnya sendiri, sering menghadiri ritual zar yang berlangsung di rumah teman-temannya. 24 22 Praktik yang berhubungan dengan mass, lams , dan labs ini ada dua macam: zar dan ‘ilaj bi al-Quran . Zar lebih digolongkan sebagai praktik masyarakat yang menjijikkan, karena ia, yang menggunakan media musik dan tarian, dianggap sebagai sesuatu yang jahat. Ini berbeda dengan ‘ilaj bi al-Quran penyembuhan dengan al-Qur’an, karena ia dianggap sebagai pada aslinya islamis dan didasarkan pada penyebutan al-Qur’an, yang nyaris tidak pernah dapat dianggap menjijikkan. Oleh karena itu, lebih tepat jika zar itu merupakan perdamaian pacification dengan jin atau setan dan ‘ilaj bi al-Quran itu pengusiran jin atau setan exorcism. Lihat, Gerda Sengers, Women, 21-22. 23 Gerda Sengers, Women, 23. 24 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 21. 172 Selain dua fungsi di atas, sebagai sumber kebenaran dan alat pengusir jin atau setan, al-Qur’an bagi mereka juga berfungsi sebagai penenang hati. Segala puji bagi Allah yang, karena firman-Nya, hati Aminah menjadi tenang dan, karena rahmat-Nya, hidupnya menjadi stabil, papar narator BQ tentang kehidupan Aminah yang selalu dalam kesendirian di rumah besar karena suaminya biasa pulang dari begadang larut malam. 25 Fungsi penenang hati al- Qur’an ini terutama dirasakan oleh orang-orang tua. Usia senja adalah identik dengan ketidakberdayaan dan kesepian, dan di sinilah al-Qur’an hadir sebagai hiburan. Bahkan, penenang psikologis ini dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya terapi fisik yang dilakukan oleh dokter. Ketika al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad, misalnya, mengeluhkan kondisinya kepada dokter yang biasa memeriksa kesehatannya dan mempertanyakan kemungkinan obat yang diminumnya dapat memulihkan, paling tidak, sebagian kekuatannya, sang dokter menjawab, Setiap kondisi memiliki kesenangannya masing-masing. Duduk tenang. Bacalah al-Qur’an, dengarkan radio, dan bersenang-senanglah dengan keluargamu. Di hari Jumat kunjungilah al-H{usayn dengan dipanggul. Ini cukup bagi kesenangannmu. 26 Meskipun menempatkan al-Qur’an demikian sentral, banyak individu dari kelompok masyarakat ini, terutama perempuan generasi tua, yang tidak bisa membaca al-Qur’an. Dadanya Nyonya Dawlat sesak bila melihat suaminya membaca al-Qur’an dan anak lajangnya asyik membaca di mejanya. Mengapa kalian tidak mengajariku membaca agar aku bisa membaca bersama kalian, teriaknya pada mereka. 27 Adanya banyak individu perempuan generasi tua yang tidak bisa membaca kitab suci agamanya ini dapat dipahami apabila akses terhadap dunia pendidikan, seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, dilihat. Perempuan di era ini baru memperoleh akses luas kepada pendidikan. Akses baru yang harus menghadapi rintangan sosial yang tidak kecil dari pihak-pihak yang diuntungkan oleh tatanan sosial yang ada ini pun hanya bisa dinikmati oleh 25 Najib Mah}fuz}, Bayn, 8. 26 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah Kairo, Maktabah Mis}r, tt., 170. 27 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 20. 173 generasi muda. Tidaklah mengherankan apabila generasi tua kelompok masyarakat ini seperti Nyonya Dawlat tidak bisa membaca, termasuk membaca al- Qur’an. Ketidakmampuan sebagian individu dari kelompok masyarakat ini dalam membaca kitab suci agama tidaklah menghalangi mereka untuk menerima dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Agama dan keberagamaan kelas bawah dan menengah tidak terdidik dijalankan menurut tradisi yang turun-temurun. Individu bersikap dan bertindak lebih karena kebiasaan yang diterimanya sejak kecil daripada karena hasil pilihan dan penggunaan nalarnya. Ajaran agama dan kebiasaan sosial pun menjadi bercampur dan sulit dipisahkan. Apabila kebiasaan ini pada satu saat terpaksa harus terpisahkan dari agama akibat situasi dan kondisi tertentu, maka dirasakan ada sesuatu yang hilang dari agama. Menyembelih binatang atau berkurban pada ‘Id al-Ad}h}a, misalnya, pada dasarnya hanyalah diperintahkan Allah kepada orang-orang mampu agar sebagian dagingnya diberikan kepada orang-orang miskin. 28 Ini berarti bahwa kesempurnaan ritual ‘Id al-Ad}h}a orang kurang mampu tidaklah berkurang apabila ia menjalaninya tanpa menyembelih kurban. Namun, perasaan dan pemahaman Samirah tidak demikian. Baginya, hari raya kurban adalah hari raya, saat daging kambing dihidangkan. Ini makan daging di hari raya adalah perintah Tuhan kita, tetapi bagaimana mewujudkannya? timpalnya atas perkataan H{asan, anaknya, bahwa yang mereka makan di hari raya pastilah daging. 29 Itulah 28 Ayat-ayat al-Qur’an yang sering disebut-sebut sebagai dasar ritual menyembelih hewan kurban adalah QS. al-Hajj22:34-7. Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan kurban, supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhan-mu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah ... Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebajikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri dan telah terikat. Kemudian apabila telah roboh mati, maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridaan Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayat-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. 29 Najib Mah}fuz}, Bidayah, 112-3. 174 yang biasa mereka lakukan setiap datang ‘Id al-Ad}h}a: menyembelih kambing dan memberikan sebagian dagingnya kepada orang-orang miskin. Namun, ketika keluarganya menderita kemiskinan dan tidak memungkinkan untuk menyembelih atau memakan daging di Hari Raya Ad}h}a, perasaannya menjadi gundah. Kegundahannya ini disebabkan karena ritual ‘Id al-Ad}h}a, dalam pandangannya, identik dengan tradisi makan daging, padahal keduanya sama sekali berbeda. Bercampur aduknya hal-hal yang memang menjadi bagian dari agama dan hal-hal yang hanya merupakan kebiasaan semata ini tentu saja dapat membuat agama menyejarah dan mentradisi. Begitu telah menyejarah dan mentradisi, ritual agama tidak hanya mendapat dimensi vertikalnya, tetapi juga dimensi horisontal atau sosialnya. Ketika telah mendapatkan dimensi terakhir ini, agama akan semakin lekat dan menjadi dasar bagi sikap dan tindakan seseorang dalam bermasyarakat. Dalam beragama individu tidak hanya mempertimbangan hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga dengan individu-individu lain di sekitarnya. Sanksi Tuhan dan sekaligus sanksi masyarakat menjadi faktor pencegah agar seseorang tidak mengabaikan ajaran-ajaran agama. Dalam hal ini, kegundahan Samirah di atas karena tidak mampu menyembelih kurban di Hari Raya Ad}h}a dapat dimengerti. Dalam konteks ini pula, dapat dipahami apabila salah satu kaidah dalam ilmu Us}ul al-Fiqh menyatakan bahwa adat kebiasaan itu bisa menjadi dasar hukum. 30 Hanya saja, bercampurnya agama dan tradisi atau kebiasaan juga membawa implikasi lain. Orang menjalankan agama secara otomatis. Agama nyaris tanpa rasionalitas. Orang tidak lagi perlu mempertanyakan kembali apakah yang dijalaninya itu memiliki akar dalam ajaran Islam atau tidak. Orang tidak dapat membedakan antara ajaran agama yang harus diikuti, dan tradisi yang tidak berakar Islam dan hanya merupakan konstruksi sosial yang, dalam banyak hal, 30 Dalam ilmu Us}ul al-Fiqh ada beberapa kaidah pokok bagi pengambilan hukum Islam dan salah satunya adalah ةدﺎ ا ﺔ ﺮ ﺔ ﻜ ﻣ bahwa adat kebiasaan itu dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Tentu saja yang dimaksud dengan adat kebiasaan di sini adalah adat kebiasaan yang s{ah}ih} sesuai dengan Hukum Syariah, bukan yang fasid yang bertentangan dengan Hukum Syariah. Lihat, ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Us}ul al-Fiqh Kairo: Maktabah al-Da’wah al- Islamiyah Shabab al-Azhar, 1968, 89-90. 175 tidak sepatutnya diikuti. Yang menjadi dasar bersikap dan bertindak adalah apa yang selama ini berlaku di lingkungan sekitar dan apa yang sudah berlangsung secara turun-temurun meskipun kedua hal ini sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai bersumber dari ajaran Islam. Ini tentu saja bisa menyebabkan lestarinya nilai-nilai sosial yang bisa jadi tidak berpihak atau tidak menguntungkan bagi sekelompok masyarakat. Alih-alih mencoba melawan nilai-nilai tersebut, kelompok masyarakat yang tidak diuntungkan ini malahan ikut mengukuhkannya dengan memberinya nilai sakral, yaitu dengan menganggapnya sebagai bagian dari ajaran agama. Inilah yang terjadi pada Umm H{usayn dalam hubungannya dengan suaminya. Meskipun sang suami sering menyakitinya dengan menjalin hubungan homoseksual dengan laki-laki, Umm H{usayn tidak membencinya atau mengabaikannya. Baginya, sang homo itu adalah suaminya di hadapan Allah dan manusia, ayah dari anak-anaknya, dan bahkan sayyid atau tuannya. 31 Implikasi lain dari tidak adanya rasionalitas dalam beragama adalah orang mudah terkena propaganda palsu. Orang mudah menerima sesuatu sebagai Islam hanya karena sesuatu itu dikatakan Islam, memperjuangkan Islam, dan menggunakan simbol Islam. Fenomena ini tampaknya disadari betul oleh Jerman pada Perang Dunia II. Jerman tahu bahwa kebencian masyarakat Mesir terhadap Inggris sangat besar karena yang terakhir ini telah lama menduduki Mesir dan bahwa mayoritas masyarakat Mesir adalah beragama Islam. Untuk menarik dukungan masyarakat Mesir, Jerman pun memainkan situasi ini dengan menyebarkan propaganda melalui radio yang disiarkan dari Berlin. Dalam propaganda ini, sebagaimana yang muncul dari ungkapan para tokoh dalam KHAN, disebutkan bahwa Hitler memberikan penghormatan yang mendalam kepada kawasan Islam, bahwa ia menyimpan rasa keimanan kepada Islam, bahwa Shaykh Labib bermimpi melihat ‘Ali ra. memberinya pedang Islam, bahwa ia menyerang al-Sakakini karena mayoritas warganya adalah Yahudi, bahwa setelah perang ia akan mengembalikan Islam pada keagungan awalnya, mempersatukan umat Islam, dan membuat perjanjian persahabatan dan 31 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 74. 176 persekutuan antara Islam dan Jerman, dan bahwa ia ditolong Allah dalam peperangan-peperangannya, dan Allah tidak akan menolongnya jika bukan karena niat baiknya. 32 Fenomena mudahnya orang menerima sesuatu yang dikait-kaitkan dengan Islam juga ditangkap dan dimanfaatkan oleh para politisi. Untuk menarik dukungan massa dalam pemilihan umum, mereka mengemas kampanyenya dengan simbol-simbol Islam. Dalam hal ini, memulai kampanye dengan memperdengarkan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an, sebagaimana yang berlangsung saat Ibrahim Farhat berkampanye di Lorong Midaq, adalah salah satu contoh yang bisa disebut. 33 Meskipun banyak individu dari kelas masyarakat ini tidak dapat mengakses dunia pendidikan dan bahkan beberapa individunya tidak bisa membaca al-Qur’an yang merupakan sumber ajaran agamanya, pengetahuan mereka tentang ajaran agamanya cukup lumayan. Mereka memiliki pengetahuan, misalnya, bahwa Allah itu Maha Penerima taubat; 34 bahwa Allah hanya mengubah nasib orang yang ingin berubah; 35 bahwa Allah Maha Mengabulkan doa; 36 bahwa bunuh diri itu sebuah kekufuran; 37 bahwa nikah itu separoh agama, sunnah Nabi, 38 perintah Allah, dan hubungan laki-perempuan yang diberkati Allah; 39 dan bahwa poligami itu dibolehkan oleh Islam 40 serta bahwa bersentuhan dengan laki-laki itu membatalkan wudlu, sehingga apabila perempuan bersalaman dengan laki-laki, tangannya perlu dilapisi, misalnya, dengan milayah agar wudlunya tidak batal. 41 Semua pengetahuan mereka dapat dirujuk, dengan interpretasi tertentu, kepada al-Qur’an dan Hadis, dua sumber utama ajaran umat 32 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 54-55. 33 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 152. 34 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 76. 35 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 11. 36 Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 19. 37 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 172. 38 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 22-3. 39 Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 48-9 dan 100. 40 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 70 dan 132. 41 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 89. 177 Islam. Kecuali dalam dua masalah terakhir, poligami dan bersentuhan dengan lawan jenis dapat membatalkan wudlu, seluruh umat Islam dapat dikatakan mengakui masalah-masalah ini sebagai ajaran Islam yang valid. Pengetahuan mereka tentang agamanya ini tampaknya merupakan hasil dari sosialisasi yang dijalankan oleh orang tua atau keluarga, institusi agama non formal seperti masjid dan tarekat, dan media massa terutama radio yang, seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, kemunculannya relatif lebih belakang tetapi kemudian menjadi sumber informasi favorit masyarakat. Aminah, seorang ibu yang dalam Trilogi dilukiskan bak malaikat bagi anak-anak dan keluarganya, misalnya, memiliki kepercayaan diri yang tinggi bahwa dirinya mempunyai pengetahuan tentang agama, sejarah, budaya, dan pengobatan yang diwarisinya turun-temurun sejak dahulu. Pengetahuannya itu didapatkannya dari sang ayah yang ahli agama dan hapal al-Qur’an dan dari keluarga, tempat ia tumbuh besar. Ibunya juga seorang yang rajin beribadah. Kepercayaan Aminah tentang mahkluk-makhluk halus yang menghuni rumah-rumah besar dan kosong di atas kelihatannya adalah hasil dari pengajaran ibunya yang memiliki kepercayaan yang sama. 42 Sumber pengetahuan lain kelas masyarakat ini adalah masjid. Kedudukan masjid sebagai agen sosialisasi agama tentu saja tidak bisa dipungkiri. Di masjidlah ritual mingguan mereka, shalat jumat, dijalankan. Dalam ritual ini khutbah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dalam konteks khutbah sebagai alat penyampai ajaran-ajaran Islam kepada jamaah inilah, keinginan generasi muda seperti Mamun Rid}wan dan ‘Ali T{aha untuk mereformasi para khatib dapat dimengerti karena, menurut Mamun Rid}wun, khutbah di zamannya hanya mengajak kepada kebodohan dan khurafat. 43 Juru khutbah sendiri sering dikaitkan dengan ‘alim ‘ulama’, orang yang memiliki ‘ilm, yaitu ilmu-ilmu pengetahuan Islam tradisional. Karena prestasi belajar mereka, terutama penguasaan mereka atas kitab wahyu dan teks-teks hukum yang terkait, dan teks- teks agama yang lain, mereka menduduki posisi istimewa di Mesir saat itu. Para 42 Najib Mah}fuz}, Bayn, 62 dan 192-6. 43 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah al-Jadidah Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 44. 178 juru khutbah di sana disebut dengan beragam istilah, yaitu shaikh, imam, khatib , wa‘iz}, da‘i, dan rijal al-din. 44 Selain masjid, kelas masyarakat ini juga mendapatkan pengetahuan agama dari tarekat sufi. 45 Peletak dasar tarekat sufi di Mesir dan di dunia Muslim pada umumnya adalah Dhu al-Nun al-Mis}ri 2445 H atau 85910 M. Meluasnya kemiskinan, kebodohan, dan khurafat, dan sambutan masyarakat awam adalah faktor-faktor yang membuat semakin luasnya tarekat sufi di Mesir. Mesir dalam sejarah tercatat sebagai negara dengan jumlah tarekat sufi terbesar. Jumlah tarekat sufi di Mesir pada tahun 1905 mencapai sekitar 32 buah dan ada kecenderungan jumlahnya terus bertambah: tahun 1958 sekitar 44 buah dan pada akhir 1980-an sekitar 72 buah. 46 Dari tarekat-tarekat sufi inilah orang-orang seperti ‘Abd al- Da’im dalam QJ, ‘Akif Afandi Ah}mad dalam KHAN, dan Jabir Salman dalam BN memperoleh pengetahuan dan didikan agama mereka. 47 Novel-novel realis Najib terkadang secara eksplisit menyebut tarekat sufi tertentu, seperti tarekat shadhiliyah 48 yang diikuti oleh Jabir Salman, seorang pedagang 44 Patrick D. Gaffney, The Prophets Pulpit: Islamic Preaching in Contemporary Egypt Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1994, 30-3 dan 38-9. 45 Tarekat berasal dari bahasa Arab, t}ariqah, yang secara literal bermakna jalan, yaitu jalan spiritual atau kontemplatif Islam. Tarekat yang biasanya dikenal dengan tas}awwuf atau sufisme merupakan dimensi dalam dan esoterik Islam, dan berbeda dengan syariat shari‘ah yang merupakan dimensi luar atau tindakan dan eksoterik Islam. Dalam beberapa sumber dikatakan bahwa hidup manusia itu sebuah perjalanan ke tempat tujuan yang sama, yaitu akhirat. Kata tarekat t}ariqah menunjuk pada jalan tertentu yang ditempuh seseorang untuk menuju tujuan akhirat ini. Kata ini dikontraskan dengan syariat shari‘ah, yang bermakna jalan lurus. Hubungan antara syariat dan tarekat dapat disejajarkan dengan hubungan antara jalan utama dan jalan khusus anak jalan. Seyyed Hossein Nasr menyebut shari‘ah sebagai Hukum Tuhan yang menjadi pintu masuk atau syarat seseorang untuk menjadi muslim; sedangkan t}ariqah adalah jalan spiritual yang ditempuh masing-masing orang saat ia telah menjadi seorang muslim. Namun, t}ariqah tarekat kemudian mengandung arti institusiorganisasi yang mempunyai shaykh, ritual, dan zikir sendiri. Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam London: George Allen Unwin Ltd., 1975, 121-2. Lihat pula, Muhaimin AG, The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims Jakarta: Religious Research and Development, and Training, 2004, 339 dan 359; dan Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jakarta: UI-Press, 1986, Jilid II, 89. 46 Shah}atah S}iyam, al-Din al-Sha‘bi fi Mis}r: Naqd al-‘Aql al-Mutah}ayil Iskandariyah: Ramatan, 1995, 67, 77, 82, dan 86. 47 Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 37; Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al- A‘mal al-Kamilah, 19; dan Najib Mah}fuz}, Bidayah, 101 dan 117. 179 kelontong sederhana, tetapi seringkali hanya menunjukkan keberadaannya secara implisit dengan menyebut, misalnya, tokoh tertentu mengikuti kelompok zikr atau melakukan aktivitas riyad}ah. 49 Setelah radio muncul, masyarakat kelas bawah dan tidak terdidik ini juga dapat memperoleh pengetahuan agama dari media audio ini. Media ini barangkali merupakan satu-satunya instrumen modern yang dapat menjadi sumber pengetahuan mereka, mengingat sifat audionya yang tidak memerlukan kemampuan baca-tulis, sebuah keahlian yang masih langka, untuk tidak menyebut tidak ada, di kalangan mereka. Nilai plus radio, bagi Aminah, adalah media ini membuatnya bisa mendengarkan al-Qur’an dan berita. 50 Melalui radio, bacaan al- Qur’an atau ajaran-ajaran Islam bahkan dapat dihapal atau diingat oleh orang semacam Rubah Laz}, yang sama sekali tidak sengaja mendengarkannya. Jangan heran bila kamu mendengar aku menukil ayat al-Qur’an, karena itu berkat radio, katanya kepada anaknya, Kamil. 51 Pengetahuan agama kelas masyarakat rendah dan tidak terdidik yang tidak sedikit ini tampaknya juga akibat dari penghargaan mereka yang tinggi terhadap ilmu agama. Ilmu teragung, bagi Aminah, adalah ilmu agama. Oleh karena itu, al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad sangat menghormati dan menyukai 48 Sebagaimana tampak dari namanya, tarekat ini didirikan oleh Abu al-H{asan al- Shadhili lahir 573 H1176 M. Tarekat ini pertama kali berdiri pada 625 H1228 M di Tunisia. Al-Shadhili lalu pindah dan mengembangkan tarekatnya di Aleksandria Mesir tahun 1227 M. Lihat, Sri Mulyati et.al, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia Jakarta: Prenada Media, 2005, 57-8 dan 63-4. 49 Zikr zikir secara literal bermakna mengingat Allah. Zikr merupakan ritual utama tarekat sufi. Ini adalah praktik mistis pengulang-ulangan nama-nama Allah untuk memperoleh pengetahuan tentang Allah ma‘rifah dengan cara kontemplasi. Zikr, menurut para penulis Sufi, ada yang al-khafi tersembunyi, yaitu zikir dalam pikiran atau dengan suara pelan dan ada yang al-jali zikir dengan suara keras. Mereka juga membedakan antara zikir mulut al-lisan, zikir hati al-qalb, dan zikir batin terdalam al-sirr. Maksud zikir bukanlah mensucikan Allah, karena Allah itu mutlak sempurna, melainkan agar yang berzikir ingat bahwa dirinya berada di hadapan Allah, siang dan malam, dan bahwa Dia melihat dan mengetahui perbuatan, perkataan, dan pikirannya. Riyad}ah adalah laku spiritual yang harus dilakukan seseorang sufi untuk memperoleh ma‘rifah atau kedekatan dengan Allah. Lihat, Michael Gilsenan, Saint and Sufi in Modern Egypt: An Essay in the Sociology of Religion Oxford: The Clarendon Press, 1973, 156; Tawfiq al-T{awil, al-Tas}awwuf fi Mis}r Ibana al-‘As}r al-‘Uthmani Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1988, 61. 50 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 8. 51 Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 130. 180 agamawan meskipun ia tidak menginginkan anaknya menjadi seperti orang yang dihormatinya itu. Ia lebih suka anaknya menjadi pegawai terhormat daripada seperti Shaykh Mutawalli ‘Abd al-S{amad yang dianggapnya memiliki ilmu agama. Setiap zaman mempunyai tokohnya sendiri, dalihnya. Dalam beberapa hal, terutama apabila ada kontradiksi antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan, seperti tentang penciptaan manusia di atas yang kemudian menjadi perdebatan antara al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad dan anaknya, Kamal, maka mereka lebih mengikuti ajaran al-Qur’an dan menolak ilmu pengetahuan. Mereka mengidentikkan ilmu pengetahuan dengan Inggris penjajah yang harus dimusuhi. 52 Satu hal yang patut dicatat dari sumber-sumber pengetahuan kelas ini adalah bahwa pengetahuan agama mereka diperoleh melalui hubungan satu arah. Dalam hubungan seperti ini, sumber atau pengirim pengetahuanlah yang aktif, sedangkan masyarakat, sebagai penerima, bersikap pasif. Di sini hubungan dialogis, dalam arti adanya dialog yang melibatkan nalar kedua pihak, tidak dikenal. Khatib di masjid bertugas menyampaikan pesan atau dakwah agama kepada jamaah, sedangkan jamaah berkewajiban mendengarkannya. Bertanya kepada khatib yang sedang berkhutbah bukan hanya tidak lazim, melainkan oleh banyak orang bahkan dianggap sebagai perbuatan yang membuat ibadah jumat seseorang menjadi sia-sia. 53 Murshid atau shaykh dalam tarekat sufi sangat sentral. Apabila tarekat-tarekat sufi merupakan jalan-jalan khusus menuju kedekatan dengan Allah, maka jalan ini membutuhkan seorang murshid atau shaykh . Menurut mereka, orang yang tidak memiliki shaykh berarti setanlah yang menjadi shaykhnya. Dengan kedudukan murshid atau shaykh yang sentral ini, tarekat sufi mengharuskan sang murid agar ikhlas, jujur, mengikuti shaykh atau 52 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 53, 60, dan 349. 53 Anggapan kesia-siaan ibadah jumat akibat berbicara di saat khatib sedang berkhutbah didasarkan antara lain pada Hadis yang diriwayatkan oleh Sunan Abu Dawud Juz III hal. 322 dari Abu Hurairah berikut: اذإ ْ ْ ْأ مﺎﻣﺈْاو ﻄْﺨ ْﺪ تْﻮ Apabila kamu berkata diamlah saat imam sedang menyampaikan khutbah, maka kamu berarti telah bercakap omong kosong belaka. Lihat, al-Maktabah al-Shamilah, CD. 181 murshid , dan menempuh jalan yang lurus. 54 Dalam relasi shaykh-murid seperti ini, hubungan dialogis sulit dibayangkan berlangsung. Akibatnya, tidak ada penggunaan nalar dalam proses penerimaan pengetahuan agama dan para murid hanya melakukan taklid buta, yakni mengikuti saja apa yang disampaikan shaykh nya, tanpa pemikiran kritis. 55 Hal yang sama juga berlaku pada penerimaan pengetahuan melalui radio. Bahkan, dalam media audio ini, masyarakat penerima pengetahuan sama sekali tidak melihat sosok sumber pengetahuan. Hubungan dialogis antara sumber dan penerima pengetahuan dengan media ini memang bisa terjadi apabila instrumen komunikasi lain telepon dipakai. Namun, melihat kondisi sosio-ekonomi masyarakat Mesir pada umumnya dan kelas masyarakat ini khususnya, saat kepemilikan telepon masih jarang dan merupakan kebutuhan yang jauh dari primer, hubungan dialogis semacam ini sulit terjadi. Selanjutnya, orientasi keberagamaan masyarakat ini bersifat ritualistik. 56 Apabila ajaran Islam --menurut pembaban dalam buku-buku fiqh-- meliputi ibadah , mu‘amalah, munakah}at, jinayat, h}udud, fara’id}, dan jihad , maka ibadahlah yang menjadi pusat orientasi mereka dalam beragama. Ritual agama, shalat dan puasa di bulan Ramadan, bagi mereka, adalah sebuah penanda utama atas beragama atau tidaknya seseorang. 57 Dengan menjalankan shalat dan puasa di bulan Ramadan, berarti seseorang telah beragama. Sebaliknya, dengan meninggalkan kedua ritual ini, berarti seseorang tidak lagi beragama. Inilah yang mereka tekankan dan ingin mereka ajarkan kepada generasi mereka 54 Shah}atah S}iyam, al-Din, 67-8. 55 Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999, 69-70. 56 Dalam berbicara tentang ritual agama Islam, tulisan ini mengikuti pandangan Rippin, sebagaimana yang diulas oleh Muhaimin, bahwa ritual Islam berpusat pada Rukun Islam. Rippin menganggap Rukun Islam sebagai intisari hukum wahyu Islam yang dipraktikkan melalui aktivitas ritual. Lima tindakan dalam Rukun Islam --syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji-- yang menjadi bagian integral dari sistem keyakinan dan bagian dari penerapan berbagai pernyataan teologis keyakinan merupakan kewajiban setiap individu, di luar etika umum dan aturan tentang hubungan antar individu. Dengan kata lain, ritual Islam di sini identik dengan ibadah dalam fiqh, yang berbeda dengan mu‘amalah aturan transaksi ekonomi, munakah}at aturan pernikahan, jinayat aturan pidana, h}udud aturan pidana hudud, fara’id} aturan waris, dan jihad aturan perang. Lihat, Muhaimin AG, The Islamic Traditions, 114-5. 57 Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 291-2; Najib Mah}fuz}, Zuqaq al- Midaq , 33. 182 selanjutnya. Bahkan, ‘Abd al-Da’im yang nyaris tidak mempunyai waktu untuk melihat anaknya karena kesibukannya demi bertahan hidup, misalnya, terkadang menggunakan tongkat dalam mengajarkan kepada anaknya tentang kedisiplinan menjalankan sebagian kewajiban agamanya ini. 58 Agama pun tereduksi hanya menjadi persoalan shalat dan puasa. Implikasi dari kedua ritual agama ini terhadap perbuatan sama sekali tidak mereka pikirkan. 59 Orang bisa menjadi taat menjalankan shalat dan puasa, tetapi pada saat yang sama ia juga seorang peminum dan pezina. Tidaklah mengherankan apabila muncul orang seperti al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad yang memiliki kepribadian ganda: taat beragama di tengah keluarga, tetapi fasik di luar rumah; menjalankan semua kewajiban agama shalat, puasa, dan zakat tetapi menikmati kesenangan dunia perempuan dan minuman; baik di siang hari tetapi bejat di malam hari; beriman dengan ikhlas dan khusyu saat menghadap Tuhannya, tetapi tidak dapat menahan diri dari melakukan banyak tindakan yang, ia tahu dengan baik, tidak dapat diakui oleh Tuhannya. “Manusia macam apa kamu,” seru salah seorang kekasihnya, Zubaydah. “Penampilan luarnya terhormat dan bertaqwa, tetapi dalamnya hanya seorang yang bermoral bejat.” Di hatinya seolah-olah tidak ada kontradiksi antara hak kehidupan dan hak Allah. Kekhushu‘annya dalam menjalankan ibadah shalat tidak mengurangi kebiasaannya begadang hingga larut malam, dengan meninggalkan istrinya yang kesepian dan ketakutan di rumah. Bahkan, ia tidak segan-segan bermain asmara dengan janda al-Sayyid Muh}ammad Rid}wan, teman dan sekaligus tetangganya. Ia menjalani ini semua dengan sepenuh hati, tanpa dipikir, seolah-olah telah menjadi insting atau nalurinya. Ia dapat memadukan antara binatang dan manusia, sebagaimana ia bisa memadukan antara keberagamaan dan kebobrokan dengan tanpa perasaan berdosa. 60 58 Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 37; Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 23,29, dan 113; Najib Mah}fuz}, Bayn, 230,31; dan Najib Mah}fuz, al-Sukkariyah, 7,195, dan 228. 59 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 115 dan 118. 60 Najib Mah}fuz}, Bayn, 20,43-4,88,122,125,184,215-6,326-7,418, dan 463; Najib Mah}fuz}, Qas}r, 22,133, dan 174; dan Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 23. 183 Penekanan ibadah dalam bentuk ritualnya ini tidak akan melahirkan proses internalisasi etis bagi pelakunya, tetapi hanya rasa takut terhadap kemarahan Tuhan. Untuk meredam kemarahan Tuhan dan membuat-Nya --meminjam istilah Komaruddin Hidayat-- memutihkan dosa-dosanya, seseorang harus menyuap Tuhan dengan upeti ibadah. Ritual seperti ini tidak jauh berbeda dengan ritual agama primitif yang justru dikritik Islam. Tuhan dibayangkan sebagai sosok pemarah dan haus sesembahan, tetapi bisa dilunakkan dengan memberinya sesaji. 61 Dengan penitikberatan pelaksanaan ibadah hanya kepada simbol, bukan makna dan tujuan di balik simbol, maka orientasi sosial-horisontal yang terkandung dalam setiap ritual Islam pun tidak mewujud. Akibatnya, dari kalangan pelaku ibadah yang hanya berorientasi kulit ini, sulit muncul komitmen untuk menciptakan tatanan sosial yang adil dan bebas dari kemiskinan yang merupakan tuntutan logis dari keimanannya. Sikap apatis terhadap lingkungan sekitar menjadi sifat mereka. Sebaiknya kita tidak memusingkan diri kita sendiri. Jangan gundah, tertawalah, dan beribadahlah kepada Allah. Dunia ini dunia Allah, perbuatan adalah perbuatan-Nya, dan akibat akhirnya pun menjadi milik-Nya. Lantas, untuk apa berpikir dan sedih, hibur Mu‘allim Nunu kepada Ah}mad Akif yang galau atas dekadensi moral yang melanda kampung- kampung di Mesir. 62 Alih-alih melahirkan komitmen dan aksi sosial, ibadah di kalangan kelas masyarakat bawah dan menengah tidak terdidik di Mesir ini malahan sering menjadi pelarian dari dunia dan masyarakat. Agama adalah ruang pembebasan dari kerasnya kehidupan dan dari kekosongan spiritual yang sering menjadi ciri kehidupan orang-orang menderita dan terlantar, 63 tempat sebagian besar individu kelas masyarakat ini dapat diatribusikan. Modernisasi di bidang administrasi pemerintahan dan pendidikan, sebagaimana yang telah dielaborasi dalam bab IV, telah menuntut kedisiplinan dan profesionalitas aparatur-aparaturnya. Ini berarti 61 Komaruddin Hidayat, Tuhan Begitu Dekat: Menangkap Makna-makna Tersembunyi di Balik Perintah Ibadah Jakarta: Paramadina, 2002, 43-4. 62 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 34. 63 Lillian Craig Harris ed, Egypt: Internal Challenges and Regional Stability London: Routledge Kegan Paul, 1988, 4. 184 diperlukan kualifikasi-kualifikasi tertentu agar seseorang bisa bertahan atau memasuki kedua bidang ini. Apabila kualifikasi-kualifikasi ini tidak dimiliki, maka eliminasi adalah akibat yang tidak terhindarkan. Inilah yang menimpa ‘Akif Afandi Ah}mad dan Shaykh Darwish. Masing-masing adalah salah satu tokoh dalam KHAN dan ZM. ‘Akif Afandi Ah}mad pada dasarnya adalah pegawai yang bersih, tetapi karena keteledorannya dalam pekerjaan dan sikapnya yang melawan para pengawas kantor, ia pun dipensiunkan. Setelah dipensiunkan, ia selalu menyendiri, mendekam di kamarnya, mengabdikan hidupnya untuk beribadah, dan menyerahkan urusan keluarga kepada anak dan istrinya. Di malam hari ia duduk bersila beralaskan sajadah sambil membaca al-Qur’an dengan suara keras, tanpa peduli kepada banyaknya salah baca. Ia jarang meninggalkan rumah. Itu pun untuk melakukan riyad }ah 64 atau mengunjungi makam. Semula ia tetap menjalin kontak dengan masyarakat, dengan sering mengunjungi kedai Vita di Gamrah, tetapi karena mudah marah, ia pernah terlibat adu mulut dengan temannya hingga yang terakhir ini berteriak marah He, Orang buangan pemerintah. Sejak itu, ia tidak pernah menginjakkan kakinya ke kedai. Ia menjauhi masyarakat dan dunia dan memilih ibadah sebagai pelarian. 65 Hal yang sama juga berlaku pada Shaykh Darwish. Sewaktu muda, ia menjadi guru bahasa Inggris di salah satu sekolah yang berada di bawah kementerian wakaf. Ketika kementerian ini digabung dengan kementerian pendidikan, ia dan teman-temannya yang tidak memiliki ijazah tinggi berubah. Ia menjadi juru ketik, dan turun dari golongan VI menjadi VIII, sehingga gajinya juga berubah. Setelah berusaha memperjuangkan nasibnya dan tidak berhasil, ia pasrah. Karena perilakunya buruk, ia dipecat. Akhirnya, ia 64 Kata riyad}ah, dalam penggunaan sehari-hari, biasa diartikan olah raga. Makna ini agaknya merupakan pengembangan dari makna asal kata ini yang, menurut para linguis, memiliki dua makna: pertama adalah pelunakan dan pemudahan; dan kedua adalah keluasan. Dalam konteks olah rohani, nafsu manusia dianggap liar, sehingga harus menjalani riyad}ah, dalam arti dijinakkan agar lunak dan mudah diarahkan ke arah yang benar. Nafsu yang terolah ini akan menjadi luas dan lapang, tidak sempit dengan kegundahan dan kegelisahan. Lihat, M. Quraish Shihab, Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam Jakarta: Lentera Hati, 2005, 161. 65 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 8,19-20,62, dan 84. 185 memutuskan hubungan dengan masyarakat sosialnya. Ia meninggalkan keluarga, saudara, dan temannya untuk memfokuskan diri kepada apa yang disebutnya sebagai dunia Allah. Yang tersisa dari masa lalunya hanyalah kaca mata emasnya. Ia hidup di dunia barunya tanpa teman, harta, dan tempat tinggal. 66 Ciri lain keberagamaan kelas masyarakat ini adalah mereka tidak bisa membedakan antara yang agama dan yang khurafat. Ia melaksanakan ibadah dengan penuh cinta dan ikhlas, tanpa membedakan antara yang pada dasarnya agama dan yang murni khurafat, papar narator tentang kebiasaan ibu Aminah dalam beribadah. 67 Ini adalah rentetan dari ketidakmampuan mereka dalam membedakan antara agama dan kebiasaan atau tradisi sebagaimana telah disebutkan di atas. Apabila ketidakmampuan mereka dalam hal terakhir ini lebih berada pada level praksis, maka ketidakmampuan mereka dalam hal pertama lebih berada pada level keyakinan meskipun juga termanifestasikan dalam berbagai tindakan praksis. Namun, dua ketidakmampuan mereka ini dapat dibaca sebagai terkait dengan kebodohan dan kemiskinan yang meluas di kalangan mereka. Bila masyarakat itu bodoh, miskin, dan susah, maka masyarakat itu menjadi milieu yang paling kondusif bagi tersebarnya khurafat dan tahayul, demikian pendapat Tawfiq al-T{awil. 68 Dunia, bagi masyarakat seperti ini, adalah penuh dengan misteri dan kekuatan-kekuatan ghaib. Melalui berbagai mitoslah, masyarakat yang --meminjam kategori van Peursen-- masih dalam alam mitis ini berusaha berpartisipasi dan menanggapi kekuatan-kekuatan ghaib. 69 66 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 15-7. 67 Najib Mah}fuz}, Bayn, 198. 68 Tawfiq al-T{awil, al-Tas}awwuf fi Mis}r, 151. 69 C.A. van Peursen memetakan perkembangan kebudayaan manusia dalam tiga tahap. Pertama, tahap mitis, saat manusia merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan ghaib sekitarnya. Lewat mitoslah, ia dapat berpartisipasi dan menanggapi daya-daya kekuatan alam. Kedua, tahap ontologis , tahap ketika manusia mulai mengambil jarak terhadap yang mengitarinya. Distansi ini membebaskan manusia dari lingkaran mitologis. Singkatnya, manusia telah beralih dari mitos pada logos yang berarti memahami sebab musabab perbuatan sehingga terasa sebagai suatu pembebasan. Ketiga, tahap fungsionil, saat manusia tidak larut dalam lingkungannya sikap mitis atau mengambil distansi terhadap obyek penyelidikannya sikap ontologis, tetapi ia mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Lihat, C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, terjem. Dick Hartoko Jakarta dan Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Penerbit Kanisius, 1976, 18. 186 Masyarakat Mesir kelas bawah dan menengah tidak terdidik pada paroh pertama abad kedua puluh pun, karena kebodohan dan beban hidup yang mereka rasakan berat, berlindung pada tahayul dan khurafat. Apalagi, dalam pandangan Lane, mereka merupakan masyarakat Arab yang paling percaya kepada khurafat. Bangsa Arab itu sangat percaya kepada khurafat, dan tidak ada bangsa Arab yang jauh lebih percaya kepada khurafat daripada bangsa Mesir, tegas Lane. 70 Fenomena tahayul dan khurafat yang sangat diminati bangsa seperti ini adalah yang ada hubungannya dengan keyakinan agama, karena keberagamaan memperkuat bentuk kepercayaan khurafat ini dalam hati. Banyak khurafat mereka kemudian menjadi bagian dari agama, karena al-Qur’an mengatakan dan mendukung keberadaannya. Khurafat yang paling jelas adalah percaya pada jin dan setan. Kedua mahkluk ini disebutkan dalam al-Qur’an, sehingga mereka merupakan bagian dari sistem keimanan: keimanan kepada yang ghaib Allah dan malaikat. 71 Perbedaannya hanyalah apabila Allah dan malaikat ditempatkan pada kutub yang positif, maka jin dan setan ditempatkan pada kutub yang negatif. Oleh masyarakat muslim awam Mesir, kekuatan tersembunyi yang mengancam kehidupan dan berpotensi menyebabkan kesengsaraan manusia kemudian diatribusikan kepada makhluk yang menghuni kutub negatif tersebut. Fenomena ritual zar seperti yang telah disebutkan di atas dapat menjadi contoh khurafat mereka. Mereka percaya pada guna-guna seperti keyakinan al-Sayyid Salim ‘Ulwan dalam ZM tentang penyebab ia terkena serangan jantung. Ia menganggap istrinya mendendam kepadanya, karena ia mengetahui niatnya untuk menikah lagi dengan H{amidah. “Tidak mustahil perempuan itu, saat mendengar kabar niatnya menikah lagi dengan H{amidah, membalas dendam terhadapnya dengan membuat ‘amalan.’ Inilah yang menghilangkan kesehatan dan akal 70 Tawfiq al-T{awil, al-Tas}awwuf fi Mis}r, 150. 71 Kata al-jinn, al-jann, danatau al-jinnah dalam al-Qur’an, misalnya, disebutkan tidak kurang dari 38 kali. Penyebutannya antara lain dalam konteks penjelasan tentang asal penciptaannya dari api, tujuan penciptaannya untuk menyembah Allah, dan kemungkinan manusia berinteraksi dengannya. 187 pikirannya,” kata al-Sayyid Salim ‘Ulwan dalam batin. 72 Khadijah dalam SU juga langsung menghubungkan dengan guna-guna ketika anak-anaknya menyatakan keinginannya untuk menikah: ‘Abd al-Mun‘im ingin menikah di usia 18 tahun atau dua tahun sebelum tamat kuliah dan Ah}mad ingin menikah dengan Susan H}ammad yang dianggap ibunya lebih tua dan tidak selevel dengannya karena berasal dari keluarga miskin. “Ia Ah}mad tersihir. Ia menyihirnya dengan muslihat. Ia bekerja bersamanya di majalah. Ia bisa saja membuatnya lengah lalu menaruh sesuatu di kopi atau air minumnya,” kata Khadijah memberikan alasan ketidaksetujuannya. 73 Oleh karena itu, untuk menangkal guna-guna seperti ini dari orang lain atau untuk menghadapi ketidakpastian- ketidakpastian di masa depan yang bisa mengancam hidupnya, selain berdoa dan membaca ta‘awudh, mereka juga datang ke peramal dan meminta jampi-jampi. 74 Bentuk khurafat mereka lainnya adalah kepercayaan mereka kepada kesucian para wali meskipun, tidak jarang, yang terakhir ini gila atau pembohong. Mereka suka mengunjungi masjid dan makam, terutama makam para wali, karena percaya atas karomah dan pertolongan mereka. Makam wali yang kerap mereka kunjungi adalah makam al-H{usayn, Sayyidah Zaynab atau Umm Hashim, dan al-Sayyid Badawi. 75 Dua makam pertama berada di Kairo, sedangkan makam terakhir di T{anta. Tujuan mereka datang berkunjung ke tempat-tempat yang mereka anggap suci ini adalah untuk bernazar, misalnya, dengan memberikan harta dan makanan kepada orang-orang miskin yang datang mengunjungi makam, mendoakan anggota keluarga, berwasilah meminta rahmat, 72 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 240. 73 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 118 dan 268. 74 Lihat, Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 121; Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 18 dan 20; dan Najib Mah}fuz}, Bayn, 231 dan 380. 75 Makam al-H{usayn berada di dalam masjid al-H{usayn yang terletak di Distrik al- Jamaliyah, di sebelah kiri jalan al-Muski al-Jadid. Makam ini disebut-sebut sebagai tempat dikuburnya kepala al-H{usayn yang terbunuh di perang Karbala’ pada akhir abad ke-7 H. Makam Sayyidah Zaynab, berada di sebelah Barat Distrik T{ulun lama. Perayaan ulang tahun yang dilangsungkan untuk menghormati Sayyidah Zaynab dianggap sebagai salah satu mawlid terindah di Mesir. Mawlid ini diselenggarakan pada bulan Rajab. Lihat, De Vugani, al-Qahirah wa D{awah}iha , terjem. Midh}ad ‘Ayd Fahmi Kairo: Madbuli, 2004, 175-8. 188 mengucapkan rasa syukur karena sembuh dari sakit, bertaubat karena minum khamar, menghadapi ujian sekolah, dan meminta berkah. 76 Ketika berziarah, mereka umumnya bertawaf di sekeliling makam dalam arah berlawanan dengan jarum jam. Mereka menyentuh dan memegang pagar terali, menggosok-gosokkan selendang atau tasbih pada pagar selendang atau tasbih itu lalu menjadi benda sakral. Mereka mengangkat tangan di depan pagar, membaca paling sedikit surat al-Fatih}ah atau beberapa surat lain yang dapat membawa berkah seperti surat Yasin. Mereka menyisipkan sedikit uang di kotak nazar shunduq al-nudhur atau menyampaikan salam dan permohonan kepada sang wali. Para peziarah menunjukkan sikap yang beragam: ada yang berbicara dengan lantang atau justru berdiam diri; ada yang berdoa dengan menghadap kiblat; ada yang mengangkat tangan dan ada yang tidak. Ziarah ke makam-makam wali ini dapat dilaksanakan pada hari apa pun. Namun, ada hari yang disukai untuk setiap wali, sehingga semua wali mempunyai hari ziarah khusus. Sebagian dari mereka memiliki hari ulang tahunnya mawlidmawlud atau muled dalam dialek setempat. 77 Kepercayaan dan pengagungan para wali ini dalam beberapa hal terkait dengan kedudukan orang yang dianggap wali tersebut dalam masyarakat, yaitu sebagai sumber pengetahuan sebagaimana telah disinggung di atas. Meskipun sebutan wali dalam al-Qur’an dan Hadis tidak secara khusus diberikan kepada kelompok muslim tertentu, 78 pada kenyataannya sebutan wali lebih lazim 76 Lihat, Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 9,19,33-4, dan 88; Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 65,104, dan 170; Najib Mah}fuz}, al- Sarab , 17,20,73, dan 113-5; Najib Mah}fuz}, Bidayah, 222-3; Najib Mah}fuz}, Bayn, 406-7; Najib Mah}fuz}, Qas}r, 422; dan Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 8,11,197, dan 171. 77 Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot Ed., Ziarah dan Wali di Dunia Islam, terjem. Jean Couteau dkk. Jakarta: Serambi dan Forum Jakarta-Paris, 2007, 112-3. 78 Al-Qur’an dan Hadis dalam beberapa tempat hanya menyebut kualitas-kualitas yang dimiliki oleh orang-orang yang disebut sebagai wali. Dalam surah Yûnus10:62-64, misalnya, disebutkan bahwa wali-wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, tidak memiliki kekhawatiran terhadap diri mereka atau bersedih hati, dan mendapat jaminan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian juga Hadis yang diriwayatkan oleh Bazzar dari Ibn ‘Abbas. Dalam hadis ini dikatakan bahwa wali-wali Allah itu selalu menyebut nama Allah. Kata “al-wali” dapat bermakna subyek jika dikaitkan dengan pembelaan orang yang disebut wali itu terhadap agama dan risalah Allah, dan dapat bermakna obyek bila dikaitkan dengan pertolongan Allah kepadanya 189 dihubungkan dengan kelompok sufi atau lebih khusus lagi dengan --meminjam istilah Ira M. Lapidus-- sufisme keramat. 79 Kelompok ini dibedakan dari kelompok ulama. Apabila realitas dibagi dua, yaitu realitas zahir yang berkenaan dengan dunia sebagai alam eksternal dan realitas batin yang menunjuk kebenaran- kebenaran yang rahasia dan tersembunyi yang mendasari alam eksternal, maka kelompok sufi adalah orang yang memahami realitas batin dan kelompok ulama adalah orang yang memahami realitas zahir. 80 Pengetahuan tentang yang batin ditunjuk dengan istilah ma‘rifah, sedangkan pengetahuan tentang yang zahir disebut dengan istilah ‘ilm. Wali oleh masyarakat dihubungkan dengan pengetahuan yang batin ini ma‘rifah, sebuah pengetahuan yang ditanamkam, bukan dipelajari, karena ia merupakan pengetahuan yang berasal dari pancaran, atau pengetahuan atas tujuan Tuhan yang tersembunyi yang berada di balik yang zahir.” 81 Selain memiliki ma‘rifah, wali juga diyakini memiliki karamah, 82 atas keikhlasan dan ketaatannya. Lihat, Abu Bakar b. Muhammad b. al-Sayyid al-Hanbali, Karamah Wali: Menurut Pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah , terjem. Saefullah MS Jakarta: Darus Sunnah Press, 2004, 6 dan 17. 79 Sufisme, menurut Ira M. Lapidus, ada dua jenis. Pertama, sufisme hukum, yaitu sufisme sebagai jalan etik dan agamis yang mengikuti ajaran al-Qur’an, Hadis, dan Hukum, disertai oleh praktik-praktik spiritual yang dirancang agar sesuai dengan norma-norma muslim lahir dan pandangan batin dalam realitas-realitas spiritual yang tertinggi. Sufisme dari sudut pandang ini umumnya terintegrasi dengan aliran-aliran hukum ulama, dan sufisme tipe ini adalah seorang ulama sekaligus pemimpin spiritual. Kedua, sufisme keramat atau kepercayaan kepada wali-wali sufi. Bagi banyak orang beriman awam, sufi adalah seorang yang telah mencapai kualitas kesadaran batin yang membuatnya dekat dengan Tuhan dan, karenanya, seorang yang dimuliakan sebagai penghubung antara dunia materi dan dunia spiritual. Sang sufi adalah seorang pelaku mukjizat dan pemberi berkah kepada orang-orang yang mempercayainya. Jika tipe pertama sufisme membawa pada internalisasi disiplin moral dan ritual, tipe kedua sufisme menyebabkan pengagungan orang suci, makam atau tempat keramatnya, dan kehidupan agama yang menawarkan pengorbanan dan upacara-upacara komunal di sekitar tempat keramat para wali. Lihat, Ira M. Lapidus, Contemporary Islamic Movements in Historical Perspective Berkeley: Institute of International Studies University of California, 1983, 8-9. 80 Dikotomi sufi-ulama ini memiliki akar dalam sejarah. Bagi Amien Rais, gerakan sufi yang muncul mula-mula pada masa Umayyah lahir selain sebagai reaksi terhadap ketidakadilan sosial dan degenerasi moral, juga sebagai reaksi terhadap penafsiran Islam yang terlalu menekankan aspek hukum, yang lalu mengarah kepada pemujaan terhadap hukum sebagai suatu ekspresi Islam yang lengkap dan menyeluruh. Islam pun menjadi sejumlah aturan-aturan hukum dan doktrin-doktrin teologi yang kering dan telah berubah menjadi sistem politik yang menjustifikasi elitisme, nepotisme, dan eksploitasi. Lihat, John J. Donohue dan John L. Esposito peny., Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, terjem. Machnun Husein Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993, vi. 81 Patrick D. Gaffney, The Prophets Pulpit, 37. 190 seperti berjalan di atas air, muncul di berbagai tempat dalam waktu bersamaan, menyembuhkan dengan meniup nafas, dan menghidupkan orang mati. Orang yang dianggap wali dan diagungkan oleh mereka tidak hanya yang telah meninggal, tetapi juga orang yang masih hidup. Shaykh Darwish dalam ZM, misalnya, mereka cintai dan mereka anggap mendatangkan berkah. Keberadaannya di tengah-tengah mereka diyakini sebagai membawa kebaikan. Oleh karena itu, mereka tidak boleh menyakitinya, apalagi membuatnya menangis, karena tangisnya itu merupakan pertanda tidak baik. 83 Demikian pula dengan Shaykh Mutawalli ‘Abd al S{amad dalam BQ dan QS. Kedatangannya selalu disambut hangat oleh al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad karena dipercayainya sebagai wali dan membawa berkah. “Aku sangat membutuhkan berkahmu. Semoga Allah selalu menambah dan melimpahimu berkah,” jawabnya setelah mendengar alasan Shaykh Mutawalli ‘Abd al-S{amad mengunjunginya bahwa sebelumnya dia bermimpi melihat al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad melambaikan tangan kepadanya. 84 Tidak saja dengan perasaan bahagia, roman muka ceria dan, tidak jarang, dengan mencium tangannya, mereka juga menyambut kedatangannya dengan memberinya beragam hadiah. Tidaklah aneh apabila orang seperti Shaykh Darwish bisa tetap hidup di dunia meskipun ia tidak memiliki tempat tinggal dan harta benda. Status walinya telah membuat “dunia” kelas bawah dan menengah tidak terdidik untuk datang kepadanya.

B. Shaleh Individual dan Sosial