Gaya Sastra Najib Mah}fuz}

84 Kesan netral dan moderat muncul dari penggunaannya atas polyphonic narrative seperti dalam Miramar yang menuntut partisipasi aktif dari pihak pembaca. Dengan cara ini, peran dan pandangan aneka ragam kelompok dimainkan oleh tokoh-tokoh yang berlainan melalui bahasa dan wacana yang bertentangan, sementara pengarang menunggu waktu yang tepat untuk memunculkan pandangannya. Sejak 1987 Najib merasa hidup dalam kemandulan kreasi. Ia merasa tidak ingin menulis. Kondisi ini hampir sama dengan “masa jeda”nya menulis setelah Revolusi Juli 1952. Perbedaannya adalah saat itu ia merasa tidak memiliki bahan yang ditulis setelah revolusi mewujudkan banyak hal yang pernah diimpikannya agar terwujud melalui novel-novelnya. Namun, kini ia merasa bahwa dorongan untuk menulis ada dan ia mempunyai banyak tema, tetapi saat ia memegang pena, hilanglah semua dorongan menulis. Menurutnya, kondisi ini disebabkan oleh: 1 saat ingin mulai menulis, ia disergap perasaan bahwa temanya sudah usang dan pernah dibahasnya dalam karya-karya sebelumnya atau problemnya remeh dan tidak layak ditulis; 2 sebab umum, yaitu saat sastrawan bertambah usia, pemikirannya terbatas pada waktu, kematian, dan masalah- masalah filsafat. Tulisan-tulisannya tampak sedih dan ingin kembali ke masa lalu; dan 3 matanya lemah dan merasa kepayahan apabila melakukan proses menulis. 99

D. Gaya Sastra Najib Mah}fuz}

Sebagaimana telah disinggung di atas, Najib dalam berkreasi sastra lebih berorientasi pada penyampaian pemikiran, sehingga ia lebih menekankan isi daripada bentuk. Isilah yang menentukan bentuk, bukan sebaliknya. Isi karya- karyanyalah yang menentukan stile pilihannya. 100 Ia tidak ingin mengungkapkan bentuk melebihi keinginannya berkomunikasi menyampaikan pemikirannya, dengan bentuk apa pun. Dalam proses kreasinya, karya-karyanya menemukan 99 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 333-4. 100 ‘Abd al-Muh}sin T{aha Badar, Najib Mah}fuz}: Ru’yah, 25. 85 bentuknya dalam proses penulisan. Bentuk itu bisa jadi ada sejak awal penulisan, tetapi dapat dipastikan bahwa keberadaannya lebih belakangan daripada pikiran dasar atau tema tulisan. Dapatlah dipahami apabila ia pada dasarnya tidak tertarik dengan aliran-aliran sastra, karena aliran seni, baginya, hanyalah alat semata, bukan tujuan. Meskipun tidak tertarik, ia mengikuti perkembangannya dengan baik dan melihatnya dengan kritis. Sebagian aliran, seperti absurd, ditolaknya. 101 Tidaklah mengherankan apabila bentuk dan stile tulisannya sering berubah. Hanya saja, dapat dipastikan bahwa bentuk atau gaya bahasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari karya sastra yang, secara sederhana, memiliki dua unsur utama, yaitu bentukgayaekspresi bahasa dan isigagasanmakna. 102 Bila dikaitkan dengan klasifikasi struktur Noam Chomsky, struktur dalam deep structure dan struktur luar surface structure, maka gaya bahasa termasuk stuktur luar. 103 Bahasa memiliki tugas dan peranan penting dalam kehadiran sastra. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari sastra. Tanpa bahasa, tidak ada sastra. Keindahan sebuah karya sastra, dalam beberapa hal, disebabkan oleh kemampuan pengarang dalam merekayasa bahasa sehingga menimbulkan kekuatan dan keindahan. 104 Variasi atau rekayasa penggunaan kekayaan bahasa oleh seorang pengarang dalam konteks dan tujuan tertentu pun melahirkan gaya-gaya tertentu. Pertama-tama, karya-karya sastra Najib, mengikuti penggolongan bahasa ‘ammiyah tidak baku dan fus}h}a baku, adalah berbahasa fus}h}a. 101 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 54. 102 Tentang hubungan antara gayaekspresi kebahasaan di satu pihak dan isigagasan di lain pihak, ada tiga pandangan yang bisa disebut. Dalam pandangan dualisme, gaya adalah dress of thought kemasan pikiran atau manner of expression cara berekspresi, dan karenanya dapat dipisahkan dari isi. Isi yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk ungkapan bahasa yang berbeda. Pandangan monisme, di pihak lain, beranggapan bahwa pemilihan isi sekaligus pemilihan bentuk, atau sebaliknya. Isi mempengaruhi bentuk dan bentuk mempengaruhi isi. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan dan diparafrasekan. Pengungkapan dalan bentuk lain akan berimplikasi memiliki makna lain. Pandangan ketiga adalah pluralisme yang mendasarkan diri pada fungsi-fungsi bahasa, seperti fungsi bahasa menurut Roman Yacobson yang terdiri dari enam macam referensial, emotif, konatif, patik, puitik, dan metalinguistik. Lihat, Geoffrey N. Leech Michael H. Short, Style in Fiction: A Linguistic Introduction to English Fictional Prose London: Longman, 1981, 14-34. Lihat pula, Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000, 281- 282. 103 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, 277-278. 104 M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra Bandung: Angkasa, 1993, 81. 86 Bahkan, dialog para tokoh dari kalangan kelas bawah juga ditulis Najib dengan bahasa fus}h}a. 105 Bahasa ‘ammiyah hanya muncul dalam petikan lirik-lirik lagu yang disebut oleh tokoh-tokoh fiktifnya, seperti kata-kata yang bergaris bawah berikut: 106 - أ ﻚ ﻮ أ آ مﻮ - ﺎ ﺎﻣ فﻮ تﺎ ﺎ ، ﻴ ا ﺎﻬ او ﺪ ﺰﻣ - ﺮﻴﺳأ ا ﺎ ﺎﻣ فﻮ ناﻮه Hal serupa juga terselip dalam obrolan para tokoh, tetapi ini sangat jarang, seperti yang terlihat dalam kata-kata bergaris di bawah ini: 107 - تﺮ نﺄآ ﻼ ر ،ﻰ اذإو ﺮ ﻰ ﺔ ﻮ ا ﻰ ﻮهو لﻮ ﻰ ﻴ ﺎ ﻴ ، ﺎ ﻮ ﺔ ﺋﺎ : ﻰ ﻴ ا ﺎ ﻰﺳ ﻴﺳﺎ - تﺮ ﻰ ةﺮ ﺎ ﻹا - لوﺎ ﻴﺳﺎ سﺄﻜ ا ﻮهو لﻮ : ﺮ ﺎ اﺬه مﺎ ا ﺎ ﻴآ Penggunaan bahasa baku bahkan untuk melukiskan hal-hal yang seharusnya memakai bahasa tidak baku ini, oleh sejumlah kritikus seperti Desmond Stewart, dianggap sebagai bertentangan dengan tuntutan realisme. Tekad Najib untuk menggunakan bahasa fus}h}a seperti ini dan sebagaimana telah disinggung di atas, disebutnya sebagai “kebandelan” yang tidak memiliki fungsi artistik yang benar. Namun, bagi Najib seperti yang akan diuraikan dalam bab lima, bahasa ‘ammiyah itu sama dengan kebodohan dan kemiskinan yang dialami bangsanya dan akan hilang dengan sendirinya ketika pendidikan meluas. 108 Selanjutnya, kenyataan dalam karya-karya realis Najib tidak hanya hadir melalui penglihatan dan pikiran para tokoh, tetapi juga mencakup kedalaman perasaan dan suara batin atau monolog mereka. Monolog ini dapat menunjukkan 105 Ini terutama dapat dilihat dalam novel Zuqaq al-Midaq. 106 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 9, 46, dan 59. 107 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 26-7 dan 58. 108 Majalah Al-Arabi, ‘Urubah al-Qalb al-Wadi,‘ Edisi 577, Desember 2006, 9. 87 antara lain kesadaran tokoh tentang kedudukannya dalam kenyataan yang dihadapinya, seperti yang dialami oleh H{asanayn. Ia meraih pangkat perwira, hanya untuk menjadi benar-benar sadar atas posisi sosialnya yang memalukan di antara teman-teman perwiranya, yang kebanyakan berasal dari keluarga aristokrat. Ia sadar atas ketidaksesuaian antara posisi yang baru diraihya di satu sisi, dan batasan-batasan yang dipaksakan terhadapnya oleh latar sosialnya di sisi lain. Ia pun mengakhiri kehidupan mudanya dengan menenggelamkan diri ke Nil, setelah yakin bahwa ia tidak mempunyai alternatif. Sebelumnya, ia memaksa kakak perempuannya, Nafisah, yang tertangkap razia polisi di sebuah pelacuran, untuk terjun ke Nil. Nafisah melambangkan kesadaran H{asanayn sendiri, yang terus menjadi pelacur. Ini ditunjukkan oleh monolog internal H{asanayn di akhir novel sebagaimana berikut: 109 ، ﺎ ر ﺪ ﻰﻀ ﻰ ... أ ﻰ أ ﺮﺋﺎﺜ ا فﺮ ؟ﺎ ﺮﺳأ ﻰ إ ﺮ ةﺮﺳﻷا ﺎ ﻴ . ﺔ ﻴ ﺎﻬ ﺮ ﻴ ا . اذإو ﺎآ ﺎﻴ ﺪ ا ﺔ ﻴ ﻰ أ ﺎﻣ ﺎﻬﻴ . ﺎﻣ تﺪ و ﻰ ﻰ ﺎﻣﻮ إ تﺎﻴ رﺎﻣﺪ ا ﻰ ﻮ ﻴﻜ ﺚ أ ﻰ نأ نﻮآأ ﺎﻴﺿﺎ ﺎ أو سأر ﻴﻣﺮ ا ﺪ ﻰﻀ ﻰ ... Monolog dalam karya-karya Najib ini dikombinasikan dengan teknik bercerita secara polyphonic. Dengan teknik ini, beragam tokoh, “bahasa,” sudut pandang, dan pemikiran pun hadir, sehingga pembaca dengan leluasa dapat mengatribusikan dirinya kepada model yang sesuai dengan diri dan kepribadiannya. 110 Tentu saja, teknik ini menemukan kesesuaian dan maknanya bila tujuan ekspresi realis dalam karya-karya Najib dipertimbangkan. Apabila teknik monolog menjelmakan kedalaman dan kerenikan, maka teknik polyphonic 109 Terjemahan teks ini adalah: “Oh Tuhan, saya telah tamat… apa saya benar-benar ingin mempertahankan kehormatan keluarga kami? Saya adalah anggota keluarga terburuk. Ini sebuah kenyataan yang diketahui semua anggota keluarga. Bila dunia ini buruk, maka saya adalah isi dunia yang terburuk. Saya hanya selalu menginginkan kehancuran orang-orang di sekelilingku. Lantas, bagaimana saya bisa menginginkan menjadi hakim, padahal aku kriminalis kakap Saya telah tamat ...” Lihat, Najib Mah}fuz}, Bidayah wa Nihayah Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 372. Lihat pula, Sasson Somekh, The Changing Rhythm, 141-2. 110 http:www.arabiancreativity.comj_hamdaoui1.htm, 17 Desember 2010. 88 ini menjelmakan keragaman. Dalam karya-karya realis, kedalaman dan keragaman menjadi ciri pentingnya. Selain monolog dan polyphonic, Najib juga menggunakan teknik bercerita melalui mimpi dan khayalan. Dengan mimpi dan khayalan ini, Najib menghadirkan sikap tokoh-tokoh fiktifnya dalam menghadapi situasi-situasi sulitnya. Mimpi dan berkhayal, bagi tokoh-tokoh ini, menjadi tempat pelarian yang memunculkan harapan dan, terkadang, kemenangan dalam mengatasi berbagai persoalan rumit yang dihadapinya, yang tidak bisa diselesaikannya dalam kondisi sadar dan normal. Ini, misalnya, dilakukan oleh tokoh Nafisah dalam Bidayah wa Nihayah sebagaimana berikut: 111 ﺎﻬﻴ أ ﺔ ﺎ و ﺎﻬ ﺮ و ﺎهﺮ و ﺎﻬ ﻣﺎﻣد ﺎﻀ ﻮ لﺎﻴﺨ ا ﺔ ﻴ تﺄ و ، ﺎﻬ ﻣ تﺪ ﺔ رﺪ ﺔﻀ ﺎ ا ﺮ ﺎ ﺎ ﺎﻬ لﺎ ﺔ ﻴﻀ ا ﺪ ﺎﻀ أ ﻇﻮ ﺎﻴﺨ او اﻮ ا ﻴ ﺰﻴ . .. ﺎﻬﻴ ﻴ ﻣ ةﺮ ا ﺎ و ، ﺎﻬ ا ﺎﻬﻴ ا ﻴﺨ هاﺮ ... دﺮﻄ ﺎﻬﺳأر تﺰهو ﻰ ا تدﺎ ﺔ ﺮ ا مﺎهو ا ﺬه حﺎ أ ﺎﻬ ﺎهﺮﺿﺎ . Hal lain yang sering muncul dalam karya-karya sastra Najib adalah apa yang disebut sebagai al-fukahah kelakarlelucon. Tentu saja, lelucon di sini bukan sembarang lelucon, melainkan memiliki nuansa sindirian, ejekan, dan kritik sosial. Nuansa demikian, paling tidak, terungkap dari dialog antara tokoh Badriyah dan H{amdun dalam novel ‘As}r al-Hubb Musim Cinta. Di sana Badriyah bertanya, “Apa kita akan mementaskan komedi-komedi kita di theater al-Kallub al-Mis}ri?” dan H{amdun pun menjawab, “Itu bukan komedi dalam arti biasa, karena melalui komedi aku berbicara banyak hal yang bernilai.” 112 Lelucon-lelucon Najib ini, menurut Mus}t}fa Bayumi, terkait dengan banyak hal, seperti politik, agama, dunia birokrasi, minuman keras dan obat-obatan terlarang, perempuan, bahasa, lagu dan musik, anak-anak, dan kematian. Hal ini karena, menurutnya, Najib sadar bahwa tertawa itu menjadi 111 Najib Mah}fuz}, Bidayah wa Nihayah Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 132. 112 Najib Mah}fuz}, ‘As}r al-Hubb Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 102. 89 bagian dari kepribadian orang Mesir. 113 Najib pernah menggambarkan Zuhayr Kamil, tokoh dalam novel al-Maraya, dengan mengatakan, “Barangkali ia adalah orang Mesir kenalanku satu-satunya yang tidak pernah kudengar berkelakar atau berolok-olok.” 114 Untuk menunjukkan sikap permusuhan masyarakat awam terhadap pemerintah, misalnya, Najib menggambarkannya melalui dialog lucu di antara tiga bersaudara H{asan, H{usain, dan Ha{sanayn saat sang saudara sulung, H{asan, datang mengunjungi keluarganya. Berikut adalah perbincangan mereka: 115 ﻰ وﺮ أ ﻣ ﻰ آأ ا ﺮ ﺁ ؟ةﺮﻣ لﺎ ﻴ اﺮ ﺎﺳ : ا ﺎ أ ﺎ ﻴ . ﻰ د ﺮآﺬ أ ،ﻼﻴ ﺎﺨ ﻰ ﻴ ﺔ ﺮ ﻰ مﻼﻇ تﺎ ﺮآﺬ ا ﻜ و ىردأ أ و ﻰ ﻣ . ﻚ ﺿو ﻴ ﻼﺋﺎ : ةﺮﺳأ ﺔﻴ ﻰ هﺬﻣ ىﺮ ا . لءﺎ : ﻣ نﻮﻜ ىﺮ ا ؟اﺬه ﺪ أ ؟ﺎ داﺪ أ نﺎآ ﻮ ﻴ ﺎ ،ﺎ ﻴ ر ﻣو يﺁ ر أ ﻣا آأ مﻮ ا ﺔ ر ناﻮﻴ ﺎ . ﻰ إ كردأ ن ا اذﺎ ﺔﻣﻮﻜ ا سراﺪ ا . ﺎﻬ إ ﻰآ ﻜ مﻮ ا ﺎﻬ آﺄ نود ﺎ ﻣ . Lelucon yang terkait dengan agama juga banyak ditemukan dalam karya- karya Najib. Lelucon ini terkadang muncul dari para ateis yang mengungkapkan penolakan mereka terhadap agama, baik karena memiliki ideologi tertentu, karena 113 Mus}t}afa Bayumi, al-Fukahah ‘ind Najib Mah}fuz} Kairo: Longman, 1994, 1-4. 114 Najib Mah}fuz}, al-Maraya Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 149. 115 Najib Mah}fuz}, Bidayah, 171. Terjemahan petikan ini adalah: “Katakan padaku, kapan kalian terakhir kali makan daging?” “Kita benar-benar telah lupa. Biarkan aku mengingat-ingat sebentar. Aku samar-samar teringat sepotong daging, tapi aku tidak tahu di mana dan kapan,” jawab H{asanayn sinis. “Kita adalah keluarga dengan filsafat al-Ma‘arri,” kata H{usain sambil tertawa. “Siapa al-Ma‘arri itu,” tanya H{asan. “Ia seorang filosof penuh iba. Salah satu tanda keibaannya adalah ia tidak mau makan daging karena merasa iba terhadap hewan.” “Kini, aku tahu mengapa pemerintah membuka sekolah. Ini dilakukannya, karena ia ingin membuat kalian membenci daging, sehingga ia bisa memakannya tanpa pesaing.” 90 kesembronoan dan hidup permisif atau akibat dari pengetahuan dan perilaku tertentu; 116 dari penggunaan bahasa al-Qur’an dan Hadis atau ajaran dan keyakinan Islam di tempat yang tidak sesuai; 117 dari kontradiksi antara pengakuan dan perilaku umat dan tokoh agama; 118 dan dari ketidaktahuan masyarakat awam dan elit tentang agama. 119 Dialog antara dua bersaudara yang berbeda ideologi dalam novel al- Sukkariyah tentu mengundang senyum bagi pembaca. Ketika sang kakak yang berideologi Islam dan menjadi anggota al-Ikhwan al-Muslimun, ‘Abd al- Mun‘im, berbicara tentang Islam yang mempersamakan kedudukan laki-laki dan perempuan, kecuali dalam waris, maka sang adik yang berideologi Marxis, Ah}mad, mengomentari persamaan ini dengan sinis, “Bahkan, dalam perbudakan, Islam juga mempersamakan mereka.” 120 Di kesempatan lain, saat mereka berada dalam tahanan, juga berlangsung dialog yang tidak kalah lucu, seperti yang dilukiskan narator berikut: 121 ﺪﻬ ﺪ ا هو تﻮ إ ﺪ أ : - جﺰ أ ﻰ ﻰ إ اﺬه نﺎﻜ ا إ ﻰ أ أ ﺪ ؟ﷲا ﻬ ﺪ أ ﻰ ذأ ﺎ ﺳﺎ : - ﺎﻣو ﻰ ذ ﺎ أ ىﺬ ا ؟ ﺪ أ Hal lain yang layak diperhatikan dalam konteks karya realis adalah gaya bahasa tidak langsung. Bentuk realis seringkali dipahami sebagai ekspresi yang 116 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah al-Jadidah Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 6; dan Najib Mah}fuz}, Bidayah wa Nihayah, 12. 117 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah Beirut: al- Maktabah al- ‘Ilmiyah al-Jadidah, tt., Juz III, 142. Lihat pula, Najib Mah}fuz}, Bidayah, 40. 118 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah al-Jadidah, 85. 119 Najib Mah}fuz}, Qas}r al-Shawq Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 214; dan Najib Mah}fuz}, Bidayah, 111. 120 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 159. 121 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 323. Terjemahan petikan ini adalah: ‘Abd al-Mun‘im pun menarik nafas panjang dan, dengan suara yang hanya didengar Ah}mad, ia berbisik: - Apa aku dilempar ke tempat ini hanya karena aku menyembah Allah? - Dan aku sendiri, yang tidak menyembah-Nya, apa salahku? Bisik Ah}mad di telinganya dengan tersenyum 91 vulgar dan “langsung,” yang dalam bahasa biasanya disebut denotatif, dan ini biasanya dilawankan dengan ekspresi halus dan “tidak langsung” atau biasa disebut dengan konotatif. Apalagi, kelahiran realisme memang dilatari oleh keinginan untuk membebaskan diri dari model romantisme, yang cenderung menggunakan bahasa “berbunga-bunga.” Pemahaman seperti ini tentu saja tidak sepenuhnya benar, karena karya sastra, apa pun genre dan bentuknya, pastilah secara keseluruhannya adalah sebuah ekspresi tidak langsung. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila ditemukan ungkapan-ungkapan figuratif atau konotatif dalam karya-karya realis Najib. Berikut adalah beberapa contoh yang bisa dihadirkan: 122 - ﺎآ ﺔ ﺪ رﺎﺜﻣ ﺔ ﺎ د ءاﻮﺳ ﺎﻬ رﻮ ﺎ ا ةﺮ وأ ﺎﻬ ﺎ دﺎ ا ر ﺎﻣ ﺎﻬ ﻣ ذﻮ ﻰ ﻮ ﻷا ﺎ ﺪﻬ ﻣ ﺎ ﻬ وﺆ ةرﺎﻬ ﺔ ﺋﺎ رﺪ نأ دﻮ ﺎﻬ ﺜ ﺔ ﺋﺎ ﻰ ا حﻮ ﻂﺳو ةﺮﺳﻷا ﺰﻣﺮ ﺎآ ﻴ ا ءاور ﺔﻴ ذﺎ و مﺪ و ةﺪﺋﺎ . - إ نأ رﺎ ا ا فﺮ ﻰ ﺬه ﺔ ﺎ ا ﻣ حﺎ ا نﺎآ ﺎ اﺬ إ بﺎهﺬ ﺪﻴ ا ، سﻮ ﺎ ﺎ حﺎﻴ رﺎ ﺮﻴ رﻮﻜ ﻣ ﻰ ، ءاﺮ حﺎﻴ رﺎآ ﺮﻴﺳﻷا ﻰ إ ﻴ ﺳﻼ ا ﻰهو ﻚ ﺪ ﻴﻣﺪ و . - جاوﺰ ا ﺔ أو نﻮ ﻣ ﺔ. - ﺪ و قﺪ ﻣ لﺎ نأ رﻮﻴﻄ ا ﻰ ﺎﻬ ﺎﻜ أ . 122 Najib Mah}fuz}, Bayn al-Qas}rayn Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 21 dan 25. Lihat pula, Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 31 dan 35. Terjemahan petikan-petikan ini adalah: - Ia Khadijah menjadi obyek lelucon akibat penampilannya yang tidak serasi dan lidahnya yang tajam meskipun ia memiliki pengaruh terhadap kedua saudaranya itu Fahmi dan Yasin karena memiliki kecakapan mengurus mereka, satu hal yang jarang dimiliki oleh A‘isyah. Yang terakhir ini di tengah-tengah keluarga bak simbol indah yang menarik tetapi tidak berguna. - Semerbaknya minyak wangi di pagi hari seperti ini menjadi pertanda kepergian al-Sayyid. Nafas-nafas pun menghirupnya dengan lega, tanpa bisa menyembunyikan kebebasannya, sebagaimana tawanan merasa lega dengan gemerincing rantai saat lepas dari tangan dan kakinya. - Pernikahan itu laiknya biji sepele, tetapi kalian menjadikannya kubah besar. - Benarlah kata pepatah, “Burung-burung berkelompok dengan sejenisny.” 92 Aspek penceritaan atau plot 123 dalam novel-novel Najib ini juga tidak bisa dilepaskan dari kerangka realismenya. Kecuali, novel al-Sarab, novel-novel realis Najib tampaknya menggunakan alur lurus, dalam arti melukiskan peristiwa-peristiwa berurutan dari awal sampai akhir cerita. 124 Bentuk alur lurus ini dapat dibaca sebagai jejak dari semangat sang novelis sebelumnya yang bertekad untuk menulis novel-novel sejarah, tempat berbagai peristiwa diurutkan secara kronologis. Bentuk alur lurus ini digabungkan Najib dengan alur longgar, sebuah alur yang memungkinkan adanya percabangan cerita. 125 Dalam alur longgar ini, berbagai peristiwa, latar, dan tokoh muncul tanpa saling terkait. Yang menghubungkan semua ini hanyalah keberlangsungannya dalam satu tempat atau satu waktu, sebagaimana dapat dilihat dalam novel Zuqaq al-Midaq. 126 Penggunaan alur longgar ini tampaknya terkait dengan keragaman sudut pandang yang muncul akibat dari teknik narasi polyphonic yang digunakan Najib sebagaimana telah disinggung di atas. Dari uraian dalam bab ini terlihat bahwa Najib lahir di tengah-tengah keluarga kelas menengah bawah yang agamis, nasionalis, dan stabil; dan tumbuh besar dalam suasana Revolusi 1919, saat bangsanya dalam proses penemuan jati diri dan pembangunan. Ia pun ikut andil dalam pencerahan bangsanya melalui media sastra, yang digelutinya sampai akhir hayatnya. Titik tolak Najib dalam menulis karya sastra adalah berbagai problema bangsanya, Mesir, terutama dari 123 Plot biasanya dipakai dalam cerita dan didefinisikan sebagai rangkaian peristiwa yang saling berkaitan. Para pemikir memberikan definisi yang beragam atas istilah ini. Menurut Aristoteles, plot dalam sastra dapat didefinisikan sebagai “the arrangements of incidents that each follow from other in a plausible way.” Lihat, http:www.blurtit.comq769335.html, 18 Desember 2010. 124 Hal ini berbeda dengan alur tidak lurus, Alur tidak lurus ialah alur yang melukiskan tidak urut dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus bisa menggunakan gerak balik backtracking, sorot balik flashback atau campauran keduanya. Alur terakhir ini dipakai Najib dalam novel al-Sarab. 125 Alur longgar berbeda dengan alur erat, yang tidak memungkinkan adanya percabangan cerita. Dalam cerita beralur erat, penghilangan satu peristiwa akan mengganggu keutuhan cerita, sedangakan dalam cerita beralur longgar tidaklah mengganggu. Bagi sastrawan, alur berfungsi sebagai suatu kerangka karangan untuk pedoman pengembangan keseluruhan isi cerita, sedangkan bagi pembaca, pemahaman alur berarti pemahaman tentang keseluruhan isi cerita secara runtut dan jelas. Lihat, Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra Jakarta: Grasindo, 161. 126 http:www.startimes.comf.aspx?t=15950317, 18 Desember 2010. 93 sudut pandang kelas menengah bawah, tempatnya berasal. Meskipun bertitik tolak lokal, karya-karyanya sarat dengan nilai-nilai universal dan humanis, seperti keniscayaan perubahan, keadilan sosial, anti fanatisme, kebebasan, dan keragaman pendapat, sikap, dan keyakinan. Atas semua upayanya ini, dunia sastra pun mengakui dan meneguhkannya sebagai sastrawan berkelas dunia melalui nobel sastra 1988. Dalam bab III berikut akan dibuktikan kepedulian Najib dalam novel- novel realisnya pada persoalan bangsanya saat menghadapi perubahan-perubahan di berbagai bidang: media massa, pendidikan, sosial, dan politik. Pada akhirnya, perubahan di berbagai institusi ini akan menjelaskan keniscayaan perubahan dalam keberagamaan masyarakat, satu hal yang menjadi fokus uraian pada bab IV.

BAB III PERUBAHAN SOSIAL POLITIK