Formalis Fundamentalis: CORAK KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MESIR

225 Da’im. Ia harus menangung akibat dari skandal asmara antara Menteri Qasim Bek Fahmi dan Ih}san Shah}h}atah, dengan menjadi suami nominal sang perempuan dan memberi waktu kunjung sekali dalam seminggu bagi sang menteri kepada istri nominalnya itu. Ia heran dengan para penguasa. Mereka melakukan dosa-dosa besar dengan enteng, masa bodoh dengan apa yang dianggap masyarakat biasa sebagai dilema dan rumit, dan dalam sekejap mata membuat penyelesaian mudah atas sesuatu perkara, lukis narator ketika melihat kekasih calon istri nominalnya. 162 Namun, ini sama sekali tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki kepercayaan kepada Allah dan adanya perbuatan yang dikategorikan dosa oleh- Nya. 163 Mereka tetap menyadari bahwa agama membuat batasan-batasan, sehingga ada kategori perbuatan dosa dan perbuatan tidak dosa. Hanya saja, pandangan mereka tentang manusia dan perbuatan dosa memang agak naif. Bagi mereka, manusia itu lemah dan semua orang, termasuk para pejabat tinggi negara seperti mereka, tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, wajarlah apabila manusia pernah melakukan perbuatan-perbuatan dosa, seperti tindakan Qasim Bek Fahmi dalam merancang pernikahan untuk mengamankan terus berlangsungnya hubungan asmaranya yang tidak sah di atas atau tindakan ‘Abd al-Rah}im Pasha ‘Isa dalam menjalani kehidupan homoseksualnya. Iman itu lapang dada. Hanya orang munafiklah yang mengaku benar-benar bersih. Adalah bodoh bila kamu mengira bahwa manusia melakukan dosa hanya ketika imannya mati. Lagi pula, dosa-dosa kita itu lebih mirip permainan anak kecil yang tidak berdosa, jawab ‘Abd al-Rah}im Pasha ‘Isa atas pernyataan H{ilmi ‘Azzat, salah satu anak buah homoseksnya, bahwa keimanannya kepada Allah, adanya perbuatan dosa, dan penghapusan dosa dengan menunaikan ritual-ritual agama seperti haji itu membingungkan diri dan teman-temannya. 164

D. Formalis Fundamentalis:

162 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 124. 163 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 116. 164 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 71 dan 298-300. 226 Ekspresi keberagamaan satu segmen kelas menengah terdidik ini dalam banyak hal sangat berlawanan dengan ekspresi keberagamaan segmen kelas terdidik dan kelas atas di atas, yaitu substansialis sekularis. Apabila kelompok substansialis sekularis, katakanlah, berada di satu kutub, maka segmen lain dari kelas terdidik ini berada di kutub yang lain. Hal ini karena, seperti yang akan terlihat dalam analisis nanti, kemunculan kelompok ini dapat disebut sebagai distimulir oleh keberagamaan yang substansialis sekularis dari sebagian kelas menengah terdidik dan kelas atas, di samping oleh keberagamaan yang mistis dari kelas bawah dan kelas menengah tidak terdidik. Ketidakberdayaan umat Islam menghadapi keterpurukannya di berbagai bidang dan adanya gejala mulai merajalelanya dekadensi moral umat termasuk bagian dari stimulan atas tumbuh dan berkembangnya ekspresi keberagamaan yang kemudian disebut dengan formalis fundamentalis ini. Pertama-tama, beriman kepada Allah itu tertanam dengan sangat mendalam dalam diri mereka. Begitu kokohnya, sehinggga keimanan mereka ini tidak tergoyahkan oleh, misalnya, mode ateisme yang melanda kaum terpelajar kampus saat itu. Keimanan kepada Allah, bagi mereka, menjadi sumber bagi baik dan tidaknya tindakan seseorang. Apabila keimanannya kepada Allah goyah, maka ia akan menjadi mangsa empuk bagi semua bentuk kejahatan. 165 Sebaliknya, apabila kokoh, maka keimanannya kepada Allah ini tidak hanya akan menjauhkan dan membebaskannya dari kejahatan, tetapi juga memberinya kekuatan yang membuatnya bisa menguasai dunia. “Iman itu kekuatan terhebat di dunia. Untuk menguasai dunia diperlukan iman. Jika kita merasa lemah, berarti kita kurang beriman. Iman itu pencipta kekuatan,” demikian kata Shaykh ‘Ali al- Manufi kepada anggota kelompoknya yang disebutnya sebagai pandangan mursyid kata mursyid di sini tampaknya menunjuk pada pendiri al-Ikhwan al- Muslimun , H{asan al-Banna. 166 Faktor keimanan kepada Allah ini merupakan salah satu pembeda mereka dari kelompok substansialis sekularis di atas. Sebagaimana telah dimaklumi 165 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 14 dan 208. 166 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 83. 227 bahwa kelompok terakhir ini mengikuti filsafat materialisme dalam menafsirkan berbagai fenomena kehidupan. Sesuatu dalam hidup manusia, dalam perspektif filsafat ini, pada hakekatnya benda atau materi, termasuk akal dan perasaan. Semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materilah satu-satunya substansi. Materi membentuk akal atau kesadaran, dan bukan sebaliknya. Kesadaran masyarakat yang berwujud paham metafisik, hukum negara, dan berbagai kelembagaan masyarakat tidak menentukan kondisi hidup. Sebaliknya, kondisi masyarakatlah yang pada dasarnya menentukan kesadaran masyarakat yang tercermin dalam ideologi mereka. 167 Dalam konteks inilah dapat dipahami jika ‘Ali T{aha mengatakan bahwa kebaikan masyarakat itu terkait dengan roti. Apabila distribusi roti baik, maka kejahatan, menurutnya, pasti lenyap. Pandangan kelompok sekularis ini jelas berbeda dengan pandangan kelompok formalis fundamentalis seperti yang dinyatakan oleh Ma’mun Rid}wan bahwa kebaikan itu terkait dengan ruh baca: iman yang benar kepada Allah. 168 Bagi mereka, iman kepada Allah adalah sumber kebaikan dan kekuatan yang melebihi segalanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Shaykh ‘Ali al-Manufi berikut: 169 ﻜ ىﻮ ، ﺎ إ ﻬ إ نﻮ ﻣﺆ ﻮ ﺎ ،ﺔ ﺎ و ﺎﻣأ نﺎ ﻹا ﷲﺎ ﻮﻬ قﻮ آ ، ىﺮ أو ﻴ ﻣﺆ ﺎ ﷲﺎ نأ اﻮ ﻮﻜ ىﻮ أ ﻣ ﻴ ﻣﺆ ا ةﺎﻴ ﺎ ﺎﻴ ﺪ ا . Oleh karena itu, mereka berusaha keras untuk tetap berada di jalan Allah. Di sini, setan mereka percayai menjadi penghalang manusia untuk tetap di jalan Allah. Dalam menghalangi manusia ini, setan dapat berwujud manusia misalnya seorang gadis. Hanya saja, kemampuan setan untuk menyesatkan manusia dari 167 Tujuan filsafat materialisme adalah menunjukkan bahwa kenyataan itu ada secara obyektif dan bukan hanya ada karena ide-ide dan kesadaran manusia. Filsafat materialisme ini berlawanan dengan paham idealisme yang mengingkari adanya realitas di luar ide-ide dan kesadaran. Lihat, M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim Bandung: Mizan, 1999, 245; dan Andrew Wright, Spirituality and Education London: Routledge, 2000, 17. 168 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 209. 169 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 84: “Setiap kekuatan itu mempunyai iman. Mereka Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia, pen. beriman kepada tanah air dan kepentingan, sedang iman kepada Allah itu melebih segalanya. Seyogyanya orang yang beriman kepada Allah itu lebih kuat dari yang beriman kepada kehidupan dunia.” 228 jalan Allah ini, bagi mereka, tidak perlu ditakutkan, karena mereka percaya bahwa diri mereka adalah orang-orang yang terus berupaya mendapat petunjuk-Nya. Dalam hal ini, mereka membuat demarkasi tegas antara apa yang mereka sebut sebagai “musuh-musuh Allah” dan apa yang mereka yakini sebagai “tentara- tentara Allah.” Tentara Allah, dalam kepercayaan mereka, pasti dapat mengatasi atau mengalahkan musuh Allah, dan mereka yakin bahwa mereka adalah tentara Allah sepanjang mereka tetap dalam petunjuk-Nya. Agar tetap dalam petunjuk Allah, mereka pun menjauhi dan tidak dekat-dekat dengan segala perbuatan yang dapat membawa mereka ke dalam kubangan dosa. Berbeda dengan sang ateis ‘Ali T{aha yang tidak segan bergandengan tangan dengan sang pacar di jalan, Ma’mun Rid}wan bahkan tidak terlintas mengajak pacar tunangannya ke bioskop atau merancang rencana agar bisa berduaan. Padahal, andai mau seperti ‘Umar b Abi Rabi‘ah baca: pecinta dan pemuja wanita, tentu ia bisa. Ia menjaga ‘iffah, kesucian diri. Nuraninya bersih dan hatinya tulus mencari agama yang benar, iman yang kuat, dan akhlak yang lurus. Bahkan, untuk menghindari dosa akibat daya tarik wanita dan untuk mengalahkan setan ini, bila perlu, mereka tidak ragu-ragu menikah cepat semasa masih sedang duduk di bangku kuliah dan belum bekerja seperti yang dilakukan oleh ‘Abd al-Mun‘im Shawkat. 170 Pengetahuan mereka tentang ajaran agama cukup memadai. Ini terlihat dari argumentasi-argumentasi yang mereka kemukakan ketika mereka terlibat diskusi dengan teman-temannya, baik dalam in maupun out groupnya. Di sini, al- Qur’an dan Hadis seringkali menjadi bagian yang tidak terpisahkan. ‘Abd al- Mun‘im Shawkat, misalnya, meyakinkan kakeknya bahwa studinya tidak akan terganggu dan tetap berlanjut meskipun ia telah menikah, dengan ungkapan- ungkapan yang enak didengar dan argumentasi-argumentasi dengan dasar ayat- ayat al-Qur’an dan Hadis. Sang kakek yang keras hati pun menjadi luluh dan memberikan restunya. 171 170 Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 83,85-7,114, dan 116-9; dan Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 12 dan 16. 171 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 84 dan 121. 229 Individu-individu dalam kelompok ini memang dihadirkan sebagai orang- orang yang rajin membaca. Mayoritas mereka adalah berasal dari perguruan tinggi. Prestasi akademik mereka juga dapat dikatakan unggul seperti yang ditunjukkan oleh kesiapan Ma’mun Rid}wan untuk melanjutkan studi ke Sorbon, Perancis. Namun, berbeda dengan kelompok sekularis, mereka membaca buku-buku keislaman, di samping juga buku-buku kontemporer. Tentu saja, buku- buku kontemporer yang mereka jadikan rujukan adalah buku-buku yang sesuai atau tidak jauh bertentangan dengan iman mereka. Ma’mun Rid}wan yang unggul dalam prestasi akademik ini, umpamanya, dilukiskan sebagai merasa senang sekali apabila menemukan tokoh-tokoh filasafat berada --dalam bahasanya-- dalam naungan Allah, seperti Plato, Descartes, Pascal, dan Bergson. Hatinya menyambut baik harmoni antara ilmu pengetahuan, agama, dan filsafat yang ia lihat agaknya terjadi pada abad ke-20 ini. Kini, menurutnya, materi berubah menjadi panas listrik yang lebih mirip ruh daripada materi. Kini, idealisme atau spiritualisme mendapatkan kembali tahtanya yang terampas. 172 Selain menyebut-nyebut al-Qur’an dan Hadis dalam perbincangan mereka bersama orang lain, mereka juga sering mengusung label “Islam”. Di sana antara lain ada ideologi Islam, problema atau issu Islam, umat Islam, dan hukum Islam serta politik Islam. Bagi mereka, Islam adalah ideologi yang diciptakan Allah untuk menuntun manusia di bumi. “Cukuplah bagi kita ideologi yang dibuat Allah,” kata Ma’mun Rid}wan kepada teman-temannya tentang ideologi yang harus dipilih manusia. “Allah di langit dan Islam di bumi. Inilah ideologi.” Ajaran dan hukum Islam itu komprehensif, mengatur urusan manusia di dunia dan akhirat. Islam itu akidah dan ibadah, tanah air dan kebangsaan, agama dan negara, spiritual, al-Qur’an, dan pedang. Agama Islam itu akidah, syariah, dan politik. 173 172 Para filosof ini disenangi Ma’mun Rid}wan, karena pandangan mereka tentang ide sebagai substansi tampaknya tidak bertentangan dengan keyakinannya bahwa iman ruh adalah yang utama dan pertama dalam setiap tindakan manusia. Bagi para filosof pendukung filsafat idealisme ini, ruh pikiran dan kesadaran adalah substansi, bukan materi seperti yang diklaim oleh para pendukung filsafat materialisme. Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 1. 173 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 9-10 dan 14; dan Najib Mah}fuz}, al- Sukkariyah , 84 dan 294-5. 230 Dengan meyakini kesempurnaan dan keserbamencakupan Islam, mereka tidak bisa memahami bagaimana ada sebagian masyarakat yang enggan mengikuti ajaran yang berasal dari Tuhannya dan lebih memilih formula atau ideologi produk pemikiran manusia dalam memecahkan berbagai problem hidupnya. Mengenyampingkan Islam dalam pemecahan problem dunia, bagi mereka, sama artinya dengan mengingkari Tuhan yang telah menciptakan dan memberinya kehidupan. Menurut ‘Abd al-Mun‘im Shawkat, sikap ateis itu sebuah bentuk pemecahan yang mudah atas berbagai persoalan hidup dan eskapis dari kewajiban yang harus ditunaikan orang beriman kepada Tuhan, diri, dan manusia. Tidaklah aneh apabila mereka kemudian menganggap orang yang tidak menerima Islam sebagai ideologinya di dunia sebagai menyimpang, kafir, dan permisif. 174 Tampak di sini bahwa berbeda dengan kelompok substansialis sekularis, mereka lebih mengedepankan wahyu daripada nalar dalam memecahkan berbagai persoalan. Otoritas Tuhan dan syariah-Nya di bumi lebih tinggi daripada otoritas manusia dan nalarnya. Kedaulatan hakimiyah bukan di tangan manusia, melainkan ada di tangan Tuhan. Kedaulatan Tuhan itu mewujud melalui syariah. Hanya Allah semata yang memiliki kedaulatan dan kemampuan untuk menentukan kebaikan bagi seluruh manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Dalam kerangka ini, manusia tidak mempunyai pilihan lain. Yang bisa dilakukannya adalah memahami dan melaksanakan syariah ini dalam kehidupannya. Bagi mereka, pilihan-pilihan manusia tentang sesuatu itu tidak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan nalarnya, tetapi lebih diarahkan oleh pertimbangan-pertimbangan moralnya, 175 sementara moralitas yang didasarkan pada wahyu jauh lebih baik dan kokoh daripada moralitas yang bersumber dari apa pun. Ini berarti bahwa preferensi wahyu daripada nalar membawa mereka kepada penolakan gagasan tentang pemisahan antara agama dan ruang publik dalam kehidupannya. Pilihan sebagian kelas menengah terdidik atas Islam sebagai ideologi di tengah banyaknya ideologi yang masuk ke Mesir dan mereka kenal saat itu dan 174 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 135; dan Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 208. 175 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 135. 231 penolakan mereka terhadap pemisahan antara identitas agama dan semua dimensi kehidupan bukanlah tanpa latar. Pertama-tama, kebanyakan mereka adalah berasal dari keluarga beragama. Namun, meskipun memiliki latar budaya tradisional, dalam banyak hal mereka merupakan bagian dari sebuah kondisi sosial yang baru. Otoritas dari seluruh tradisi kultural itu terancam oleh kemenangan kekuatan- kekuatan kolonial non muslim atas Daulah Uthmaniyah, yang telah kehilangan propinsi-propinsinya di Timur Tengah untuk diserahkan kepada Inggris dan Perancis setelah Perang Dunia I, dan terutama atas Mesir sejak pendudukan Inggris 1882. Kekuatan kolonial Barat tidak hanya menjarah wilayah umat Islam, tetapi bahkan merusak dan menghancurkan sistem nilai, budaya, sosial, intelektual Islam, dan sekaligus merusak dan melenyapkan lembaga-lembaga pendidikan, politik, dan hukum Islam. Padahal, pada saat yang sama, Barat itu sendiri, dalam pandangan mereka, dipenuhi kebobrokan, terutama dari aspek moral dan keimanan. 176 Akibatnya, pada tahun-tahun 1920-an, ada kemekaran kelompok-kelompok yang muncul sebagai gerakan-gerakan nasionalis danatau agama dalam upaya merespon ancaman ini. Selain itu, banyak dari mereka yang berasal dari kelas baru yang secara longgar bisa disebut borjuis kecil seniman, level rendah profesional, pegawai kantor, dan pemilik bisnis dan usaha kecil yang muncul dalam konteks ekonomi kolonial dan dominasi perdagangan, industri, dan pertanian oleh kepentingan asing atau borjuis tuan tanah, bankir, industrialis Mesir. Banyak dari borjuis ini adalah orang-orang nasionalis, tetapi mereka tidak berusaha membuat semacam hubungan antara nasionalisme dan Islam dan bahkan sering memusuhi ide membuat hubungan seperti itu. Agaknya, sebagaimana yang telah disinggung dalam bab III mereka mencari kemerdekaan Mesir dengan model aktivitas partai politik dan bentuk-bentuk demokrasi akibat pengaruh pemikiran dan praktik Eropa abad ke-18. 177 176 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam Jakarta: Paramadina, 1999, 93. 177 Michael Gilsenan, Recognizing Islam: Religion and Society in the Modern Middle East London: I.B Tauris Co Ltd, 1993, 217-8. 232 Hal lain yang melatarbelakangi munculnya seruan penganutan ideologi Islam adalah berlangsungnya proses sekularisasi oleh negara sejak Muh}ammad ‘Ali memerintah dan adanya pemikiran-pemikiran para intelektual yang menganjurkan beragam tingkat sekularisme, dari pembelaan-pembelaan ringan atas peradaban Barat sampai tulisan-tulisan Salamah Musa dan T{aha H{usayn awal yang menganjurkan adopsi budaya Barat sepenuhnya dan pemutusan total tradisi Islam yang disakralkan. 178 Proses sekularisasi dan penyebaran sekularisme pun mengalir dari dua arah: struktural dan kultural. Secara struktural, negara berupaya mengintrodusir teknik-teknik Barat dalam menciptakan struktur negara yang lebih efektif. Meskipun tidak menolak Islam, para elit politik pada dasarnya tidak concern dengan isu-isu doktrinal atau menciptakan peran-peran yang berorientasi agama bagi mereka sendiri. 179 Secara kultural, banyak intelektual muslim yang mengagumi dan, melalui tulisan- tulisannya, memasyarakatkan upaya-upaya negara dalam mengadaptasi dan mengadopsi teknik-teknik dan metode-metode yang tidak berakar dari tradisi masa lampaunya tersebut. 180 Akibatnya, tidak sedikit anggota masyarakat, terutama kelas terdidik, yang pelan-pelan menyetujui dan mengikuti gagasan 178 Sebagaimana disebutkan dalam bab II dan III, Salamah Musa adalah orang yang percaya dan fanatik pada peradaban Barat modern. Ia merupakan salah seorang tokoh pendiri Partai Sosialis Mesir dan representasi dari orientasi sosialis moderat Mesir. T{aha H{usayn adalah orang yang menjunjung tinggi akal dan memberinya prioritas di atas tradisi. Ia juga dikenal dengan pernyataan tegasnya bahwa kalau mau maju, Mesir harus mengadopsi apa yang telah dicapai Barat, baik kebaikan maupun keburukannya. Lihat, Footnote 22-5 bab II, Lihat pula, Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man London and New York: Longman, 1975, 90- 1. 179 Mesir pada periode 1919-akhir 1920-an dan bahkan 1930-an, misalnya, adalah periode yang dikenal sebagai zaman keemasan pemikiran liberal di Mesir dan zaman keemasan identitas nasional. Para pengikut Sa‘ad Zaghlul pada 1920-an dan 1930-an dengan beranitegas menekankan peran ilmu pengetahuan dalam dunia modern. Terpengaruh oleh teori-teori ilmu pengetahuan Eropa abad ke-19 dan ke-20, mereka tidak ragu-ragu untuk lebih mengintrodusir sebuah interpretasi sosio-ekonomi daripada interpretasi religius atas sejarah, budaya, dan politik. Mereka masih mempertahankan Islam tetapi menentang interpretasi literal dan menolak mengikuti isi al-Qur’an dan Hadis dalam setiap segi kehidupan. Agama adalah masalah antara masing- masing individu dan Tuhan, bukan sumber bagi penentuan tatanan sosial atau institusi-institusi kehidupan masyarakat. Lihat, Soha Abdel Kader, Egyptian Women, 79. 180 John Obert Voll, Islam: Continuity, 88-9. 233 tersebut. Fenomena inilah yang tampaknya diacu dalam QJ sebagai “mode atau trend ateisme yang sedang populer di kalangan mahasiswa.” 181 Faktor keempat yang menstimulir muncul dan berkembangnya ajakan kembali kepada Islam adalah adanya kemerosotan beragama dan, pada gilirannya, kemerosotan moral dalam masyarakat. Banyak anggota masyarakat, terutama di Kairo, yang tidak menunaikan ritual agamanya hanya karena sebab-sebab sepele. 182 Tidak sedikit siswa sekolah yang skeptis terhadap Allah. 183 Orang lebih takut malu kepada orang daripada dosa. Orang mulai berani mengumbar asmara di jalan-jalan. Banyak orang menjalani hidupnya tanpa nilai. ZM menampilkan banyak contoh orang seperti ini. Bagi H{amidah, masalah moral atau akhlak adalah sesuatu yang paling remeh. Ia tumbuh besar dalam milieu yang nyaris tidak terikat dengan ikatan-ikatan moral. Bahkan, saat jatuh ke jurang kenistaan dengan menjadi pelacur pun, ia tidak menyesalinya. Faraj Ibrahim juga mengaku bahwa dirinya telah lupa tentang semua hal yang disebutnya sebagai “kesopanan,” termasuk menikah. “Hal penting yang aku ingat bahwa pernikahan itu terdiri dari seorang laki-laki, seorang perempuan, modin atau penghulu, surat nikah, dan banyak upacara. Kapan kamu tahu semua ini, Ibrahim: di kuttâb atau di sekolah? Namun, aku tidak tahu apakah tradisi ini masih diikuti atau telah ditinggalkan masyarakat. Sayangku, beritahu aku apakah orang masih menikah,” katanya sinis kepada H{amidah yang telah berganti nama Titi agar lebih komersil. Apabila H{amidah dan Faraj Ibrahim adalah contoh generasi muda yang tidak lagi memperdulikan moral dalam kehidupannya, maka Kirshah adalah contoh generasi tua yang juga tidak mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam hidupnya. Ia seorang pecandu hashish dan pedagang obat-obat terlarang. “Ia menghalalkan khamar yang diharamkan Allah, dan mengharamkan hashish yang dihalalkan-Nya. Ia melindungi kedai-kedai penyebar racun, tetapi memberangus obat jiwa dan akal,” katanya tentang pemerintah. Tentang nafsu homonya, ia 181 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 14. 182 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 64-5. 183 Najib Mah}fuz}, Bidayah, 32. 234 berkata, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Dulu perbuatan homonya ini dilakukannya dengan diam-diam atau tersembunyi, tetapi setelah terbongkar, ia malah mengulanginya dengan terang-terangan. Baginya, orang lain selalu usil dengan urusan orang lain sejak Allah menciptakan bumi dan manusia penghuninya. Menurutnya, mereka melakukan hal itu bukan karena jeleknya perbuatan yang dilakukannya, tetapi lebih untuk menjatuhkan dirinya. 184 Issu moral ini memang sentral di kalangan mereka, satu hal yang tidak kentara --untuk tidak menyebut tidak ada sama sekali-- dalam segmen masyarakat substansialis sekularis. Sentralitas issu moral dalam kelompok ini bahkan diakui oleh orang yang notabene berasal dari luar kelompok mereka, seperti Mah}jub ‘Abd al-Da’im. 185 Tokoh yang hidup tanpa nilai ini, menurut cerita narator QJ, terkadang mengatakan sesuatu yang bermoral, qaulan akhlaqiyan, demi menciptakan citra positif tentang dirinya, satu hal yang hendak diwujudkannya ketika ia berpikir untuk bergabung dengan kelompok al-Ikhwan al-Muslimun. Dengan penguatan issu ini, mereka dalam novel-novel realis Najib diacu sebagai anggota al-Shubban al-Muslimun dan al-Ikhwan al-Muslimun seolah-olah menegaskan bahwa reformasi sosial, ekonomi, dan politik harus diiringi dengan rekonstruksi moral masyarakat. Tanpa rekonstruksi yang terakhir ini, reformasi yang dilakukan hanya akan melahirkan problem-problem baru yang bahkan tidak kalah massif dan dekonstruktif bagi masyarakat bila dibandingkan dengan problem-problem yang ada sebelumnya. Tentu saja, moral yang mereka maksudkan adalah moral yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam. Tidaklah mengherankan apabila tokoh-tokoh yang merepresentasikan sebagian kelas terdidik ini dipotret sebagai tokoh-tokoh moralis: rajin beribadah dan tidak permisif. Oleh salah satu tokoh dalam QJ, Ma’mun Rid}wan, moral ini diacu dengan kata al-fad}ilah nilai-nilai luhur. Nilai-nilai luhur ini, di samping Allah dan Islam, diimaninya dengan kokoh. 186 184 Najib Mah}fuz}, Zuqaq, 41,46,54,72,82,94,119,148 ,213,254, dan 259. 185 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 186. 186 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 14. 235 Di sini pertanyaan patut dimunculkan. Islam yang bagaimana yang mereka pilih? Islam doktrinal atau Islam faktual seperti yang dipraktikkan kebanyakan masyarakat Mesir? Bagi mereka, Islam ideal yang harus menjadi referensi umat Islam dalam menata kehidupannya adalah Islam sebagaimana yang dijalankan pada masa Nabi dan al-Khulafa’ al-Rashidun. Meskipun tidak terartikulasikan secara eksplisit oleh mereka dalam novel-novel realis Najib, kesimpulan ini, paling tidak, dapat diambil dari tokoh-tokoh periode tersebut yang menjadi acuan mereka ketika berbicara dan menjelaskan tentang Islam. Ketika Ali T{aha menanyakan hukuman apa yang pantas diberikan kepada Menteri Qasim Bek Fahmi atas skandal sang menteri-Ih{san Shah{h{atah-Mah}jub ‘Abd al-Da’im, misalnya, Ma’mun Rid}wan langsung menjawab bahwa ‘Umar b. al-Khat}t}ab tentu tidak akan segan-segan untuk merajamnya. Di tempat lain, ketika di antara anggota pengajiannya ada yang mengatakan bahwa meskipun beriman, ternyata mereka adalah umat yang lemah, maka Shaykh ‘Ali al-Manufi berkata bahwa itu berarti iman mereka tidak sempurna, karena iman itulah yang melahirkan kekuatan. Ia lalu mencontohkan nabi Muhammad yang menaklukkan penduduk Arab dan juga orang-orang Arab yang menguasai seluruh dunia dengan iman. 187 Islam ideal yang, menurut mereka, dapat menjadi solusi atas semua keterpurukan dan penderitaan yang dialami masyarakat Mesir, dari kemiskinan dan ketidakadilan sosial sampai dekadensi moral ini bukanlah Islam sinkretis yang sarat dengan muatan bid’ah sebagaimana yang disosialisasikan melalui khutbah- khutbah Jumat di masjid dan dipraktikkan oleh kebanyakan masyarakat Mesir: pemujaan makam atau wali dan sikap pasif atau fatalis dalam menjalani kehidupan di dunia. Khutbah-khutbah Jumat sangat mendesak untuk diperbaharui. Dalam kondisinya yang sekarang, itu sebuah ajakan terang-terangan kepada kebodohan dan khurafat, kata Ma’mun Rid}wan mengkritik khutbah 187 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 209; dan Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 83. 236 Jumat yang didengarnya. Pada kesempatan yang lain Ma’mun Rid}wan berandai-andai: 188 أ ﻜ نأ أﺪ ﺎ ﺎ آ ﻰ ﻴ ا ﻰ ﺔﻴ نﺎ ا ؟ ﻴ ا ﺮﻬﻄ مﻼﺳﻹا ﻣ رﺎ ،تﺎ ﻴ ﻮ ا دﺮ و ﻴ إ ور ،ﺔ ﻴ ا ﺮ و ﺎ ﻬ ﻣ ةﻮ د ﺚ نأ قﺮ ا ﺮ ا ﻰ ﺎ ﻴ دﻼ ﻴ ا Salah satu bentuk manifes dari keinginan mereka untuk berislam sebagaimana yang dipraktikkan nabi Muhammad adalah mereka memelihara atau memanjangkan jenggotnya. Meskipun dalam novel-novel realis Najib tidak disebutkan secara eksplisit alasan mereka memanjangkan jenggotnya, dari tanggapan orang-orang dari out group mereka dapat ditarik hubungan antara keinginan mereka untuk berislam seperti Nabi dan memanjangkan jenggot. Agama itu baik, tetapi apa pentingnya jenggot yang membuatmu tampak seperti Muh}ammad al-‘Ajami, penjual kuskusi, kata Khadijah kepada anaknya, ‘Abd al-Mun‘im. 189 Sebagaimana dimaklumi bahwa ada banyak teks Hadis yang menyebutkan nabi Muhammad telah menganjurkan orang-orang Islam untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumisnya. Di antaranya adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam al-Tirmidhi keduanya dari Ibn ‘Umar. 190 Dengan teks-teks hadis seperti ini, mereka secara literal kemudian menarik kesimpulan bahwa perintah Nabi untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis juga berlaku bagi mereka, tanpa melihat konteks munculnya perintah tersebut. 188 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 44 dan 78: “Mungkinkah kita memulai perjuangan kita yang sesungguhnya dalam organisasi al-Shubban al-Muslimun? Lalu kita bersihkan Islam dari debu-debu paganisme-paganisme, kita kembalikan spirit mudanya, dan kita jadikan sumber dakwah yang segera akan mencakup semua orang Arab dan negara kaum muslimin.” 189 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 276. 190 Teks lengkap kedua hadis Nabi ini secara berurutan adalah: - ْ ْا ﺮ ْ ﱢ ﱠ ا ﻰﱠ ﱠ ا ْﻴ ﱠﺳو ﱠأ ﺮﻣأ ءﺎ ْ ﺈ براﻮﱠ ا ءﺎ ْ إو ﺔﻴْ ﱢ ا - ْ ْا ﺮ لﺎ لﺎ لﻮﺳر ﱠ ا ﻰﱠ ﱠ ا ْﻴ ﱠﺳو اﻮ ْ أ براﻮﱠ ا اﻮ ْ أو ﱢ ا ﻰ Lihat, al-Maktabah al-Shamilah, CD. 237 Terlepas dari ada tidaknya kesejajaran tempat praktik memanjangkan jenggot antara konteks sosial Nabi dan konteks sosial mereka, yang pasti keduanya menimbulkan implikasi yang tidak berbeda. Apabila maksud anjuran Nabi agar umat Islam pada saat itu memanjangkan jenggotnya adalah untuk membuat identitas umatnya bisa dengan mudah dikenali, maka identitas berbeda yang dimaksudkan Nabi itu juga melekat pada komunitas mereka komunitas al- Ikhwan al-Muslimun dengan memanjangkan jenggot. Jenggot telah menjadi sebuah tanda penentu atas identifikasi atau simpati dengan kelompok mereka. Ia menjadi simbol kelompok dan ide-idenya sampai sedemikian luas sehingga sikap menunjuk dagu seseorang dengan cepat berkembang sebagai tulisan bisu untuk memberi sinyal bahwa seseorang atau sesuatu yang dibicarakan terkait dengan perkara komunitas mereka. 191 Hanya karena mendengar sebutan orang-orang berjenggot, seseorang akan langsung terlintas dalam pikirannya orang-orang yang memiliki ekspresi keberagamaan seperti mereka. Yasin, misalnya, menyebut teman-teman ‘Abd al-Mun‘im yang datang ke pernikahannya dengan Karimah sebagai orang-orang berjenggot. Andai aku tetap di bupet ibu-ibu sehingga aku tidak berada di antara orang-orang berjenggot yang menakutkanku, keluhnya. Sebutan yang sama juga diberikan oleh Khadijah kepada teman-teman anaknya, ‘Abd al-Mun‘im, tersebut. 192 Di sini harus tidak dikesampingkan bahwa jenggot merupakan isu yang seluruhnya maskulin. Di kalangan perempuan diasumsikan --karena tidak disebut secara eksplisit dalam novel-novel realis 191 Identitas-identitas khusus, seperti dalam penampilan fisik, yang membedakan diri mereka dari kelompok lain membuat mereka tampak eksklusif dengan menarik garis tegas antara in group dan out group mereka. Sifat eksklusif ini, menurut Martin E. Marty dan Scott Appleby sebagaimana dinukil oleh Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, bersama sifat menolak cara berpikir historis dan hermenis dalam memahami Kitab Suci dan lima jenis perlawanan berikut menjadi tanda sebuah gerakan disebut fundamentalis: 1 melawan kembali fight back kelompok yang mengancam kebenaran mereka atau identitas yang menjadi taruhan hidup; 2 berjuang untuk fight for menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga dan insitusi sosial lain; 3 berjuang dengan fight with kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun konstruksi baru; 4 berjuang melawan fight against musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang dipandang menyimpang; dan 5 perjuangan atas nama fight under Tuhan atau ide-ide lain. Lihat, Patrick D. Gaffney, The Prophets Pulpit, 89-90. Lihat pula, Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo Radikalisme Agama: Sebuah Pengantar dalam Tarmizi Taher et.al, Radikalisme Agama Jakarta: PPIM, 1998, xix-xx. 192 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 280 dan 297. 238 Najib-- memakai atribut atau penanda tertentu yang memainkan peran yang sama dalam menyatakan identitas kelompok. Selanjutnya, mereka adalah orang-orang yang rajin melaksanakan kewajiban atau ritual agama, seperti shalat dan puasa. Bagi mereka, ritual agama adalah bagian penting agama, sehingga orang yang mengabaikannya berarti sama dengan tidak beragama. 193 ‘Abd al-Mun‘im Shawkat, misalnya, mencap adiknya, Ah}mad Shawkat, sebagai tidak lagi beragama, karena sang adik telah meninggalkan shalat dan puasa, sebuah penilaian yang tidak dibenarkan ibunya meskipun yang terakhir ini terkadang juga melontarkan perkataan yang meragukan agama Ah}mad. Ketaatan mereka ini diakui bahkan oleh orang-orang yang, dari aspek tipologi keberagamaannya, berasal dari out group mereka. Khadijah, umpamanya, mengakui dan mengagumi ketaatan ‘Abd al-Mun‘im dalam menjalankan kewajiban agama. Hal yang tidak berbeda juga dilukiskan oleh narator al-Qahirah al-Jadidah terhadap keberagamaan Ma’mun Rid}wan, “ Ia Mah}jub ‘Abd al-Da’im, pen. pun ingat temannya, Ma’mun Rid}wan: bagaimana ia biasa bangun di waktu subuh untuk melakukan shalat dan ibadah, dan bagaimana ia berulang-ulang menatap bintang-bintang sambil membaca wallayli idha yaghsha dan wa al-sama’i wa al-t}ariq dengan suara penuh cinta. 194 Kedua matanya yang jernih berkelap-kelip laiknya kerlap- kerlip bintang-bintang.” 195 Keajegan mereka melakukan ritual agama ini tidah hanya berhenti pada kepuasan dan kemabukan spiritual. Ibadah mereka ternyata mampu menyebabkan 193 Mereka memang tidak secara eksplisit menyebut dalil agama yang menjadi dasar keyakinannya itu. Namun, tampaknya dalil agama yang mereka acu adalah dalil agama seperti dua Hadis yang masing-masing diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Ibn ‘Umar dan oleh Imam Muslim dari Jabir berikut: - مﺎ ْﺳﺈْا ﻰ ْ ةدﺎﻬ ْنأ ﺎ إ ﺎﱠإ ا ﱠ ﱠنأو اًﺪﱠ ﻣ لﻮﺳر ﱠ ا مﺎ إو ةﺎ ﱠ ا ءﺎ إو ةﺎآﱠﺰ ا ﱢ ْاو مْﻮ و نﺎﻀﻣر - ﱠنإ ْﻴ ﱠﺮ ا ْﻴ و كْﺮﱢ ا ﺮْﻜْاو كْﺮ ةﺎ ﱠ ا Lihat, al-Maktabah al-Shamilah, CD. 194 Tampaknya yang dimaksud dengan wallayli idha yaghsha dan wa al-sama’i wa al-t}ariq dalam deskripsi ini adalah QS. al-Layl92 dan QS. al-T{ariq86. 195 Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 75,77-8,235, dan 280; dan Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 11 dan 182. 239 transformasi diri. Kesadaran batin dan kepasrahan total mereka kepada Allah pun, melalui ibadah, menyatukan dan membulatkan orientasi hidup mereka. Melalui ibadah ini, agama yang pada awalnya mereka terima lebih karena pewarisan dari orang tua pemaksaan kultural itu kemudian menjadi pilihan sadar disertai niat tulus dan tercerahkan. Dalam diri mereka pun berlangsung gejolak dan transformasi diri secara radikal. Manifestasi dari transformasi diri adalah keinginan untuk menjadi muslim secara utuh, nominal dan aktual. Kita adalah orang-orang muslim nominal. Oleh karena itu, kita wajib menjadi orang-orang muslim aktual, kata Shaykh ‘Ali al-Manufi kepada orang-orang yang rutin mengikuti pengajiannya. 196 Implikasi ibadah mereka tidak berhenti di sini. Selain gerak sentripetal seperti ini, ibadah mereka juga mampu menimbulkan gerak balik sentrifugal menuju kehidupan sosial yang nyata dengan komitmen untuk menegakkan tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang berlandaskan iman. Mereka secara aktif mengajak masyarakat untuk mengikuti ajaran Islam demi terwujudnya tatanan yang mereka yakini akan juah lebih membawa kebaikan bagi manusia bila dibandingkan dengan tatanan dunia yang tidak berlandaskan Islam. Mereka tidak ingin secara pasif menunggu realisasi dan implementasi kehendak Allah di muka bumi, tetapi mengupayakannya secara aktif. Kata dakwah yang kerap muncul dalam ucapan mereka barangkali dapat mewakili komitmen sosial mereka yang aktif ini. 197 Kata yang secara literal bermakna ajakan, seruan, dan dorongan ini menunjuk pada penyebarluasan, penerangan, dan penyuluhan agama Islam atau --menurut istilah ‘Abd al-Karim Zaydan-- nashr al-Islam. 198 Ma’mun Rid}wan dalam QJ seperti yang disebutkan di atas, misalnya, mempertimbangkan untuk bergabung dengan organisasi al-Shubban al-Muslimun sebagai sarana dakwahnya. ‘Abd al- 196 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 84. 197 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 78; dan Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 83. 198 Amrullah Achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Suatu Kerangka Pendekatan dan Permasalahan” dalam Amrullah Achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial Yogyakarta: PLP2M, 1983, 6-7; dan ‘Abd al-Karim Zaydan, Us}ul al-Da’wah Beirut: Muassasah al- Risalah, 1988, 5 dan 470. 240 Mun‘im Shawkat dalam SU juga bergabung dengan organisasi al-Ikhwan al- Muslimun dan ikut andil dalam pengelolaan majalah organisasi untuk menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat. 199 Komitmen mereka untuk mengajak orang lain kepada Islam ini tidak hanya terbatas pada masyarakat Mesir, karena sasaran dakwah mereka adalah semua umat Islam di seluruh dunia. Mereka baru menyebut dakwahnya berhasil jika Mesir dan umat Islam telah bersatu atas dasar konstitusi al-Qur’an atau bila umat Islam telah menjadi muslim secara aktual dan bukan hanya secara nominal. 200 Ini, bagi mereka, bukanlah obsesi dan angan-angan kosong. Masyarakat al-Qur’ani, dalam pandangan mereka, sama sekali bukan cita-cita yang tidak bisa dicapai: ia sangat praktis, dapat dikejar dan diraih. 201 Hal ini karena mereka --sebagaimana dinyatakan oleh H{asan al-Banna-- meyakini bahwa keunggulan prinsip-prinsip organisasi kolektif Islam bagi kebaikan manusia secara umum terhadap apapun yang dikenal manusia telah terbukti dalam sejarah; dan bahwa islamisasi final masyarakat dan negara akan berlangsung karena kegagalan Barat akibat mengikuti jalan hidup materialis: berbuat dosa, mengumbar nafsu, minuman keras, dan wanita. 202 Pandangan dan orientasi kosmopolit orang-orang yang suka bicara blak- blakan ini, 203 sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab III, tampaknya merupakan respon terhadap ide-de dari Barat seperti nasionalisme teritorial atau nasionalisme Mesir yang, bagi mereka, menjadi bagian dari strategi Eropa atau Barat untuk memperlemah umat Islam. Apabila nasionalisme mencari basis bagi kesadaran kelompok dalam warisan-warisan regional yang khas dan tradisi-tradisi linguistik-etnik yang berbeda, maka pandangan dan orientasi kosmopolit mereka yang lebih dikenal dengan Pan-Islamisme mencari basis kesadaran kolektif dalam 199 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 294. 200 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 84 dan 295. 201 Andrew Rippin, Muslims, 39. 202 Carolyn Fluer-Lobban, Ed., Against Islamic Extremism: The Writings of Muhammad Sa‘id al-‘Ashmawy Florida: University Press of Florida, 1998, 25 dan 27. 203 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 126. 241 agama Islam. Jika loyalitas dalam nasionalisme lebih diberikan kepada ummah nasional dengan bahasa dan budaya tertentu, maka loyalitas dalam Pan- Islamisme lebih diberikan kepada ummah transnasional dengan agama tertentu Islam. 204 Tentu saja, dalam sejarah Islam loyalitas transnasional muncul terlebih dahulu daripada loyalitas nasional. Namun, di tengah arus struktural dan kultural yang lebih memberikan loyalitasnya kepada ummah nasionalnya daripada transnasional, maka munculnya seruan dan ajakan di Mesir untuk memberikan loyalitas kepada ummah transnasional dapat dipandang sebagai respon dan gugatan balik terhadap nasionalisme teritorial atau nasionalisme Mesir. Demikianlah, Islam tidaklah monolitik, terutama pada level praksisnya. Agama wahyu ini ternyata diterima dan dijalankan secara berbeda oleh individu atau kelompok individu dalam masyarakat Mesir. Di sana selalu ditemukan keberagaman, baik yang berhubungan dengan kepercayaan maupun yang berhubungan dengan praktik keagamaan. Dalam hal ini, proses modernisasi yang telah berlangsung di Mesir sejak Muh}ammad ‘Ali berkuasa terbukti memiliki andil. Proses yang menyiratkan berlangsungnya berbagai perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, baik sosial, politik, maupun ekonomi ini tampaknya juga berpengaruh pada kehidupan beragama. Perkembangan horison intelektual dan perubahan-perubahan dalam struktur yang lebih besar terbukti berimbas pada agama dan keberagamaan. Paling tidak, ada empat corak yang bisa ditarik dari keberagamaan masyarakat Mesir pada paroh pertama abad ke-20 yang sedang memodernisasi diri ini. Pertama, corak keberagamaan mistis kultural. Allah, dalam corak ini, dipercaya sebagai penentu perjalanan sejarah manusia dalam segala aspek kehidupannya. Meskipun demikian, mereka tetap memiliki pandangan positif terhadap kehidupan, karena mereka meyakini bahwa Allah berkehendak baik terhadap mereka. Wahyu al-Qur’an menjadi sumber kebenaran, alat pengusir setan yang dipercaya selalu berusaha menyesatkan manusia dari jalan yang benar, dan penenang hati. Hanya saja, banyak dari mereka yang tidak bisa mengkaji 204 John Obert Volt, Islam: Continuity, 149-50. 242 langsung sumber otoritatif ini, sehingga pengetahuan mereka tentang wahyu atau ajaran Islam hanya mengandalkan tradisi dan para juru atau lembaga dakwah khatib di masjid, mursyid di tarekat sufi, dan penceramah di radio. Akibatnya, mereka mudah terkena propaganda yang dikemas dalam bungkus Islam. Orientasi mereka juga sangat ritualistik, sehingga agama pada mereka tidak mampu melahirkan komitmen sosial dan, sebaliknya, malahan menjadi pelarian dari dunia yang, dalam proses modernisasi, membutuhkan kualifikasi-kualifikasi baru yang gagal mereka penuhi. Selain itu, keberagamaan ini mencampuradukkan antara yang agama dan yang khurafat, mempercayai guna-guna, dan berpusat pada pengagungan dan makam para wali. Kedua, corak keberagamaan yang melahirkan kesalehan individual dan sosial. Allah, dalam corak ini, diimani sebagai maha kuasa. Meskipun demikian, manusia diyakini memiliki ruang berkehendak. Wahyu al-Qur’an dan Hadis dan “kitab kuning” merupakan sumber kebenaran mereka. Karena mereka secara langsung dapat mengakses sumber-sumber otoritatif produk masa lalu ini, keberagamaan mereka bersifat normatif dan tradisionalis dapat dirujuk kepada doktrin normatif Islam dalam al-Qur’an, Hadis, dan pandangan para ulama. Mereka taat menjalankan ritual agama ibadah. Meskipun berorientasi kepada pahala dan siksa, ibadah mereka dapat melahirkan komitmen sosial dan sikap altruistik yang bersifat individual atau personal dan mudah kandas atau bahkan menyebabkan orang marah dan lari, walaupun sesaat, dari dunia ketika berbenturan dengan realitas yang kompleks. Namun, kuatnya daya tarik dan kompleksnya dunia modern, keimanan yang kuat dan keajegan melakukan ritual agama tidak menghindarkan beberapa individu dari perbuatan salah dan dosa. Ketiga, corak keberagamaan substansialis sekularis. Allah, dalam corak ini, masih diimani meskipun tidak selalu dipertautkan dengan tindakan dan nasib manusia di dunia. Mereka memandang manusia memiliki ruang kebebasan kehendak, sehingga mereka memberikan peran yang lebih tinggi kepada nalar dibandingkan wahyu dalam kehidupan manusia. Bahkan, ruang penggunaan wahyu dihilangkan oleh beberapa individu. Sumber otoritatif mereka adalah ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan oleh para intelektual Barat. Pengalaman 243 sekularisasi di Barat ingin mereka terapkan. Agama yang sarat beban tradisi yang eskapis dan tidak kondusif mereka tinggalkan. Agama, bagi mereka, bersifat personal dan keberlakuannya hanya dibatasi dalam masalah nikah dan pengurusan jenazah. Sumber moral mereka adalah masyarakat dan ilmu pengetahuan. Potret moral individual mereka tidak sepositif potret moral sosial mereka. Keempat, corak keberagamaan formalis fundamentalis. Keimanan kepada Allah dalam corak ini tertanam secara mendalam. Setan dipercaya akan selalu menjadi penghalang manusia untuk tetap di jalan Allah. Islam, sebagai bentuk kehendak Allah Yang Maha Sempurna untuk menunjukkan manusia kepada jalan benar, juga diyakini sempurna dan serba mencakup. Oleh karena itu, semua persoalan manusia harus dikembalikan kepada Islam. Otoritas Tuhan dan syariah-Nya di bumi mereka letakkan lebih tinggi daripada otoritas manusia dan nalarnya. Mereka pun menolak ide sekularisasi, karena ide ini bertentangan dengan ide keserbamencakupan Islam. Sumber otoritatif mereka adalah al-Qur’an, Hadis, dan pandangan dan praktik Islam yang dijalankan oleh al-salaf al- s}alih Nabi dan al-khulafa’ al-rashidun yang dapat mereka akses secara langsung dan mereka baca secara literal. Mereka juga membaca buku-buku kontemporer sebagai penguat keyakinan dan argumentasi keimanan mereka. Mereka taat menunaikan ritual agama. Reformasi moral dan sosial menjadi sentral di kalangan mereka. Kembalinya umat Islam di seluruh dunia kepada ajaran Islam menjadi target dakwah mereka. Corak keberagamaan pertama umumnya dijalankan oleh masyarakat kelas bawah dan menengah tidak terdidik, corak keberagamaan kedua oleh sebagian individu dari kelas menengah terdidik, corak keberagamaan ketiga oleh sebagian individu dari kelas menengah terdidik dan umumnya kelas atas, dan corak keberagamaan keempat oleh sebagian individu dari kelas menengah terdidik. Di sini tampak ada korelasi antara tingkat persentuhan individu dengan modernitas dan kesempatan-kesempatan yang diraihnya selama proses modernisasi dengan corak keberagamaannya. Karena kurang terdidik danatau tidak berdaya, kelas bawah dan menengah tidak terdidik mudah membawa berbagai persoalan rumit yang dihadapinya kepada hal-hal di luar dirinya. Ini berbeda dengan penyelesaian 244 yang dilakukan kelas menengah terdidik dan kelas atas. Mereka bisa berpikir, membaca, dan memiliki horison dan pengalaman luas. Persoalan rumit tersebut oleh sebagian kelas menengah dicari hikmah yang telah ditentukan oleh kekuatan adikodrati, oleh sebagian yang lain ingin diatasi dengan nalar dan pemikiran- pemikiran manusia yang di beberapa bagian penjuru dunia lain telah terbukti membawa kebaikan bagi manusia, dan oleh sebagian lainnya lagi dicari model penyelesaiannya pada masa lalu yang juga telah terbukti membawa kebaikan materiil dan spirituil bagi manusia. Selanjutnya, beberapa pertanyaan pun layak dimunculkan. Dari sekian corak ini, di mana posisi Najib sendiri? Jika dari sisi kelas sosial ia berasal dari kelas menengah bawah, lantas apakah ia secara otomatis beratribusi kepada salah satu dari tiga corak keberagamaan kelas menengah? Jika tidak, keberagamaan yang bagaimana yang diidealkannya? Dan bagaimana pandangannya terhadap aneka keberagamaan masyarakat tersebut? Beberapa pertanyaan ini bersama persoalan-persoalan di seputar pandangan Najib Mah}fuz} tentang Islam dan modernitas akan dicari jawabannya dalam bab V.

BAB V PANDANGAN NAJIB MAH{FUZ} TENTANG ISLAM AGAMA