Sekularisme PANDANGAN NAJIB MAH{FUZ} TENTANG ISLAM AGAMA

265 دﺎ ﻹا ، ﻬ ﺳ ﻬ ﺳ ،ﻰ وﺮه ﻰ وﺮه ﻣ تﺎ اﻮ ا ﻰ ا ﺎ ﻬﻣﺰ ﻣﺆ ا لﺎﻴ ر و سﺎ او .

B. Sekularisme

Ketika agama dan ilmu pengetahuan diyakini dapat bertemu, ketika wahyu dan akal dianggap tidak bertentangan, dan ketika rasio dan agama diterima sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya di dunia, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana keduanya beroperasi: bersamaan dalam area yang sama atau berlainan dalam area yang berbeda. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan polemik yang panjang tentang agama dan sekularisme. Tema sekularisme atau, lebih tepatnya, tentang agama dan sekularisme merupakan salah satu tema yang menjadi pusat perhatian para pemikir pembaharuan Islam. 62 Bahkan, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa tema ini merupakan tema yang paling peka di dunia Islam. 63 Hal ini karena kata “sekularisme” tampaknya telah memiliki nuansa yang berkaitan dengan “kesalehan” danatau “keislaman.” 64 Ketika seseorang disebut “sekular,” maka 62 Tema-tema lain yang, menurutnya, juga menjadi pusat perhatian para pemikir pembaharuan Islam adalah hubungan antara iman dan ilmu atau antara keyakinan dan akal; ajaran Islam dalam segi sosial, yakni sejauh mana Islam mengajarkan keadilan sosial, ekualitas antara pria dan wanita, pemberian kesempatan yang sama bagi warga negara, dan lain-lain; pembaharuan hukum; dan ajaran-ajaran Islam di bidang ekonomi. Lihat, John J. Donohue dan John L. Esposito peny., Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, terjem. Oleh Machnun Husein Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993, xv. 63 Nurcholish Madjid, misalnya, dalam kata pengantarnya atas buku “Sekularisasi dalam Polemik,” mengakui bahwa sekularisasi danatau sekularisme adalah masalah kontroversial, sehingga setiap upaya untuk membahas masalah ini secara lengkap di Indonesia perlu mendapat sambutan. Lihat, Pardoyo, Sekularisasi, xiii. 64 Muhammad Qutb, misalnya, mendefnisikan sekularisme sebagai “iqamah al-h}ayah ‘ala ghair asasin min al-din ” membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama atau, dalam terminologi Arab dikatakan sebagai alla diniyah non agamis. Muh}ammad al-Bahi juga berpandangan serupa. Baginya, sekularisme “yarfud}u ayya s}urah li al-iman al-dini aw al-‘ibadah al-diniiyah ” menolak segala bentuk keimanan agama atau ritual agama, dan meyakini bahwa agama dan masalah-masalah eklesiastik harus tidak masuk dalam fungsi negara. Lihat, Muhammad Qutb dkk., Ancaman Sekularisme: Sebuah Perbincangan Kritis Belajar dari Kasus Turki , terjem. Tim Naskah shalahuddin Press Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1986, 22; dan Muh}ammad al-Bahi, al-Fikr al-Islami wa al-Mujtama‘ al-Mu‘as}ir: Mushkilat al- H{ukm wa al-Tawjih Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1975, 140. 266 timbul kesan bahwa orang itu tidak saleh, tidak beragama atau, bahkan, memusuhi atau anti agama. Sekularisme muncul pertama kali di Eropa bersamaan dengan zaman Renaisans dan Reformasi, saat pondasi tradisionalisme Barat yang bertumpu pada institusi gereja dan negara akhirnya mengalami kehancuran. Bila di zaman pertengahan pemikiran lebih tertuju kepada hal-hal abstrak, yang didominasi oleh religiositas gereja, maka di zaman Renaisans pemikiran tertuju kepada hal-hal yang konkret, alam semesta, manusia, hidup kemasyarakatan, dan kepada sejarah. Para pemikir mulai menempatkan individu manusia, dengan akal sehat dan kebebasan mutlak, untuk menemukan solusi semua masalah yang dihadapi manusia. Dalam perkembangannya, orang kemudian merasa tidak perlu lagi mencari perlindungan dan jawaban atas berbagai pertanyaan dalam hidupnya dari agama, tetapi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peranan agama pun menjadi semakin menyempit dan tersisih. Mula-mula agama dianggap sebagai masalah individual periode sekularisme moderat, tetapi kemudian agama dan orang-orang yang beragama dimusuhi oleh negara periode sekularisme ekstrim. 65 Ketika gelombang modernisasi menyebar dan menjadi agenda utama semua bangsa, maka sekularisme yang merupakan salah satu penopang modernitas di Barat ini juga mulai menggejala di dunia muslim yang sedang memodernisasi diri sejak abad ke-19. Turki, misalnya, menjadikannya sebagai pendorong kemodernan. Di sana sejak era Mus}t}afa Kemal Ataturk 1881- 1938, agama secara total dipisahkan dari seluruh kehidupan publik dan politik. Bahkan, pada saat itu Turki tampak ekstrem dalam menerapkan sekularisme. Ini terlihat dari penggantian huruf Arab dengan huruf Latin dalam bahasa Turki modern. 66 Pada 1931 azan dan khutbah di sana juga menggunakan bahasa Turki. 67 Hal yang sama juga dapat dijumpai di Albania pada abad ke-20. Di 65 Pardoyo, Sekularisasi, 28-35. 66 Donald Eugene Smith, Agama di Tengah Sekularisasi Politik, terjem. Azyumardi Azra dan Hari Zamharir Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985, xvi. 67 Niyazi Berkes, The Development of Secularism in Turkey Montreal: McGill University Press, 1964, 486. 267 negara ini penerapan sekularisme diarahkan untuk mengganti semua hal dalam Islam. Di negara seperti Indonesia, sekularisme diterapkan secara agak berbeda. Ia menganut sistem multi agama dan kepercayaan. Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan minoritas non muslim yang cukup signifikan ini melakukan kontrol atas semua agama. Pada saat yang sama, agama juga memiliki kontrol yang besar atas pernikahan dan perceraian. 68 Tidaklah mengherankan bila di beberapa negara muncul tokoh-tokoh muslim pemikir dan pengusung sekularisme, dari yang moderat sampai yang radikal, danatau sekularisasi. 69 Di Turki ada Mus}t}afa Kemal Ataturk, di Perancis ada Mohammed Arkoun 1928- , di Indonesia ada Nurcholish Madjid, dan di Mesir sendiri ada Ah}mad Lut}fi al-Sayyid 1872-1963, T{aha H{usayn 1889-1973, dan ‘Ali ‘Abd al-Raziq 1888-1966. 70 Para pengusung 68 Sekularisme Islam, menurut William Shepard, adalah cara pandang terhadap Islam dalam dunia modern sebagai fenomena yang murni agama, tanpa kekuatan politik, untuk dapat mereorganisir sosial secara massif. Baginya, sekularisme Islam mencakup sekularisme radikal seperti yang diterapkan di Turki dan Albania, sekularisme agama seperti di Indonesia, dan sekularisme muslim seperti di Mesir pada dekade-dekade akhir abad ke-20. Lihat, Andrew Rippin, Muslim: Their Religious Beliefs and Practices. Volume 2: The Contemporary Period London and New York: Routledge, 1995, 35-6. 69 Pada dasarnya ada perbedaan makna antara sekularisasi dan sekularisme. Bagi Harvey Cox, sekularisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang memang bersifat dunia. Sekularisasi mengimplikasikan proses sejarah. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup closed metaphysical worldviews. Oleh karena itu, inti sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan. Menurut Donald Eugene Smith, sekularisasi ditandai dengan tiga hal: 1 Separasi atau pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan struktur- struktur eklesiastik; 2 Ekspansi politik dalam menjalankan fungsi-fungsi pengaturan di bidang sosio-ekonomi yang semula dijalankan oleh struktur agamagereja; dan 3 transvaluasi kultur politik yang menggarisbawahi pentingnya nilai-nilai yang rasional, pragmatik, dan non transendental. Sebaliknya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi atau sebuah pandangan hidup baru yang tertutup, yang fungsinya sangat mirip dengan agama. Baginya, Tuhan tidak berhak mengurus masalah-masalah dunia, sehingga dapat dikatakan bahwa ia tidak bertuhan dalam kehidupan duniawi. Ia hanya memperhatikan di sini dan kini, bukan dunia lain. Hanya saja, orang-orang yang berpaham keserbamencakupan Islam, memandang keduanya tidak jauh berbeda. Syed Muhammad Naquib al-Attas, misalnya, melihat bahwa sekularisasi, pada akhirnya, juga akan menjadi sekularisme. Lihat, Hamid Fahmi Zarkasi dkk., Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam Jakarta: Khairul Bayan, 2004, 40 dan 49-50; Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme , terjem. Karsidjo Djojosuwarno Bandung: Pustaka, 1981, 20-2 dan 65-7; Donald Eugene Smith, Agama, 91; Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan, 19 dan 207; dan M. Rusli Karim, M. Rusli Karim, Trend Perkembangan Masa Depan dan Peranan Umat Islam: Tinjauan Sosial Budaya dalam Rusjdi Hamka dan Rafiq Peny., Islam, 75. 70 Bagi Mus}t}afa Kemal Ataturk, penghapusan kekhalifahan berarti membebaskan Islam dari asosiasi-asosiasi tradisionalnya yang tidak bisa dinalar dan menyiapkan dasar bagi kemunculannya sebagai sebuah agama yang rasional. Arkoun mendukung sekulerisme dengan mengatakan bahwa sekularisme itu terdapat dalam pengalaman Madinah, bahwa negara Bani 268 sekularisme radikal berpendapat bahwa harus ada pemisahan antara ruang privat, tempat agama memainkan peran, dan ruang publik atau politik. Begitu masuk wilayah publik, agama, dalam pandangan mereka, akan tampak menjadi kendala dan menghambat proses modernisasi. 71 Namun, gelombang modernisasi juga menyeret dan melahirkan arus lain, yang berlawanan dengan arus sekularisme di atas. Ulama dan institusi-institusi Islam tradisional senantiasa tanggap terhadap segala isu atau pemikiran yang ingin membatasi keberlakuan Islam hanya dalam ruang privat. Bagi mereka, ajaran Islam itu serba mencakup dan berlaku di semua ruang, sehingga tidak mengenal dikotomi privat dan publik. Dengan segala otoritas yang dimilikinya, mereka berupaya menghadang dan menghentikan gerak laju kaum sekularis, karena isu yang diusung kaum sekularis itu, menurut mereka, diarahkan untuk merusak Islam. Al-Azhar, misalnya, pada 12 Agustus 1925 memutuskan untuk memecat ‘Ali ‘Abd al-Raziq dari keanggotaannya di Majelis Tinggi Ulama Hay’ah Kibar al-Ulama’ dan mencabut seluruh ijazah yang pernah diterimanya. 72 ‘Ali ‘Abd al-Raziq dipandang telah melakukan “dosa tidak terampuni” dengan menulis dan mempublikasikan buku al-Islam wa Us}ul al- H{ukm, yang antara lain menegaskan bahwa sistem pemerintahan, corak dan bentuk negara bukanlah Umayyah-‘Abbasiyah itu sekuler, dan bahwa semua rezim politik dalam masyarakat Islam pasca pembebasan mereka dari kolonialisme, secara de facto, adalah sekuler. ‘Ali ‘Abd al- Raziq menyerukan pemisahan total agama dari politik. Ahmad Lut}fi al-Sayyid mendukung pembangunan tatanan masyarakat atas dasar kepentingan bersama, bukan atas dasar agama. Sikap yang sama juga datang dari T{aha H{usayn. Ia berpendapat bahwa politik adalah sesuatu dan agama adalah sesuatu yang lain. Sistem pemerintahan dan pembentukan negara itu, menurutnya, didasarkan atas kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas sesuatu yang lain baca: agama. Lihat, Niyazi Berkes, The Development, 483; Suadi Putro, Mohammed Arkoun, 74-9; John Cooper dkk Ed., Islam and Modernity: Muslim Intelectual Respond London New York: I.B. Tauris, 2000, 144; ‘Izzat Qarni, Tarikh al-Fikr al-Siyasi wa al-Ijtima‘i fi Mis}r al- H{adithah 1834-1914 M Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2006, 624; dan T{aha H{usayn, Mustaqbal al-Thaqafah fi Misr Beirut: Dar al-Kutub al- Lubnani, 1973, 27. 71 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Bandung: Mizan, 1998, 157. 72 Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan Jakarta: Akbar, 2002, 41. 269 masalah agama, melainkan masalah duniawi semata, sehingga harus sepenuhnya diserahkan kepada nalar manusia. 73 Selain penentangan dari ulama dan institusi-institusi tradisional, gagasan-gagasan sekularisme juga mendapat gugatan dari banyak tokoh dan institusi modern, dari yang sangat tajam dan ekstrem sampai yang lebih moderat. Di Indonesia, misalnya, munculnya Nurcholish Madjid dengan pemikiran sekularisasinya mengundang sejumlah tanggapan dan komentar ketidaksetujuan dari tokoh-tokoh, seperti H. M. Rasjidi dan Amien Rais. Bagi Rasjidi, istilah sekularisasi atau sekularisme itu mengandung prinsip pemisahan antara persoalan dunia dan agama, sehingga keduanya harus dihilangkan. Menurutnya, agama bukan hanya untuk akhirat, melainkan juga untuk dunia. Akhirat hanya merupakan akibat dari hukum agama di dunia ini. 74 Pandangan yang tidak jauh berbeda juga disampaikan Amien Rais. Baginya, anjuran sekularisasi, misalnya untuk memperbaharui pemahaman Islam, tidak memiliki dasar di dalam Islam, dan akan memperparah kemerosotan umat. Tesis sekularisasi, menurutnya, tidak hanya ditentang di dunia muslim, tetapi di dunia Katholik dewasa ini pun semakin terdesak. 75 Islam tidak memberikan tempat bagi sekularisasi, karena agama wahyu ini tidak mengenal dikotomi antara kehidupan dunia dan akhirat, yang profan dan yang sakral, yang immanen dan yang transenden. Amien bahkan menegaskan bahwa sekularisme moderat atau radikal tidak memiliki tempat dalam agama Islam. 76 Mesir sendiri, sebagai tempat berlangsungnya sekularisasi secara institusional dan kultural terutama sejak paroh kedua abad ke-19, menyaksikan munculnya para tokoh yang menentang sekularisme. Bagi H{asan al-Banna 1906-1949, pendiri organisasi al-Ikhwan al-Muslimun IM, adalah salah bila orang memandang Islam hanya berurusan dengan masalah-masalah ritual dan 73 Suadi Putro, Mohammed Arkoun, 2. 74 H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi Jakarta: Bulan Bintang, 1977, 13-15. 75 Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta Bandung: Mizan, 1987, 15 dan 126. 76 John J. Donohue dan John L. Esposito peny., Islam, xxi. 270 spiritual. Islam itu, menurutnya, mengatur masalah-masalah dunia dan akhirat. “Islam itu ibadah dan kepemimpinan, agama dan negara, spiritual dan kerja, shalat dan jihad, ketaatan dan pemerintahan, dan kitab suci dan pedang,” tegasnya. 77 Sayyid Qutb 1906-1966 memiliki pandangan serupa. Ideolog utama IM ini melihat ketidakmungkinan pemisahan antara agama dan negara. Alasan utama atas eksistensi negara, menurutnya, adalah membangun masyarakat moral atas dasar ajaran-ajaran Tuhan. Baginya, politik seharusnya diarahkan untuk menghasilkan sistem niz}am Islami yang bertujuan merealisasikan kebaikan, dan menghasilkan prinsip-prinsip normatif dan penerapan berbagai solusi terhadap problem-problem sosial. 78 Pernyataan yang lebih keras datang dari Shaykh Muhammad al-Gazali w. 1996. “Orang yang menyerukan sekularisme berarti telah murtad dari agama Islam,” jawabnya ketika ditanya tentang pandangannya terhadap sekularisme. 79 Bahkan, sebagaimana yang disinyalir oleh P.J. Vatikiotis, pada tahun 1930-an beberapa intelektual, yang dulu mendukung sekularisme, telah mulai meninjau kembali dukungan mereka. 80 77 Halah Mus}t}afa, al-Islam al-Siyasi fi Mis}r: min H{arakah al-Is}lah} ila Jama‘at al-‘Unf al Ma’adi: al-Mah}rusah, 1999, 132-5. 78 Ahmad S. Moussalli, Radical Islamic Fundamentalism: The Ideological and Political Discourse of Sayyid Qutb Beirut: American University Beirut, 1992, 148. Lihat pula, John L. Esposito, Islam and Politics New York: Syracuse, 1998, 142. 79 Pandangan-pandangan serupa yang lebih belakangan juga muncul dari Muh}ammad Qutb dan Yusuf al-Qarad}awi. Dalam Islam, menurut Qutb, tidak ada lapangan yang keluar dari agama. Agama dalam Islam tidak hanya terbatas dalam akidah. Agama samawi yang diturunkan adalah akidah sekaligus syariah. Ia pun memandang sekularisme hanyalah alat untuk memberangus nurani umat muslim, sekaligus membelokkan kehidupan mereka jauh dari agama. Bagi Yusuf al-Qarad}awi, kaum sekularis menafikan ajaran Islam yang komprehensif dan menginginkan akidah tanpa syariat, ibadah tanpa muamalah, agama tanpa dunia, dakwah tanpa negara, dan kebenaran tanpa kekuatan. Ia bahkan dengan lantang menyatakan, “Islam yang benar pasti berpolitik. Jika Islam dipisahkan dari politik, berarti bukan Islam melainkan agama lain.” Lihat, Farag Foudah, H{iwar H{awl al-‘Almaniyah Kairo: al-Mustaqbal, 2005, 47; Muhammad Qutb dkk., Ancaman Sekularisme, 44-5; dan Yusuf al-Qarad}awi, Meluruskan Dikotomi Agama Politik: Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme , terjem. Khoirul Amru Harahap Jakarta: Pustaka al Kaustar, 2008, 64 dan 96. 80 Menurut P.J. Vatikiotis, tokoh-tokoh modernis terkemuka seperti T{aha H{usayn, Muh}ammad. H{usayn Haykal, dan Mah}mud ‘Abbas al-‘Aqqad pada tahun-tahun 1930-an telah cepat sekali mundur dari pendirian mereka dulu atas paham liberalisme sekuler dan dianutnya kebudayaan Eropa. Studi-studi mereka yang amat menghormati tokoh-tokoh pertama masyarakat Islam bernada permohonan maaf atas serangan-serangan sekuler rasional yang dulu mereka lakukan terhadap agama dan warisan kebudayaannya. Kecenderungan romantis pada sifat kepahlawanan Islam di masa pertamanya, kini telah menjadi ciri utama tulisan-tulisan mereka. Penilaian serupa juga dinyatakan oleh Seyyed Hossein Nasr bahwa setelah Perang Dunia II bahwa 271 Dalam novel-novel realis Najib, tema sekularisme ini juga mengemuka, sebagaimana tampak dalam uraian sebelumnya di bab IV tentang tipologi keberagamaan masyarakat Mesir. Tokoh-tokoh yang pro dan kontra terhadap sekularisme diberi ruang yang sama untuk menyampaikan pandangannya dengan leluasa. Bahkan, masing-masing dideskripsikan sebagai memiliki organisasi, media, juru bicara, dan calon penerusnya. Ini semua mengimplikasikan bahwa pada saat itu Najib telah memiliki “data” melimpah tentang dua kecenderungan yang bersebarangan tersebut, yang diperolehnya dari masyarakat Mesir di sekitarnya. Di sana ada tokoh-tokoh seperti ‘Ali T{aha QJ, Ah}mad Rashid KHAN, H{usayn Shaddad dan Aida Shaddad QS, dan Ustadh ‘Adli Karim, Ah}mad Shawkat, dan Susan H{ammad SU. Namun, pada saat yang sama ada pula tokoh-tokoh seperti Ma’mun Rid}wan QJ, dan Shaykh ‘Ali al-Manufi dan ‘Abd al-Mun‘im Shawkat SU. Tokoh-tokoh dalam kelompok pertama adalah orang-orang yang mendukung apa yang dikenal dengan “sekularisme” moderat atau radikal dan, dalam beberapa hal, menjalani kehidupan yang sekular, sedangkan tokoh-tokoh dalam kelompok terakhir adalah para penentang “sekularisme” atau para penuntut kesesuaian antara iman seseorang ruang privat dan perbuatannya di tengah masyarakat ruang publik. Bagi kelompok pertama, agama bukanlah bagian dari solusi atas berbagai problem kehidupan ketidakadilan sosial. Tatanan kehidupan sosial, politik, ekonomi seharusnya tidak dicari rujukannya dalam agama. Memberikan ruang pada agama dalam kehidupan modern ruang publik berarti --meminjam bahasa Susan H{ammad-- mencari solusi atas berbagai masalah kekinian dalam kekonoan. 81 Bagi orang-orang seperti ‘Ali T{aha QJ, Ah}mad Rashid KHAN, dan Ustadh ‘Adli Karim, Ah}mad Shawkat, dan Susan beberapa orang seperti T{aha H{usayn secara terbuka mengakui kesalahan dalam tulisan-tulisan mereka belakangan dan mengungkapkan kekuatiran serius tentang peradaban Barat dan hasil- hasilnya. Lihat, John L. Esposito Ed., Identitas Islam: pada Perubahan Sosial-Politik, terjem. Oleh A. Rahman Zainuddin Jakarta: Bulan Bintang, 1986, 108-9. Lihat pula, Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man London New York: Longman, 1975, 92. 81 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 261. 272 H{ammad SU, tatanan kehidupan itu haruslah didasarkan pada hasil dari nalar manusia, yang mencoba mengidentifikasi dan mencari solusi atas berbagai persoalan di tengah-tengah masyarakatnya, bukan pada agama yang nota bene merupakan produk masa lalu. Alih-alih memberikan solusi tepat bagi berbagai problem sosial kemasyarakatan, agama, menurut mereka, telah terbukti menimbulkan masalah baru dalam bentuk ketegangan dan konflik antar sesama manusia. Atas nama agama, darah sesama bisa tumpah, pembunuhan bisa terjadi, dan rivalitas politik yang tidak sehat dibangun. “Shaykh ‘Abd al-‘Aziz Jawish dulu pernah menganjurkan agar umat muslim membuat sepatu mereka dari kulit kami orang- orang Qibti,” kata Riyad Qaldas. 82 Issu agama, bagi Riyad Qaldas, sering dimanfaatkan oleh orang-orang fanatik, yang selalu ada dalam setiap agama, untuk memecah belah kesatuan bangsa Mesir. “Orang-orang fanatik kalian menganggap kami sebagai orang-orang kafir terlaknat. Orang-orang fanatik kami menganggap kalian sebagai orang-orang kafir perampas,” kata Riyad Qaldas kepada temannya, Kamal. 83 Dalam kelompok pertama ini ada dua macam sikap terhadap agama dan masyarakat beragama, yang tampaknya merepresentasikan dua bentuk sekularisme: radikal dan moderat. 84 Pertama, orang-orang yang memandang agama sebagai faktor penghambat modernisasi masyarakat Mesir, sehingga mereka tidak saja menolak agama sebagai sumber tatanan kehidupan masyarakat, tetapi juga memusuhi agama. ‘Ali T{aha QJ, Ah}mad Rashid KHAN, dan Ustadh ‘Adli Karim, Ah}mad Shawkat, dan Susan H{ammad SU adalah representasi dari orang-orang yang memiliki pandangan seperti ini. Menurut Ah}mad Rashid KHAN, ajaran-ajaran agama hanya dipenuhi oleh masalah- 82 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 150. 83 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 149. 84 Muh}ammad al-Bahi, seorang pemikir Islam dari Mesir, sebagaimana dinukil oleh Amien Rais, membagi sekularisme menjadi dua bentuk: sekularisme radikal, yang membenci dan berupaya menghapus agama, yang dianggapnya perintang kemajuan; dan sekularisme moderat, yang melihat agama sebagai urusan pribadi yang berkaitan dengan masalah ruhani manusia, dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan publik yang berkaitan dengan politik dan urusan materi. Lihat, Amien Rais, Cakrawala, 123-4. 273 masalah yang tidak mungkin dapat dicari pemecahannya, seperti Allah, hukum Tuhan, dan akal aktif, padahal masyarakat menghadapi berbagai masalah yang bisa dan harus dicari pemecahannya, seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan keterbelakangan. 85 Atau, dalam bahasa ‘Ali T{aha QJ, agama tidak mengatasi kejahatan dalam masyarakat dengan memperbaiki distribusi roti, tetapi --seperti kata Ma’mun Rid}wan-- hanya dengan iman kepada Tuhan. 86 Kedua, orang- orang yang tidak menunjukkan permusuhan dan kebenciannya kepada agama dan orang-orang beragama, tetapi juga tidak mempertimbangkan agama dalam kehidupan sehari-hari atau relasi sosialnya. Mereka, dalam novel-novel realis Najib direpresentasikan oleh antara lain ‘Abd al-Rah}im Pasha ‘Isa SU dan keluarga ‘Abd al H{amid Shaddad Bek QS. Bagi ‘Abd al-Rah}im Pasha ‘Isa, moral itu penting dalam kehidupan manusia. Hanya saja, moralitas itu, menurutnya, beragam, dan ia lebih mempertimbangkan moralitas yang diterima “masyarakat umum” daripada moralitas “agama.” Tidaklah aneh bila ia, tanpa merasa risih, menunaikan shalat terlebih dahulu sebelum berkencan dengan teman-teman homoseksualnya. 87 Demikian pula dengan keluarga ‘Abd al- H{amid Shaddad Bek. Dalam pesta pernikahan anak mereka, Aida, al-Qur’an dan sampanye berdampingan. Yang pertama diperdengarkan untuk mencari berkah, dan yang kedua dihidangkan untuk sebuah kesenangan. 88 Sebaliknya, bagi kelompok kedua, agama Islam adalah sebuah sistem ajaran yang sempurna dan bersifat total. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dan Tuhan saja, tetapi juga manusia dengan manusia. 89 Ia tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik, ruang privat dan publik atau dunia dan akhirat. Ia, bagi mereka yang dalam novel-novel realis Najib direpresentasikan oleh anggota al-Ikhwan al-Muslimun, tidak muncul hanya untuk tetap tinggal di pojok-pojok tempat ibadah. Ia muncul untuk bisa menguasai dan mengatur 85 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 46-7. 86 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah,209. 87 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 302-3 dan 141. 88 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 322. 89 Sidi Gazalba, Modernisasi, 41. 274 kehidupan, dan membentuk masyarakat sesuai dengan keseluruhan konsep tentang kehidupan yang diinginkannya, bukan hanya dengan mengajak dan membimbing saja, melainkan juga dengan menetapkan hukum-hukum dan aturan- aturan. 90 “Agama itu akidah, syariah, dan politik. Allah terlalu sayang untuk membiarkan masalah terpenting manusia, tanpa memberikan legislasi dan arahan,” kata Shaykh ‘Ali al-Manufi. 91 Bagi mereka, berbagai problem sosial, politik, dan ekonomi yang melanda umat itu bukan, seperti anggapan kaum sekularis di atas, akibat dari sifat ajaran Islam yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman, melainkan akibat dari pengabaian umat atas ajaran Islam tersebut. Yang diperlukan bukanlah mengimpor dan mengadopsi budaya dan isme-isme dari Barat, melainkan penerapan ajaran-ajaran Islam secara menyeluruh dalam semua bidang kehidupan. 92 Jika yang terakhir ini dilakukan, maka Islam akan menjadi solusi atau, dalam istilah Ma’mun Rid}wan QJ, balsem bagi semua penderitaan bangsanya. 93 Namun, jika pengabaian ajaran Islam yang terjadi, maka keterpurukanlah yang harus ditanggung umat. “Kita ini orang-orang Islam formalitas. Karena itu, kita harus menjadi muslim dengan tindakan nyata. Allah telah mengaruniahi kita kitab suci-Nya, tetapi kita mengabaikannya, sehingga kehinaan layak ditimpakan kepada kita,” kata Shaykh ‘Ali al-Manufi. 94 Pertanyaannya kemudian adalah di mana posisi Najib di antara dua pandangan yang sangat diametral ini. Apa pandangannya tentang Islam dalam kaitannya dengan politik? Tentang masyarakat Islam, apakah ia menganut pandangan dualisme keterpisahan agama dan negara sebagaimana yang diyakini oleh para pendukung sekularisme atau monisme agama dan negara adalah satu dan tidak bisa dipisahkan seperti yang diyakini orang-orang anti sekularisme? 90 John L. Esposito, Islam, 142. 91 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 84. 92 Tarmizi Taher et.al, Radikalisme Agama Jakarta: PPIM, 1998, 22-3. 93 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 45. 94 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 84. 275 Dalam konteks negara, bagaimana posisi agama yang diinginkan Najib? Apa bentuk negara yang didukungnya: negara sekular atau negara agama? Sebagaimana umumnya para modernis, Najib tampaknya meyakini bahwa dalam Islam terdapat ajaran yang absolut, kekal, tidak dapat berubah, dan mutlak benar. Ajaran ini, menurutnya, berkaitan dengan ibadah. Karena tetap dan memiliki batasan yang jelas, ajaran ini tidak terlalu sulit untuk dipahami dan disosialisasikan atau diajarkan. Di samping itu, bagi Najib, dalam Islam juga terdapat ajaran yang berkaitan dengan muamalah. Apabila ajaran pertama memiliki sifat tidak berubah, maka ajaran kedua ini menerima perubahan, mengingat dunia manusia dan kehidupan terus berjalan tanpa henti seiring dengan terus berjalannya waktu. Karena terus berubah, ajaran kedua ini tidak mudah dipahami dan diajarkan. Di sini, dalam pandangan Najib, diperlukan sebuah upaya keras atau “ijtihad” untuk menampilkan Islam, sebagaimana yang diyakininya, agar “s}alih} li kulli zaman wa makan” cocok dengan semua ruang dan waktu. 95 Tanpa praktik ijtihad ini, umat Islam akan terus mengalami ketertinggalan. Dalam hal ini, Najib pernah berkata: 96 “Islam itu pada dasarnya sesuai untuk semua zaman, karena ia memiliki potensi dan fleksibilitas untuk berkembang. Dan, ini hanya berlangsung dengan ijtihad .. Ada ajaran-ajaran Islam yang abadi dan tidak berubah, seperti beribadah dan berpasrah diri kepada Allah, dan pembagian waris. Namun, berkenaan dengan muamalah dalam keluarga, masyarakat, dan ekonomi, muncul banyak hal baru yang memerlukan semacam ijtihad. Ada hal-hal yang harus mengacu pada sumber yang jelas, dan ada hal-hal yang memerlukan ijtihad menurut ajaran-ajaran dasar ini agar sesuai dengan semangat zaman.” 95 Mus}t}afa Muh}ammad Musa, Najib Mahfuz} .. Nobel: H{awl al-Mujrim, wa al-Jarimah, wa al-Z{awahir al-Ijramiyah Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2005, 143-4. 96 مﻼﺳﻹاو ﺔ ﻴ ﺳﺎ آ ﺮ ﻷ ﻚ ﺔ ﺎﻄ ا ﺔ وﺮ او رﻮﻄ اﺬهو ﻰ ﺄ إ دﺎﻬ ﺎ .. كﺎ ﻬ ئدﺎ ﻣ ﺔﻴﻣﻼﺳإ ةﺪ ﺎ ﺮﻴ ﺜﻣ ةدﺎ ا ﻴ او ﷲ ﺪ و ﺜﻣو ، ﺋاﺮ ا ﻜ ﺎ ﻴ تﻼﻣﺎ ﺎ ﻰ ةﺮﺳﻷا ﻰ و ا ﻰ و دﺎ ا تﺄ ءﺎﻴ أ ةﺪ ﺪ جﺎ ﻰ إ عﻮ ﻣ دﺎﻬ ا . كﺎ ﻬ ءﺎﻴ أ ﺪ ﻣ عﻮ ﺮ ا ﻰ إ ا ﻰ ﺎ ا . ءﺎﻴ أو نﻮﻜ ﺎﻬﻴ دﺎﻬ ا ﻰ ءﻮﺿ ﺬه ئدﺎ ا ﺎ اﻮ حور ﺮ ا . Lihat, Siham Dhihni, Thartharah, 129 dan 137-8. 276 Pernyataan Najib ini, paling tidak, ingin menunjukkan satu hal. Islam itu bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya atau hanya berurusan dengan akhirat saja, melainkan juga memberikan prinsip-prinsip dasar bagi hubungan manusia dengan manusia dan alam di dunia ini. “Di antara nikmat Allah kepada kita adalah bahwa agama kita itu agama dunia, sebagaimana juga agama akhirat, yang mendorong pengelolaan bumi, menghargai ilmu pengetahuan, dan menganggap kerja sebagai ibadah, di samping menjadi rah}matan lil‘alamin karena mengakui hak-hak asasi manusia dan persamaan antar pemeluk agama,” kata Najib. 97 Di sini terlihat bahwa Najib pada dasarnya sependapat dengan orang- orang yang mengatakan bahwa dalam Islam pemisahan masalah akhirat dari masalah dunia dan masalah perseorangan dari masalah sosial adalah sesuatu yang tidak mungkin. Islam adalah sekaligus akidah kepercayaan dan syariah ajaran hidup. Islam adalah integrasi mutlak agama dan cara hidup. 98 Oleh karena itu, dalam novel-novel realisnya, ia tidak bersimpati dengan tokoh-tokoh yang asyik dengan kehidupan spiritualnya, tetapi melupakan tanggung jawab sosialnya. Jalan yang mereka ambil itu dilukiskan Najib sebagai sebuah pelarian, 99 yang berimplikasi tidak baik bagi diri, keluarga, dan masyarakat mereka. Misalnya, Shaykh Darwish dalam ZM menggantungkan hidupnya pada sedekah dari orang lain, setelah ia memutuskan untuk meninggalkan keluarga, saudara, dan temannya menuju “dunia Allah.” 100 ‘Akif Afandi Ah}mad dalam KHAN menyerahkan semua urusan keluarga kepada istri dan anaknya, Ah}mad ‘Akif, setelah dipensiunkan dini akibat tindakan indisiplinernya dan memilih mengabdikan hidupnya untuk beribadah dan membaca al-Qur’an. Akibatnya, anak sulungnya, Ah}mad ‘Akif, harus mengubur mimpinya untuk melanjutkan studinya ke perguruan tinggi dan rela menjadi pegawai negeri golongan rendah untuk 97 Mus}t}afa Muh}ammad Musa, Najib Mahfuz} .. Nobel, 141. 98 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan, 180. 99 “Ia ‘Akif Afandi Ah}mad pun mengisolisi diri dari masyarakat dan dunia. Ia memilih ibadah sebagai tempat perlindungan dan tempat tinggal.” Lihat, Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 20. 100 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 16. 277 membiayai keluarganya. Tidak hanya itu, anak bungsunya, Rushdi ‘Akif, menjadi “tersesat jalan” dengan suka memperturutkan hawa nafsunya: berjudi, minum minuman keras, dan terperosok pada immoralitas. 101 Bahkan, al-Sayyid Rid}wan al-H{usayni, yang dilukiskan sebagai sosok yang saleh dalam ZM, menyadari keterlibatan dirinya dalam tindakan kriminal yang dilakukan para tetangganya, dua orang di antaranya sedang dipenjara, karena ia asyik dengan kesenangan dunia pribadinya. Ia pun merasa bersalah dan ingin bertaubat kepada Tuhan dengan menunaikan ibadah Haji. Bila kelak dapat pulang ke Kairo dengan selamat, ia ingin memperbaharui kesalehan spiritual dan individualnya dengan memberinya warna “kesalehan dan komitmen sosial.” 102 Dengan demikian, tidaklah masuk akal bila Najib mengeyampingkan agama dari kehidupan publik, termasuk kehidupan politik. Agama dan politik atau agama dan negara adalah satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana ia tidak bersimpati dengan beragama yang minus komitmen sosial, ia juga tidak menunjukkan simpatinya kepada, meminjam istilah Fahmi Huwaydi, keberagamaan “minus atau tidak sempurna,” sebuah keberagamaan yang memisahkan dunia dari nilai-nilai agama dan memisahkan kemanusiaan dari ketuhanan. 103 Hanya saja, ketercakupan dunia dalam agama ini tampaknya oleh Najib diletakkan dalam bingkai “nilai-nilai universal” agama Islam. Ada beberapa nilai dalam Islam yang, menurutnya, dapat berlaku di seluruh zaman dan tempat, yaitu: 1 pilar utama iman, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan, kecuali Allah. Ini berarti 101 Mengenai sebab kesesatan Rushdi ‘Akif ini, Najib melukiskan: و ﺪ ىﺪ ر ﺬه ﺰ ﺰ ا مﺰ ا يﺬ ا ﺪ ﺮ ، و ﻀ ﻴ ا ﻂ ﺨ و ﻰ ﺮﻴ ،ىﺪه ﻮ و ﺔ ﺎﻣد ، ﺔ رو ، ﺎ ﺮ زوﺎ ﺪﺳﺎ ﻣ تاﻮﻬ ا ﻰ ا ﻚ ﺎﻬﻣ ﺋاﺮ ا . “Dalam kedua sosok tercinta ini Ah}mad ‘Akif dan ‘Akif Afandi Ah}mad, Rushdi tidak mendapatkan ketegasan yang bisa menuntunnya ke jalan yang benar dan melindunginya dari keburukan, sehingga ia menjadi tersesat jalan dan bingung tanpa petunjuk. Jika bukan karena kelembutan watak dan sifatnya, barangkali ia telah melewati batas kebejatan nafsu kepada perangkap kriminalitas.” Lihat, Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al- Kamilah, 11-12, 19, 62, dan 84. 102 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq 273-4. 103 Fahmi Huwaydi, al-Tadayyun al-Manqus} Beirut dan Kairo: Dar al-Shuruq, 1994, 11. 278 pembebasan manusia dari perbudakan atau kekuasaan dunia; 2 Islam mendorong perkembangan ilmu pengetahuan; 3 Islam menyerukan berpikir dan merenung, dan menghargai akal; 4 Islam menginginkan kerja nyata; 5 Islam memandang semua manusia itu sejajar dan tidak membedakan manusia atas dasar ras, warna kulit atau kelas; dan 6 Islam menghormati seluruh agama. Bagi Najib, orang muslim yang benar adalah yang bebas, tidak diperbudak oleh individu, sistem atau keinginan; yang berilmu atau mencintai ilmu dan ilmuwan; yang menjadikan berpikir sebagai suluh dalam kehidupannya; yang bekerja keras dan profesional; yang menghargai manusia karena kemanusiaan, ketakwaan, dan perilakunya; dan yang hidup berdampingan secara damai dengan semua pemeluk agama. 104 Atas dasar ini, Najib memiliki pandangan yang unik tentang agama dan negara. Menurutnya, setiap pemerintahan agaknya bisa disebut sebagai pemerintahan agama, dalam arti bahwa kekuasaan bukan ada di tangan tokoh- tokoh agama, seseorang yang mengaku ma’s}um terbebas dari kesalahan dan dosa atau wakil Tuhan di bumi atau kedok kediktatoran yang lain, melainkan dari sisi muatan moralnya, yang harus selalu menjadi dasar dalam tata kelolah dan legislasinya. Bahkan, menurut Najib, konstitusi Sovyet juga mengandung nilai- nilai agama, seperti persamaan, keadilan, dan sanksi-sanksi hukumnya meskipun ketika diimplementasikan, terdapat jurang lebar antara yang seharusnya dan yang ada. 105 Di sini, tampak bahwa dalam melihat hubungan agama dan negara, Najib lebih memilih pendekatan esensialis atau substansialis. 106 Ia lebih mengutamakan 104 Najib Mah}fuz}, H{awla al-Tadayyun wa al-Tat}arruf Kairo: al-Dar al- Mis}riyah al- Lubnaniyah, 31-2. 105 Mus}t}afa Muh}ammad Musa, Najib Mahfuz} .. Nobel, 142. 106 Menurut Azyumardi Azra, ada tiga pola artikulasi keberagamaan di kalangan umat Islam: subtansialisme, formalisme atau legalisme, dan spiritualisme. Yang pertama lebih mementingkan substansi atau isi daripada label atau simbol-simbol eksplisit tertentu yang berkaitan dengan agama. Para substansialis lebih concern pada pengembangan dan penerapan nilai-nilai Islam secara implisit saja di dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan daripada simbol-simbol. Yang kedua lebih menekankan pada sifat eksklusif yang sebenarnya inheren dalam setiap agama, dan pada ketaatan formal dan hukum agama, yang dalam konteks kehidupan kemasyarakatan sering diekspresikan dalam simbol keagamaan yang lahiriyah. Yang ketiga lebih menekankan pada pengembangan sikap batiniah, yang dapat dicapai melalui keikutsertaan di dalam kelompok-kelompok eksklusif tasawuf atau tarekat. Lihat, Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam Jakarta: Paramadina, 1999, 8-10. 279 isi, bukan bentuk formal, negara yang dijalankan dengan etika dan moralitas yang tidak bertentangan danatau diilhami oleh substansi ajaran agama. Dalam konteks berbangsa dan bernegara di Mesir, ia lebih mendukung penerapan nilai-nilai universal ini ketimbang menyerukan labelisasi “Islam” dalam struktur politik. Partai Islam, negara Islam, konstitusi Islam, dan label-label formal lain bukan menjadi preferensinya. Ada dua hal yang memperkuat sinyalemen ini. Pertama, ia menolak gagasan agar tokoh agama yang menjadi pemimpin negara. Baginya, dalam Islam tidak ada seruan agar seorang tokoh agama menjalankan urusan pemerintahan, karena pemilihan penguasa pertama setelah Nabi, Abu Bakar, itu bersifat politis, bukan agamis. Adanya perselisihan pada pemilihan setiap khalifah setelah Nabi di satu sisi dan tidak adanya perselisihan atas shalat di sisi lain merupakan salah satu bukti dari sifat politis pemilihan ini. Setelah negara Islam berdiri dan secara geografis meluas, tata kelolanya dijalankan oleh para penguasa militer, bukan tokoh-tokoh agama. Bahkan, Najib berpendapat bahwa mendirikan negara agama yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama itu jauh lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya. Di bawah kekuasaan mereka, rasionalitas dan bahkan agama, dalam pandangannya, akan terancam. Selain itu, pengkafiran, penghukuman atau bahkan pembunuhan orang dengan alasan-alasan yang tidak jelas akan muncul. Kedua, di saat ada orang-orang yang selama ini dikenal berada di sayap kiri, seperti ‘Adil H{usayn dan T{ariq al-Bushra, menyerukan penegakan negara agama di Mesir, Najib berpandangan bahwa Mesir sebaiknya tetap menjadi negara sekuler, yang konstitusinya mengambil spirit agama dan didasarkan pada prinsip-prinsip ijtihad dan keselarasan dengan perkembangan zaman. Di sini, ia menunjukkan bukti-bukti bahwa meskipun Mesir, secara formal, bukanlah negara agama, melainkan negara Republik dengan sistem demokrasi, 107 pemerintahan Mesir itu secara substansial bisa disebut sebagai 107 Perlu diingat bahwa bentuk negara republik dengan sistem demokrasi ini dideklerasikan Mesir setelah Revolusi Juli 1952 atau, persisnya, pada 18 Juni 1953. Sebelumnya, 280 “agamis” al-h}ukumah al-diniyah. Pemerintah Mesir memiliki kepedulian terhadap pengajaran syiar-syiar Islam, mendirikan masjid-masjid, dan mengkhususkan satu kementerian yang bertugas memberi nasehat, bimbingan, dan penyebaran Islam. 108 Bahkan, menurut Najib, kenyataan ini telah dikukuhkan oleh hasil pengamatan seorang pemikir Islam, Khalid Muh}ammad Khalid, bahwa 80 konstitusi Mesir itu diilhami oleh syariat Islam. Masalah- masalah pernikahan, talak, waris, dan perdata semuanya sesuai dengan syariat Islam. 109 Dari sinilah, potret atas tokoh-tokoh fiktif Najib dalam novel-novel realisnya, yang menghadirkan dua arus utama dalam melihat hubungan antara agama dan politik atau hubungan antara agama dan negara, seharusnya dilihat. Tampaknya, Najib bersimpati dengan tokoh-tokoh seperti Ma’mun Rid}wan QJ dan ‘Abd al-Mun‘im Shawkat SU atas ketaatannya menjalankan ritual agama dan komitmen moralnya, baik individual maupun sosial; bukan atas kekukuhannya untuk menampilkan Islam formalis, seperti memelihara jenggot, konstitusi Islam, dan negara Islam. Tentang Ma’mun Rid}wan, narator QJ melukiskan: 110 نﺎآ اﺮﻴ ﺿ ،ﺎﻴ ةﺮ ﺮﺳو ،ﺔﻴ ﺎ نﺎآ ﺎ ﺎ ﺨﻣ ﺪ ﺪ ا ا نﺎ ﻹاو ﺳاﺮ ا ﺨ او ﻮ ا ... ﻰ أ ﺨ ﻣ ةﺪ و . Mesir menganut sistem monarkhi konstitusional sebagaimana tersebut dalam Konstitusi 1923. Dalam pasal 149 Konstitusi 19223 ini, memang dinyatakan bahwa “Islam adalah agama negara’ Islam is the religion of state, tetapi tidak jelas apa yang dimaksudkannya dalam praksisnya. Konstitusi hanya meminta raja untuk menaati konstitusi dan “hukum-hukum masyarakat Mesir” the laws of the Egyptian People, bukan aturanhukum syariah. Ia tidak secara eksplisit meminta pemerintah untuk menjamin bahwa hukum yang dipaksakannya itu “hukum islam.” Pendek kata, pemerintah diizinkan, tetapi bukan dituntut, untuk menjamin bahwa hukum Mesir itu sesuai dengan hukum Islam. Dan faktanya, raja atau parlemen pada 1920-an atau 1930-an tampak tidak melakukan upaya serius untuk menjamin bahwa hukum yang berlaku itu hukum Islam. Lihat, Clark B. Lombardi, State Law as Islamic Law in Modern Egypt: The Incorporation of the Shari‘a into Egyptian Constitutional Law Leiden: Brill, 2006, 102. 108 Kementerian dimaksud adalah departemen awqaf wakaf. Di kementerian inilah Najib, sebagaimana yang telah disebutkan dalam bab II sebelumnya, pernah bekerja sebagai PNS selama 15 tahun. 109 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 283-4. 110 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 12-3: “Ia Ma’mun Rid}wan itu memiliki nurani yang bersih, jiwa yang jernih, dan hati yang tulus mencari agama yang benar, iman yang kuat, dan akhlak yang lurus ... Hanya saja, ia fanatik dan keras.” 281 “Agama itu baik. Tapi, apa perlunya jenggot yang membuatmu tampak seperti penjual kuskusi itu,” tanya Khadijah dengan sinis kepada anaknya, ‘Abd al- Mun‘im. 111 Di tempat lain, Khadijah mengomentari keberagamaan anak tersebut, “Aku kagum dengan keberagamaannya. Itu memang sudah mendarah daging dalam keluarga kita. Tapi, aku tidak kagum dengan jenggotnya.” 112 Sebaliknya, Najib tampak bersimpati pada tokoh-tokoh seperti ‘Ali T{aha QJ, Ah}mad Rashid KHAN, Ah}mad Ibrahim Shawkat dan Susan H{ammad SU karena pandangan-pandangan kritis mereka terhadap realitas dan upaya mereka untuk mencari solusi-solusi konkret atas berbagai problem yang dihadapi bangsanya. Dalam novel-novel realisnya, Najib menampilkan mereka sebagai tokoh-tokoh yang cerdas, optimis, dan memiliki spirit sosial. “Teman kita ‘Ali T{aha itu sebenarnya tulus dan bersemangat. Ia telah mengenyampingkan kehidupan yang nyaman untuk mengajak orang mengikuti idealismenya meskipun itu berat dan berisiko,” kata Ah{mad Badir mengomentari sikap ‘Ali T{aha yang menanggalkan status PNSnya dan memilih mengelola majalah mingguan untuk menyerukan reformasi sosial. Bahkan, tindakannya itu dianggap Mah}jub ‘Abd al-Da’im sebagai tindakan gila, “Seringkali ‘Ali T{aha dulu di asrama mahasiswa berbicara kepada kita tentang prinsip-prinsipnya. Pembicaraan itu hanya satu bentuk obrolan. Tapi, jika orang meninggalkan pekerjaannya dan menjadikan obrolan prinsipnya sebagai tindakan yang bisa menyeretnya ke sel-sel penjara, maka itu adalah tindakan yang tidak kalah gila. Teman kita tidaklah gila, tetapi mengapa ia melakukan ini?” 113 Namun, Najib tidak menunjukkan simpatinya kepada tokoh-tokoh ini atas pengabaian mereka terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama. Ia dalam KHAN seolah-olah bersama Ah}mad ‘Akif ketika yang terakhir ini menganggap rendah dan merasa lebih baik dari Ah}mad Rashid karena tidak perlu bersusah payah menahan rasa lapar dan dahaga seperti dirinya di bulan puasa. 114 Najib dalam 111 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 276. 112 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 280. 113 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 164-5. 114 Lihat, Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah, 61-2. 282 SU juga seolah-olah berada di pihak Khadijah dan ‘Abd al-Mun‘im ketika mereka menggugat sikap Ah}mad yang tidak lagi menunaikan shalat dan puasa: 115 - ، ﺳا ﻰ ﻬ ا ،ﺪ او ﻮه نأ دﻮ ﻰ إ ةﻼ ا ﻰ ﻣ ... تﺰﻬ ﺔ ﺪ ﺎﻬﺳأر ﺳﺄ ﻰهو لﻮ : - قﺪ ،كﻮ أ سﺎ ا ﺮ ﻜ ﺎﻣأ أ ذﻮ ﺄ ﷲﺎ ﻣ ،ﻚ ﻰ كﻮ أ ﻰ ،مﺎ و ﻴﻜ ﻚ ﺎﻣ ؟ ﻰ إ لءﺎ أ ﻴ رﺎﻬ

C. Nasionalisme dan Pan-Islamisme