108
Sebelum ada radio fenomena penyair rebana memang meluas di Mesir. Begitu radio muncul pada tahun 1934, penyair rebana yang membacakan cerita-
cerita di cafe-cafe pun menghilang. Cerita-cerita bersambung yang ada di radio adalah bentuk modern dari cerita penyair rebana, sehingga masyarakat merasa
cukup dan lebih senang mendengarkan radio.
46
Apa yang dialami penyair rebana di Lorong Midaq ini pada dasarnya merepresentasikan apa yang dialami para
penyair rebana di masanya. Hilangnya sumber kehidupan sang penyair rebana ini juga terjadi pada
Ustadh ‘Ali S{abri dalam BN. Apabila yang pertama kehilangan sumber ekonominya akibat keahliannya membaca puisi tidak lagi memenuhi selera
masyarakat yang lebih tertarik dengan media baru radio, maka yang kedua mengalami hal serupa akibat adanya regulasi dalam media baru tersebut.
Sebelumnya ia sering mengisi hiburan di stasiun-stasiun radio swasta. Namun, ketika banyak stasiun radio swasta dihapus dan digantikan stasiun-stasiun radio
resmi, ia tidak lagi mendapat banyak kesempatan tampil. Radio-radio ini dimonopoli oleh para penyanyi seperti Umm Kulthum dan ‘Abd al-Wahhab.
Akibatnya, orang seperti dirinya tidak lagi mempunyai lahan hidup. Untuk itu, ia mengajak H{asan mengurus tempat hiburan: kedai kopi di siang hari, kedai
minuman di malam hari, dan tempat anak buah mucikari Zaynab al-Khunafa’ menari. Bahkan, tempat hiburan ini juga menjadi tempat transaksi perdagangan
obat terlarang.
47
B. Pendidikan Menjadi Pintu Utama Perubahan Sosial
Pendidikan dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak terpisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Kemajuan kebudayaan sebuah bangsa dapat dilihat jejaknya
dalam kemajuan pendidikannya dan, sebaliknya, sulit ditemukan pendidikan yang unggul dalam sebuah bangsa yang relatif tertinggal. Pada satu sisi pendidikan
merupakan indikator bagi perubahan dan kemajuan kebudayaan suatu masyarakat,
46
Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at min Mudhakkiratih wa Ad}wa’ Jadidah ‘ala Adabih wa H{ayatih
Kairo: Markaz al-Ahram, 1998, 26 dan 85.
47
Najib Mah}fuz}, Bidayah, 41 dan 150-1.
109
tetapi pada sisi lain pendidikan menjadi faktor penggerak aktif bagi perubahan dan kemajuan kebudayaan itu.
48
Kenyataan inilah yang tampaknya disadari oleh Muh{ammad ‘Ali Pasha ketika ia memulai modernisasi bangsa Mesir dengan mengirimkan
sejumlah elemen bangsa dalam sebuah misi ilmiah ke Eropa Italia, Perancis, dan Inggris demi mempersiapkan para agen perubahan dan pendidik yang cakap
bagi sistem pendidikan modern sekuler yang dirintisnya. Pengiriman misi ilmiah ke negara-negara maju yang dimulai pada tahun 1813 ini terus berlanjut di masa-
masa selanjutnya. Mamun Rid}wan, salah satu tokoh yang unggul secara akademis dalam QJ misalnya, digambarkan sedang menunggu keberangkatannya
dalam sebuah misi seperti ini ke Sorbon, Perancis, setelah kelulusannya dari sebuah universitas di Mesir pada tahun 19334.
49
Antara 1824 dan 1839 sekolah- sekolah dalam beragam bidang keilmuan didirikan: ilmu pengetahuan militer,
ilmu kedokteran dan farmasi, kebidanan, kedokteran hewan, kimia terapan, pertambangan, akuntansi dan adiministrasi sipil, bahasa dan terjemah, dan
teknologi. Sistem pendidikan ini berjalan berdampingan dengan sistem sekolah- sekolah dasar lama yang berada di majid-masjid kuttab dan pendidikan klasik
dan agama yang ditawarkan oleh al-Azhar.
50
Dalam sebuah masyarakat modern atau yang sedang memodernisasi diri pendidikan memberikan hubungan yang paling mungkin antara agen-agen
modernisasi dan lingkungan sosio-kultural yang mengitarinya. Di sini, pendidikan digunakan sebagai instrumen perubahan dalam sistem-sistem sosial, ekonomi, dan
politik. Pendidikan menjadi variabel utama modernisasi dan kunci yang membuka pintu bagi modernisasi.
51
Karena itu, pembicaraan tentang subsistem sosial ini menjadi niscaya dalam proses modernisasi. Inilah barangkali yang dimaksudkan
48
Sami Sulayman Muh{ammad al-Sahm, al-Ta‘lim wa al-Taghyir al-Ijtimai fi Mis}r fi al- Qarn al-Tasi‘ ‘Ashar
Kairo: al-Hayah al-Mis}riyah al-‘Ammah li al- Kitab, 2000, 10.
49
Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 78-9.
50
Judith E. Tucker, Women in nineteenth-century Egypt Cambridge: Cambridge University Press, 1985, 123.
51
Ghulam Nabi Saqib, Modernization of Muslim Education in Egypt, Pakistan, and Turkey: A Comparative Study
Lahore: al Faried, 1983, 12.
110
oleh Najib ketika ia mengawali novel realis pertamanya, QJ, dengan melukiskan latar kampus dan suasana mahasiswa pulang kuliah sambil mengobrol tentang
masa depan kampusnya yang mulai menerima mahasiswa perempuan. Matahari
sedikit condong ke Barat. Dari kejauhan bulatannya terlihat di atas kubah raksasa kampus, seolah-olah beranjak atau kembali lagi ke langit setelah
berputar-putar … Kubah itu berdiri di depan dua baris pepohonan tinggi di sepanjang jalan, tampak seperti tuhan dan di hadapannya para pendetanya yang
beribadah di waktu As}ar bersujud, demikian papar Najib.
52
Pendidikan dalam masyarakat-masyarakat demikian, paling tidak seperti yang dideskripsikan oleh Shipman, memiliki tiga fungsi.
53
Sosialisasi adalah fungsi pertama pendidikan. Sebagai agen sosialisasi, pendidikan merupakan
sarana mengintegrasikan generasi muda atau elemen masyarakat yang lebih luas ke dalam nilai-nilai kelompok yang dominan. Tentu saja, nilai-nilai yang
disosialisasikan para agen modernisasi yang dominan secara politik ini adalah nilai-nilai yang menopang proses modernisasi, seperti keniscayaan perubahan,
rasionalitas, dan positivisme. Sosialisasi nilai melalui pendidikan terbukti berlangsung cukup efektif.
Inilah setidaknya yang tergambar dalam novel-novel realis Najib. Generasi baru dengan kesadaran penuh atas kondisi dan problem bangsanya pun segera lahir.
Dari kesadaran ini mereka kemudian berusaha mencari pemecahan-pemecahan. Meskipun mengambil jalan beragam dan acapkali menemukan hambatan yang
terlihat lebih memiliki daya lebih kuat sehingga kurang menjanjikan hasil yang positif, usaha-usaha pemecahan, setidaknya, telah diambil oleh generasi baru
terdidik ini. Tokoh-tokoh seperti Mamun Rid}wan, ‘Ali T{aha, dan Ah}mad Badir dalam QJ; Ah}mad Rashid dan Ah}mad ‘Akif dalam KHAN;
Rabab dalam SA; dan H{asan dan H{asanayn dalam BN; dan Kamal, Riyad} Qaldas, ‘Abd al-Mun‘im Shawkat, dan Ah}mad Shawkat dalam SU
adalah prototype-prototype generasi baru dengan kesadaran penuh ini.
52
Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 5.
53
Ghulam Nabi Saqib, Modernization, 13.
111
Efektivitas pendidikan dalam sosialisasi ini telah menggeser atau mengurangi fungsi sosialisasi dari institusi keluarga. Sebelum pendidikan formal
muncul atau sebelum anak-anak memulai pendidikan formalnya, sosialisasi anak- anak berawal di rumah. Anak-anak belajar apa yang patut mereka ketahui dengan
metode bantu-pandang, yaitu dengan menyaksikan dan mengambil bagian dalam apapun yang sedang berlangsung.
54
Pada saat yang sama, orang tua senang melihat dan mendorong anak-anaknya berpartisipasi dalam pola-pola dan tatanan
yang berlaku. Kamil Rubah Laz} dalam SA, misalnya, terbiasa menjalankan kewajiban-kewajiban agama sejak usia dini karena mengikuti dan meniru ibunya.
Ia juga hapal surat-surat pendek karena mendengar ibunya membaca surat-surat itu dalam shalat-shalatnya.
55
Namun, ketika pendidikan formal menjadi penting akibat dari tuntutan kompleksitas kehidupan masyarakat, keluarga harus membagi
peran sosialisasi ini dengan institusi pendidikan formal. Bahkan, institusi baru ini dalam banyak hal terlihat lebih berpengaruh kepada generasi muda daripada
institusi keluarga. Ketegangan yang sering terjadi antara generasi baru terdidik, dan anggota
keluarga dan masyarakat tempatnya berasal menjadi bukti atas kuatnya pengaruh pendidikan formal dalam membentuk cara berpikir dan bersikap anak-anak
didiknya. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi individu, terutama dalam membuka pikirannya dan menerima hal-hal baru dan juga mengajarkan
manusia cara berpikir obyektif. Kamal dalam QS, misalnya, tetap memilih kuliah di sekolah tinggi guru, sebuah pilihan yang bertentangan dengan keinginan
ayahnya yang menghendakinya masuk Fakultas Hukum. Pilihan Kamal itu dilatarbelakangi oleh kedudukan guru dan misinya dan, terutama, oleh
anggapannya bahwa ilmu pengetahuan itu segala-galanya; sedangkan keinginan ayahnya didasarkan pada kedudukan dan harta yang dijanjikan bagi lulusan
Fakultas Hukum, dan pada pandangan bahwa yang terpenting itu bukan ilmu itu sendiri, melainkan hasil. Lagi pula, menurut sang ayah, sekolah tinggi guru itu
54
Vincent Jeffries dan H. Edward Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach
Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1980, 190.
55
Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 23, 29, dan 52.
112
gratis, profesi guru tidaklah prestisius, dan orang-orang besar dan pejabat tinggi enggan menikahkan putrinya dengan guru.
56
Keponakan-keponakan Kamal, ‘Abd al-Mun‘im Shawkat dan Ah}mad Shawkat, juga sering bersitegang dengan
orang tua, terutama ibu mereka, Khadijah, akibat perbedaan horison dan sudut pandang. Berbeda dengan orang tuanya yang menginginkannya masuk Fakultas
Hukum seperti kakaknya, ‘Abd al-Mun‘im Shawkat, dan sepupunya, Rid}wan, Ah}mad Shawkat memilih kuliah di Fakultas Sastra. Setelah lulus ia pun lebih
memilih profesi jurnalistik daripada menjadi pegawai seperti kakak dan sepupunya itu. Gadis yang dipilihnya sebagai pendamping hidupnya juga jauh
dari harapan orang tuanya. Bahkan, ia melangsungkan pernikahannya tanpa sepengetahuan dan kehadiran keluarganya.
57
Demikian pula dengan kakaknya, ‘Abd al-Mun‘im Shawkat. Ia menolak menunda keinginannya untuk menikah
sampai selesai kuliah sebagaimana yang disarankan orang tuanya, karena ia tidak ingin seperti pemuda kebanyakan. Dengan menikah, ia ingin --dalam bahasa
gurunya Shaykh ‘Ali al-Manufi- mengalahkan setan tanpa harus mengabaikan hukum alam.
58
Konflik dan ketegangan antara generasi baru terdidik dan orang tua ini tidak jarang berakhir dengan kekalahan atau, lebih tepatnya, mengalah di pihak
orang tua. Generasi baru tidak lagi mau diatur dan dikendalikan oleh orang tuanya dalam semua pilihan hidup. Dengan horison intelektual dan estetisnya mereka
merasa dapat menentukan pilihan-pilihan bagi masa depannya secara lebih baik. Bagi mereka, orang tua --meminjam bahasa Ah}mad Shawkat-- hanyalah rem
yang sebenarnya tidak diperlukan oleh masyarakat Mesir yang terbelenggu. Ini dapat dilihat dari dialog antara Ah}mad Shawkat dan pamannya, Kamal, setelah
yang pertama bersitegang dengan kedua orang tuanya yang menginginkannya menjadi pegawai, bukan jurnalistik seperti yang dipilihnya:
59
56
Najib Mah}fuz}, Qas}r, 51-8
57
Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 25, 177, 208, 267, dan 270-1.
58
Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 117.
59
Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 205, yang terjemahannya adalah: “Adalah sebuah kesalahan seseorang mempunyai orang tua,” keluh Ah}mad.
113
- ﻣ
ﺄﻄﺨ ا نأ
نﻮﻜ نﺎ
ناﺪ او لﺎ آ
ﺎﻜ ﺎﺿ :
- ﻴآ
نﺎه ﻚﻴ
نأ لﻮ
ﻚ ذ ؟
- ةﻮ ﻷﺎ ،ﻰﺿﺎ ا ﺪﻴ ﺎ ﻣ ناﺪ اﻮ ا ﻴ إ ﺰﻣﺮ ﺎﻣ ﻜ و ، ﻴ ﺮ ﻰ أ
رﺄ ﺮﻴ و ﻣاﺮ ا ﻰ إ ﺎ ﺎ ﺎ ﻣو ،ﺔ ﻣﺮ مﻮ ا و ﻰ
؟ لﻼ ﻷﺎ ﺔ ﻜﻣ
Seringnya anak-anak memaksakan keinginannya di satu sisi dan melemahnya kontrol orang tua atas anak-anaknya di sisi lain ini disesalkan oleh
al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad. Menurutnya, orang tua sekarang orang tua cucu-cucunya merusak generasi muda karena membiarkannya memaksakan
kehendaknya.
60
Namun, perlakuannya terhadap anak-anaknya juga mengalami perubahan. Sebelumnya, ia bak tuhan yang zalim, bukan yang adil, bagi
keluarganya. Ia menuntut kepatuhan buta dari anak-anaknya. Kepatuhan terhadapnya adalah mutlak bagi semua anggota keluarganya. Musyawarah, dalam
pandangannya, hanyalah untuk memperkuat pendapatnya, bukan untuk mengubahnya. Anak-anaknya bisa dimaafkan karena berbuat salah, tetapi tidak
karena melecehkan kemauannya. Kepatuhan keluarganya pada kehendaknya pun laksana kepatuhan pada otoritas agama. Di hadapannya semua anaknya duduk
dengan sopan laiknya sedang shalat berjamaah, baik yang pegawai di Sekolah al- Nah}h}asin Yasin, mahasiswa Fakultas Hukum Fahmi maupun siswa
Sekolah Khalil Agha Kamal.
61
Hanya saja, setelah anaknya, Kamal, berusia 17 tahun, sikapnya terhadap anak-anaknya berubah. Perubahan ini tampak
jelas dalam persetujuannya secara terpaksa atas pilihan Kamal untuk kuliah di
Kamal pun tertawa: “Bagaimana kamu bisa mengatakan seperti itu?”
“Maksudku bukan literalnya, melainkan tradisi-tradisi masa lalu yang disimbolisasikan orang tua, karena ayah orang tua pada umumnya adalah rem. Apa kita, yang berjalan dengan kaki
terbelenggu ini, perlu rem?
60
Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 121.
61
Najib Mah}fuz, Bayn, 21-22, 146, 221, 226, dan 367.
114
sekolah tinggi guru dan atas pernikahan Yasin dengan seorang janda tetangganya sendiri, Maryam.
62
Meskipun pikiran-pikiran dan pandangan-pandangannya seringkali tidak sejalan dan diabaikan oleh generasi muda produk dunia baru, dunia sekolah,
orang tua tidak mungkin lagi dapat menjauhkan pendidikan formal dari anak- anaknya. Alih-alih menolaknya, para orang tua bahkan berupaya dengan segala
cara untuk memasukkan anak-anaknya ke institusi pendidikan. Bagi mereka, pendidikan adalah aset utama dan komoditas dambaan. Dengan memasukkan
anak-anaknya ke pendidikan, mereka berarti menjamin masa depan mereka dan anak-anaknya. Semakin tinggi pendidikan, maka semakin besar dan banyak pula
peluang-peluang di masa depan yang dapat diraih. Jika tidak semua, maka sebagian anaknya harus dapat masuk pendidikan tinggi. Inilah yang mendasari
keluarga Samirah dalam BN untuk tetap meneruskan sekolah anak-anaknya, H{usayn dan H{asanayn, sepeninggal almarhum Kamil Afandi ‘Ali meskipun
harus berjibaku dengan kemelaratannya. Sang kakak perempuan, Nafisah, terpaksa harus mengambil upah dari jahitannya yang semula hanya sebuah hobi,
satu profesi yang dirasakannya menjatuhkannya dari gadis terhormat. Bahkan, demi uang yang dibutuhkan keluarganya dan, tentu saja, karena dahaga cintanya,
ia pun jatuh ke lembah nista sebagai pelacur. H{usayn sendiri, setelah meraih BA, harus rela menjadi pegawai dan mengeyampingkan pikiran lanjut studi untuk
melicinkan jalan adiknya, H{asanayn, ke jenjang pendidikan tinggi.
63
Penerimaan masyarakat atas institusi pendidikan formal ini terkait dengan fungsi kedua pendidikan, yaitu schooling. Pendidikan berfungsi mempersiapkan
para peserta didik bagi penempatan sosialnya dan memberi mereka kualifikasi- kualifikasi profesional dan pendidikan yang memungkinkan mereka menampilkan
peran sekundernya di masyarakat. Fungsi ekonomi pendidikan inilah yang membuat para orang tua dan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah,
mendorong anak-anaknya masuk sekolah. Jangan bicara seperti itu. Kamu akan terbiasa dan menyukainya. Bagaimana kamu bisa tetap di rumah sementara semua
62
Najib Mah}fuz}, Qas}r, 22-3, 57, dan 59.
63
Najib Mah}fuz}, Bidayah, 47, 164-5, 180, dan 229.
115
anak laki-laki di sekolah? Apa mungkin kamu menjadi perwira seperti kakekmu bila kamu tidak bersekolah? bujuk sang ibu kepada Kamil Rubah Laz} saat
yang terakhir ini berniat tidak lagi pergi ke sekolah.
64
Memang, pembagian kerja dalam masyarakat yang sedang memodernisasi diri semakin rumpil akibat adanya differensiasi dalam struktur politik dan
pemerintahan. Selain itu, spesialisasi dan profesionalisasi adalah menjadi ciri dari masyarakat ini. Keahlian-keahlian khusus untuk mengisi posisi-posisi tertentu
dibutuhkan. Ini semua tentu memerlukan sistem pendidikan formal, tempat individu memperoleh kualifikasi-kualifikasi untuk memegang jabatan dan
melaksanakan fungsinya dalam struktur masyarakat yang baru. Hakim, jaksa, guru, penerjemah, wartawan, akuntan, polisi, dan tentara adalah beberapa profesi
yang bisa disebut yang dilukiskan Najib dalam karya-karya realisnya sebagai terkait dengan pendidikan formal.
Oleh karena itu, pendidikan menjadi semacam investasi yang hasilnya suatu saat akan dapat dinikmati, baik bagi individu yang dari semula
memaksudkannya sebagai investasi atau yang tidak. Orang laki-laki dan sebagian perempuan dari kelas menengah ke bawah seperti empat sekawan Mamun
Ridwan, ‘Ali T{aha, Ah}mad Badir, dan Mah}jub ‘Abd al-Daim dan Ih}san Shah}atah dalam QJ, Ah}mad ‘Akif dan Rushdi ‘Akif dalam
KHAN, Rabab dalam SA, H{usayn dan H{asanayn dalam BN, Kamal dan Fuad Jamil al-H{amzawi dalam QS, dan Rid{wan, ‘Abd al-Mun‘im
Shawkat, dan Ah}mad Shawkat dalam SU adalah individu-individu yang dari awal secara sadar mengaitkan pilihan pendidikannya dengan pekerjaan, baik
negeri atau swasta, yang mungkin digelutinya kelak. Aku tidak sepertimu, begitu menyukai pemikiran. Aku harus pilih jurusan kuliah dengan mempertimbangkan
masa depan itu sendiri. Karena itu, aku pilih Hukum, kata Fuad Jamil al- H{amzawi menjawab pertanyaan Kamal tentang alasannya memilih jurusan
Hukum.
65
Sebaliknya, sebagian individu laki-laki dan perempuan dari kelas atas aristokrat seperti H{usayn Shaddad dan Aida Shaddad dalam QS, dan
64
Najib Mah}fuz}, al-Sarab, 27.
65
Najib Mah}fuz}, Qas}r, 75.
116
‘Alawiyah S{abri dalam SU, dan sebagian perempuan dari kelas menengah ke bawah seperti Nawwal dalam KHAN adalah individu-individu yang sama sekali
tidak memaksudkan pendidikan yang ditempuhnya sebagai alat untuk mencari pekerjaan. Mereka sejak awal memang tidak berniat untuk bekerja karena
melimpahnya kekayaan orang tuanya atau, dalam kasus Nawwal, karena tidak ingin bekerja di luar rumah. Pada kenyataannya, bahkan bagi individu-individu
kelompok terakhir ini, pendidikan terbukti sebagai sebuah investasi yang prospektif. Setelah ayahnya bangkrut dan bunuh diri, H{usayn Shaddad yang
dulu menganggap bekerja sebagai kriminalitas manusia, misalnya, kini harus bekerja dari tengah malam hingga pagi hari, di samping menerjemah di beberapa
harian Eropa.
66
Pekerjaan menerjemah ini, tentu saja, tidak lepas dari apa yang diperolehnya dahulu di dunia pendidikan.
Dengan fungsi ekonomi ini pendidikan mengakibatkan perubahan cukup berarti, paling tidak, terhadap dua hal, yaitu struktur kelas dan kedudukan
perempuan. Perubahan dua hal ini menandai perubahan nilai-nilai ke arah ekualitas di antara warga masyarakat dalam kesempatan ekonomi, yang
merupakan salah satu ciri dari sebuah masyarakat yang sedang melakukan proses modernisasi.
67
Perubahan ini juga menunjukkan kuatnya daya ubah pendidikan, mengingat tidak mudahnya dua hal ini berubah dan mengingat dari awal
modernisasi di Mesir ada upaya-upaya membatasi akses ke pendidikan. Sejak upaya modernisasi Mesir dilakukan oleh Muh}ammad ‘Ali
Pasha, sistem pendidikan diarahkan untuk melatih para birokrat dan pegawai atau perwira bagi pelayanan pemerintahan. Sistem elit ini pun dibangun dari atas
ke bawah, yang dimulai dengan sekolah-sekolah profesi bagi perwira tentara, insinyur, dokter, dan penerjemah. Bahkan, saat reformasi-reformasi pendidikan
dilakukan pada pemerintahan Khedive Isma‘il dan ditujukan pada sistem dasar dan menengah, ada sekolah dasar elit dan sekolah dasar bergaya lama, yaitu
kuttab . Sekolah terakhir ini pada akhirnya akan ke al-Azhar lama, beberapa
66
Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 52-3 dan 306-7.
67
John J. Donohue dan John L. Esposito peny., Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah
, terjem. Machnun Husein Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993, xvi.
117
sekolah niaga sedang atau kembali ke kampung, tempat para siswa akan berubah kembali menjadi buta huruf dan kerja kasar di ladang-ladang kapas.
Meskipun tidak ada niat untuk membuka elit Mesir-Turki bagi seluruh penduduk, dari momen dibukanya sekolah-sekolah ada tekanan yang meningkat
untuk memberikan akses pada anggota kelompok yang dekat dengan elit penguasa, yaitu bangsawan kampung. Akses juga diberikan kepada para pemuda
dalam misi-misi mahasiswa yang dikirim untuk belajar ke Eropa. Selama tahun 1860-an dan 1870-an yang dinamis, akses tersebut menjadi rutin. Namun, Negara
kolonial bertindak menutup banyak kesempatan. Kebijakan Lord Cromer, konsul jendral Inggris di Mesir dari 1882-1907, tidak mendukung sistem pendidikan yang
solid di Mesir. Sebelum ia pergi, hanya ada tiga sekolah menengah negeri, yang pada tahun 1902 seluruhnya meluluskan kurang dari seratus siswa. Selama 20
tahun ia menjabat, pendidikan menerima kurang dari 1 anggaran Mesir, yang naik menjadi 3,4 sebelum PD I. Perubahan hanya terjadi ketika orang-orang
Mesir mengambil kontrol atas kementerian pada 1922. Universitas Mesir sendiri baru dibuka di Kairo pada 21 Desember 1908 dengan Putra Mahkota Ah}mad
Fuad sebagai rektornya.
68
Kelas sosial adalah salah satu bentuk pelapisan dalam masyarakat. Selain kelas, pelapisan masyarakat biasanya didasarkan pada etnis, jenis kelamin, dan
usia. Setiap masyarakat senantiasa memiliki penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Inilah yang melahirkan pelapisan
sosial, di samping karena setiap masyarakat ingin menempatkan individu-individu dalam tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya agar
melaksanakan kewajibannya yang sesuai dengan kedudukan dan peranannya.
69
Berbeda dengan pelapisan atas dasar etnis, jenis kelamin, dan usia, pelapisan atas dasar kelas adalah pelapisan yang didasarkan pada kriteria-kriteria
tertentu seperti peran ekonomi, pekerjaan, dan penghasilan. Karena itu, kelas
68
M. W. Daly Ed., The Cambridge History of Egypt: Modern Egypt from 1517 to the End of the Twentieth Century
Cambridge: Cambridge University Press, 1998, vol. 2, 278-279.
69
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1990, 281.
118
sosial adalah sebuah status yang dicapai achieved, bukan status yang diberikan ascribed.
70
Ini berarti bahwa individu-individu bisa bergerak atau berpindah dari kelas asalnya, baik naik atau turun dalam struktur, tergantung pada masih
dimilikinya atau tidak kriteria-kriteria penentu kelasnya. Sebuah proses, saat individu bergerak dari satu posisi ke posisi lain dalam masyarakat ini, posisi yang
secara umum diakui memberi nilai tertentu, baik lebih tinggi atau lebih rendah, disebut mobilitas sosial.
71
Pendidikan, seperti yang akan terlihat, adalah salah satu dari saluran mobilitas sosial yang utama.
Secara umum dan sebagaimana yang tergambar dalam novel-novel Najib, kelas sosial dalam masyarakat Mesir dapat dibagi menjadi tiga: kelas atas,
kelas menengah, dan kelas bawah. Hampir semua novel realis Najib, dalam porsi yang berbeda, memotret interaksi ketiga kelas ini. Kelas atas adalah individu-
individu yang memiliki income penghasilan tinggi, baik dari kekayaan warisan atau dari jabatan tingginya di pemerintahan. Mereka umumnya bergelar bek atau
pasha , tinggal di kawasan-kawasan perumahan elit dan tidak jarang mengajak
keluarganya berlibur ke Alexandria atau, bahkan, Eropa apabila datang masa cuti atau musim liburan. Ah}mad Bek H{amdis dalam QJ, Ah}mad Bek Yusri
dalam BN, Salim Bek S{abri dan ‘Abd al-H{amid Shaddad dalam QS, dan ‘Abdurrah}im Pasha Isa dalam SU adalah beberapa individu kelas atas.
Individu-individu kelas atas ini selalu menjadi sumber kecemburuan dan sekaligus menjadi model acuan bagi peningkatan taraf hidup bagi individu-individu dari
kelas menengah, seperti Mamun Rid}wan dan ‘Ali T{aha dalam QJ, Rushdi Akif dalam KHAN, H{asanayn dalam BN, Kamal dalam QS, dan ‘Abd al-
Mun‘im Shawkat, Ah}mad Shawkat, dan Rid}wan Yasin dalam SU. Kelas bawah sendiri, yang nyaris hanya menjadi latar sosial, direpresentasikan oleh
individu-individu seperti H{amidah, ‘Abbas al-H{ilu, dan ‘Amm Kamil dalam ZM, dan Jamil al-H{amzawi dalam Trilogi.
70
Vincent Jeffries dan H. Edward Ransford, Social Stratification, 147-8.
71
James Allmen, Social Mobility, Education and Development in Tunisia Leiden: E.J. Brill, 1979, 4.
119
Individu-individu dalam kelas yang sama cenderung bersikap, berpikir atau memandang dunia dengan cara yang sama. Gaya adalah kata yang dapat
meringkas kesamaan-kesamaan mereka ini. Ini terutama terpotret, tetapi bukan monopoli, dari individu-individu kelas atas, mengingat gaya mereka menjadi
impian kelas-kelas lain sehingga sering mendapat komentar. Permintaan bantuan H{asanayn kepada Ah}mad Bek Yusri agar bisa masuk akademi perang,
misalnya, dianggap yang terakhir ini sebagai permintaan aristokratis.
72
Gaya aristokrat atau kelas atas ini, baik saat berselisih pendapat, makan ataupun
membelanjakan uang, selalu mendapat perhatian Kamal, tokoh kelas menengah dalam QS yang kebetulan memiliki teman-teman akrab dari kelas atas: H{usayn
Shaddad, Aida Shaddad, dan H{asan Salim. Bagi Kamal, H{asan Salim adalah model bagi aristokrat, kebangsawanan, dan kesombongan. Kesombongan
H{asan Salim terbukti jelas saat ia dan Kamal bertengkar dalam masalah Aida. Biarlah Aida menakar perkataan anak pedagang dan anak hakim, kata H{asan
Salim. Gaya aristokrat, dalam pengamatan Kamal, juga tampak pada Aida Shaddad dan H{usayn Shaddad meskipun agak berbeda dengan gaya aristokrat
H{asan Salim. Namun, kedua-keduanya, menurut Kamal, sama-sama agung.
73
Kesamaan anggota kelas dalam mengkonstruksi realitas ini didasari oleh kepentingan-kepentingan serupa yang mereka miliki. Di antara kepentingan kelas
atas dan kelas menengah adalah mengamankan kelangsungan kemapanan sosial dan ekonominya. Untuk tujuan ini, mereka berusaha mencegah gerak sosialnya
dari gerak sosial menurun. Bagi kelas menengah, misalnya, andaikan tidak berhasil naik, minimal mereka tidak turun. Oleh karena itu, mereka berupaya
menutup saluran sirkulasi sosial seperti perkawinan bagi kelas di bawahnya. Keluarga Ibrahim Shawkat–Khadijah dalam SU, misalnya, mendorong
dilangsungkannya pernikahan antara ‘Abd al-Mun‘im dan Na‘imah anak Aisyah. Masing-masing adalah anak dan keponakan mereka sendiri.
Sebaliknya, mereka mati-matian menghalangi perjodohan anak mereka, Ah}mad, dengan Susan H{ammad. Bagi mereka, kedudukan ‘Abd al-Mun‘im dan
72
Najib Mah}fuz}, Bidayah, 243.
73
Najib Mah}fuz}, Qas}r, 152,155-6,179-180,196,201-2,214-5,228, dan 230-1.
120
Na‘imah adalah selevel, dalam arti sama asal usul atau keturunannya, dan tidak demikian halnya dengan hubungan Ah}mad dan Susan H{ammad yang seorang
pekerja dalam sebuah penerbitan majalah.
74
Karena pendidikanlah, upaya-upaya menutup gerak sosial ke atas ini terus terongrong, tidak saja dari individu-individu dari kelas di bawahnya, tetapi juga
dari kelasnya sendiri. Setelah lulus dari akademi perang, menjadi perwira, dan masuk dalam pasukan kavaleri di Kairo, H{asanayn dalam BN pun memutuskan
pertunangannya dengan Bahiyah. Ia menginginkan istri dari kalangan yang lebih tinggi, terdidik, dan kaya, yaitu anak Ah}mad Bek Yusri. Keinginannya ini
didukung oleh kedua kakaknya, Nafisah dan H{usayn, karena ia dianggap mereka selevel dengan anak Ah}mad Bek Yusri.
75
Meskipun keinginan H{asanayn ini tidak terwujud, keinginannya dan dorongan saudara-saudaranya
adalah lahir dari sebuah penilaian bahwa pendidikan tinggi dan, selanjutnya, posisi jabatan tinggi seseorang itu memungkinkannya untuk naik ke kelas sosial
yang lebih tinggi. Penilaian seperti inilah yang membuat Kamal dalam SU dapat memahami keengganan anak Jamil al-H{amzawi, Fuad, untuk melamar
keponakannya, Na‘imah, sebagaimana yang diinginkan sang bapak. Meskipun dulu selalu mengekor Kamal laiknya bayangan dirinya dan hanya dapat
menempuh kuliah berkat bantuan ayahnya, Fuad Jamil al-Hamzawi kini adalah seorang jaksa penuntut. Kamal pun merenung:
76
ﻰ نأ
لﺄﺳأ ﻰ
ﻰهأ ﺎ
ء آ ﻴآﻮ
ﺔ ﺎﻴ ؟
ﻴﻄ ر
ﺔ ﺎﺿو أ
نأ كﺮ
ﻰ ﺎﻴ
ﻣ ﻰه
أ ﺔ ﺎ
ﺰ أو اﺪ ﻣ
ﺮﺜآأو ﺎﻣ
ﺎ و ،ﺎﻀ أ
ﺪ عﺮ
ﻮ أ ﻴﻄ ا
ﻴ و اﺬ ه
ﺄ ﻄ ...
ﺎ ﻣو اﺬ ه
ﺬ ﻜ و
ﺬ ا ذ
ﺬ ه قراﻮ ا
ﻰ ا ﺨ
ﺎ ﻴ ﻰ
ضاﺮﻣﻷا .
74
Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 120 dan 268.
75
Najib Mah}fuz}, Bidayah, 272,280,316,319, dan 328.
76
Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 102. Terjemahan petikan ini adalah: “Aku layak bertanya pada diriku ‘Betulkah ia Na‘imah selevel dengan seorang jaksa penuntut?
Meskipun keturunan jelata, ia Fuad dapat hidup bersama dengan perempuan yang jauh lebih berpendidikan, terhormat, berharta, dan lebih cantik. Bapaknya yang baik hati telah terburu-buru,
dan itu bukan salahnya … Itu bukanlah salahnya, melainkan kesalahan atau dosa pembedaan- pembedaan yang melahirkan berbagai macam penyakit dalam diri kita.”
121
Rongrongan atas upaya menutup gerak sosial vertikal yang datang dari dalam kelas sendiri direpresentasikan oleh tindakan Ah}mad Shawkat menikahi
teman perempuan sekerjanya di majalah al-Insan al-Jadid, Susan H{ammad, meskipun tanpa persetujuan keluarganya. Bagi keluarga Ah}mad
Shawkat, Susan H{ammad tidak layak menjadi istrinya, karena ia tidak selevel dengannya. Asal-usulnya dari kalangan jelata, lebih tua, dan tidak cantik. Namun,
bagi Ah{mad Shawkat, latar sosial Susan H{ammad tidak menjadi pertimbangannya. Ia hanya mempertimbangkan faktor kecintaannya pada Susan
H{ammad, teman seprofesi dan seperjuangannya sebagai seorang jurnalis dan pejuang sosialisme. Bahkan, dari segi penghasilan, gaji istrinya ini jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan gajinya.
77
Selain pada struktur kelas, pendidikan dengan fungsi ekonominya juga berimplikasi pada relasi laki-laki dan perempuan, terutama dalam keluarga kelas
menengah. Pendidikan telah memberikan kesempatan-kesempatan pekerjaan, tidak hanya bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan. Saya tidak perlu itu,
karena kementerian pendidikan membutuhkan guru-guru, laki-laki dan perempuan, akibat situasi perang dan perluasan pendidikan, kata Budur dalam
SU menjawab pertanyaan Kamal kemungkinan lanjut studi ke akademi pendidikan setelah lulus sarjana.
78
Apalagi, prestasi akademik perempuan tidaklah kalah dibandingkan dengan laki-laki, bahkan dalam banyak kasus lebih unggul,
seperti antara Nawwal dalam KHAN dan adiknya, Muh}ammad .
79
77
Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 267-8.
78
Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 257
79
Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 75.
122
Sebelum perempuan mengenal sekolah modern sekular,
80
praktis dunia mereka hanya di dalam rumah. Status dan peran perempuan kelas menengah era
ini terlukis dalam relasi al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad-Aminah dalam BQ. Masing-masing adalah suami dan istri. Relasi mereka menunjukkan
kekuasaan tanpa batas sang suami di satu sisi dan kepatuhan buta sang istri di sisi lain. Apabila suami bebas begadang hingga tengah malam setiap hari, maka istri
hanya dapat menikmati dunia luar dengan mengintip dari jendela. Apabila sang suami adalah pemberi perintah dan larangan, maka sang istri harus rela dijewer
jika mengkritik perilaku suami. Apabila yang pertama hanya memanggil istrinya dengan Aminah, maka yang kedua memanggil suaminya dengan
SayyidiTuanku.
81
Relasi yang tidak egaliter ini tampaknya telah menjadi bagian dari budaya masyarakat kelas menengah di era ini, karena perempuan tidak
saja menerima status dan peran di area domestiknya ini, tetapi juga berusaha mensosialisasikannya kepada generasi muda. Aminah, misalnya, seringkali
mengatakan kepada anaknya, Aisyah, bahwa Na‘imah cucunya kelak akan menjadi seorang “pengantin atau istri sehingga sepatutnya memahami kewajiban-
kewajiban “nyonya rumah atau ibu rumah tangga.”
82
Adanya budaya atau tradisi yang menempatkan laki-laki atau suami lebih superior ini secara eksplisit dinyatakan oleh narrator ZM baca: Najib.
Namun, perlu diingat tradisi waktu dan tempat, kebijakan dan falsafah tentang perempuan yang diikuti milieu, dan pandangan kebanyakan kelasnya atas
wajibnya memperlakukan perempuan seperti anak kecil pertama-tama demi kebahagiannya sendiri, kata narator mengomentari perilaku al-Sayyid Rid}wan
80
Pendidikan bagi perempuan mulai pada masa Muh{ammad ‘Ali, dengan didirikannya sekolah kebidanan pada 1830 sebagai bagian dari upayanya yang terus-menerus untuk
mengenalkan pendidikan sekular modern di Mesir. Sekolah kebidanan ini merupakan satu-satunya sekolah bagi perempuan sampai para misionaris asing mendirikan dua sekolah dasar bagi
perempuan pada 1846 dan 1849. Pemerintah Mesir baru membuka SD bagi perempuan, pertama pada 1873 dan kedua pada 1875. Pada 1875, tiga sekolah asing memperluas sistem pendidikannya
pada sekolah menengah. Perempuan baru dapat menikmati pendidikan tinggi pada 1928. Lihat, Soha Abdel Kader, Egyptian Women in a Changing Society, 1899-1987 Boulder London:
Lynne Rienner Publishers, 1987, 38.
81
Najib Mah}fuz}, Bayn, 1,8-9,11,16,25.
82
Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 7.
123
al-H{usayni: baik, sabar, suka membantu, dan cinta pada semua orang; tetapi tegas, kaku, banyak perhitungan, dan pelit kepada istrinya. Lagi-lagi, sebagaimana
Aminah, istri al-Sayyid Rid}wan al-H{usayni sama sekali tidak memiliki keluhan tentang suaminya. Sang istri memang beruntung, karena sang suami
adalah orang yang taat beragama dan menjadi panutan atau sumber rujukan moral dan pendapat bagi warga sekitarnya. Ini berbeda dengan yang dialami oleh istri
Kirshah dalam ZM, karena sang suami adalah seorang homoseksual. Sang suami menganggap dirinya selalu benar dan berhak melakukan apa saja yang disukainya
sedangkan kewajiban istri adalah menerima dan mematuhinya sepanjang kebutuhan dan nafkahnya terpenuhi. Akibatnya, pertengkaran dalam rumah
tangga mereka akibat hadirnya pasangan homo sang suami menjadi hal lumrah di mata tetangga-tetangganya.
83
Dalam masyarakat yang berbudaya patriarkhal seperti Mesir ini, status perempuan yang subordinate atas laki-laki, sedikit atau banyak, terkait dengan
kondisi perekonomian sebuah keluarga. Semakin kokoh ekonomi sebuah keluarga, semakin jauh kemungkinan perempuan masuk dunia kerja. Sebaliknya,
semakin lemah ekonomi sebuah keluarga, semakin besar kemungkinan perempuan ikut andil dalam memanfaatkan dan mencari peluang-peluang
ekonomi. Bagi keluarga pertama, cukuplah laki-laki yang bekerja di luar rumah. Kerja apapun bagi perempuan keluarga ini, terutama untuk mencari uang,
dianggap menurunkan martabat dan memalukan bagi perempuan itu sendiri dan bagi laki-laki yang bertanggung jawab atas pemeliharaan mereka.
84
Anak perempuan mereka akan dipingit apabila telah lulus SD kuttab seperti yang
dialami Karimah dalam SU atau mencapai usia 89 tahun.
85
Namun, bagi keluarga jenis kedua, tidak dikenal adanya area domestik dan area publik bagi
83
Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 54. 75, dan 101
84
Fawziyah al-Ashmawi, al-Mar’ah fi Adab Najib Mah{fuz}: Maz}ahir Tat}awwur al-Mar’ah wa al-Mujtama‘ fi Mis}r al-Mu‘as}ir min Khilal Riwayat Najib
Mah{fuz 1945-19 67 Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2005, 37. Lihat
pula, Soha Abdel Kader, Egyptian Women, 25.
85
Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 22 dan 179. Lihat pula, Najib Mah}fuz}, al- Sarab
, 22.
124
kaum perempuan. Kemiskinan telah mendorong mereka tidak terpaku pada fungsi-fungsi seksual dan reproduktifnya. Mereka pun menjadi mitra produktif
dan bagian penting dari income keluarga. Hanya saja, karena perempuan kelas terakhir ini nyaris tidak terdidik dan berketrampilan, maka pekerjaan-pekerjaan
yang bisa mereka lakukan --sebagaimana yang terekam dari novel-vovel realis Najib-- adalah seperti dallalah, mak comblang Umm H{amidah dalam ZM;
farranah , pembuat roti H{asniyah dalam ZM; ballanah, pembantu
S{abah} dalam SA dan Umm H{anafi dalam Trilogi; pembuat renda dan penjahit Nafisah dalam BN setelah keluarganya jatuh miskin; pelacur ‘Aliyat
al-Faizah dalam KHAN, H{amidah dalam ZM, Nafisah, Zaynab al- Khunafa’, dan Sitt Sana’ dalam BN, Wardah atau Ayyushah dalam QS, dan
‘At}iyah dalam SU; peramal perempuan yang meramalkan kelulusan ujian Kamil Rubah Laz} tetapi terbukti ramalannya salah dalam SA; dan ‘alimah,
penyanyi dan penari yang umumnya merangkap juga sebagai pelacur ibu Ih}san Shahatah dalam QJ, Jalilah dan Zubaydah dalam BQ, dan Zanubah sebelum
menjadi istri Yasin dalam QS.
86
Dengan pendidikan tinggi dan kesempatan kerja yang didapat perempuan, dikotomi dunia luar rumah sebagai dunia laki-laki dan dunia dalam rumah
sebagai dunia perempuan sebagaimana yang dominan di keluarga kelas menengah dan atas masyarakat Mesir tidak lagi berlaku. Demikian pula dengan dikotomi
laki-laki pencari nafkah dan perempuan sebagai istri dan berfungsi reproduktif. Tampaknya dunia luar rumah terlalu luas dan keras untuk hanya dihuni dan
ditaklukan oleh laki-laki, dan dunia dalam rumah terlalu sempit untuk ditempati perempuan-perempuan berpendidikan dan berwawasan luas. Perempuan kini
adalah mitra produktif bagi laki-laki. Dengan beragam aktivitasnya, guru seperti Rabab dalam SA atau jurnalis seperti Susan H{ammad dalam SU, perempuan
86
Ada pula ‘awalîm bentuk plural dari ‘alimah yang disebut-sebut dalam novel- novel realis Najib, tetapi tidak pernah muncul dalam cerita. Mereka adalah Munirah al-
Mahdiyah 1895?-1965 dan Umm Kulthum. Kedua tokoh historis ini adalah penyanyi perempuan bintang, sedangkan para penyanyi yang disebutkan dalam novel-novel realis Najib
tampaknya adalah penyanyi fiktif yang merepresentasikan penyanyi perempuan bukan bintang. Kepada penyanyi perempuan bukan bintang inilah prostitusi diasosiasikan. Lihat, Nikki R. Keddie
dan Beth Baron Ed., Women in Middle Eastern History: Shifting Bondaries in Sex and Gender New Haven and London: Yale University Press, 1991, 301.
125
telah menembus batas dunia privatnya dan mulai menjelajahi dunia publik yang selama ini hanya dihuni oleh laki-laki. Dapat dikatakan bahwa Susan
H{ammad dan Rabab, dalam perspektif tipologi gerakan feminis Mesir 1924- 195, masing-masing adalah tipe feminis agitator dan pioner. Yang pertama ikut
serta dalam berbagai aktivitas dan merupakan anggota sebuah organisasi gerakan sosialis yang bertujuan langsung mengagitasi masyarakat untuk memperoleh hak-
hak kelas pekerja, termasuk perempuan, sedangkan yang kedua meski tidak mengikuti organisasi tertentu, ia dengan upayanya masuk dalam domain publik
telah meratakan jalan bagi perempuan Mesir lain untuk berbuat hal yang sama.
87
Namun, di sini perlu segera digarisbawahi bahwa gerak perubahan menuju relasi egaliter antara laki-laki dan perempuan ini belumlah bersifat massif. Hal ini
pertama-tama karena dalam masyarakat patrilinial seperti di Mesir, nilai otoritas laki-laki cukup kuat dan dianggap penting. Laki-laki adalah anggota silsilah yang
dihargai dan diutamakan. Kelahiran anak laki-laki adalah peristiwa yang dirayakan, sedangkan kelahiran anak perempuan, terutama jika ia anak pertama,
umumnya disambut dengan ambivalen. Laki-laki dihargai, baik sebagai pemberi nafkah maupun sebagai datuk, karena keturunan ditarik melalui laki-laki.
88
Tidaklah mengherankan apabila al-Sayyid ‘Abd al-Jawwad di masa rentanya adalah sosok yang --meminjam bahasa anaknya, Kamal-- memenuhi kehidupan
ini. Pendapatnya tetap harus didengar, tidak saja dalam keluarganya, tetapi juga dalam berbagai persoalan yang dihadapi oleh keluarga anak-anaknya, seperti
tentang pendidikan dan perjodohan cucu-cucunya.
89
Kedua, belum massifnya relasi egaliter antara laki-laki dan perempuan adalah disebabkan oleh masih terbatasnya kaum perempuan yang mengecap
pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Mereka baru dapat mengakses pendidikan
87
Tipe gerakan feminis lainnya adalah reformer, yaitu perempuan yang melalui organisasi amal perempuan terlibat dalam berbagai kegiatan kesejahteraan. Ini adalah perempuan
yang memberi contoh apa yang dapat dilakukan perempuan untuk merespon tuntutan kesejahteraan sosial masyarakat. Lihat, Soha Abdel Kader, Egyptian Women, 91.
88
Http:www.photius.comcountriesegyptsocietyegypt_society_family_and_kinship. html, Egypt Society: Family and Kinship, 25 Juli 2008.
89
Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 8-9,121, dan 224.
126
tinggi ini pada 1928,
90
yang berarti mereka harus menunggu selama 20 tahun, karena pendidikan tinggi baca: universitas berdiri pertama kali di Mesir pada
1908. Pada sisi lain, Inggris yang mulai menduduki Mesir 1882 menutup banyak sekolah pemerintah dan hanya mendukung sekolah-sekolah misionaris Eropa.
Oleh karena itu, kesempatan pendidikan bagi kebanyakan orang Mesir, terutama perempuan muda, terbatas. Hanya mereka yang beruntung mendapat izin masuk
sekolah pemerintah atau yang orang tuanya mampu membayar biaya tinggi pada sekolah asing dan misionaris atau membiayai tutor swasta di rumahlah yang
menerima pendidikan. Menurut sensus 1897,
91
perempuan Mesir yang melek huruf hanya 0,2. Pada 1907, hanya 0,55 perempuan Mesir melek huruf laki-
laki 4,9 dan sisanya, 99,5 perempuan Mesir, adalah buta aksara. Bahkan, pendidikan orang melek huruf pun tidak berlangsung dengan baik dan
berkelanjutan, sehingga begitu waktu berlalu, mereka akan kembali menjadi buta aksara.
92
Pada saat Revolusi 1952 berlangsung, hampir 75 penduduk laki-laki dan 90 perempuan yang berusia lebih dari 10 tahun adalah buta huruf.
93
Ketiga, munculnya moralitas tidak baik --dua tanda petik di sini bermakna bahwa baik dan tidaknya sebuah perilaku individu itu bukan karena
esensi perilaku itu sendiri, melainkan lebih karena sebuah konstruksi sosial-- yang ditunjukkan oleh sebagian perempuan yang bergerak dan beraktivitas di luar
rumah. Gadis-gadis Yahudi, teman-teman H{amidah yang bekerja di pabrik dalam ZM, misalnya, tidak segan-segan bergandengan tangan dan menjalani
asmara haram di jalan-jalan.
94
Gadis-gadis juga banyak yang meniru adegan para pecinta di film, seperti mencium.
95
Perilaku para perempuan muda ini menjadi salah satu sebab para orang tua enggan memasukkan putri-putrinya ke jenjang
90
Samiyah H{asan al-Sa‘ati, al-Mar’ah wa al-Mujtama‘ al-Mu‘as}ir Kairo: al- Hay’ah al- Mis}riyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2006, 63.
91
Beth Baron, The Womens Awakening in Egypt: Culture, Society, and the Press London: Yale University Press, 1994.
92
Soha Abdel Kader, Egyptian Women, 38.
93
Http:www.photius.comcountriesegyptsocietyegypt_society_education.html, Egypt Society: Education
, 25 Juli 2008.
94
Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 41.
95
Najib Mah}fuz}, Bidayah, 110.
127
pendidikan tinggi. Di kampung kita ada dua orang perempuan masuk sekolah tinggi, tetapi na‘udhubillah modelnya, kata Khadijah mengomentari
penyesalan Karimah akibat tidak mendapat izin lanjut studi ke sekolah menengah dari ayahnya dan pernyataan sang ibu, Zanubah, bahwa semua gadis
sekarang bersekolah.
96
Perilaku gadis-gadis yang, dalam bahasa tokoh ZM Ah}mad Afandi T{albah,
97
tidak tahu malu ini menjadi pembenar orang-orang seperti al-Sayyid Ah}mad ‘Abd al-Jawwad dan Mu‘allim Nunu masing-
masing adalah tokoh dalam Trilogi dan KHAN bahwa perempuan itu makhluk yang akal dan agamanya kurang sempurna. Karena itu, jangan beri ia
kebebasan, demikian kira-kira kesimpulan mereka berdua. Mereka pun kemudian mengurung istri-istrinya di rumah.
98
Tentu saja, terasa agak kurang adil bila sebagian perilaku perempuan itu menyebabkan sikap protektif dan membatasi semua perempuan. Perilaku yang
sama, bahkan lebih permisif, juga banyak ditemukan pada laki-laki. Perubahan perilaku Rushdi ‘Akif antara sebelum dan setelah kuliahnya dalam KHAN
dapat mewakili perilaku para pemuda terdidik. Sekolahnya ia jalani dengan kesuksesan hingga kakaknya, Ah}mad ‘Akif, merasa bahwa adiknya itu
mewarisi sifat intelektualnya. Ia pun berubah total setelah menjadi mahasiswa Fakultas Perdagangan. Ia minum khamar, berjudi, dan terperosok dalam
immoralitas. Bahkan, ia terpikir meninggalkan bangku kuliahnya untuk belajar musik dan menyanyi, hanya karena ia mendengar hedonisme dan kesukaan para
penyanyi kepada perempuan.
99
Meskipun ada kesamaan perilaku sebagian generasi muda terdidik, baik laki-laki maupun perempun, masyarakat
menyikapinya berbeda. Terhadap perempuan, mereka tampaknya lebih ketat dan kurang toleransi. Ini lagi-lagi terkait dengan pola budaya di Mesir, bahkan di
Timur Tengah pada umumnya. Nilai kesopanan perempuan di sana adalah
96
Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 178.
97
Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 119.
98
Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 36 dan 51. Lihat pula, Najib Mah}fuz}, Bayn, 150.
99
Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 84.
128
fundamental. Berbeda dengan laki-laki, perempuan memiliki kode kesopanan yang jauh lebih ketat. Kode inilah yang menentukan dan membatasi perempuan
dalam kehidupan sehari-harinya. Kode ini mencakup semua aspek kehidupan mereka: penutupan bagian-bagian badan tertentu, perilaku di tempat-tempat
umum, asumsi-asumsi tentang ciri pembawaan wanita, dan syarat-syarat kesucian, keperawanan, dan kemurnian. Syarat-syarat terakhir ini terkait dengan
kehormatan keluarga, yang dijaga dan diwarisi laki-laki.
100
Dalam konteks ini, cukup logis bila Nafisah menganggap pernikahan Salman, pacar yang telah
menyetubuhinya, sebagai kegagalan seluruh hidupnya; dan bila kemudian sang adik, H{asanayn, menyuruhnya bunuh diri setelah mengetahuinya menjalani
praktek pelacuran.
101
Terlepas dari masih terbatasnya perempuan terdidik dan belum massifnya relasi egaliter antara laki-laki dan perempuan, pendidikan semakin hari semakin
mendorong generasi muda Mesir, baik laki-laki maupun perempuan, untuk masuk di dalamnya sebagai prasyarat agar tetap bisa eksis di dalam masyarakat yang
sedang memodernisasi diri. Implikasinya, semakin banyak laki-laki dan perempuan yang sadar atas pembedaan peran perempuan antara yang esensial dan
eksistensial. Bahwa perempuan itu memiliki fungsi reproduktif adalah esensial, sesuatu yang inheren hanya menjadi milik perempuan dan tidak mungkin bisa
“dialihkan” pada laki-laki. Namun, hidup di “dalam” rumah dan mengurus anak itu bukan esensial, melainkan eksistensial. Persoalan eksistensial adalah konstruk
sosial, terkait dengan ruang dan waktu, dan bisa berubah setiap saat. Bahwa perempuan selama ini perannya hanya di dalam rumah itu merupakan produk
sejarah dan karenanya bukan esensial, melainkan eksistensial. Meleburkan persoalan esensi dan eksistensi berarti sebuah “mistifikasi” eksistensi perempuan,
membuat apa yang sebenarnya tidak harus begitu menjadi seharusnya begitu.
102
Pendek kata, generasi terdidik yang menjadi agen modernisasi di Mesir semakin
100
Soha Abdel Kader, Egyptian Women, 35-6.
101
Najib Mah}fuz}, Bidayah, 127, 357, dan 368.
102
Tommy F. Awuy, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan Yogyakarta: Jentera Wacana Publika, 1995, 95.
129
hari semakin banyak yang --dalam bahasa ‘Ali T{aha dalam QJ-- tidak rela apabila masyarakatnya tidak bisa memanfaatkan peran anggota masyarakatnya
yang cantik dan berguna seperti Ih}san, pacarnya, bagi kemajuannya.
103
Selain fungsi sosial budaya dan ekonomi, pendidikan juga memiliki fungsi politik. Fungsi ketiga ini oleh Shipman disebut dengan fungsi education.
Dalam pengertian luas, pendidikan dianggap sebagai agen bagi kontrol sosial dan politik. Ia telah menciptakan kekuatan elit, kepemimpinan yang memelopori
inovasi dan menopang modernisasi. Masyarakat yang sedang berubah memerlukan adanya elit atau --meminjam istilah Ruben-- komunitas ideal ini,
sebuah komunitas yang kuat, sehat, dan berwibawa yang mampu berfungsi sebagai transformer dan konservator nilai-nilai secara obyektif atau ilmiah.
104
Kesadaran tentang realitas sekitar merupakan ciri menonjol elit baru terdidik ini. Komentar-komentar kritis mereka atas masyarakatnya selalu muncul.
Mengidentifikasi problem bangsa menjadi menu utama dalam obrolan antarmereka, baik di kampus, di asrama mahasiswa, di jalan, di tempat kerja
maupun di kafe. Kemiskinan dan kebodohan rakyat, kesewenang-wenangan dan kebejatan penguasa, dan kekeraskepalaan Inggris untuk tetap bercokol di Mesir
adalah contoh beberapa masalah yang sering mereka perbincangkan. Penyakit bangsa kita adalah kemiskinan, kata Mah}jub ‘Abd al-Daim dalam QJ.
Perkataannya itu diiyakan oleh Mamun Rid}wan dan ‘Ali T{aha, dua temannya yang ikut berbincang bersamanya di kamar Mamun Rid}wan.
105
Bahkan, Ah}mad Rashid dalam KHAN dengan sinis mengkritisi kemiskinan bangsanya ini ketika dilihatnya anak-anak di awal bulan Ramadan biasa meminta
uang receh:
106
103
Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 19.
104
Taliziduhu Ndraha, Manajemen Perguruan Tinggi Jakarta: Bina Aksara, 1988, 5.
105
Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 45.
106
Lihat, Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 65-6, yang terjemahannya adalah:
“Kita adalah bangsa pengemis. Bangsa pengemis dan sedikit sekali yang kaya-raya. Rakyat hanya memiliki peluang kerja rendahan atau mengemis. Kerja rendahan sendiri tidak terlepas dari
mengemis. Tidak ada yang lebih buruk daripada sebuah sistem yang memerosokkan manusia ke dalam level binatang gagap. Saya tidak tahu bagaimana para intelektual merasa hidupnya nyaman
130
ذﺎ ا ﻣ ...
ﻴ ﻼ ا بﺎ ا ﻣ ﺔ و ذﺎ
ا ﻣ .
ﻴﺿﻮ ا او ،ةذﺎ
ا نﺎ ﻣا وأ ﻴﺿﻮ ا ا ﺮ ﻴ
حﺎ ﻴ ةذﺎ ا
... ﻰ ا راﺪ
ﺎ سﺎ أ ﻰ ﻀ مﺎﻈ ﻣ ﺮ ﺪ ﻮ ﻴ ﻷا ناﻮﻴ ا ىﻮ ﻣ
. نﻮ هو ءﻼ مﻮ ةﺎﻴ ا ﻴﻄ ﻴآ يردأ
و ﻬ ﻮ ﺮ ءﻼﻬ ، هدوا ﻴ ﺎﻣ ﻬ ﻮﻄ ﺪ عﺎﻴ ﻬﻣﻮ ﺔﻴ ﺎ نأ
ﺔ ﺰﻬ ا هدﺎ أ اﺮ ا ﻮ ﻰﺿﺮﻣ ،باوﺪ ا ﺔ ﻣدا .
اودﺎ نأ ﺮﻄﺨ أ ﻰ ناﻮﻴ نﺈ ؟ﻼﺜﻣ تﺎ ﻮﻴ او ﻴ ﻼ ا ﻴ ةاوﺎ ا أﺪ
ﺎ ﺮ ا ةدﺎﺳ حﻼ ﺜ ﺮ و ، ﻴ ءاﺮﻣ ﺔ
او ىوﺄ او ءاﺬ ا .
Meskipun seringkali--untuk tidak mengatakan selalu--memiliki kesamaan dalam mengidentifikasi masalah-masalah di lingkungan sekitar, para elit baru
terdidik ini menawarkan solusi yang beragam. Tentang kemiskinan, misalnya, tiga dari empat sekawan dalam QJ yang memperbincangkannya di atas memberikan
jalan keluar berbeda-beda. Mamun Rid}wan menawarkan Islam, karena Islam, menurutnya, adalah balsem bagi semua penyakit bangsanya; sedangkan ‘Ali
T{aha menawarkan pemerintah dan parlemen. Mah}jub ‘Abd al- Da’im sendiri menanggapi dengan sinis solusi yang di tawarkan ‘Ali T{aha. Baginya,
pemerintah itu berarti orang-orang kaya dan hanya satu keluarga: menteri menunjuk deputi dari kerabat, deputi mengangkat direktur dari kerabat, direktur
memilih kepala dari kerabat, dan kepala memilih pegawai dari kerabat, dan seterusnya. Pemerintah itu hanya satu keluarga atau satu kelas sosial dengan
banyak keluarga. Parlemen pun, dalam pandangannya, tidak jauh berbeda. Anggota parlemen yang mengeluarkan banyak uang sebelum dipilih tidak
mungkin mewakili rakyat miskin. Parlemen seperti ini, menurutnya, tidak berbeda dengan institusi-institusi lain. Qas}r al-‘Ayni, misalnya, namanya rumah sakit
rakyat miskin, tetapi sebenarnya hanyalah ruang eksperimen untuk menguji
sementara mereka tahu bahwa mayoritas bangsanya adalah orang-orang lapar tanpa dapat makan, orang-orang bodoh yang akalnya tidak lebih baik dari otak binatang, dan orang-orang sakit yang
tubuh-tubuh kurusnya tempat bersarang kuman-kuman. Tidakkah mereka terlintas untuk menyerukan persamaan, misalnya, antara petani dan binatang? Binatang milik tokoh-tokoh
kampung saja memiliki hak pakan, papan, dan kesehatan sementara petani tidak.”
131
kematian secara empiris dengan menggunakan orang-orang miskin sebagai bahan percobaan. Bahkan, pemilihan ratu kecantikan juga penuh kepalsuan.
107
Memang, seluruh novel realis Najib ini menunjukkan bahwa solusi yang ditawarkan oleh elit baru terdidik ini lebih banyak bersifat konseptual, bukan
praktis. Kenyataan inilah yang tampaknya melatarbelakangi beberapa kritikus, seperti Muh}ammad ‘Awdah dan Ghali Shukri, menyebut Najib sebagai
contoh hidup sebuah generasi yang mampu melontarkan problem secara seksama tanpa menemukan pemecahannya.
108
Kesimpulan yang sama ditarik Raja’ al- Naqqash. Menurutnya, karya-karya Najib berorientasi pada tragedi-tragedi
yang dialami kelas menengah. Salah satu tragedi dimaksud adalah tragedi cendekiawan. Penyebabnya adalah adanya kesenjangan antara kesadaran atau
kemauan dan kemampuan. Para cendekiawan memiliki sebuah kesadaran yang membuatnya bisa merefleksikan realitas. Mereka lalu menolak banyak nilai yang
diikuti masyarakat, bahkan mereka memisahkan diri dari realitas. Hanya saja, mereka tidak bisa mengubah realitas ini agar sesuai dengan pemikiran mereka.
Akibat satu-satunya, mereka menjadi terasing, jauh dari kehidupn tradisional yang terus berjalan tanpa peduli pada tuntutan mereka. Mereka pun seringkali hidup
dengan perasaan kering. Banyak dari mereka yang tidak menikah atau mengikatkan diri secara penuh dengan kehidupan nyata, dan cukup hidup dalam
perasaan dan pemikiran-pemikiran mereka. Dengan demikian, tragedi kering, terasing, dan kesendirian terjadi pada hidup mereka.
Kamal dalam BN, menurut Raja’ al-Naqqash, adalah contoh. Ia hidup
dalam milieu agamis, tetapi ia percaya pada teori Darwin tentang evolusi. Terjadilah pemisahan dirinya dan milieunya. Ada jurang besar antara keduanya.
Ia mencintai Aida, gadis dari kelas lebih tinggi yang pendidikan dan pengetahunnya lebih mendekati spirit dan akalnya, tetapi gadis itu tidak
mempedulikannya dan memikirkan pemuda lain, H{asan Salim, yang sesuai dengannya: dari kelas dan level sosialnya. Tentu saja, Kamal enggan menikah
107
Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 45-6.
108
Ghali Shukri, al-Muntami: Dirasah fi Adab Najib Mah}fuz} Kairo: al- Ah}bar, 1988, 35.
132
seperti cara saudaranya Yasin, tanpa mengenal istrinya secara mendalam. Kamal memberontak atas tradisi ini sementara Yasin menyetujuinya. Karena
seorang cendekiawan, Kamal mempunyai pandangan idealis: segalanya atau tidak sama sekali, dan bukan di antara dua itu. Kegagalan cintanya selalu
menguasainya sampai akhir hayatnya. Ia pun hidup tanpa nikah, cinta atau interaksi mendalam dengan masyarakat.
109
Tawaran solusi elit terdidik atas berbagai problem bangsanya yang lebih bersifat konseptual daripada praktis itu, bagi penulis, lebih karena elit terdidik
yang dipotret Najib dalam karya-karyanya adalah generasi produk pendidikan modern sekular di Mesir, terutama pendidikan tingginya. Mereka umumnya
adalah pelajar kelas menengah atau mahasiswa tingkat akhir. Mereka belum masuk ke dalam lingkaran pengambil kebijakan, sehingga dapat menguji dan
mengubah tawaran solusi konseptualnya menjadi solusi praktis. Meskipun demikian, sikap seperti yang diambil Kamal di atas atau Ah}mad ‘Akif dalam
KHAN bukanlah sikap satu-satunya dan terakhir yang ditunjukkan oleh tokoh- tokoh Najib. Di sana ada juga ‘Ali T{aha dalam QJ dan ‘Abd al-Mun‘im
Shawkat atau Ah}mad Shawkat dalam SU. Tidak seperti Kamal yang mengambil jarak dengan masyarakat, tokoh-tokoh ini menunjukkan sebagai
generasi aksi, yang berusaha mengimplementasikan pemikiran-pemikirannya. ‘Ali T{aha rela meninggalkan pekerjaannya, membuang pikiran lanjut studi ke
jenjang magister, dan lebih memilih mendirikan majalah al-Nur al-Jadid Cahaya Baru untuk menyerukan reformasi sosial. Sikapnya untuk mewujudkan
prinsip-prinsip yang sering diperbincangkannya sewaktu kuliah dengan resiko penjara ini dipandang temannya, Mah}jub ‘Abd al-Da’im, sebagai tindakan
gila.
110
‘Abd al-Mun‘im Shawkat, setelah lulus kuliah dan menjadi pegawai, semakin giat di al-Ikhwan al- Muslimun. Demikian juga adiknya, Ah}mad
Shawkat. Sebelum kuliah, ia menjadi pelanggan majalah al-Insan al-Jadid, tempat ia menerima pencerahan; saat kuliah, ia menjadi penerjemah lalu staf
109
Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mahfuz} Kairo: Dar al Shuruq, 2006, 75-6.
110
Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 163-5.
133
redaksi majalah itu; dan setelah lulus kuliah, ia memilih profesi jurnalistik dan menolak menjadi pegawai, agar ia bisa mengungkapkan dan menyebarkan
gagasan-gagasannya kepada masyarakat. Ia juga bergabung dengan gerakan sosialis. Salah satu aktivitasnya adalah memberi ceramah pada para pekerja dan
menyebarkan selebaran. Untuk aktivitasnya ini, ia bisa dihukum dua tahun. Melihat kedua tokoh terakhir ini, Kamal kagum bahwa generasi baru meretas
jalan sulit menuju tujuan yang jelas, tanpa ragu dan bimbang. Aksi atau tindakan nyatalah yang mereka tunjukkan. Sikap inilah yang tampaknya akan menjadi
sikap akhir Kamal. Ini dapat dilihat dari ucapan Ah}mad Shawkat selagi masih ditahan di kantor kepolisian yang diamini ‘Abd al Mun‘im Shawkat yang dinukil
Kamal:
111
نإ ةﺎﻴ ا
جاوزو اوو
ﻰ ﺎ إ ،مﺎ
ﻴ و ﺬه
ﺔ ﺳﺎ ا ﺚ ﺪ
او دﺮ ا
ﻮ ﻬﻣ
وأ وز
ﺎﻣأ اﻮ ا
ﻰ ﺎ ﻹا مﺎ ا
ﻮﻬ ةرﻮﺜ ا
،ﺔ ﺪ ﻷا ﺎﻣو
ﻚ ذ إ
ا ﺋاﺪ ا
ﻰ ﻴ
ةدارإ ةﺎﻴ ا
ﺔ ﺜ ﻣ ﻰ
ﺎهرﻮﻄ ﻮ
ا ﺜ
ﻰ ﻷا
Apakah upaya mereka itu berhasil atau tidak adalah pertanyaan yang tidak penting lagi di sini. Mereka hanyalah merepresentasikan sebuah awal
perkembangan modernisasi atau --dalam istilah Cyrill E. Black-- fase the challenge on modernity
, saat terjadi konfrontasi-konfrontasi awal masyarakat dengan kerangka tradisionalnya terhadap ide-ide modern dan munculnya
pendukung modernitas.
112
Oleh karena itu, jika memang bisa disebut tragis seperti
111
Lihat, Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 329. Terjemahan petikan ini adalah: Hidup itu bekerja, menikah, dan kewajiban manusia secara umum. Sekarang bukan saat yang
tepat untuk berbicara tentang kewajiban individu terhadap profesi atau istrinya, sedangkan kewajiban manusia secara umum adalah revolusi abadi, dan itu tidak lain adalah usaha tanpa lelah
untuk mewujudkan tujuan hidup yang tercermin dalam perkembangannya menuju yang ideal.”
112
Cyrill menyebut empat fase modernisasi. Tiga fase lainnya adalah the consolidation of modernizing leadership
, yaitu berpindahnya kekuasaan dari pemimpin-pemimpin tradisional kepada yang memodernisasi yang sering memakan waktu beberapa generasi; fase the economic
and social transformation , yaitu berkembangnya pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial
hingga masyarakat tertransformasi dari cara hidup desa dan petani kepada cara hidup kota dan industri; fase the integration of society, yaitu fase saat transformasi sosial dan ekonomi melahirkan
reorganisasi struktur sosial seluruh masyarakat secara fundamental. Lihat. Ghulam Nabi Saqib, Modernization
, 9.
134
kesimpulan Raja’ al-Naqqash, maka ini lebih karena upaya-upaya konkret mereka ternyata harus berhadapan dengan konfrontasi masyarakat yang begitu
kuat, bukan karena mereka tahu banyak hal tanpa bisa berbuat apa-apa dan diam tanpa aksi atau meleburkan diri di tengah-tengah masyarakat.
Inilah pendidikan modern sekular di Mesir. Pendidikan yang telah dirintis Muh}ammad ‘Ali Pasha dalam upayanya memodernisasi Mesir ini telah
menyebabkan perubahan dalam struktur kelas sosial, mulainya perempuan bergerak di dunia publik, semakin egaliternya kedudukan laki-laki dan
perempuan, dan lahirnya elit terdidik yang menjadi agen modernisasi. Namun, pendidikan ini ternyata menyisakan problem lain, yaitu lapangan kerja bagi para
lulusannya, terutama di tahun-tahun krisis ekanomi antara 1930 dan 1934. Lapangan pekerjaan yang dimaksud di sini adalah pegawai pamong praja atau
PNS. Inilah, dan bukan memiliki pengetahuan kritis tentang masyarakatnya, yang menjadi motivasi mayoritas orang tua ketika memasukkan anak-anaknya ke dunia
pendidikan. Apalagi, masyarakat Najib adalah masyarakat birokratis. Nilai birokrat dan posisi PNS begitu tinggi. Semua orang menginginkan PNS, karena
PNS adalah segalanya: nilai, posisi, sumber kedudukan dan pengaruh.
113
Dalam konteks inilah, kekesalan dan kemarahan Khadijah di atas bisa dimengerti ketika
anaknya, Ah}mad, tidak mau menjadi pegawai dan lebih memilih untuk bergelut di dunia jurnalistik. Demikian juga dengan lebih difavoritkannya Fakultas Hukum
daripada Fakultas Sastra. Yang pertama dipandang lebih prestisius karena menjanjikan kedudukan jaksa atau hakim dan ekonomi yang mapan, sementara
yang kedua hanya menjanjikan masa depan sebagai guru. Lebih difavoritkannya Fakultas Hukum juga dapat dibaca dibutuhkannya lulusan-lulusannya untuk
mengisi posisi dan jabatan baru dalam sebuah institusi yang baru didirikan yang merupakan akibat dari modernisasi di bidang sistem hukum. Sebagaimana
dimaklumi bahwa sejak era Muh}ammad ‘Ali Pasha, kitab hukum sekular
113
Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at min Mudhakkiratih wa Ad}wa’ Jadidah ‘ala Adabih wa H{ayatih
Kairo: Markaz al-Ahram, 1998, 39-41.
135
dan pengadilan sekular telah diperkenalkan di Mesir.
114
Nilai prestisius dari jabatan dan posisi dalam sistem hukum baru ini tampaknya lebih karena peran
yang dijalankannya adalah mengambil alih peran yang dulu hanya dimainkan dan dimonopoli oleh para ulama.
Motivasi menjadi pegawai pamong praja dalam konteks masyarakat saat itu tidaklah berlebihan, bahkan sejalan dengan maksud awal didirikannya
pendidikan modern sekular itu: menyediakan tenaga-tenaga ahli bagi berbagai institusi modern yang baru. Selain itu, Revolusi 1919 telah membuka pintu-pintu
PNS dan jabatan-jabatan pemerintahan bagi putra-putra kelas menengah setelah mayoritas jabatan ini berada di tangan orang asing, terutama Inggris sejak 1882
dan sebelumnya aristokrat Mesir-Turki. Sayangnya, karena tekanan krisis ekonomi antara 1930 dan 1934, pemerintah menutup pintu pegawai ini, sehingga
banyak anak-anak lulusan sekolah sulit mendapatkan pekerjaan. Gaji para PNS yang kecil dan, saat krisis seperti ini, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari juga terancam dipotong.
115
Lulusan pendidikan tinggi sekalipun saat itu hanya bergaji 10 pounds.
116
Kondisi sulit ini juga terpotret dalam karya realis Najib. Namun, Najib pada saat yang sama juga melukiskan bahwa semua elit
terdidik yang muncul dalam novel-novel realisnya tidak ada yang menjadi “pengangguran intelek.” Setelah lulus, mereka semua menempati posisi-posisi
tertentu, baik negeri atau swasta; dan baik dengan atau tanpa koneksi. Dengan ini semua, Najib ingin menegaskan bahwa pendidikan adalah aset utama bagi
masyarakat yang sedang modernisasi diri dan sebuah investasi yang tidak akan rugi. Dari dan kepada pendidikanlah, perubahan masyarakat sekarang dan di masa
depan dapat dimulai dan direncanakan.
C. Politik Sebagai Area Perang Fisik dan Perang Pemikiran