Substansialis Sekularis: CORAK KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MESIR

205 tasawuf oleh Phil Parshal-- tasawuf Islam. 112 Pemujaan institusi tarekat, wali, dan tempat-tempat keramat di sini tidak dikenal. Tidak ada Ekstrimisme atau praktik- praktik yang menyimpang dalam tasawuf mereka. Tasawuf seperti inilah yang tampaknya ingin ditempuh oleh Kamil Ru’bah Laz di akhir penemuan jati dirinya di atas dan yang telah dipraktikkan oleh al-Sayyid Rid}wan al- H{usayni dalam ZM. Pandangan tentang dunia dalam tasawuf ini, sebagaimana telah disinggung di atas, jauh lebih positif jika dibandingkan dengan pandangan tentang dunia dalam apa yang disebut sebagai tasawuf muslim. Al-Sayyid Rid}wan al-H{usayni pernah menjelaskan hakikat kehidupan di dunia dan akhirat: 113 او نأ ﻰ ةﺮ ا ﻰ ﺪ ﻰ إ ﺪ هﺰ ا ﻰ ﺎﻴ ﺪ ا وأ ا ﻣ ،ةﺎ ﻴ ا ﺎ ﺎﻄ ﻜ ﺄ ﻰ ةﺎﻴ ا و روﺮ ا ،ﺎﻬ ﻴآ ﻰهو ﻣ ؟ ﺮ ا ﺎﻬ ﷲا ﺎه ﻣو ﺮ ﺎ حاﺮ ﻷاو ءﺎ ﺮﻜ ﻴ ﻣو ءﺎ ﺮﻜ ﻴ .

C. Substansialis Sekularis:

Allah, bagi salah satu segmen kelas menengah terdidik ini, tetap diimani. Mereka percaya kepada eksistensi Allah. Mereka juga percaya kepada dunia ghaib, termasuk adanya malaikat dan setan. Ini terlihat dari munculnya kata-kata “Allah,” “malaikat,” dan “setan” dalam ucapan mereka. Namun, persepsi mereka tentang Allah dan dunia ghaib tidak sama dengan persepsi tentang hal yang sama 112 Dengan mengikuti pandangan yang disebutnya dari salah seorang temannya, Phil Parshal membedakan antara mistisisme Islam dan mistisisme muslim. Yang pertama adalah yang, menurutnya, didasarkan pada dan dapat dibenarkan oleh al-Qur’an dan Hadis. Ini adalah orientasi mistis kepada kehidupan yang dapat dianut oleh muslim ortodoks di seluruh dunia. Ia membenarkan kerinduan individu untuk menjalin hubungan personal dengan Tuhan, tetapi memberikan batas. Yang kedua adalah istilah negatif yang diberikan kepada praktik sufi yang hanya memberikan pengakuan superfisial kepada Muhammad dan al-Qur’an, dengan membenarkan aktivitas-aktivitas anomali, seperti pemujaan institusi tarekat dan memberikan hadiah kepada tempat-tempat keramat. Mistisisme muslim, dalam pandangannya, adalah kreasi manusia, yaitu merupakan interpretasi dan praktik yang menyimpang dari al-Qur’an. Mistisisme Islam adalah murni dan benar. Lihat, Phil Parshall, Bridges to Islam, 49-50. 113 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 271. Terjemahannya adalah: “Pada dasarnya, cintaku kepada akhirat tidak mendorongku meninggalkan dunia atau marah kepada hidup. Kalian semua lihat sendiri kecintaanku dan kesenanganku kepada kehidupan. Bagaimana tidak cinta sementara ia ciptaan Allah. Allah telah menciptakan hidup dan mengisinya dengan berbagai ‘ibrah pelajaran dan kesenangan bagi kita. Siapa yang ingin, hendaklah ia berpikir; dan siapa yang ingin, hendaklah ia bersyukur.” 206 oleh sebagian kelas menengah terdidik dan, tentu saja, dengan persepsi kelas bawah dan menengah tidak terdidik di atas. Demikian pula dengan persepsi mereka tentang kekuasan Allah dan kebebasan manusia dalam berkehendak. Allah, yang merupakan pusat dari keyakinan terhadap adanya kekuatan adikodrati ini, dapat dikatakan tidak lagi mereka beri kekuasaan sentral dalam menentukan semua tindakan dan nasib manusia. Dalam ungkapan lain yang agaknya lebih tepat, tindakan dan nasib manusia di dunia seharusnya tidak selalu dipertautkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah yang tidak bisa diketahui secara pasti oleh manusia. Meyakini Allah dan dunia ghaib, bagi mereka, adalah satu hal, sedangkan manusia menjalani hidup di dunia dengan segala keberhasilan dan kegagalannya adalah hal lain. Keduanya adalah dua hal yang berbeda dan memiliki wilayah operasi yang tidak sama. Narator BN melukiskan kegalauan H{asanayn menghadapi masa depannya yang tidak menentu ketika sang ayah, sebagai sandaran ekonomi keluarganya, meninggal dunia: 114 إ ﻚ ﻰ اﺬه ﻜ و . ﷲا ﻴ ﺎ ﻜ و آ ﻰ ﺎﻴ ﺪ ا ﻣ ﺋﺎ بﺎ ﻣو . ﺮﻜ ﺎﻣﻮ ﺪﻴ ﻜ و ﻬ ﻰ ﻮ ﻰ ﻴ ﺳ سﻮ ﻣ ﺔ ﻴ ﺄ ﻄ . Karena pendidikan, horison estetis dan intelektual, dan peluang mereka untuk memahami dan menguasai alam sekitar, baik fisik maupun sosialnya, mereka pun memandang manusia sebagai memiliki ruang kebebasan berkehendak yang besar. Manusia di sini bukanlah manusia “wayang” yang seluruh tindakannya ditentukan oleh “dalang” Allah sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat kelas bawah dan menengah tidak terdidik atau manusia dengan “kemampuan terbatas” yang harus menggantungkan hidupnya di dunia kepada Allah dengan berusaha mencari “hikmah” di setiap peristiwa buruk yang tidak diinginkannya, melainkan manusia yang memiliki kebebasan penuh di dunia. 114 Najib Mah}fuz}, Bidayah, 31, yang terjemahannya adalah: “Ia H{asanayn, pen tidak ragu tentang Allah, tetapi ia tidak bisa menerima begitu saja pernyataan bahwa Allah Maha Penolong. Memang benar, Allah penolong bagi semua orang, tetapi betapa banyak orang lapar dan tertimpa petaka di dunia. Ia tidak mengingkari akidahnya, tetapi dalam kegalauannya ia menginginkan jalan konkret ketenangan.” 207 Nasib manusia di dunia sepenuhnya berada di tangan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, manusia selayaknya mengatur dan menata dunia dengan kemampuan yang dimilikinya. Ia mestinya tidak menyerah kepada apa yang diyakini banyak orang sebagai takdir. “Orang yang menyerah kepada takdir itu berarti mendorong takdir untuk terus-menerus sewenang-wenang,” kata H{asanayn. 115 Akibat dari besarnya ruang kebebasan manusia ini, peran nalar dalam menuntun kehidupan mereka di dunia pun menjadi tinggi dan, sebaliknya, ruang penggunaan wahyu menjadi sangat terbatas atau bahkan oleh beberapa indvidu dihilangkan. Sumber-sumber otoritatif agama al-Qur’an dan Hadis jarang sekali disebut atau dijadikan acuan dalam perbincangan-perbincangan dan tindakan- tindakan yang mereka lakukan. Apabila disebutkan, maka sumber-sumber otoritatif agama ini hanya sebagai sasaran serangan mereka dan hanya untuk diperhadapkan dengan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Barat modern seperti Henry Bergson 1859-1941, 116 René Descartes 1596-1650, 117 Auguste Comte 1798-1857, G.W.F. Hegel 1770-1831, Karl Marx 1818-1883, Friedrich Engels 1820-1895, Bertrand Russell 1872-1970, Charles Darwin 1809-1882, dan Sigmund Freud 1856-1939. 118 Penghadapan kedua sumber ini tampak dari 115 Najib Mah}fuz}, Bidayah, 31. 116 Henry Bergson adalah filosof dan pemikir dari Perancis. Tiga karya utamanya adalah Essai sur les données immédiates de la conscience Risalah fi Mu‘t}ayat al-Shu‘ur al- Mubashir , Matière et mémoire al-Maddah wa al-Dhakirah, dan L’Evolution Créatrice al- Tat}awwur al- Khaliq yang masing-masing ditulisnya pada tahun 1889, 1897, dan 1907. Lihat, Mah}mud Abu Zaid, al-Mushkilah al-Ijtima‘iyah fi Fikr Henry Bergson: Dirasah fi Falsafah al-Taghayyur Kairo: Maktabah Gharib, 1989, 9 dan 107-110; 117 René Descartes adalah filosof Perancis yang dikenal antara lain dengan empat metodenya untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Pertama, tidak menerima sebagai kebenaran sesuatu yang tidak diyakini secara jelas prinsip kejelasan. Kedua, membagi kesulitan yang dipelajari menjadi sebanyak mungkin bagian untuk dapat dipecahkan prinsip analisis. Ketiga, menggiring refleksi melalui urutan yang benar, dari obyek yang paling sederhana sampai yang paling rumit prinsip induksi. Keempat, seluruh kasus disebut selengkap mungkin dan dinilai seumum mungkin, sehingga diyakini tidak ada yang terhapus prinsip holistik. Metodenya ini dikenal dengan the method of doubt, metode kesangsian untuk menemukan kepastian dan kebenaran. Lihat, Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi: Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994, 34-5. 118 Auguste Comte adalah seorang filosof dan sosiolog dari Perancis dan salah satu karyanya adalah General View of Positivism. Ia adalah orang pertama yang mengusulkan pemberian nama “sosiologi” pada keseluruhan pengetahuan manusia tentang kehidupan bermasyarakat. Baginya, ilmu pengetahuan baru yang disebutnya sosiologi itu menggantikan interpretasi teologis terhadap fenomena alam. Sebelum ilmu baru ini lahir, teologi atau agama 208 kritik Susan H{ammad terhadap apa yang disebut oleh sebagian intelektual muslim sebagai sosialisme Islam. “Dalam Islam mungkin ada sosialisme, tetapi itu sosialisme imajinatif,” katanya untuk menegaskan keilmiahan sosialisme Karl Marx. “Dalam Islam tentu tidak ada pemikiran apapun tentang sosialisme ilmiah.” 119 Penguatan dan pemrioritasan nalar dibandingkan dengan wahyu, lalu kesadaran mereka tentang realitas dan solusi yang mereka tawarkan ini merupakan implikasi langsung dari persentuhan mereka dengan filsafat, sosiologi, dan psikologi modern. Sebagaimana telah diurai dalam bab IV sebelumnya bahwa telah menjadi dasar bagi pemahaman manusia atas masyarakat dan alam. Ia menyebut tiga hukum fundamental perkembangan pemikiran manusia: fase teologis, saat pikiran mengira semua fenomena diciptakan oleh dzat adikodrati; fase metafisik, saat pikiran dianggap bukan ciptaan adikodrat, tetapi ciptaan kekuatan abstrak, yang melekat dalam diri seluruh manusia dan mampu menciptakan semua fenomena; dan fase positif, saat pikiran tidak lagi mencari ide-ide absolut yang asli, mentakdirkan alam semesta, dan menjadi penyebab fenomena, tetapi telah menemukan rangkaian hubungannya yang tidak berubah-ubah dan kesamaannya. Nalar dan pengamatan pun menjadi alat utama dalam berpikir. Georg Wilhelm Friedrich Hegel adalah seorang filosof dari Jerman. Salah satu konsepnya yang berpengaruh adalah dialektika yang, menurutnya, merupakan dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis pengiyaan, antitesis pengingkaran, dan sintesis kesatuan kontradiksi. Friedrich Engels adalah ilmuwan sosial dan filosof dari Jerman. Ia mengembangkan teori komunis dan bersama dengan Karl Marx mengarang The Communist Manifesto 1848. Bertrand Russell adalah filosof, sejarawan, ahli logika dan matematika dari Inggris. Charles Darwin adalah pencetus teori evolusi dengan bukunya Origin of Species As}l al-Anwa’. Karl Heinrich Marx adalah filosof dan ilmuwan sosial yang lahir di Jerman. Baginya, materialisme adalah satu-satunya yang mendasari alam dan kehidupan, dan agama tidak diperlukan lagi. Bahkan, agama dipandangnya sebagai sesuatu yang hanya melemahkan manusia, dengan janji-janji kosongnya, untuk menghibur orang yang tidak berdaya. Oleh karena itu, agama dan pengaruhnya harus diperangi. Ia adalah opium yang menghilangkan derita sementara, tanpa menyentuh akar penyakit. Ia adalah mistifikasi, sebuah manifestasi dari kesadaran yang salah, yang harus dijelaskan sebagai sebuah bentuk pencarian kompensasi oleh manusia dalam misteri mereka dan sebagai alat kontrol sosial yang digunakan oleh kelas-kelas yang berkuasa dalam perjuangan kelas. Pandangan yang tidak berbeda juga disampaikan oleh Sigmund Freud. Menurutnya, agama adalah an institutionalized mass neurosis. Lihat, Syed Muhammad Naguib Al- Attas, “Latar Belakang Kristen-Barat Kontemporer” dalam Islamia: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam Jakarta: INSISTS dan Khairul Bayan, 2007, volume III, No 2, Januari-Maret 2007, 13; Geoge Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terjem. Alimandan Jakarta: Rajawali, 1985, 2; Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, terjem. Alimandan Jakarta: Rineka Cipta, 1993, 72-4; Bryan Wilson, Religion in Sociological Perspective New York: Oxford University Press, 1982, 1; Slamet Iman Santoso, Tantangan Ganda Dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu Pengetahuan Jakarta: Bulan Bintang, 1985, 12; Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998, 41-2; http:www.philosophypages.comphhege.htm; http:www.spartacus.schoolnet.co.ukTUengels.htm; dan http:nobelprize.orgnobel_prizes literaturelaureates1950russell-bio.html, 23 Agustus 2010. 119 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 260-1. 209 modernisasi yang sedang berlangsung di Mesir telah memunculkan lembaga- lembaga pendidikan tinggi sekular. Dari pendidikan semacam inilah satu segmen dari kelas terdidik ini mengenal dan mendalami ketiga bidang ilmu ini. 120 Bahasa Latin, Inggris, dan Perancis adalah antara lain beberapa bahasa asing yang juga mereka pelajari, sehingga mereka dapat mengakses ilmu-ilmu modern secara luas. “Bagiku sudah cukup bahwa di Sekolah Tinggi Guru aku bisa belajar bahasa Inggris sebagai sarana membaca tanpa batas,” jawab Kamal kepada Isma‘il yang menanyakan apa yang disukainya di Sekolah Tinggi Guru itu. 121 Di samping itu, mereka tidak jarang juga dapat mengenal dari dekat dosen-dosen dari Barat yang mengajar di lembaga-lembaga tinggi tersebut atau berinteraksi langsung dengan orang-orang Barat yang tinggal di Kairo. Dosen-dosen asing dalam novel- novel Najib terkadang hanya diacu dengan mata kuliah yang diampunya seperti profesor Filsafat dari Perancis dan profesor Sejarah dari Inggris, tetapi terkadang diacu dengan nama seperti Mr. Forester dan Mr. Roger yang masing-masing adalah profesor sosiologi dan profesor sastra. 122 Tidaklah aneh jika pada saat itu berbagai arus pemikiran dan budaya bertemu di Kairo, sehingga kota ini oleh Rushdi ‘Akif, salah satu tokoh dalam KHAN, disebut sebagai campuran antara dunia dan agama, malam dan siang, surga dan neraka, Barat dan Timur. 123 Beragam budaya dan pemikiran Barat ini tentu mempengaruhi nalar mereka, cara mereka melihat realitas, dan solusi yang mereka ajukan. 120 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 14. 121 Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 52; Najib Mah}fuz}, Khan al- Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 11 dan 123; Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 11; Najib Mah}fuz}, Bidayah, 53-4; Najib Mah}fuz}, Qas}r, 154 dan 188.; dan Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 162. 122 Sejarah Islam Modern pada umumnya dan Sejarah Sastra Arab Modern khususnya telah mencatat keterlibatan para orientalis dalam pengembangan ilmu sastra Arab. Para orientalis ini antara lain adalah Karl Brugman 1868-1956 dari Jerman dengan salah satu buku populernya, Tarikh al-Adab ; Karl Nallino 1872-1938 dari Italia yang pernah menjadi anggota Lembaga Bahasa di Kairo dengan bukunya Tarikh al-Adab al-‘Arabiyah; Reynold A. Nicholson 1868-1945 dari Inggris dengan salah satu bukunya Tarikh al-‘Arab al-Adabi; dan Sir. Hamilton Gib dari Inggris tetapi lahir di Iskandariyah 1895- dengan bukunya al-Adab al- ‘Arabi . Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 79; Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 161,181, dan 247. Lihat pula, Ah}mad Smailovitch, Falsafah al-Istishraq wa Atharuha fi al- Adab al-‘Arabi al-Mu‘as}ir Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1980, 315-338. 123 Lihat, Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 88; dan Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 183. 210 Dengan nalar, horison pengetahuan, dan kontak mereka dengan budaya dan pemikiran Barat, mereka pun sadar bahwa ada perbedaan besar antara negara- negara Barat dan “negara” mereka: Barat yang maju dan Mesir yang terbelakang; Barat yang berkuasa dan Mesir yang dikuasai; Barat yang makmur dan Mesir yang miskin; dan Barat yang berperadaban dan Mesir yang primitif. Gambaran kontras ini secara jelas terlontar dari ucapan-ucapan mereka dalam berbagai kesempatan. ‘Ali T{aha dalam QJ melukiskan masyarakat Mesir sebagai tidak sadar atas hak-haknya yang terampas dan tidak tahu cara melepaskan diri darinya, dan juga miskin. 124 Ah}mad Rashid dalam KHAN berpandangan bahwa mayoritas masyarakatnya adalah miskin, bodoh, dan tidak sehat. 125 Kamal dalam QS menyebut masyarakatnya terbelakang dan bodoh dan inilah yang diyakininya mempengaruhi pandangan rendah ayahnya terhadap sekolah guru. 126 Namun, pada saat yang sama Inggris, misalnya, dilukiskan oleh Amin Rid}a dalam SA sebagai negara dengan bangunan kehidupan politik yang kuat, level hidup rakyatnya yang tinggi, dan memberi ruang kebebasan dalam segala hal. 127 Ah}mad Rashid juga menggantungkan harapannya kepada Rusia untuk membebaskan dunia dari belenggu dan ilusi, karena Rusia sosialis, menurutnya, bukanlah Rusia zaman Kaisar dan bangsa sosialis itu memiliki kekuatan, iman, dan iradah. 128 Barat pun menjelma menjadi reference group. 129 Gagasan-gagasan dan cara hidup Barat menjadi model bagi mereka. Para pemikir Barat dan gagasan- gagasannya jauh lebih mereka kagumi dan ikuti daripada para juru khutbah dan ceramah-ceramahnya atau para pemikir Islam klasik dan pemikiran-pemikirannya. 124 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 44 dan 46. 125 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 66. 126 Najib Mah}fuz}, Qasr}, 52. 127 Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 232. 128 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 57 dan 74. 129 Istilah reference groups dalam sosiologi menunjuk pada kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi model bagi individu atau kelompok masyarakat meskipun individu atau kelompok masyarakat yang lain itu mungkin bukan bagian dari kelompok-kelompok tersebut. Lihat, Paul Horton dan Chester L. Hunt, Sociology Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, 1972, edisi III, 163. 211 ‘Ali T{aha menyebut Auguste Comte sebagai orang yang menyelamatkannya dari kebingungan di saat ia mencari pondasi moral baru setelah sebelumnya menanggalkan agama lamanya, tetapi pada saat yang sama ia tidak bersimpati dan ingin mengganti para pemberi ceramah agama atau juru khutbah yang berasal dari al-Azhar dengan orang-orang dari perguruan tingginya. Ah}mad Rashid menyebut Sigmund Freud dan Karl Marx sebagai orang-orang jenius dan menyejajarkan mereka dengan para nabi dan rasul. Menurutnya, Sigmund Freud memberi individu kesempatan untuk bebas dari berbagai penyakit seksual yang memainkan peran penting dalam kehidupan manusia, sedangkan Karl Marx memberinya jalan pembebasan dari penyakit sosial. Namun, pada saat yang sama ia menyamakan Ah}mad ‘Akif yang banyak membaca karya-karya para pemikir klasik seperti Aristoteles dan Ikhwan al-S{afa dengan nakoda kapal yang meninggalkan alat kemudi ketika kapalnya nyaris tenggelam terkena badai. Kamal merasa bahwa di perpustakaan pribadinya ia memiliki sedikit teman istimewa seperti Charles Darwis, Henry Bergson, dan Bertrand Russel. Ustadh ‘Adli Karim menyebut para ilmuwan seperti Auguste Comte, Charles Darwin, Sigmund Freud, Karl Marx, dan Engels sebagai nabi-nabi zaman modern, sehingga tulisan-tulisan mereka layak dibaca dan menjadi referensi. 130 Tidaklah mengherankan bila mereka ingin meniru sang model. Apabila Barat mencapai kemajuan dan supremasi sosial, politik, ekonomi, dan teknologi dengan meninggalkan agamanya, maka mereka juga harus melakukan hal yang sama agar bisa meraih kemajuan dan supremasi serupa. Pemikiran mereka yang linear ini kemudian diikuti lebih lanjut dengan sikap etnosentrik mereka bahwa pengalaman sekularisasi Barat juga harus menjadi pengalaman bangsa-bangsa non-Barat, termasuk Mesir. Sebagaimana telah dimaklumi bahwa kemajuan Barat dalam berbagai bidang kehidupan seperti dewasa ini oleh banyak ahli sejarah dianggap sebagai akibat dari sekularisasi yang dialaminya sejak 250 tahun terakhir. Sekularisasi tersebut bermula dari pergolakan pemikiran dan pertarungan 130 Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 22-3 dan 44; Najib Mah}fuz}, Khan al- Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 46 dan 67; dan Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 36 dan 91. 212 gagasan para saintis, seperti tercermin dalam kasus Nicolaus Copernicus 1473- 1549, Galileo Galilie 1564-1642, dan Charles Darwin yang menentang doktrin gereja. 131 Berbagai penemuan ini lalu memuncak pada dua peristiwa, Revolusi Industri di Inggris 1760-1830 M dan Revolusi Perancis 1789-1794, yang menimbulkan kemajuan pesat dalam segala sektor kehidupan dan memunculkan norma-norma baru dalam hubungan sosial umat manusia. Selanjutnya, Jean Jacque Rousseu 1712-1778 telah menggunakan kata “modern” dalam arti yang dikenal sekarang, yaitu dunia yang bersendikan atas negara bangsa nation state dalam sistem politik, teknologi yang berdasarkan ilmu pengetahuan, rasionalisme, penggandaan keuntungan, dan sekularisasi dan pemarginalan peran agama. 132 Jalan kemajuan Barat dengan antara lain melalui sekularisasi inilah yang, oleh sebagian kelas terdidik Mesir, juga harus dilalui oleh bangsa Mesir. Agama sebagaimana yang dikenal dan dipraktikkan masyarakat selama ini pun oleh individu-individu seperti ‘Ali T{aha, Ah}mad Rashid, dan Ah}mad Shawkat disebut sebagai “agama lama” dan diperhadapkan dengan ilmu pengetahuan yang disebutnya sebagai “agama baru.” Bagi mereka, hidup itu sekarang dan akan datang, sehingga tidak perlu melihat masa lalu. Karena agama mereka pandang sebagai produk masa lalu, maka ia tidak perlu dipikirkan dan dipertimbangkan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan adalah dasar dari kehidupan modern. Agama dan pedukunan yang menguasai dunia lama dengan segala misterinya patut digantikan oleh ilmu pengetahuan dengan segala penemuan dan pencapaiannya. “Ilmu pengetahuan adalah pemikat sih}r, pelita, pembimbing, dan mukjizat umat manusia. Dialah agama masa depan,” demikian kata Riyad} Qaldas. “ Islam adalah agama, sedangkan agama itu mitos”. 133 131 Pemikiran dan penemuan para saintis ini mengguncang dogma gereja. Copernicus menemukan bahwa matahari adalah pusat jagat raya dan bumi mempunyai dua macam gerak: perputaran sehari-hari pada porosnya dan perputaran tahunan mengitari matahari. Galileo menyatakan bahwa bumi adalah bulat. Lihat, Syamsuddin Arif, “Kemodernan, Sekulerisasi, dan Agama” dalam Islamia: Jurnal, 35. 132 Harvey Cox, Religion in the Secular City New York: Simon Schuster, 1984, 183. 133 Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 23 dan 44; Najib Mah}fuz}, Khan al- Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 45 dan 47; dan Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 91 dan 108. 213 Apabila sikap mereka terhadap “agama baru” adalah sama, maka tidak demikian halnya dengan sikap mereka terhadap “agama lama” mereka. Sebagian individu membatasi keberlakuannya hanya dalam pernikahan dan menguburkan. Selain dalam dua hal ini, realitas hidup dengan segala kompleksitasnya itu mereka jalani menurut “agama baru” mereka yaitu ilmu pengetahuan, yang diwahyukan oleh “tuhan baru” mereka yaitu masyarakat, melalui perantaraan “nabi baru” mereka yaitu para ilmuwan. Sikap ini ditunjukkan, misalnya, oleh Ah}mad Shawkat. Ia tidak lagi menjalankan ibadah shalat atau puasa. Hanya saja, ketika menikah dengan Susan H{ammad yang tanpa persetujuan dan sepengetahuan keluarganya itu, ia tetap melangsungkannya dengan aturan agama lamanya. “Baginya, agama lamanya hanya berlaku dalam pernikahan dan pemakaman jenazah, sedangkan hidup baru itu menurut Marx,” tegasnya. 134 Namun, sebagian individu yang lain seperti ‘Ali T{aha bisa dikatakan mengingkari kebermaknaan dan keberlakuan agama bagi manusia. Ia beriman kepada ilmu pengetahuan dan bukan kepada yang ghaib, kepada masyarakat dan bukan kepada surga. Tuhan barunya adalah masyarakat dan agama barunya adalah ilmu pengetahuan. 135 Di sini, berbagai pertanyaan bisa dimunculkan. Apa yang mereka maksud dengan “agama lama” yang harus ditinggalkan dan tidak dipertimbangkan itu? Betulkah mereka sepenuhnya mengingkari kebermaknaan dan keberlakuan agama? Jika betul, apa landasan moralitas mereka? Dan, bagaimana potret moralitas mereka? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dapat diperoleh langsung dari ucapan-ucapan mereka sendiri dan melalui pandangan individu- individu dari out group mereka. Jawaban pertanyaan ini juga dapat disimpulkan dari perilaku mereka sehari-hari, baik yang bersifat personal maupun yang bersifat sosial. Tampaknya sikap mereka terhadap apa yang mereka sebut dengan “agama lama” itu tidak terlepas dari komitmen mereka terhadap reformasi sosial sebagai sebuah tuntutan dari kondisi masyarakat Mesir pada saat itu yang, dalam banyak hal, telah dijelaskan dalam bab III. Bangsa Mesir pada paroh pertama abad dua 134 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 75,77,266, dan 271. 135 Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 23. 214 puluh masih berada di bawah kontrol Inggris yang telah mendudukinya sejak 1882 dan mayoritas masyarakatnya masih buta huruf dan miskin. Untuk bisa meraih kemerdekaan, politik dan ekonomi, dan mewujudkan sebuah pemerintahan yang tidak tiran dan korup, Mesir membutuhkan masyarakat yang rasional, berpengetahuan, sadar atas realitas, dan turut berpartisipasi dalam pembangunan bangsanya. Sayangnya, atas nama dan karena keyakinan agamanya, banyak anggota masyarakat melarang anak perempuannya untuk masuk sekolah tinggi dan mencegah keterlibatan kaum perempuan dalam dunia publik. Selain itu, tidak sedikit anggota masyarakat yang menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan praksis kehidupan secara irasional, seperti dengan mendatangi makam, berwasilah, dan meminta berkah wali atau dengan jimat dan jampi-jampi. Mereka juga banyak yang hidup pasrah dan terkesan lari dari kehidupan dengan menjalani kehidupan sufi setelah mengalami satu kegagalan dalam hidupnya. Ekspresi agama masyarakat seperti inilah yang diacu oleh sebagian kelas terdidik sebagai “agama lama,” sebuah manifestasi dari keyakinan agama yang tidak saja tidak sejalan, tetapi bahkan menghambat transformasi masyarakat yang mereka inginkan. Dalam konteks inilah pengakuan ‘Ali T{aha berikut dapat dipahami: 136 آ ﻼﺿﺎ ﺪ ﺮﻴ و ، ﺎ أو مﻮﻴ ا ﺿﺎ ﻼ و ﺔ اﺮ Hanya saja, pilihan yang mereka ambil bukan saja membebaskan “agama lama” dari beban tradisi yang tidak kondusif bagi modernisasi yang sedang berlangsung, melainkan juga mereduksi keberlakuan agama hanya dalam urusan pernikahan termasuk talak dan cerai dan pemakaman jenazah. Mereka mengingkari agama sebagai sumber nilai untuk menghadapi dunia. Ritual agama seperti shalat dan puasa yang, dalam pandangan mayoritas masyarakat muslim, merupakan pondasi terpenting agama tidak lagi mereka jalankan. Sikap sekularistik mereka ini pada akhirnya berujung pada pengingkaran agama sepenuhnya, dalam arti agama sebagai sistem keyakinan dengan ritual dan norma 136 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 23: “Dulu aku menjadi orang baik dengan agama dan tanpa akal, tetapi kini aku adalah orang baik dengan akal dan tanpa khurafat.” 215 berperilaku tertentu. Sikap terakhir inilah yang setidaknya dinyatakan secara eksplisit oleh beberapa individu kelas ini. “Islam itu agama, sedangkan aku tidak percaya kepada agama-agama,” kata Ah{mad Shawkat menjawab pertanyaan kakaknya, ‘Abd al-Mun‘im Shawkat tentang Islam. 137 Sikap mereka mengingkari agama ini tentu saja harus dipahami dengan melihat sikap reference group mereka. Karl Marx, misalnya, tidak mengkritik hakekat tuhan dan metafisika agama, tetapi hanya praktik keberagamaan yang eskapis, yaitu menjadikan agama sebagai tempat pelarian dari pergulatan sosial yang menuntut penyelesaian konkret. Keberagamaan seperti ini, dalam pandangannya, hanya seperti opium yang menghilangkan derita sementara dan tidak menyentuh akar penyakitnya. 138 Oleh karena itu, meskipun dengan terang- terangan menyatakan pengingkarannya terhadap agama dan bahkan tuhan, sebagian mereka, seperti halnya Karl Marx, tidak mengingkari eksistensi tuhan. Sikap semacam ini setidaknya ditunjukkan oleh tokoh Mah}jub ‘Abd al-Da’im yang oleh seorang individu dari out groupnya, Ma’mun Rid}wan, disebut sebagai komunis destruktif. Ia seringkali menyatakan bahwa dirinya mengingkari semua hal: nilai, model, akidah, ideologi, dan seluruh warisan atau produk sosial. Namun, ia masih mempercayai adanya kekuatan alam yang menciptakan sejarah, mencetak kelas, membagi nasib, dan menjadikan ‘Abd al-Da’im sebagai ayahnya dan Qanat}ir sebagai kelahirannya. Bahkan, ia terkadang masih ingat dan menyebut kata “Allah.” “Karena suatu hikmah yang diketahui-Nya, Allah telah mentakdirkan agar kami berduaan hari ini. Jika semua hikmah Allah seperti ini, maka aku akan termasuk orang-orang yang beriman,” katanya pula saat berduaan dengan Tah}iyah di sebuah tempat wisata. 139 Apabila mereka memberikan peran sedemikian minimal kepada agama sebagai sesuatu yang sangat personal, tidak berlaku dalam ruang publik manusia, dan bahkan oleh beberapa individu sebagai sesuatu yang harus dihilangkan, maka pertanyaannya apa sumber moral mereka. Hal ini karena, menurut Schopenhauer 137 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 135. 138 Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, 42. 139 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 25,73, dan 94. 216 sebagaimana yang dikutip oleh A. Mukti Ali, “Untuk mengajar moralitas adalah mudah, tetapi untuk mencari dasarnya adalah sukar,” sementara agama, dalam pandangan banyak orang, merupakan dasar yang paling kuat bagi moral. 140 Ini disadari betul oleh ‘Ali Taha. “Dulu akhlaknya berdasarkan agama, sedangkan kini berdasarkan apa? Selain Allah, apa yang mempertahankan nilai keutamaan,” tanyanya penuh kebingungan. Ia pun menemukan jalan keluarnya. Ia menemukan Auguste Comte, tokoh sosiologi, yang memberitakan tuhan dan agama baru, yaitu masyarakat dan ilmu pengetahuan. Ia beriman pada masyarakat dan ilmu pengetahuan. Ia berkeyakinan bahwa seorang ateis, sebagaimana orang mukmin, memiliki ideologi dan model ideal jika ia menginginkannya, dan bahwa kebaikan itu jauh lebih bersumber dari sifat manusia daripada bersumber dari agama. Menurutnya, kebaikanlah yang dulu menciptakan agama dan bukan agama yang melahirkan kebaikan. 141 Selanjutnya, mereka dipotret sebagai orang-orang progresif dan berjiwa sosial. Reformasi sosial, pengentasan kemiskinan, dan penegakan keadilan merupakan tema-tema yang mereka usung, baik dalam wacana maupun dalam aksi mereka. Berbeda dengan al-Sayyid Rid{wan al-H{usayni dan kawan- kawan di atas yang memiliki kesadaran yang sama tetapi melakukan aksi secara personal, mereka merintis kelompok-kelompok yang secara kolektif dan aktif mengajak anggota masyarakat yang lain kepada tujuan yang sama. Di sana ada ‘Ali T{aha yang semasa mahasiswa menjadi ketua kelompok diskusi dan setelah lulus mendirikan majalah al-Nur al-Jadid Cahaya Baru sebagai sarana menyerukan reformasi sosial. Ada pula Ah}mad Shawkat dan Susan H{ammad, dua orang teman dan kemudian menjadi suami-istri, yang bersama- sama ‘Ustadh ‘Adli Karim, juga menyerukan reformasi sosial dan penegakan 140 W. M. Dixon, misalnya, berpendapat bahwa agama, betul atau salah, dengan ajaran- ajarannya yang percaya kepada Tuhan dan kehidupan akhirat, adalah dalam keseluruhannya, kalau tidak satu-satunya, merupakan dasar yang paling kuat bagi moral. Lihat, A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini Jakarta: Rajawali, 1987, 58. 141 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 23. 217 keadilan terutama dalam distribusi ekonomi melalui majalah al-Insan al- Jadid Manusia Baru. 142 Namun, potret moral individual mereka tidak sebaik potret moral sosial mereka. Karena menjadikan pemikir-pemikir dan kemajuan Barat sebagai model, maka mereka pun berupaya danatau menganjurkan untuk beradaptasi sepenuhnya dengan cara hidup Barat. Ah}mad Rashid, misalnya, tidak suka mengambil puisi-puisi lama sebagai shawahid, karena ia tidak suka merujuk pada masa lalu. Sebaliknya, ia mengagumi lagu modern dan memuji musik Eropa. 143 Ada kesan bahwa menjadi modern, bagi mereka, berarti sama dengan menjadi orang Barat dan bahwa modernisasi berarti westernisasi. Mereka tidak memisahkan antara yang modern dan yang Barat. Hidup yang hedonis dan permisif merupakan hal lumrah di kalangan mereka. Minuman keras, judi, dan zina bukan sesuatu yang tabu bagi mereka. Kehidupan seperti inilah yang diimpikan oleh Rushdi ‘Akif. Semasa kuliah di Fakultas Niaga, ia akrab dengan minuman keras, judi, dan immoralitas. Ia mengabaikan kuliahnya, bahkan pernah berpikir meninggalkan bangku kuliah untuk belajar musik dan menyanyi, hanya karena ia mendengar tentang hedonisme dan kesukaan para penyanyi kepada wanita. 144 Kebebasan pemikiran yang mereka kampanyekan pada akhirnya membawa mereka kepada sikap anti tradisi. Ada kesan bahwa modernisasi, bagi mereka, bermakna anti tradisi. Hal ini karena tradisi, dalam pandangan mereka, itu identik dengan kemunduran dan kekolotan, sehingga harus dihilangkan dan dilawan agar kemajuan dapat diwujudkan. Sikap seperti ini ditunjukkan, misalnya, oleh Ah}mad Shawkat. Ia tidak mau mendengar pikiran-pikiran orang tuanya tentang pilihan hidupnya: pekerjaan dan jodohnya. Bahkan, seperti yang telah disinggung dalam bab III, ia menganggap orang tua sebagai simbol tradisi masa lalu yang harus ditolaknya. Orang tua, menurutnya, seperti rem yang tidak 142 Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 22 dan 163; dan Najib Mah}fuz}, al- Sukkariyah , 87-88 dan 136. 143 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 45 dan 116. 144 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 84. 218 dibutuhkan oleh Mesir yang kakinya telah terbelenggu. 145 Sikap Ah{mad Shawkat ini berbeda dengan sikap kakaknya, ‘Abd al-Mun‘im Shawkat, yang menunjukkan ekspresi keberagamaan berbeda sebagaimana yang segera akan diuraikan berikut. Corak keberagamaan sebagian kelas menengah terdidik ini pada dasarnya juga sama dengan corak keberagamaan kelas atas. Namun, artikulasi kelas sosial terakhir ini tidak tampak sekeras atau sefrontal artikulasi mereka. Hal ini terutama karena kelas atas ini dapat disebut sebagai para fungsionaris sekularisasi, dalam arti bahwa merekalah pendukung dan pelaku proses sekularisasi pada level struktural. Karena kelas sosial danatau pendidikannya, para individu dari kelas atas dapat dikatakan sebagai the ruling class yang mendominasi Mesir, baik secara sosial, politik maupun budaya. Mereka yang umumnya bergelar bek dan pasha inilah yang menduduki posisi-posisi birokrat sipil, baik puncak maupun tinggi, yang dibangun sejak Muh}ammad ‘Ali Pasha berkuasa. Meskipun terdapat perubahan-perubahan sosial yang besar di Mesir antara 1800 dan 1950 seperti dengan munculnya kelas menengah terdidik, kelas atas ini terus mendominasi dan mengendalikan Mesir, terutama politik. 146 Sebagai the ruling class dan orang-orang berpengaruh, mereka tentu terlibat dalam proses modernisasi dan sekularisasi bangsa Mesir yang dimulai sejak Muh}ammad ‘Ali Pasha. 147 Berbagai kebijakan sebagaimana yang telah 145 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 205 dan 266. 146 Salah satu bukti dari dominasi dan kendali kelas atas yang terdiri dari keluarga kerajaan, tuan tanah, profesional, pebisnis pedagang, pemodal, dan industrialis ini ditunjukkan oleh salah satu tokoh dalam QJ, nyonya Ikram Nayruz. Perempuan kaya kelas atas ini dilukiskan sebagai s}ah}ibah nufudh wasi‘ orang berpengaruh di banyak kementerian dan partai. Ia menjadi tumpuan Mah}jub ‘Abd al-Da’im dalam mencari pekerjaan dengan memberinya imbalan mencitrakannya secara positif di media massa baca: majalah al-Najmah. Lihat, http:www.photius.comcountriesegyptsocietyegypt_society_social_organization.html, Egypt Society: Social Organization , 25 Juli 2008; Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 85 dan 91; dan http:www.photius.comcountriesegyptsocietyegypt_society_urban_society.html, Egypt Society:Urban Society , 25 Juli 2008. 147 Sebelum invasi Napoleon, hampir semua issu tentang pendidikan, hukum, kesehatan publik, dan kesejahteraan sosial berada di tangan para fungsionaris agama. Penguasa Uthmani memperkuat peran-peran politik dan publik ulama, karena Islam adalah agama negara dan pembagian politik dan negara didasarkan pada pembagian agama. Selama abad ke-19 dan ke-20, pemerintah yang silih berganti membuat upaya-upaya ekstensif untuk membatasi peran ulama dalam kehidupan publik dan meletakkan institusi-institusi agama di bawah kontrol ketat negara. Lihat, http:www.photius.comcountriesegyptsocietyegypt_society_contemporary_islam.html, Egypt Society: Contemporary Islam, 25 Juli 2008. 219 disinggung dalam bab III seperti pemberangkatan serangkaian misi ilmiah ke Eropa, pendirian pendidikan sekuler dalam banyak bidang, dan pengenalan pengadilan sekuler tentu sulit dibayangkan dapat berlangsung tanpa andil mereka, langsung atau tidak langsung. Namun, pada saat yang sama posisi mereka di pusat kekuasaan ini membuat mereka tidak bisa mengartikulasikan pendirian dan pandangan sekular mereka sefrontal artikulasi kelas menengah terdidik yang notabene masih berada di pinggir atau, bahkan, di luar kekuasaan. Bagaimanapun juga, dalam kehidupan mayoritas masyarakat Mesir agama memainkan peran sentral. Suara azan yang terdengar lima kali dalam sehari mempengaruhi, secara informal, pengaturan langkah setiap kegiatan, dari bisnis sampai hiburan. 148 Kenyataan ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja oleh mereka apabila mereka ingin mendapat simpati masyarakat, satu hal yang pasti mereka lakukan dalam momen-momen tertentu, seperti pemilihan umum, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim Farh}at dalam ZM yang mengisi panggung kampanyenya dengan menampilkan orang yang membaca ayat al- Qur’an, di samping lagu kebangsaan dan tarian setengah telanjang. 149 Dalam konteks ini, kehati-hatian Salim al-Ikhshidi dalam menyatakan pandangan- pandangannya yang bersumber dari pengingkaran terhadap ideologi dalam QJ dapat dipahami. Ia, sebagaimana Mah}jub ‘Abd al-Da’im, juga mengingkari ideologi, tetapi tanpa berteriakberkoar-koar. Ia dan Mah}jub tidak banyak berbeda. Kecerdasan mereka sama. Moralitas atau amoral mereka sama, tetapi mereka berbeda urat syaraf: Salim menakar ucapannya dengan cermat dan tidak 148 Peran sentral agama dalam masyarakat Mesir ini dapat diamati bahkan sampai sekarang. Di pinggiran kota Kairo seperti H}ay al-‘Ashir H-10, Naser City, beberapa usaha kecil toko kelontong dan foto copy ditutup sementara ketika azan telah dikumandangkan. Penulis juga menemukan fenomena yang tidak jauh berbeda di beberapa stand buku selama pameran buku internasional yang secara rutin digelar setiap tahun di Kairo. Meskipun sampai tidak menutup standnya, para pengelolanya akan segera melakukan shalat berjama’ah, sehingga pengunjung terpaksa harus menunggu pelayanan seusai mereka shalat. Di samping itu, adanya orang yang menunaikan shalat di pinggir jalan atau di tempat-tempat keramaian dengan atau tanpa alas dan orang yang membaca al-Qur’an di kendaran umum adalah sebuah pemandangan yang tidak aneh. 149 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 107. 220 terlihat menyerang satu ideologi atau akhlak dengan ucapan tidak baik, sedangkan Mah}jub meskipun berhati-hati, ia sinis terhadap semua hal. 150 Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila keberagamaan atau, lebih tepatnya, keberislaman hanya menjadi tanda kulit luar kelas ini. Di satu sisi mereka tetap mengikuti simbol-simbol keberislaman, tetapi di sisi lain mereka meniru Eropa, bukan hanya dengan mengadopsi perkakas dan teknologi mereka, melainkan juga dengan menginternalisasi moralitas dan sikap-sikap mereka. 151 Mereka menyambut dan mengisi bulan Ramadan dengan meriah: menghiasi rumah dengan gemerlap cahaya dan bacaan al-Qur’an. Pernikahan mereka juga dilangsungkan dengan cara agama. Di sana ada modin dan pembacaan al-Qur’an. Namun, pada saat yang sama mereka kurang peduli dengan agama mereka. Mereka semakin bersikap acuh tak acuh terhadap ajaran-ajaran non ritual agama. Bahkan, mereka menyebut orang-orang yang masih mempedulikan dan mempraktikkan ajaran-ajaran ini sebagai primitif, terbelakang, dan kampungan. Ini ditunjukkan, misalnya, oleh keluarga Shaddad Bek dalam QS. Keluarga ini menyambut bulan Ramadan dengan meriah, karena cinta dan mengikuti tradisi keluarga. Sang ayah dan mama juga berpuasa. Ketika mengadakan pernikahan anak mereka, Aida, mereka juga melangsungkannya sesuai aturan agama dengan, antara lain, modin yang mengukuhkan akad nikah. Hanya saja, di rumah mereka tersedia makanan daging babi dan minuman bir. Bir itu hanya minuman penyegar, kata Aida sambil mendorong Kamal remaja agar mengubah pandangannya yang memandang rendah bir dan mau mencicipinya. Jangan berprasangka buruk kepada kami. Kami minum bir hanya untuk pembangkit selera saja ... sedangkan daging babi itu sangat enak. Cobalah dan jangan menjadi seorang H{anbali Kamu masih mempunyai kesempatan luas untuk patuh kepada agama dalam hal-hal yang jauh lebih penting dari ini semua. Di kesempatan lain kakaknya, H{usayn Shadad, menghubungkan 150 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 32-3. 151 Soha Abdel Kader, Egyptian Women in a Changing Society, 1899-1987 Boulder London: Lynne Rienner Publishers, 1987, 70. 221 Kamal remaja yang suka menyebut Allah dalam banyak hal dengan asal- usulnya dari kampung agama Distrik al-H{usayn. 152 Di sini tampak bahwa seluruh anggota keluarga kelas atas, mulai dari orang tua sampai anak-anak mereka, memiliki sikap yang sama terhadap domain agama dalam kehidupan di dunia. Peran agama hanya mereka batasi dalam masalah-masalah ritual ibadah, nikah, dan barangkali juga penguburan jenazah. Sikap ini pada dasarnya tidak berbeda dengan sikap sebagian individu kelas menengah di atas. Sikap Aida dan H{usayn Shaddad tersebut, misalnya, juga merupakan sikap individu-individu dari kelas menengah seperti ‘Ali T{aha dan Ah}mad Shawkat. Perbedaannya adalah ada tidaknya kesamaaan atau kesenyawaan milieu keluarga, tempat individu-individu itu berasal. Apabila ‘Ali T{aha dan Ah}mad Shawkat mengambil sikap sekularis atau, bahkan, ateis itu seorang diri dalam keluarganya, 153 maka tidak demikian halnya dengan sikap Aida dan H{usayn Shaddad. Sikap sekularis dua orang terakhir ini juga merupakan sikap orang tua dan adik mereka. Hal ini menunjukkan bahwa dalam keluarga kelas atas dua hal berdampingan secara harmonis: moralitas dan sikap- sikap yang diadopsi dari Eropa Barat dan relijiusitas yang telah menjadi tradisi meskipun hal terakhir ini kecenderungannya terus menurun. Mereka sama sekali tidak merasa canggung dalam menerima dua hal yang sebenarnya tidak selalu dapat dikompromikan tersebut. Mereka dapat menerima dan menyandingkan dalam satu paket apa yang diistilahkan oleh narator QS dengan al-Qur’an dan champagne atau --dalam bahasa tokoh lain, Isma‘il-- dalam rumah mereka tidak lagi dikenal dikotomi antara orang kafir dan orang beragama. 154 152 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 184,197-8, 200-1, dan 322. 153 Apabila kesendirian Ah}mad Shawkat di tengah keluarganya dalam mengambil sikap sekularis danatau ateis dinyatakan secara eksplisit dalam SU dengan dimunculkannya sang kakak, ‘Abd al-Mun‘im Shawkat, yang notabene merupakan rival ideologisnya, maka kesendirian ‘Ali T{aha di tengah keluarganya dalam mengambil sikap yang sama hanya ditunjukkan secara implisit dalam QJ oleh kesediaan ayahnya memberinya modal bagi pendirian majalah mingguan untuk menyerukan gagasan-gagasan tentang sosialisme dan reformasi sosial, hanya karena sang ayah mengira usaha tersebut sebagai proyek dagang. Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 164. 154 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 322 dan 361. 222 Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakcanggungan seluruh anggota keluarga mereka dalam mengadopsi moralitas dan sikap-sikap Barat tetapi pada saat yang sama mereka tetap tidak mengabaikan ajaran agama mereka yang telah menjadi bagian dari tradisi tersebut. Pertama, mereka umumnya atau bahkan seluruhnya sering melakukan kontak dengan bangsa-bangsa Eropa Barat yang telah terlebih dahulu melakukan hal yang sama. Mereka adalah orang-orang kaya dan kekayaan mereka ini memungkinkan mereka melakukan wisata atau belajar di Eropa. Inilah yang, paling tidak, secara eksplisit dilukiskan dalam novel-novel realis Najib sebagai budaya masyarakat kelas atas. Sebagaimana telah disinggung dalam bab III, Eropa adalah salah satu tujuan mereka dalam menghabiskan cutimasa liburan. Hidup di sana juga menjadi impian mereka. Perancis, misalnya, oleh H{usayn Shaddad dianggap sebagai tempat yang dapat memenuhi hasratnya untuk menimba ilmu tanpa terikat dengan sistem atau ujian, di samping memberikan kehidupan indah. 155 Kontak langsung ini tentu dapat berimplikasi pada dikenalnya, dikaguminya, dan bukan tidak mungkin ditirunya sistem dan cara hidup, termasuk relijiusitas baca: pandangan tentang keberlakuan agama dalam kehidupan manusia di dunia dan praktik keberagamaan masyarakat Eropa Barat. Hal ini karena, dalam pandangan Ibrahim Abu Lughad, perjalanan dan ketertarikan orang-orang Timur yang meningkat kepada Barat telah menjadikan mereka sebagai makelar antara peradaban Barat dan masyarakat Arab. 156 Kedua, sebagai the ruling class, jangkauan kepentingan yang menjadi concern danatau pergaulan mereka juga lintas agama. Mereka tidak bisa mengabaikan eksistensi kaum minoritas, baik etnik maupun agama. Meskipun jumlahnya kecil, ada beragam kelompok etnis yang sudah lama menjadi bagian dari masyarakat Mesir, seperti Arab, Persia, Yunani, dan Turki. 157 Sebagaimana 155 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 151, 153, dan 191. 156 Nabil Abdo Khoury, Islam and Modernization in the Middle East: Muhammad Abduh, an Ideology of Development Michigan: University Microfilms International, 1986, 53-4. 157 Leluhur masyarakat Mesir mencakup banyak ras dan kelompok etnis, yaitu Afrika, Arab, Barbar, Yunani, Persia, Romawi, dan Turki. Namun, belakangan penduduknya relatif homogen, baik bahasa maupun budaya. Kelompok minoritas hanya sekitar 3 dari jumlah 223 telah disebutkan dalam bab III, selain agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Mesir, di sana juga terdapat agama Kristen yang dianut 8,5 masyarakatnya, terutama orang Qibti; dan agama Yahudi yang sebelum 1948 diperkirakan dianut oleh 80.000 orang. 158 Beragam kepentingan dan lingkungan pergaulan ini membuat mereka cenderung tidak menonjolkan nilai-nilai moral yang hanya bersumber dari ajaran agamanya baca: Islam. Sebaliknya, nilai-nilai universallah yang mereka tonjolkan, seperti keadilan, tanggung jawab, kejujuran, dan kesetiaan. Moral itu beragam. Hakim dituntut bersih dan adil, menteri dituntut tanggung jawab publik, dan teman dituntut jujur dan setia, kata ‘Abd al- Rah}im Pasha ‘Isa. Ia menegaskan bahwa manusia tidaklah memiliki nilai atau arti bila dirinya tidak bermoral. Ia memberi contoh orang-orang Inggris yang menjadi penguasa dunia karena menjunjung moral meskipun mereka tidak secerdas orang-orang Perancis dan Italia. 159 Lebih jauh lagi, di kalangan mereka bahkan ada yang mempelajari agama lain dan mengikuti ritualnya. Aida dalam QS adalah salah satu contohnya. Ia dilukiskan sebagai orang yang tidak segan mengikuti pelajaran agama Kristen dan kebaktiannya. 160 Ketiga, pengetahuan agama mereka relatif tidak banyak. Faktor ini pada dasarnya merupakan rentetan langsung dari faktor kedua di atas. Apabila mereka tidak memandang perlu menonjolkan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agamanya dan lebih memilih untuk mengedepankan nilai-nilai kebaikan universal dalam kehidupannya, maka mereka pun tidak termotivasi untuk menyelami seluk- beluk agamanya. Akibatnya, pengetahuan agama mereka pun minim sekali. penduduk. Kelompok minoritas bahasa meliputi komunitas-komunitas kecil orang-orang Armenia dan Yunani yang umumnya tinggal di kota Kairo dan Alexandria, orang-orang keturunan Barbar di oase-oase gurun bagian Barat, dan orang-orang Nubian yang hidup di Lower Egypt dan di kampung-kampung sepanjang sungai Nil di Upper Egypt. Kelompok minoritas budaya terutama adalah orang-orang nomad berbahasa Arab di gurun-gurun bagian Barat dan Timur dan semenanjung Sinai. Beberapa ratus orang Eropa, umumnya orang Itali dan Perancis, juga hidup di Mesir. Lihat, http:www.photius.comcountriesegyptsocietyegypt_society_minorities.html, Egypt Society: Minorities , 25 Juli 2008. 158 Lihat, http:www.photius.comcountriesegyptsocietyegypt_society_religion.html, Egypt Society: Religion , 25 Juli 2008. 159 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 303. 160 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 184 dan 200. 224 Argumentasi-argumentasi H{usayn Shaddad dan adiknya, Aida, dalam membujuk Kamal agar mau menegak minuman bir dan makan makanan babi di atas adalah salah satu bukti dari kurang memadainya pengetahuan agama mereka, terutama tentang yang halal dan yang haram. Bukankah aneh bila kami tidak tahu banyak tentang agama kita? Papa dan mama tidak memiliki pengetahuan agama yang layak disebut. Pengasuh kami adalah orang Yunani, dan Aida lebih banyak tahu tentang Kristen dan ritualnya daripada tentang Islam. Dibandingkan kamu, kami adalah orang-orang paganis, aku H{usayn Shaddad kepada Kamal. 161 Selain alasan tidak termotivasi untuk menyelami seluk-beluk agama, pada sebagian mereka kekurangtahuan tentang ajaran agamanya tersebut juga merupakan imbas dari kurangnya gairah mereka untuk mendalami ilmu pengetahuan secara keseluruhan. Dari aspek sosial, keluarga mereka cukuplah berpengaruh, sehingga apabila suatu saat membutuhkan pekerjaan, mereka dapat memperolehnya dengan mudah tanpa harus memiliki kualifikasi-kualifikasi melalui belajar giat sebagaimana yang lazim dilakukan oleh individu-individu dari kelas sosial yang lebih rendah. Dari aspek ekonomi, mereka tidaklah kekurangan. Bahkan, kekayaan keluarga mereka dapat dibilang berlebih dan dapat menjamin kelangsungan hidup beberapa generasi dari keluarga mereka. Mereka pun mengabaikan belajar giat dan lebih memilih untuk menjalani hidup santai. Kalau pun belajar dan menempuh jenjang pendidikan formal, maka itu hanya sekedar untuk gengsi semata. Beberapa individu yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya, seperti H{usayn Shaddad dan Aida Shaddad dalam QS, dan ‘Alawiyah S{abri dalam SU adalah tokoh-tokoh yang merepresentasikan kekurangairahan terhadap ilmu pengetahuan. Jika terhadap ilmu yang bermanfaat di dunia praktis saja mereka kurang bergairah, apalagi terhadap ilmu agama. Dengan menjadikan agama bukan sebagai sumber penggerak utama perilaku dan keberagamaan atau keberislaman hanya menjadi tanda luar dalam kehidupannya, mereka pun terkesan memandang remeh perbuatan dosa. Inilah setidaknya yang diamati dan bahkan imbasnya dialami oleh Mah}jub ‘Abd al- 161 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 200. 225 Da’im. Ia harus menangung akibat dari skandal asmara antara Menteri Qasim Bek Fahmi dan Ih}san Shah}h}atah, dengan menjadi suami nominal sang perempuan dan memberi waktu kunjung sekali dalam seminggu bagi sang menteri kepada istri nominalnya itu. Ia heran dengan para penguasa. Mereka melakukan dosa-dosa besar dengan enteng, masa bodoh dengan apa yang dianggap masyarakat biasa sebagai dilema dan rumit, dan dalam sekejap mata membuat penyelesaian mudah atas sesuatu perkara, lukis narator ketika melihat kekasih calon istri nominalnya. 162 Namun, ini sama sekali tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki kepercayaan kepada Allah dan adanya perbuatan yang dikategorikan dosa oleh- Nya. 163 Mereka tetap menyadari bahwa agama membuat batasan-batasan, sehingga ada kategori perbuatan dosa dan perbuatan tidak dosa. Hanya saja, pandangan mereka tentang manusia dan perbuatan dosa memang agak naif. Bagi mereka, manusia itu lemah dan semua orang, termasuk para pejabat tinggi negara seperti mereka, tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, wajarlah apabila manusia pernah melakukan perbuatan-perbuatan dosa, seperti tindakan Qasim Bek Fahmi dalam merancang pernikahan untuk mengamankan terus berlangsungnya hubungan asmaranya yang tidak sah di atas atau tindakan ‘Abd al-Rah}im Pasha ‘Isa dalam menjalani kehidupan homoseksualnya. Iman itu lapang dada. Hanya orang munafiklah yang mengaku benar-benar bersih. Adalah bodoh bila kamu mengira bahwa manusia melakukan dosa hanya ketika imannya mati. Lagi pula, dosa-dosa kita itu lebih mirip permainan anak kecil yang tidak berdosa, jawab ‘Abd al-Rah}im Pasha ‘Isa atas pernyataan H{ilmi ‘Azzat, salah satu anak buah homoseksnya, bahwa keimanannya kepada Allah, adanya perbuatan dosa, dan penghapusan dosa dengan menunaikan ritual-ritual agama seperti haji itu membingungkan diri dan teman-temannya. 164

D. Formalis Fundamentalis: