Shaleh Individual dan Sosial

190 seperti berjalan di atas air, muncul di berbagai tempat dalam waktu bersamaan, menyembuhkan dengan meniup nafas, dan menghidupkan orang mati. Orang yang dianggap wali dan diagungkan oleh mereka tidak hanya yang telah meninggal, tetapi juga orang yang masih hidup. Shaykh Darwish dalam ZM, misalnya, mereka cintai dan mereka anggap mendatangkan berkah. Keberadaannya di tengah-tengah mereka diyakini sebagai membawa kebaikan. Oleh karena itu, mereka tidak boleh menyakitinya, apalagi membuatnya menangis, karena tangisnya itu merupakan pertanda tidak baik. 83 Demikian pula dengan Shaykh Mutawalli ‘Abd al S{amad dalam BQ dan QS. Kedatangannya selalu disambut hangat oleh al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad karena dipercayainya sebagai wali dan membawa berkah. “Aku sangat membutuhkan berkahmu. Semoga Allah selalu menambah dan melimpahimu berkah,” jawabnya setelah mendengar alasan Shaykh Mutawalli ‘Abd al-S{amad mengunjunginya bahwa sebelumnya dia bermimpi melihat al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad melambaikan tangan kepadanya. 84 Tidak saja dengan perasaan bahagia, roman muka ceria dan, tidak jarang, dengan mencium tangannya, mereka juga menyambut kedatangannya dengan memberinya beragam hadiah. Tidaklah aneh apabila orang seperti Shaykh Darwish bisa tetap hidup di dunia meskipun ia tidak memiliki tempat tinggal dan harta benda. Status walinya telah membuat “dunia” kelas bawah dan menengah tidak terdidik untuk datang kepadanya.

B. Shaleh Individual dan Sosial

Apabila keberagamaan kelas bawah dan menengah tidak terdidik, yang seperti terlihat dari uraian di atas, agak monolitik, maka keberagamaan kelas 82 Kata karamah yang secara literal berarti mulia ini menunjuk pada suatu hal luar biasa yang tidak diiringi dengan risalah kenabian, yang tampak pada seorang yang shalih dan patuh pada syariat, berkeyakinan benar, dan beramal shalih, baik orang tersebut menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan luar biasa itu atau tidak menyadarinya. Ia dibedakan dari istidraj dan mu‘jizah . Istidraj menunjuk pada hal-hal luar biasa yang muncul pada diri seseorang yang tidak membawa misi kenabian dan tidak relevan dengan prinsip-prinsip keimanan dan amal shalih, sedangkan mu‘jizah menunjuk pada hal-hal luar biasa pada seseorang yang membawa risalah kenabian. Lihat, Abu Bakar b. Muhammad b. al-Sayyid al-Hanbali, Karamah Wali, 22-3. 83 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 17,45,50,65,241, dan 243. 84 Najib Mah}fuz}, Bayn, 441-4; dan Najib Mah}fuz}, Qas}r, 8. 191 menengah terdidik tampak lebih beragam. Ada yang taat menjalankan ritual agama shalat dan puasa seperti Ma’mun Rid}wan dalam QJ dan ‘Abd al- Mun‘im Shawkat dalam SU, tetapi ada pula yang sama sekali tidak mempedulikan ritual penting agama ini seperti Ah}mad Shawkat dalam SU. Ada yang bersikap altruistik seperti al-Sayyid Rid}wan al-H{usayni dalam ZM, tetapi ada juga yang bersikap egoistik seperti H{asanayn dalam BN. Ada yang menjadikan agama sebagai penuntun bagi setiap tindakannya seperti Ma’mun Rid}wan dalam QJ, tetapi ada yang bahkan tidak mempertimbangkan agama dalam kehidupannya seperti ‘Ali T{aha yang juga dalam QJ. Faktor pendidikan, akses terhadap instrumen modernitas, dan ekonomi kelas masyarakat ini, sebagaimana yang nanti akan terlihat dalam uraian lebih lanjut, menjadi faktor utama keragaman keberagamaan mereka. Pendidikan, seperti yang telah dijelaskan dalam bab III, telah memperluas dan meningkatkan horison intelektual dan estetis, dan membuka peluang-peluang ekonomi mereka. Kelas masyarakat produk pendidikan formal ini pun memiliki akses yang luas terhadap instrumen modernitas, terutama media massa cetak. Berbeda dengan instrumen kelas bawah dan menengah tidak terdidik dalam menerima pengetahuan agama yang memerlukan kehadiran baca: kontrol sumber pengetahuan khatib dan syaikh tarekat, misalnya, instrumen media cetak majalah, koran, dan buku tidak membutuhkan kehadiran sumbernya. Di sini para partisipan dalam transmisi pengetahuan tidak saling kenal. Pesan menjadi impersonal. 85 Dengan ketidakhadiran sumber pengetahuan ini, penggunaan nalar lebih terbuka. Ragam interpretasi pun menjadi sebuah keniscayaan. Semua faktor ini tentu saja membawa implikasi pada keragaman keberagamaan kelas masyarakat yang pada paroh pertama abad ke-20 mulai tersebar luas di Mesir. Pertama-tama, sebagaimana keimanan kelas bawah dan menengah tidak terdidik, keimanan sebagian kelas menengah terdidik kepada Allah sangatlah kuat. Allah, bagi mereka, adalah Dzat yang memberi manusia kehidupan dan kepada-Nyalah kehidupan yang dijalani manusia di dunia akan 85 John R. Bittner, Mass Communication: An Introduction New Jersey: Prentice-Hall, 1986, 12. 192 dipertanggungjawabkan di akhirat. “Kepercayaanku kepada Allah tidak terbatas. Dialah Yang Maha Mengetahui,” tegas Kamil Ru’bah Laz}. Ia meyakini bahwa Allahlah yang mengetahui impian-impian hidupnya dan Dialah yang mewujudkan impian-impiannya ini. 86 Keyakinan atas kemahakuasaan Allah ini menjadikan mereka memiliki sikap kepasrahan yang tinggi kepada-Nya. Kepasrahan di sini bukanlah kepasrahan yang membawa kepada sikap-sikap fatalis sebagaimana yang lazim ditemukan dalam masyarakat bawah dan menengah tidak terdidik, melainkan lebih sebagai bentuk pengakuan tentang kemahakuasaan Allah di satu sisi dan tentang keterbatasan manusia di sisi lain. Tugas manusia adalah merencanakan sebaik mungkin dan berusaha sekeras mungkin. Hanya saja, ketika apa yang direncanakan dan diusahakannya tidak membawa hasil seperti yang diinginkannya, maka ia tetap menerimanya sebagai hasil terbaik baginya. Oleh karenanya, mereka cenderung mencari hikmah di balik sesuatu yang terlihat buruk. Barangkali penyakit itu merupakan keburukan, tetapi pada sisi lain ia adalah ujian ilahi. Dari sisi ini, ia adalah kebaikan,” kata al-Sayyid Rid}wan al- H{usayni kepada al-Sayyid Salim ‘Ulwan setelah yang terakhir ini sembuh dari sakit jantung. Bagaimana ilmu kita yang sedikit memahami hikmah yang begitu agung? Memang, kamu orang baik, dermawan, dan melakukan kewajiban- kewajiban agama, tetapi Allah menguji hamba-Nya, Ayyub, padahal ia seorang nabi. Janganlah berputus asa atau bersedih. 87 Hidup al-Sayyid Rid}wan al-H{usayni sendiri tidak lepas dari kegagalan, tetapi ia dapat menghadapinya dengan baik. Ia pernah kuliah di al- Azhar tetapi tidak berhasil mendapat gelar dan anak-anaknya meninggal. Alih-alih membuatnya gusar dan pesimis dalam menatap masa depan, kegagalan dalam hidupnya menjadikannya penuh cinta kasih kepada sesama, kebaikan kepada orang-orang tidak berdaya, dan kesabaran. Imannya yang kuat kepada Allah 86 Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 7,52, dan 158. 87 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 177-8. 193 merupakan kunci di balik sikap tegar dan optimisnya dalam menjalani hidup. Berikut adalah nasehatnya kepada ‘Abbas al-H{ilu: 88 ا ةﺎﻴ ﺔ ﷲا ﺎ ﺳ ،ﻰ ﺎ و ﻴﻜ ﻣﺆ نأ ﺎﻬ وأ ﻴﻀ ﺎﻬ لﻮ ﺳ ﺿ ﻴﻜ ، ﻴآو ﻚ ﺄﺳﺄ ﻣ أ تءﺎ ﻴآ ﻴآو ؟ ﺬه ﻴ أ ﻣ ﷲا ىذ ؟لﻼ ا ... ﻜ ت ﺎ ةﺎﻴ ا ﺎﻬ ﺎ ﺎﻬ و ... ﻜ ﻴ آو ﺬ ﺬ ... ﺎﻣأ ﺋﺎ ا ﺪ ﺎﻬ ﺎ ﺎهﺮﻬ ﺳو . ا أ جﻼ . ﻰ و ىوﺎﻄﻣ ﺋﺎ ا ﻜ ةدﺎ ا صﻮ آ سﺎ ا ﻰ نﻮﻄ ﺎ ا ﺔ ﺮﺨ ا . Namun, ini tidak berarti bahwa mereka tidak pernah mengenal perasaan putus asa. Sebagai manusia, mereka tidak lepas dari momen-momen, saat putus harapan menguasai diri mereka sebagaimana yang pernah dialami oleh Ah}mad ‘Akif. Ia terpaksa mengenyampingkan pikirannya untuk lanjut studi setamat sekolah menengah. Ia harus bekerja sebagai pegawai rendah dan menjadi tulang punggung keluarganya setelah sang ayah dipensiunkan dini. Kita secara semena- mena kehilangan masa terbaik dalam sejarah Mesir, masa yang mengabaikan pertimbangan-pertimbangan usia dan keagungan warisan, saat anak-anak muda menduduki menteri, katanya menyesal. Ia pernah mencoba untuk meraih ijazah Hukum dari rumah semacam kuliah terbuka, tetapi setelah dua tahun belajar ia gagal ujian dalam dua materi. Ia lalu berpikir untuk mengabdikan dirinya kepada ilmu pengetahuan. Ia pun memilih kajian teoritis dan berharap bisa mengubah horison ilmu pengetahuan modern dan mengabadikan dirinya seperti Newton dan Einstein. Di sini ia juga gagal dan hanya berhasil menambah sejumlah buku sains dalam koleksi bukunya. Ia lantas melirik sastra, tetapi pilihannya ini lagi-lagi kandas. Ia kemudian belajar sihir dan cara menghadirkan setan, tetapi ia malah jatuh sakit yang nyaris membuatnya gila dan mati. 89 88 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 53 dan terjemahannya sebagai berikut “Hidup itu nikmat Allah, lantas bagaimana orang beriman bosan dan merasa susah dengannya. Bila kamu merasa susah dengan ini dan itu, maka perlu dipertanyakan dari mana ini dan itu tersebut? Bukankah dari Allah? ... Setiap keadaan hidup itu memiliki keindahan ... Segala hal itu indah dan nikmat ... Musibah harus kita hadapi dengan cinta. Kelak kita akan bisa mengatasinya. Cinta itu obat paling manjur. Dalam musibah terkandung kebahagiaan, seperti permata yang tersimpan dalam tambang batu.” 89 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 11-17. 194 Karena keimanan mereka yang kuat kepada Allah dan kepercayaan mereka bahwa hidup adalah karunia-Nya, mereka mudah untuk mengingat Allah ketika pada suatu saat mereka berbuat salah. Perasaan berdosa segera mereka rasakan begitu mereka melakukan kesalahan. “Tidak ada orang yang lebih sengsara daripada kamu dihinggapi penyesalan di saat kamu memiliki iman,” kata Kamil Ru’bah Laz menyimpulkan penyesalan dan perasaan berdosa yang dirasakannya ketika ia melakukan kebiasaannya beronani yang tidak bisa dihentikannya. 90 Mereka memang percaya bahwa setan dapat menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak diridlai Allah, tetapi mereka cenderung tidak menyalahkan setan dalam kesalahan yang diperbuatnya. Bagi mereka, setan hanya dapat dengan leluasa menjerumuskan manusia apabila manusia itu sendiri lupa. Kecenderungan mereka untuk menyalahkan diri sendiri dalam dosa-dosa yang dilakukannya ini menunjukkan bahwa teologi mereka agak berbeda dengan teologi kelas bawah atau tidak terdidik di atas. Mereka tampaknya menganut teologi kebebasan berkehendak. Meskipun mengakui kemahakuasaan dan kemutlakan Allah, mereka tetap menyakini adanya ruang berkehendak bagi manusia. Allah memang berkuasa penuh menentukan kapan dan di mana manusia hidup, tetapi manusia bebas menjalani kehidupan yang diberikan kepadanya ini. Dengan kebebasannya inilah, manusia kelak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah. Teologi mereka ini, dalam beberapa hal, tidak terlepas dari luasnya horison pengetahuan agama mereka jika dibandingkan dengan horison pengetahuan kelas bawah dan menengah tidak terdidik. Sebagaimana kelas terakhir ini, mereka juga menjadikan al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber kebenaran. Namun, berbeda dengan kelas terakhir, mereka adalah orang-orang yang melek huruf, sehingga mereka mampu membaca sendiri dan bahkan mendiskusikan kedua sumber tersebut di antara mereka. Ini dapat diamati dari banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis, di samping puisi-puisi, yang disebut-sebut dalam obrolan para peziarah sebelum al-Sayyid Rid}wan al-H{usayni 90 Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 98. 195 berangkat haji. Selain melalui kedua sumber pokok agama ini, mereka juga memperkaya pengetahuan agama mereka dengan membaca tafsir al-Qur’an, buku- buku agama, dan Mantiq atau yang biasa dikenal dengan kitab kuning. 91 Literatur kitab kuning yang menjadi sumber pengetahuan agama mereka ini dapat menjadi penanda beberapa hal sekaligus. Selain sebagai penanda bahwa mereka memiliki pengetahuan agama yang luas, kitab kuning juga dapat menunjukkan sifat keberagamaan mereka. Berbeda dengan keberagamaan kelas bawah dan menengah tidak terdidik di atas yang bisa dikategorikan --menurut wacana yang berkembang di Barat-- 92 sebagai Islam popular, maka keberagamaan salah satu segmen kelas menengah terdidik ini dapat disebut sebagai representasi dari Islam formal. Apabila Islam popular merupakan kombinasi dari berbagai unsur yang dipercaya sebagai Islam oleh masyarakat dan biasanya ditolerir oleh mereka, bahkan ketika praktik-praktik keberagamaan itu tampak bertentangan dengan interpretasi yang ketat atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi, maka Islam formal menunjuk pada praktik-praktik keberagamaan yang didasarkan pada doktrin normatif Islam yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Hadis dan sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama. Ulama-ulama dari Universitas Islam al-Azhar merupakan juru bicara dari Islam formal ini di Mesir pada kurun waktu itu. 93 Di samping itu, kitab kuning juga dapat menunjuk pada sifat 91 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 269 dan 273. Lihat pula, Najib Mah}fuz}, Khan al- Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 11. 92 Salah satu implikasi dari differensiasi institusional yang berkembang di Barat di era modern adalah dikenalnya dikotomi antara agama resmi official religion dan agama popular popularfolk religion. Apabila sebelumnya agama relatif menyebar melalui semua aspek kehidupan sosial dan praktik agama relatif tidak terspesialisasikan, maka agama modern dicirikan oleh spesialisasi institusional: standardisasi pandangan dunia dalam doktrin yang tetap, peran- peran agama dilakukan oleh para spesialis, dan organisasi untuk mengontrol kesesuaian doktrinal dan ritual, mengajarkan atau menyebarluaskan ajaran-ajaran kelompok, dan mengembangkan program-program organisasi. Agama yang berpusat pada institusi ini beragam yang masing- masing memiliki doktrin, standar etik, ekspresi kultus, dan organisasi institusionalnya sendiri- sendiri. Ketika melihat fenomena keberagamaan dalam Islam, orang-orang Barat pun menggunakan kategori yang sama. Kategori Islam resmi dan Islam populer yang dikembangkan Barat pada dasarnya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa umat Islam itu tidak homogen dan Islam itu tidak monolitik. Lihat, Meredith B. Micgure, Religion, 99. Lihat pula, Phil Parshall, Bridges to Islam: A Christian Perspective on Folk Islam Michigan: Baker House Book, 1985, 16. 93 John Obert Voll, Islam: Continuity and Change in the Modern World Colorado: Westview Press, 1982, 53. 196 keberagamaan mereka yang tradisional, yaitu memberikan otoritas pada masa lalu dalam masalah yang ada. 94 Selain menerima al-Qur’an sebagai firman Allah, baik isi maupun lafaznya, kaum tradisionalis --menurut Seyyed Hossein Nasr-- antara lain juga menerima komentar-komentar tradisional tentang al-Qur’an, dari yang linguistik sampai yang metafisik. Mereka tidak menafsirkan al-Qur’an berdasar makna eksternal dan literal kata itu sendiri, tetapi berdasar pada sejarah panjang penafsiran sampai ke Nabi, pada tradisi lisan, dan pada komentar-komentar tertulis. Mereka juga mempertahankan Syariah sebagai hukum Tuhan sebagaimana yang dipahami dan diinterpretasi selama berabad-abad dan terkristalisasikan dalam aliran-aliran hukum klasik madhahib. 95 Dengan bacaan dan pemahaman agama yang demikian luas, beberapa individu dari kelompok masyarakat ini bahkan menjadi rujukan dan tempat bertanya oleh masyarakat kelas bawah dan menengah tidak terdidik di lingkungannya. al-Sayyid Rid}wan al-H{usayni adalah contoh terbaik dari kenyataan ini. Ia sering menyendiri di kamarnya: membaca, berzikir atau merenung. Di kamar yang banyak kitab kuning itu ia berkumpul dengan teman- temannya dari kalangan ulama, sufi, dan ahli zikir, saling bertukar berita, mengemukakan hadis, dan mendiskusikan pemikiran. Meskipun tidak termasuk ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam di bidang agama, ia adalah tuan baca: pemimpin spiritual seluruh kampung Midaq, orang mulianya, dan perintahnya dipatuhi. Ia memiliki kedudukan tinggi di hati semua orang. Ia, misalnya, pernah dimintai pendapat oleh Umm H{amidah atas masalah ‘Abbas al-H{ilu-H{amidah-al-Sayyid Salim ‘Ulwan. Ia tidak setuju Hamidah menikah dengan al-Sayyid Salim ‘Ulwan. Baginya, ‘Abbas itu muda dan al- Sayyid Salim ‘Ulwan tua; ‘Abbas sekelas dengan H{amidah, sedangkan al- Sayyid Salim ‘Ulwan dari kelas lain; dan pernikahan lelaki seperti al-Sayyid Salim ‘Ulwan dengan gadis seperti H{amidah pasti menimbulkan berbagai 94 Andrew Rippin, Muslims: Their Religious Beliefs and Practies. Volume 2: The Contemporary Period London and New York: Routledge, 1995, 6. 95 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World Kuala Lumpur: Foundation for Traditional Studies, 1988, 14-5. 197 kesulitan dan problem. Abbas itu pemuda baik. Ia merantau demi mencari rizki karena mengharapkan pernikahan ini. Dialah lelaki Hamidah yang lebih baik. Kamu harus menunggu. Apabila kelak ia pulang dengan kegagalan, maka kamu berhak menikahkannya dengan lelaki pilihanmu, katanya kepada Umm H{amidah. 96 Selanjutnya, ketaatan mereka dalam menjalankan ritual agama, seperti shalat dan puasa, cukup tinggi. Bagi mereka, bukti keberagamaan dan keislaman seseorang adalah kesediaannya menjalankan ritual agama ini. Dengan menjalankan ritual agama, seseorang dikatakan telah memiliki kedekatan dengan Allah. Sebaliknya, dengan mengabaikan ritual agama, seseorang dapat disebut sebagai telah melakukan ketidakpatuhan ma‘s}iyah kepada Allah. Dalam beberapa hal, ritual agama menjadi ukuran mereka masih berada di dalam apa yang disebut sebagai jalan yang benar agama atau tidak. Dinamika keberagamaannya, dari taat beragama menjadi tidak taat atau sebaliknya, selalu dikaitkan dengan ritual agama. “Yang baru dalam hidupku hanyalah keajeganku menjalankan shalat setelah aku meninggalkannya cukup lama. Barangkali dadaku yang penuh cintalah yang membuatku menjalin kontak suci dengan Allah lima kali sehari itu,” aku Kamil Ru’bah Laz} dalam melukiskan perubahan hidupnya di saat dirinya sedang jatuh cinta. 97 Dalam menjalankan ritual agama ini mereka berorientasi kepada pahala dan siksa. Logika mereka mengatakan bahwa dengan melakukan ritual agama, mereka telah berbuat baik dan berperilaku taat kepada Allah dan, karena itu, sebagaimana yang telah disebutkan di beberapa tempat dalam al-Qur’an, mereka akan menerima pahala mereka s\awabajr, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, dengan meninggalkan ritual agama ini, mereka telah berbuat tidak baik dan berperilaku tidak taat kepada Allah, sehingga mereka akan menerima siksa. Dengan prinsip pahala dan siksa inilah, menurut al-Sayyid Rid}wan al- H{usayni dalam ZM, tatanan dunia dapat berdiri kokoh. Ia juga meyakini 96 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 88, 90, 140, dan 142. 97 Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 98 dan 258. 198 tentang ketidakmungkinan seseorang menjadi alat atau sarana pemberian musibah terhadap orang lain di dunia. 98 Hanya saja, beberapa orang dari mereka sulit berhenti berbuat salah. Keimanan kepada Allah dan kepercayaan tentang prinsip pahala dan siksa ternyata tidak selalu dapat mencegah beberapa individu untuk tidak jatuh dalam perbuatan-perbuatan yang akan mendatangkan siksa. Ketakutan Kamil Ru’bah Laz} kepada Allah, misalnya, tidak menghentikannya dari minum. “Aku tidak kuasa melawan kecenderungan baru ini minum khamr. Nuraniku, taubatku atau ketakutanku kepada Allah, dalam hal ini, tidak berarti apa-apa bagiku,” katanya. 99 Adanya individu dalam kelas masyarakat ini yang memiliki keimanan yang kokoh kepada Allah tetapi, pada saat yang sama, tidak bisa meninggalkan perbuatan yang dilarang-Nya ini dapat dibaca sebagai kuatnya daya tarik dan kompleksnya dunia modern. Kehidupan di dunia modern terlalu rumit untuk dijalani dengan prinsip benar dan salah atau pahala dan siksa. Untuk bisa hidup, terkadang orang harus bersinggungan dengan hal-hal yang tidak disukainya. Akhirnya, muncullah individu-individu yang oleh Najib sendiri disebut sebagai menderita penyakit berkepribadian terbelah split personality: separohnya beriman, shalat, berpuasa, dan haji; sedangkan separohnya lagi menjadikan nilai- nilai hidupnya tidak berlaku di bank, pengadilan, jalan, gedung film dan teater, dan barangkali juga di rumah di antara keluarganya di depan televisi. 100 Kepribadian terbelah di sini berbeda dengan kepribadian berstandar ganda yang dijalani al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad di atas. Dalam kepribadian berstandar ganda terdapat jurang antara diri asli yang tersembunyi dari mata dan diri yang tampak di depan orang sehingga ada unsur kebohongan yang membuat diri aslinya tidak ada ketika berada di tempat tertentu, sedang dalam kepribadian terbelah tidak ada unsur kebohongan atau kedok sehingga tidak mengenal pembedaan antara tempat muncul dan tempat tidak terlihatnya diri asli. 98 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 272. 99 Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 116 dan 123. 100 John J. Donohue dan John L. Esposito Ed., Islam in Transition Oxford: Oxford University Press, 1982, 240. 199 Kompleksitas dunia yang tidak jarang membuat orang menanggalkan nilai-nilai yang dianutnya ini terlukis dalam perang batin yang dirasakan H{usayn dalam BN antara menerima dan menolak bantuan kakaknya, H{asan, berupa empat gelang emas milik kekasihnya, Siti Sana,’ yang berprofesi sebagai pelacur anak buah Zaynab al-Khunafa’ di Darb T{ayab dan telah hidup serumah dengannya tanpa pernah menikah. Ia sangat membutuhkan bantuan itu untuk biaya hidupnya di T{ant}a, tempat kerja barunya sebagai juru ketik di sekolah menengah, sampai kelak menerima gaji pertamanya. Ia pada akhirnya harus menerima bantuan yang semula dianggap sebagai kotoran itu. “Laiknya ayam, kami mengais rizki dari kotoran,” ratapnya. “Aku sekarang dapat memahami apa yang menjerumuskan saudaraku ke tempat ini.” 101 Persoalan berikutnya yang terkait dengan pelaksanaan ritual agama ini adalah implikasinya bagi mereka sendiri dan masyarakat sekitarnya. Di sini dapat diajukan pertanyaan: apakah mereka hanya menitikberatkan kepada aspek simbolnya saja sebagaimana yang banyak dijumpai dalam kelas masyarakat bawah dan tidak terdidik, sehingga ritual yang mereka lakukan tidak melahirkan kesadaran tentang kondisi di sekitarnya atau mereka juga memiliki kepedulian tentang dunia sekitarnya dengan mengembangkan, misalnya, sikap altruistik? Jawaban atas pertanyaan ini tidak saja penting untuk mengetahui konsistensi antara keyakinan dan perbuatan mereka, tetapi juga untuk melihat kesadaran tentang berbagai problem di masyarakatnya yang sedang berubah itu dan pemecahan yang ditawarkannya. Beberapa individu dari segmen kelas menengah terdidik ini terpotret sebagai sosok yang tidak individualistik dan egoistik. Peduli terhadap orang yang memiliki keterbatasan ekonomi, kesediaan untuk membantu sesama, dan kerelaan untuk mengorbankan kepentingan diri sendiri demi menyelamatkan masa depan orang lain adalah beberapa ciri mereka. Ah}mad ‘Akif dalam KHAN, H{usayn dalam BN, dan al-Sayyid Rid{wan al-H{usayni dalam ZM adalah individu- individu yang dilukiskan sebagai tokoh yang memiliki sikap setia kawan dan 101 Najib Mah}fuz}, Bidayah, 191. 200 altruistik ini. Baik Ah}mad ‘Akif maupun H{usayn harus memupus harapannya untuk studi lanjut setamatnya dari sekolah menengah. Mereka harus rela untuk menjadi pegawai rendah demi kelangsungan hidup keluarganya dan kelangsungan studi lanjut bagi adik-adiknya, setelah ayah mereka tidak bisa menafkahi keluarga, baik karena meninggal dunia seperti ayah H{usayn atau karena tidak bisa menjalankan fungsi produktifnya akibat dipensiunkan dini dari pekerjaan seperti ayah Ah}mad ‘Akif. Masing-masing meretaskan jalan masa depan yang lebih baik bagi sang adik daripada masa depannya sendiri meskipun terkadang --seperti adik H{usayn-- sang adik itu sendiri bersikap egoistis. “Salah satu dari kami patut berkorban dan rela menjadi pegawai sekarang. Inilah kewajibanku. Aku kakaknya dan telah bergelar BA. Aku sadar bahwa aku termasuk tega bila berpikir untuk melanjutkan studi. Mari kita semua berdoa semoga Allah mengabulkan keinginan kita,” 102 tegas H{usayn kepada ibu dan saudara-saudaranya. Ah}mad ‘Akif hanyalah seorang PNS golongan VII, sedangkan sang adik, Rushdi ‘Akif, menjadi pegawai di Bank Mesir setelah lulus sarjana perdagangan. Demikian pula dengan H{usain. Ia hanya seorang juru ketik di sekolah menengah dengan gaji pertama 7 pounds dan sepanjang pengabdiannya pangkat tertingginya hanya bisa sampai golongan VI, sedangkan sang adik, H{asanayn, berhasil menjadi perwira setelah satu tahun mengikuti pendidikan di akademi perang dan kelak tahun demi tahun akan naik pangkat hingga menjadi perwira tinggi. Sebagaimana ‘Ah}mad ‘Akif, H{usayn sama sekali tidak iri kepada saudara tetapi, sebaliknya, merasa senang dengan keberhasilan adik-adik mereka. 103 Apabila sikap altruistik Ah}mad ‘Akif dan H{usayn ditunjukkan dengan kesediaan dirinya menjadi semacam “jaminan sosial” bagi keluarganya, maka sikap yang sama juga ditunjukkan oleh al-Sayyid Rid}wan al-H{usayni. Bahkan, oleh tokoh terakhir ini, “jaminan sosial” itu diberikan kepada orang- orang di sekitarnya. Ia suka berbuat baik kepada sesama, sehingga tampak seperti 102 Najib Mah}fuz}, Bidayah, 180. 103 Lihat, Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 11- 12,84, dan 204. Lihat juga, Najib Mah}fuz}, Bidayah, 186,189-90,205, dan 300. 201 orang kaya, padahal ia hanya mempunyai beberapa feddan 104 sawah dan rumah, yang lantai tiganya dihuni oleh Kirshah dan lantai satunya oleh ‘Amm Kamil dan ‘Abbas al-H{ilu. Ia tidak menaikkan sewa lantai I seperti yang ditetapkan penguasa militer saat itu. Ia juga berjanji kepada penyair rebana yang biasa mangkal di kedai Kirshah untuk mencarikan pekerjaan bagi anaknya setelah keahliannya tidak lagi diinginkan oleh pengunjung kedai akibat hadirnya radio di tengah-tengah mereka. Karena kebaikan dan sifat sosialnya inilah, “dokter” Bushi sampai berkata, “Jika kamu sakit, carilah al-Sayyid Rid}wan al- H{usayni, kelak kamu akan sembuh. Jika kamu putus asa, lihatlah sinar wajahnya, niscaya kamu akan mendapatkan harapan. Atau, bila kamu susah, dengarkanlah dia, pasti kamu akan tenang.” 105 Bagi al-Sayyid Rid}wan al-H{usayni, apa yang berlangsung dalam suatu lingkungan, termasuk kejahatan yang dilakukan seorang individu, pada dasarnya adalah tanggung jawab kolektif. Semua orang memiliki andil dalam kemunculannya. Kejahatan, menurutnya, muncul karena kelalaian dan ketakacuhan masyarakat terhadap sebab-sebab yang bisa menimbulkan kejahatan. Masyarakat --meminjam bahasanya-- membiarkan setan mempermainkan para pelaku kejahatan, dengan diam tanpa melakukan aksi-aksi sosial yang bisa menjadi katub pengaman tindak kejahatan. Oleh karena itu, dapatlah dipahami apabila ia lebih menyalahkan dirinya atas tertangkapnya “dokter” Bushi dan Zit}ah karena menggali kuburan untuk mengambil gigi emas mayat dan atas menghilangnya H{amidah dari tengah-tengah mereka karena menjalani profesi sebagai pelacur. “Setan telah menyesatkan dua orang laki-laki dan seorang perempuan dari tetangga kita ... Aku merasa bersalah, karena salah satu dari kedua laki-laki itu memberi makan anak-anak perempuan. Ia menggali kuburan kalau- kalau dari tulang-tulangnya ia menemukan sesuap yang bisa disantapnya, seperti anjing yang mengais makanan dari tumpukan sampah,” akunya penuh sesal 104 Feddan atau faddan adalah ukuran luas. Di Mesir 1 feddan = 4.200, 833 m2. Lihat, Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic Beirut: Librairie Du Liban, 1980, 700. 105 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 12. 202 kepada para peziarah sebelum keberangkatannya ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji. Kesalahan mereka adalah juga kesalahannya dan, karena itu, ia harus bertaubat untuk meminta ampun di tanah suci. Apabila ia ditakdirkan bisa kembali ke Lorong Midaq, ia bertekad untuk kembali dengan hati yang bersih dan menjadikan hati, lisan, dan tangannya sebagai penolong sesama dalam kebajikan. 106 Mereka sadar betul tentang kondisi sosial, politik, ekonomi, dan moral bangsanya. Beberapa individu dari mereka juga merasa bahwa kondisi-kondisi yang di luar kendalinya ini merintangi ambisi-ambisi pribadi dan sosialnya. Namun, mereka tidak menyalahkan seluruh moral masyarakat, tetapi mereka cenderung berpikir secara positif meskipun pada awalnya dan dalam momen- momen tertentu mereka merasa frustasi. Dalam momen-momen terakhir ini mereka biasanya lari pada diri sendiri, sehingga mereka berhasil melawan pengaruh-pengaruh destruktif dari perasaan frustasi tersebut: Ah}mad ‘Akif kepada kitab kuning dan buku-buku klasiknya, sains teoritis, dan sihir; H{usayn kepada sikap realistis atau sikap mendasarkan impian-impiannya pada realitas; dan Kamil Ru’bah Laz{ dengan onani, sebuah bentuk pencarian kepuasaan dari diri sendiri setelah tidak berhasil mendapatkannya dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, perlawanan mereka terhadap struktur kekuasaan yang melahirkan kondisi masyarakat demikian tidak muncul ke permukaan. Dalam beberapa kesempatan mereka bahkan “terkesan” membela struktur kekuasaan yang ada pada kurun waktu ini ketika mereka dihadapkan kepada pilihan lain yang bersifat oposisional dan revolusioner yang ditawarkan oleh sebagian individu kelas menengah terdidik seperti ‘Ali T{aha QJ, Ah}mad Rashid KHAN atau Ah}mad Shawkat SU sebagaimana yang nanti akan diurai lebih lanjut. Mereka memang menginginkan perubahan tatanan masyarakat agar menjadi lebih baik, tetapi mereka cukup hati-hati untuk tidak menodai agama, keluarga, dan moralitas. Ini ditunjukkan, misalnya, oleh kekaguman H{usayn kepada buku terjemahan yang dibelinya di T{ant{a, yaitu sosialisme 106 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 273-4. 203 Macdonald. 107 Buku itu, menurut Muh}ammad H{asan ‘Abdullah, membuatnya mengkhayalkan masyarakat yang lebih baik dari masyarakat tempat hidupnya dan keadaan yang lebih baik dari keadaannya. Ia pun senang karena ada harapan mewujudkan khayalannya tanpa mencederai keyakinan-keyakinan yang dicintai dan diimaninya sejak kecil. 108 Selain tidak muncul ke permukaan, “spirit perlawanan” mereka juga bersifat individual. Alih-alih berinisiatif mengorganisir elemen-elemen dalam masyarakat yang memiliki spirit perlawanan yang sama, mereka bahkan tidak masuk ke dalam organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan dan politik yang ada pada waktu itu sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab IV, seperti al- shubban al-muslimun , mis}r al-fatat, dan al-ikhwan al-muslimun. Tidak adanya gagasan dan aksi membangun kolektivitas dalam upaya memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat ini merupakan ciri pembeda lain mereka dari individu-individu oposisional dan revolusioner yang juga memiliki semangat serupa. Ide-ide dan kepedulian sosial mereka pun tidak menjelma menjadi sebuah gerakan sosial yang berimplikasi besar. Jangkauan kepeduliannya juga terbatas pada keluarga, teman dekat atau lingkungan sekitar. Ah}mad ‘Akif dan H{usayn, misalnya, hanya berpikir bagaimana keluarganya bisa bertahan hidup dan bagaimana adik-adik mereka dapat mengakses pendidikan tinggi sehingga memiliki masa depan yang lebih baik. Al-Sayyid Rid}wan al H{usayni tidak jauh berbeda dengan mereka. Kepeduliannya hanya tampak kepada warga Lorong Midaq dan orang-orang yang dikenalnya secara personal. Harapan atas berlangsungnya perubahan sosial masyarakat yang cepat agar lebih humanis dan peduli kepada anggota masyarakat lemah dari kesadaran dan aksi individual jelas sulit diwujudkan. Di samping itu, kesadaran dan aksi individual seperti ini juga mudah kandas ketika terbentur dengan kenyataan sosial, politik, dan ekonomi yang terlalu kompleks untuk bisa diselesaikan oleh satu atau dua orang. Marah kepada dunia adalah akibat selanjutnya dari upaya individual 107 Najib Mah}fuz}, Bidayah, 296. 108 Muh}ammad H{asan ‘Abdullah, al-Waqi‘iyah fi al-Riwayah al-‘Arabiyah Kairo: Maktabah Usrah, 2005, 540. 204 yang kandas. “Dunia itu kebohongan dan kepalsuan, sedangkan keagungan hanyalah puncak atau inti kebohongan dan kepalsuan,” kata Ah}mad ‘Akif di saat dirinya merasa putusa asa. 109 Kemarahan kepada dunia ini, seperti yang ditunjukkan oleh banyak individu dari mereka, kemudian menyebabkan sikap lari dari dunia. Tentu saja, sikap mereka lari dari dunia ini hanya berlangsung sesaat, karena dalam perjalanan waktu pandangan mereka kepada dunia menjadi lebih positif. Ahmad ‘Akif yang marah kepada dunia di atas, misalnya, pada akhirnya berpandangan bahwa hidup tidak akan lepas dari harapan. Hidup itu, menurutnya, keras seperti tanah, tetapi ia menumbuhkan harapan, sebagaimana tanah menumbuhkan bunga mekar. Kesimpulannya tentang hidup ini diambilnya saat ia mendapat berita tentang promosi para pegawai yang selama ini terlupakan. Ia akan naik ke golongan VII dan akan menjadi kepala yang membawahi empat bagian. 110 Sikap yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan oleh Kamil Ru’bah Laz}. Meskipun pandangannya terhadap dunia tidak bisa disebut “positif,” ia tidak lagi memusuhi dunia. Sebelumnya ia tidak bisa mengetahui hikmah kehidupan sedikit pun, sehingga ia sama sekali tidak dapat menikmati kesenangan hidup, menghindari dan takut kepada orang lain, dan menjauhi dunia. Kini, ia memahami posisi yang dapat dimainkannya di dunia. Ia harus membersihkan tubuhnya, lahir dan batin, lalu mendedikasikan hatinya untuk menjalani tasawuf. Ia menyadari bahwa ia tercipta untuk menjalani tasawuf. 111 Namun, patut digarisbawahi bahwa jalan tasawuf yang mereka pilih ini tidak sama dengan jalan tasawuf yang ditempuh oleh individu-individu dari kelas menengah bawah dan tidak terdidik di atas. Apabila tasawuf pada yang terakhir ini berporos pada institusi tarekat dan disertai dengan praktek-praktek pemujaan tempat-tempat keramat, maka jalan tasawuf yang mereka pilih itu lebih bersifat personal dan --mengikuti pembagian tasawuf oleh Ira M. Lapidus di atas-- merupakan tasawuf sebagai jalan etis dan agamis atau --berdasarkan pembagian 109 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 15. 110 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 205. 111 Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 336-7. 205 tasawuf oleh Phil Parshal-- tasawuf Islam. 112 Pemujaan institusi tarekat, wali, dan tempat-tempat keramat di sini tidak dikenal. Tidak ada Ekstrimisme atau praktik- praktik yang menyimpang dalam tasawuf mereka. Tasawuf seperti inilah yang tampaknya ingin ditempuh oleh Kamil Ru’bah Laz di akhir penemuan jati dirinya di atas dan yang telah dipraktikkan oleh al-Sayyid Rid}wan al- H{usayni dalam ZM. Pandangan tentang dunia dalam tasawuf ini, sebagaimana telah disinggung di atas, jauh lebih positif jika dibandingkan dengan pandangan tentang dunia dalam apa yang disebut sebagai tasawuf muslim. Al-Sayyid Rid}wan al-H{usayni pernah menjelaskan hakikat kehidupan di dunia dan akhirat: 113 او نأ ﻰ ةﺮ ا ﻰ ﺪ ﻰ إ ﺪ هﺰ ا ﻰ ﺎﻴ ﺪ ا وأ ا ﻣ ،ةﺎ ﻴ ا ﺎ ﺎﻄ ﻜ ﺄ ﻰ ةﺎﻴ ا و روﺮ ا ،ﺎﻬ ﻴآ ﻰهو ﻣ ؟ ﺮ ا ﺎﻬ ﷲا ﺎه ﻣو ﺮ ﺎ حاﺮ ﻷاو ءﺎ ﺮﻜ ﻴ ﻣو ءﺎ ﺮﻜ ﻴ .

C. Substansialis Sekularis: