Riwayat Hidup Najib Mah}fuz}

BAB II KEHIDUPAN DAN KESASTRAWANAN NAJIB MAH{FUZ}

“Inn al-adab bi qadr ma tamnah}uh bi qadr ma yu‘t}ik” 1 Jamal al-Ghit}ani dari salah seorang temannya Ungkapan teman al-Ghit}ani bahwa sastra akan memberinya sesuatu sebesar yang telah diberikannya kepada sastra itu tampaknya cukup bisa mewakili apa yang akan diuraikan dalam bab ini tentang Najib Mah}fuz} dan dunia sastra yang digelutinya. Bagaimana Najib Mah}fuz} tumbuh dan besar, sehingga ia sangat peduli dengan kondisi bangsanya? Dalam lingkungan keluarga, kelas sosial, dan bangsa seperti apa ia muncul? Bagaimana ia mempercayai sastra sepenuhnya sebagai medianya untuk turut andil dalam mengidentifikasi dan menawarkan solusi bagi berbagai problematika bangsanya? Apa imbalan yang diberikan sastra kepadanya? Semua pertanyaan ini akan dicoba dicari jawabannya dalam empat sub bab berikut: riwayat hidup Najib Mah}fuz}; Najib Mah}fuz} dan kelas menengah Mesir; Najib Mah}fuz} dan karya-karyanya; stile sastra Najib Mah}fuz}.

A. Riwayat Hidup Najib Mah}fuz}

Najib Mah}fuz} selanjutnya akan disebut Najib saja lahir pada Hari Senin 11 Desember 1911 di al-Jamaliyah, salah satu distrik di jantung kota Kairo Lama al-Qahirah al-Qadimah Mu‘izziyah, di samping al-Azhar, dekat makam Imam H{usayn, berdampingan dengan distrik Ghuriyah, dan tidak jauh dari kawasan Darasah dan Muski. Distrik kelahiran Najib ini dihuni oleh masyarakat dengan beragam status sosial dan intelektual: ada yang jenius dan ada yang tertinggal; ada yang kaya dan ada yang miskin peminta-minta. 2 1 Jamal al-Ghit}ani, Najib Mah}fuz} Yatadhakkar Beirut: Dar al-Masirah, 1980, 6. 2 Distrik hayy al-Jamaliyah merupakan jantung Kairo Lama yang dibangun oleh Jauhar al-S{aqli lebih dari 1000 tahun yang lalu. Di distrik lama ini hidup anak-anak bangsa, generasi demi generasi, terutama mereka yang tidak pindah ke distrik-distrik aristokrat yang 45 Sastrawan yang tidak banyak berbicara tentang kehidupan pribadinya ini merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara, empat perempuan dan tiga laki- laki, dan jarak antara dia dan kakaknya langsung adalah 10 tahun. Karena keempat saudara perempuannya telah menikah, dan kedua saudara laki-lakinya tidak tinggal di rumah yang satu menjadi perwira dan pergi ke Sudan, dan yang satu lagi bergelut dengan alam dan kimia, maka ia hidup dalam suasana tanpa belas kasih saudara, suasana kaku dan tradisional, tempat ayah dan ibu disakralkan. Suasana rumah diselimuti iklim agama yang keras, juga spirit orang- orang dewasa, suasana tanpa persahabatan, satu hal yang membuat persahabatan memainkan peran besar dalam hidupnya kelak. Di samping suasana agama yang keras dan tradisional, di rumah ayahnya, ‘Abd al-‘Aziz Ibrahim Ah}mad Pasha 1870-1937, selalu berbicara dengan bersemangat tentang para pahlawan negara dan mengikuti berita mereka dengan penuh perhatian. 3 Ayahnya seorang pegawai rendahan, lalu setelah pensiun bekerja di pabrik. Meskipun hidup dalam suasana agamis, nasionalis, dan dalam spirit orang-orang dewasa, Najib menjalani hidup masa kecil secara alami, tenang, dan stabil. 4 Sang ayah bukanlah pemabuk, pejudi, keras atau sewenang-wenang. Ia memang sangat disiplin dan teratur. Sehabis kerja ia pulang dan tetap duduk di rumah, dan baru tidur setelah makan malam. Di sela-sela itu, ia menghabiskan waktunya dengan shalat, membaca al-Qur’an, dan diam. Namun, ia toleran, fleksibel dan demokratis. 5 Sang ibu, Fat}imah w. 1968, juga bukan perempuan majnunah atau “gila,” pengkhianat atau terceraikan. Bahkan, dalam beberapa hal, seperti toleransi dan penghargaan terhadap budaya bangsa, Najib lebih muncul awal abad ke-20, seperti al-H{ilmiyah dan al-‘Abbasiyah, atau distrik-distrik aristokrat baru yang lahir pada tahun 1930-an dan 1940-an, seperti Garden City dan al-Zamalik. Lihat, Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah: Qira’ah fi ‘Aql Najib Mah{fuz} Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mis}riyah, 1994, 19. Lihat pula, Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz } Kairo: Dar al-Shuruq, 2006, 17. 3 Jamal al-Ghit}ani, Najib Mah}fuz} Yatadhakkar, 9 dan 14. 4 ‘Abd al-Muh}sin T{aha Badar, Najib Mah}fuz}: Ru’yah wa al-Adah Kairo: Dar al-Thaqafah, 1978, 81-3. 5 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at min Mudhakkiratih wa Ad}wa’ Jadidah ‘ala Adabih wa H{ayatih Kairo: Markaz al-Ahram, 1998, 18-21. 46 banyak belajar dan dipengaruhi oleh sang ibu daripada oleh sang ayah yang sibuk bekerja di luar rumah. Bagi Najib, sang ibu, yang tidak bisa membaca dan menulis, adalah gudang budaya rakyat. Ia terus mengunjungi al-H{usayn dan, apabila ditemani Najib, ia menyuruhnya membaca al-Fatih}ah di saat masuk masjid dan mencium makamnya. Ia juga selalu mengunjungi Museum Mesir dan suka menghabiskan waktu cukup lama di ruang mumi, satu kebiasaan yang tidak bisa dipahami Najib mengingat sang ibu, yang tidak pernah menonton televisi dan hanya sekali pergi ke bioskop menonton film “Z{uhur al-Islam” karena mendengar sama nilainya dengan menunaikan ibadah Haji, begitu cinta pada al- H{usayn dan peninggalan-peninggalan Islam yang sepatutnya membuatnya tidak menyukai patung-patung Fir’aun. Dengan semangat yang sama ia juga mengunjungi peninggalan-peninggalan Qibti, terutama biara Mar Gisgis dan menganggap itu semacam berkah, sehingga terjalin persahabatan antara ia dan para biarawati. Saat sang ibu sakit, para biarawati menjenguknya ke rumah. Najib mengaku dirinya terpengaruh dengan toleransi yang indah ini, karena, menurutnya, rakyat Mesir tidak kenal fanatisme, dan inilah ruh Islam yang sebenarnya. 6 Setelah revolusi, persisnya tahun 1920, ia pindah dari al-Jamaliyah ke al-‘Abbasiyah mengikuti keluarganya. 7 Meskipun telah pindah ke al- ‘Abbasiyah, ia masih selalu bolak-balik ke al-H{usayn. Kecintaannya pada daerah ini diwarisinya dari ibunya. Setiap hari sang ibu, dengan naik delman, pergi dari al-‘Abbasiyah mengunjungi al-H{usayn dan kerabatnya, lalu pulang. Sepanjang hidupnya, sang ibu tidak pernah meninggalkan kebiasaan ini. 8 6 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 14-17. 7 Di awal abad ke-20 distrik al-‘Abbasiyah merupakan perluasan permukiman yang baru muncul. Pada awalnya keluarga-keluarga aristokrat yang mampu membangun rumah-rumah mewah pindah ke sana, lalu kelas menengah yang antara lain keluarga Najib. Lihat, Raja’ al- Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz}, 18. 8 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 14. 47 Pendidikan formal sosok yang sampai sekolah menengah gemar bermain bola ini berawal dari tahun 1915, saat ia masuk Kuttab Shaykh Buh}ayri, 9 lalu Sekolah Dasar H{usayn dan Sekolah Menengah Fu’ad I. Ia menonjol dalam bidang pelajaran sejarah, bahasa Arab, matematika, tetapi lemah dalam bahasa Inggris. Untuk mengatasi kelemahan ini, ia menerjemahkan buku “Mis}r al- Qadimah ” dari bahasa Inggris. 10 Ia pun berhasil meraih gelar Bachelor tahun 1930. Sebenarnya, karena lulus dengan peringkat 20 di sekolahnya dan kelulusannya 60 , ia bisa masuk fakultas hukum dengan gratis, fakultas yang juga menjadi harapan ayahnya di samping fakultas kedokteran, karena sang ayah menginginkannya menjadi jaksa atau dokter. 11 Namun, ia memilih melanjutkan studi ke Fakultas Sastra Universitas Kairo, 12 Jurusan Filsafat, sebuah pilihan yang telah diincarnya sejak masih duduk di sekolah menengah dan dimotivasi oleh para pemikir yang cenderung pada pemikiran filosofis, seperti Salamah Musa dan T{aha H{usayn. 13 Ia lulus tahun 1934 dengan medali, karena ia diterima sebagai mahasiswa pascasarjana. Ia lalu mempersiapkan untuk menulis tesis MA tentang “konsep 9 Kuttab saat itu merupakan lembaga pendidikan penting karena menjadi tempat pengajaran dasar-dasar baca-tulis dan menghapal al-Qur’an. Keahlian ini diperlukan saat mengikuti ujian masuk sekolah dasar. Lihat, Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 31. 10 Kelemahannya ini menyulitkannya mengikuti kuliah-kuliah di Jurusan Filsafat yang disampaikan dalam bahasa Perancis dan Inggris. Ia pun harus bekerja sungguh-sungguh, dan atas saran saudaranya, ia mengembangkan bahasa Inggrisnya dengan menerjemahkan ke dalam bahasa Arab Mis}r al-Qadimah yang dipublikasikan tahun 1932 di majallah al-jadidah. Buku ini merupakan pengantar yang ringkas dan popular karya James Baikie. Lihat, ‘Abd al-Muh}sin T{aha Badar, Najib Mah}fuz}: Ru’yah, 83. Lihat pula, Sasson Somekh, The Changing Rhythm: A Study of Najîb Mah}fûz}’s Novels Leiden: E.J. Brill, 1973, 42. 11 Najib Mah}fuz}: Ru’yah, 20. 12 Kini bernama Jami‘ah al-Qahirah Cairo University, sebuah universitas negeri ternama di Mesir. Universitas ini didirikan pertama kali sebagai al-jami‘ah al-ahliyah, universitas swasta, saat Sa‘ad Zaglul Pasya menjabat sebagai menteri pendidikan pada tahun 1906 di masa pemerintahan Khedive ‘Abbas H{ilmi II 1892-1914 M, dan diketuai oleh Pangeran Fu’ad. Universitas ini merupakan sarang aktifitas politik, dan semua trend kecenderungan sosial, politik, dan agama mendapatkan para pengikut di kalangan mahasiswa. Bagian-bagian pembuka novel al-Qahirah al-Jadidah memberikan gambaran yangg jelas tentang kehidupan dan aspirasi-aspirasi mahasiswa-mahasiswa ini. Lihat, ‘Ali Salamah al-Jamal, Mudhakkirat Tarikh Mis}r: al-Qadim wa al-Jadid Kairo: Dar al- Fikr al-‘Arabi, 1997, 60 dan 63. Lihat pula, Sasson Somekh, The Changing Rhythm, 40. 13 Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah, 21. 48 estetika dalam filsafat Islam” di bawah bimbingan Shaikh Mus}t}afa ‘Abd al- Raziq guru besar filsafat, menteri wakaf, dan shaykh al-Azhar. Hanya saja, ia akhirnya pada tahun 1936 meninggalkan studi filsafat setelah mengalami pergumulan batin, antara terus melanjutkan studi di bidang filsafat dan menekuni sastra. 14 Sebelumnya, ia menganggap sastra bukan tujuan serius, dan filsafat lebih mampu mengungkap hakikat, di samping milieu Mesir tidak mempedulikan sastra. Ia pun menyembunyikan karya sastranya, bahkan setelah menjadi “PNS,” agar tidak menerima ejekan. 15 Untuk selanjutnya, ia memusatkan energinya pada sastra yang diibaratkannya seperti buah dalam hidangan makanan, semula sekunder lalu menjadi primer. Namun, yang ditinggalkan Najib adalah filsafat sebagai bidang kajian, bukan sebagai pemikiran. Dengan kata lain, krisis pergulatan batin Najib bukanlah antara pemikiran filosofis dan sastra, melainkan antara interes-interes teoritis dan atensi-atensi praktis. Ia sepanjang hidupnya sama sekali tidak pernah lepas dari pemikiran filosofis, tetapi ia mempertautkan pemikiran ini dengan interes dan atensi masyarakat Mesir. Mesir dan orang-orang Mesirlah area dinamis bagi aplikasi-aplikasi, tempat ia menggabungkan antara pemikiran- pemikiran filosofisnya dan kemampuan-kemampuan kreatifnya. 16 Meskipun Najib baru memastikan langkahnya di dunia sastra pada usia 25 tahun, dunia seni baginya tidaklah asing. Ia tumbuh besar dalam asuhan seorang ibu yang suka mendengarkan lagu, terutama lagu Sayyid Darwish. Sang ayah pun “pendengar” lagu-lagu, bahkan sebelum radio muncul. Bila mendengar para penyanyi, seperti S{alih{ ‘Abd al-Hayy dan ‘Abd al-Hayy H{ilmi akan menyanyi di sebuah resepsi pernikahan di daerahnya, sang ayah harus pergi 14 Yusuf al-Sharuni, al-Rawa’iyun al-Thalathah: Najib Mah}fuz}, Yusuf al-Siba‘i , Muh}ammad ‘Abd al-H{alim ‘Abdullah Kairo: al-H{ad}arah al-‘Arabiyah, tt., 9. 15 Saat ia meninggalkan kantor kementerian wakaf, hanya sastrawan Kamil Kaylani dan ‘Abd al-Salam Mus}t}afa Fahmi, kepala kesekretariatan dan suami Mari Muniblah, yang tahu bahwa dirinya seorang sastrawan. Menyembunyikan identitas sebagai sastrawan adalah tuntutan kondisi kantor yang seolah-olah menganggap sastrawan sebagai ancaman bagi kehidupan mereka. Lihat Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 44; dan ‘Abd al-Muh}sin T{aha Badar, Najib Mah}fuz}: Ru’yah, 35-6 dan 89. 16 Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah, 77. 49 mendengarkannya. Saat kuliah di universitas, Najib acapkali ditemani sang ayah ke “nadi al-musiqa” klub musik di ‘Abidin, tempat mereka mendengarkan para penyanyi tempo dulu, seperti ‘Abd al-Lat}if al-Bana dan Shaykh Idris. 17 Pada tahun ketiganya di Universitas, ia mencoba belajar memainkan sebuah alat musik gesek Timur, qanun, karena ia beranggapan bahwa dengan memiliki pengetahuan praktis tentang musik, ia akan memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang estetika. Di akhir tahun latihan ia sadar bahwa tidak ada hubungan antara belajar memainkan qanun dan estetika. Selain itu, pilihan subyek bagi rencana tesisnya seperti tersebut di atas juga menunjukkan bakat alaminya dalam hal-hal yang bersifat seni. 18 Khusus dalam seni sastra, Najib telah menaruh perhatian kepadanya sejak ia berusia 11 atau 12 tahun dengan membaca karya-karya sastra. 19 Ia membaca terjemahan cerita-cerita detektif lalu novel-novel sejarah dan petualangan karya semisal Sir Walter Scott dan Sir Henry Rider Haggard. 20 Ia juga membaca karya-karya para pujangga Arab, seperti Must}afa Lut}fi al- Manfalut}i 1876-1924, T{aha H{usayn 1889-1973, ‘Abbas Mah}mud al- ‘Aqqad 1889-1964, Salamah Musa 1888-1958, Ibrahim al-Mazini 1889-1949, Muh}ammad H{usayn Haykal 1888-1956, Mah}mud Taymur 1894-1973, Tawfiq al-H{akim 1898-1987, dan Yah}ya H{aqqi 1905- 92. Selain karya-karya modern, ia sejak duduk di bangku sekolah menengah juga membaca beberapa karya turath lama, seperti al-Bayan wa al-Tabyin karya al-Jahiz} 776-8689}, al-Amali karya Abi ‘Ali al-Qali w. 967, al- Kamil karya al-Mubarrad w. 898, al-‘Iqd al-Farid karya Ibn ‘Abd Rabbih, dan puisi Abu al-‘Ala’ al-Ma‘arri, al-Mutanabbi, dan Ibn al-Rumi. 21 17 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 15 dan 20-21. 18 Sasson Somekh, The Changing Rhythm, 42. 19 Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah, 35. 20 Majdi Kamil, ‘Uz}ama’ min tah}t al-S{ifr Kairo: Dar al-Amin, 1993, 173. 21 Rasheed el-Enany, Naguib Mahfouz: The Pursuit of Meaning New York: Routledge, 1993, 11-12; dan ‘Abd al-Muh}sin T{aha Badar, Najib Mah}fuz}: Ru’yah, 84. 50 Dari para pujangga sastra Arab modern yang karya-karyanya dibaca Najib tersebut ada tiga tokoh yang gagasan-gagasannya, diakui Najib, telah mempengaruhi pemikirannya semasa tahun-tahun pembentukannya. Mereka secara berturut-turut sesuai tingkat pengaruhnya adalah ‘Abbas Mah}mud al- ‘Aqqad, T{aha H{usayn, dan Salamah Musa. 22 ‘Abbas Mah}mud al- ‘Aqqad 23 mengajarinya keimanan pada nilai-nilai, terutama nilai seni sastra sebagai seni agung, bukan sebagai sarana mencari profit dalam berbagai kesempatan; lalu nilai kebebasan berpikir dalam demokrasi; dan dari cerita Sarah Najib mengetahui contoh pertama cerita analitis. T{aha H{usayn mengajarinya revolusi pemikiran, 24 dan beragam pola seni cerita, seperti cerita 22 Tingkat gradasi pengaruh ini terkait dengan “paradigma” yang diikuti Najib tentang pembagian manusia atas tubuh dan jiwa, lalu pembagian jiwa pada akal dan ruh; dan anggapan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada penghindarannya dari kenikmatan-kenikmatan kehidupan dunia, dan pada bekerja di setiap bidang dengan ruh sufi. ‘Abbas Mah}mud al- ‘Aqqad sebagai yang pertama, karena ia sastrawan yang alami dan spontan, memiliki bakat yang mampu menembus esensi-esensi hakikat, dan ia tanpa aliran sastra. T{aha H{usayn berikutnya, karena sastranya adalah sastra pemikiran dan ia orang cerdas. Kecerdasan ini membawa T{aha H{usayn pada skeptisme, yang merupakan dasar penelitiannya dan menjadi model bagi para pemikir. Terakhir adalah Salamah Musa, karena pemikirannya praktis, dan berkutat pada problem-problem kehidupan, bukan pemikiran. Yang utama baginya adalah reformasi sosial. Sastra hanya dijadikannya sarana, bukan tujuan. Najib pun menyimpulkan: ‘Abbas Mah}mud al-‘Aqqad itu ruh kebangkitan sastra, T{aha H{usayn itu akalnya, dan Salamah Musa itu iradah nya. Lihat, ‘Abd al- Muh}sin T{aha Badar, Najib Mah}fuz}: Ru’yah, 64-65. 23 Meskipun demikian, ia tidak setuju denqan pandangan ‘Abbas Mah}mud al- ‘Aqqad yang menilai cerita sebagai seni dengan derajat paling rendah karena dua alasan: hasil sedikit dengan alat banyak; dan kelas tempat cerita popular adalah kelas bawah. Bagi Najib, urutan prioritas seni yang didasarkan pada alat ekspresinya itu merupakan klaim negatif, karena seni, apapun corak dan alatnya, adalah ekspresi tentang kehidupan manusia, tujuannya satu meskipun cara mengekspresikannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan alat. Cerita, baginya, bukan makna yang bisa diringkas dalam bait puisi, melainkan potret kehidupan, satu bagiannya merupakan bagian dari potret umum. Rincian dalam cerita merupakan spirit zaman, yang lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuanlah yang mengarahkan perhatian kepada bagian-bagian dan rincian-rincian setelah sebelumnya filsafat mengarahkannya kepada konsep- konsep umum. Selanjutnya, kriteria kelas, bagi Najib, tidak bisa menjadi patokan, karena musik sendiri populer di semua kelas, bahkan di kalangan orang buta huruf. Ia tidak memungkiri bahwa cerita lebih populer daripada puisi, tetapi itu karena sebab-sebab lain, yaitu antara lain cerita merupakan seni yang mengekspresikan spirit zaman. Puisi dominan pada masa-masa insting dan mitos, sedang kini adalah zaman ilmu pengetahuan, industri, dan fakta-fakta, yang pasti membutuhkan seni baru yang menggabungkan antara kecintaan barunya kepada fakta dan kerinduan lamanya kepada khayal. Di samping itu, seni cerita memiliki fleksibilitas dan kemampuan untuk menampung semua tujuan, sesuatu yang menjadikannya sebagai alat yang layak untuk mengekspresikan kehidupan manusia secara komprehensif. Lihat, ‘Abd al-Muh{sin T{aha Badar, Najib Mahfuz}: Ru’yah, 65-67. 24 Najib menyebutkan bahwa karya T{aha H{usayn Fi al-Shi‘r al-Jahili memiliki pengaruh besar dalam perkembangan intelektualnya dan ia menambahkan bahwa setelah membaca 51 otobiografi dalam al-Ayyam dan cerita generasi dalam Shajarah al-Bu’s. Salamah Musa 25 mengajarinya keimanan kepada nilai-nilai sosialis dan toleransi manusia. Selain tiga tokoh ini, Najib juga mengakui pengaruh Shaykh Mus}t}afa ‘Abd al-Raziq yang mengajarinya kecermatan akal dalam analisis, seni hidup berdampingan dengan berbagai kontradiksi kehidupan, dan menyelami ambiguitas segala sesuatu hingga menemukan kadar kejelasan dan keyakinan secara maksimal, 26 di samping menghargai khazanah dan bahasa Arab, dan cara memahami agama dengan penuh toleransi dan pencerahan, yaitu menolak ekstrimitas dan fanatisme. 27 Karena terlambat memulai dan baru menekuni sastra secara serius pada dua tahun setamat kuliah, seperti diakuinya sendiri, ia harus selektif dan membatasi pada tokoh-tokoh utama dan karya masterpiecenya. Dalam persinggungannya dengan sastra Eropa, ia menggunakan The Outline of Literature karya John Drinkwater yang berisi sorotan sekilas atas sastra dunia lintas zaman dan negara sebagai panduannya untuk memilih bacaan dan materi sastra yang harus dibaca dan yang harus ditinggalkannya. 28 Media yang dipakainya dalam membaca literatur sastra Eropa ini adalah bahasa Inggris dan Perancis. Setelah terjemahan Arab marak ia pun memanfaatkan terjemahan-terjemahan ini. 29 Sastra adalah sebuah dialog, pencarian spiritual terhadap berbagai makna dengan bahasa sebagai alatnya. Gerak dan pasang surut kehidupan menjadi wilayah jelajahnya yang akan terus diikuti dan diolahnya dengan daya pikir dan buku tersebut di usia mudanya ia, sadar atau tidak, selalu dalam pengaruhnya. Baginya, buku itu merupakan “revolusi intelektual yang menjunjung tinggi akal, memberinya prioritas di atas tradisi.” Lihat, Sasson Somekh, The Changing Rhythm, 37-38. 25 Ia seorang pemberontak-pembaharu, percaya dan fanatik kepada peradaban Barat modern, dan pada saat yang sama termasuk orang yang mendorong dan menyeru untuk menghidupkan peradaban Fir’aun. Najib mengambil, darinya, orientasi pembaharuannya, keinginannya pada peradaban Barat, gairahnya terhadap gagasan keadilan sosial, dan perhatiannya pada pencarian dasar-dasar identitas Mesir dalam akar-akar Fir’aunnya. Lihat, Raja’ al- Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz}, 20-21 26 Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah, 87-88. 27 Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz}, 20. 28 Jamal al-Ghit}ani, Najib Mah}fuz} Yatadhakkar, 41. 29 Rasheed el-Enany, Naguib Mahfouz: The Pursuit, 16; dan ‘Abd al-Muh}sin T{aha Badar, Najib Mahfuz}: Ru’yah, 84. 52 imajinasinya. 30 Ia tidak semata-mata fiksi, tetapi juga bukan fakta yang kering. Perkembangan dan berbagai kemungkinan dalam kehidupan ditelusurinya. Dengan membawa sifat faktual, aktual, dan sekaligus membuka sejumlah kemungkinan dalam kehidupan inilah sastra memiliki pesona tersendiri, yang dapat menggiring manusia pada tujuan yang diinginkannya tanpa keterpaksaan dari yang bersangkutan. Dus, sastra merupakan senjata yang efektif dan kekuasaan yang lunak. Alih-alih merasa tertekan dan “tergurui,” orang bahkan sering merindukan “kehadiran” sastra. Dalam konteks ini, pilihan Najib atas medium sastra untuk ambil bagian dalam proses penemuan jati diri dan pembangunan bangsanya adalah pilihan tepat dan cerdas. Ia ingin menyumbangkan pengalaman kemanusiaannya untuk bangsanya dari, tentu saja, sudut pandangnya. 31 Meskipun tidak secara langsung mengatasi soal-soal primer, seperti makan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan, sastra, baginya, mempunyai tugas umum dalam pencerahan suatu bangsa. Masalah-masalah primer yang dalam banyak bangsa tidak terpenuhi itu, menurutnya, disebabkan oleh masalah di balik itu, seperti kemiskinan dan ketidakseimbangan masyarakat. Di sinilah, dalam pandangannya, sastra banyak memainkan perannya. 32 Dengan peran tidak langsung sastra inilah dan ditambah dengan ketidaklangsungan bahasa sastra, Najib dapat menjaga integritasnya dalam masyarakat yang disebut oleh Haim Gordon sebagai masyarakat yang jahat dan brutal, yang tidak mentolerir pandangan-pandangan yang berbeda, dan yang sering menekan hak-hak sipil dan politik. Dalam milieu seperti itu seorang pencerita baca: sastrawan sering dapat menghindar dari penangkapan, pembungkaman atau pemenjaraan. Karena tidak langsung mengkritisi pemerintah, 30 Saini K.M., Protes Sosial Dalam Sastra Bandung: Angkasa, 1993, 14-15. 31 Pengalaman hidup, bagi Najib, itu diperolehnya melalui apa yang dilihat, didengar atau dialaminya. Kadang-kadang apa yang dialaminya sendiri lebih kuat, tetapi terkadang apa yang dialami orang lain itu jauh lebih berkesan. Beberapa ceritanya, seperti al-Liss wa al-Kilab dihasilkannya dari pengalaman hidup masanya, yaitu diambilnya dari berita koran tentang kisah Mah}mud Sulayman. Lihat, Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah, 173. 32 Lihat hasil wawancara Ramadhan K.H. dengan Najib Mah}fuz} yang diterjemahkan oleh Zainuddin Mansur. 53 agama yang ada atau rezim, maka ia dapat leluasa memotret kekejaman pejabat, menghadirkan kebodohan fanatis kelompok-kelompok agama yang ada, melukiskan tidak berperasaannya para birokrat, dan menggambarkan kebrutalan para pemimpin rezim. Ia secara tajam dapat melukiskan kompleksitas kehidupan di Mesir. Mucikari adalah mucikari, birokrat yang haus kekuasaan adalah birokrat yang haus kekuasaan, nafsu adalah nafsu, dan cinta adalah cinta. 33 Namun, di sini harus segera ditambahkan bahwa karena ketidaklangsungan ini pula, karya sastra acapkali dan bahkan pasti melahirkan multi-tafsir. Tragisnya, sebagian multi-tafsir atas karya-karya Najib terkadang menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi dirinya. 34 Bahkan, percobaan pembunuhan pernah terjadi atas dirinya pada sore hari Jum’at 14 Oktober 1994 oleh seorang pemuda fanatik yang, lucunya, belum pernah membaca apapun karyanya dan hanya mendengar tuduhan tidak berdasar tentang dirinya bahwa ia telah mencela agama dalam novelnya Awlad H{aratina . 35 33 Haim Gordon, Naguib Mahfouz’s: Existensial Themes in His Writings New York: Greenwood Press, 1990, 3-4. 34 Karya-karya Najib yang diakuinya menyebabkan dirinya merasa tidak nyaman dan di ujung jurang adalah cerpen sa’iq al-Qit}ar sang masinis, novel Thartharah Fauq al-Nil, novel Miramar, dan novel Awlad H{aratina. Karya pertama berkisah tentang masinis yang kehilangan kesadaran dan menyebabkan tabrakan mengerikan. Interpretasi yang dominan adalah Najib menunjuk pada ‘Abd al-Nas}ir yang membawa Mesir pada bencana. Teman- temannya memperingatkan akibat buruk kisah itu, bahkan M. ‘Afifi tidak lazim menelponnya di akhir malam untuk meyakinkan bahwa dia masih ada di rumah dan di tengah-tengah keluarganya. Karya kedua membuat hakim ‘Abd al-Hakim ‘Amir marah dan mengancam akan memberi Najib hukuman karena kritik pedas yang terkandung di dalamnya, yaitu tentang hal-hal negatif dalam masyarakat. Ancaman ini urung terlaksana karena campur tangan Jamal ‘Abd al-Nâs}ir, yang pernah bertanya kepada Dr. S|arwat ‘Ukashah, menteri pendidikan. ‘Ukashah meyakinkan al-Nâs}ir bahwa Najib mengingatkan tentang kesalahan-kesalahan yang ada dan tidak mempunyai niat buruk melawan sistem pemerintahan. ‘Ukashah pun meyakinkan al-Nâs}ir bahwa kebebasan sastra itu propaganda terbaik di luar bagi sistem yang ada. Al-Nas}ir pun menerima. Karya ketiga ketika diadaptasi ke dalam film dan disaksikan oleh sejumlah anggota persatuan sosialis al-ittih}ad al-ishtiraki, mereka menolak film itu dengan alasan menyerang sistem yang ada secara terang-terangan dan mereka menuntut penghentian penayangannya. Jamal ‘Abd al-Nas}ir pun menugaskan kepada wakilnya, Anwar al-Sadat, untuk menyaksikan film itu agar ia bisa mengambil keputusan yang adil atas masalah itu. Hasilnya, al-Sadat tidak saja setuju atas penayangannya, tetapi bahkan seperti mempromosikannya. Bagi al-Sadat, film tersebut bebas dari tuduhan memusuhi sistem dan ia mengajak masyarakat untuk menyaksikannya. Karya keempat, saat dipublikasikan secara berseri di al-Ah}ram, membuat Najib dan keluarganya dalam pengawasan aparat militer. Bahkan, ia sempat akan ditahan, tetapi akhirnya datang perintah mengurungkan penahanan sebelum aparat sampai di rumahnya. Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 129-134. 35 Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz}, 8. 54 Sastra, sebagai media artikulasi pengalaman kemanusiaannya untuk bangsa, pun kemudian digeluti Najib sampai akhir hayatnya. Namun, karena mustahil bagi seorang sastrawan di Mesir untuk hanya menghabiskan waktunya dalam sastra, maka Najib harus membagi dan menghabiskan separoh harinya selama 37 tahun sebagai PNS, 36 yang mulai dijalaninya begitu lulus kuliah pada tahun 1934 atau dua tahun lebih awal dari keputusannya untuk memfokuskan diri dalam bidang sastra. Mula-mula ia bekerja sebagai pegawai negeri di kantor Universitas Kairo. Pada tahun 1939 ia diangkat sebagai sekretaris Menteri Wakaf Shaykh Mus}t}afa ‘Abd al-Raziq, tempat ia bekerja selama 15 tahun. Ia lalu dipindahkan ke kementerian irshad qawmi di masa revolusi. Tahun 1953 ia diangkat menjadi pengawas film di dinas seni. Ia kemudian berturut-turut menjadi ketua dewan lembaga perfilman tahun 1960 37 dan penasehat seni di lembaga yang sama 1962, ketua bidang membaca di lembaga umum perfilman dan pertelevisian tahun 1963, anggota dewan tertinggi pengawasan seni dan sastra tahun 1965, pengawas umum di lembaga perfilman Mesir 1966, dan penasehat menteri kebudayaan 1968 sampai pensiun 1971. Pada Desember 1971 ia bergabung dalam anggota redaksi Koran al-Ahram Kairo. 38 36 Pangkat kepegawaian tertinggi yang dicapai Najib adalah sebagai “kepala lembaga” yang setara dengan “wakil menteri,” sedangkan gaji tertingginya di pemerintahan adalah 100 poundsbulan. Lihat Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 39 dan 50. 37 Ketika Najib menerima jabatan ini, banyak teman dan pembacanya bertanya-tanya mengapa orang yang menyerukan kebebasan dan menjadikan demokrasi sebagai slogan tetapnya mau menjadi pengawas seni dan membatasi kebebasan seniman? Bagi Najib, pengawasan yang dilakukannya bukan bersifat seni dan tidak menghalangi seni atau nilainya. Fungsinya adalah melindungi politik tertinggi negara, mencegah seni masuk dalam masalah agama yang bisa menyebabkan kekacauan sektarian, dan menjaga fatsoen umum, nilai-nilai dan tradisi masyarakat dalam batas-batas yang logis. Kecuali hal-hal ini, seniman berhak mengatakan apa yang ingin dikatakannya dan mengekspresikan dirinya dengan gaya yang dipandangnya sesuai. Pengawasan itu bukan belenggu seniman. Pengawas seyogyanya menjadi teman dan bukan musuh seni. Harus selalu dipertimbangkan bahwa hukum asal seni itu boleh, sedangkan larangan terhadap seni itu seperti talak, yaitu tindakan halal yang paling dibenci. Salah satu contoh kebijakan untuk melindungi politik negara adalah saat direktur pengawasan film, Muh}ammd ‘Ali Nas}if, membolehkan penayangan film asing yang melukai hati orang-orang Jepang. Bagi Najib, film itu harus dicegah penayangannya, karena Jepang saat itu memihak Mesir dan Presiden Jamal ‘Abd al-Nas}ir, dan membantu Mesir berhadapan dengan Amerika Serikat, satu hal yang membuat Jepang disenangi dan menjadi teman sistem dan rakyat Mesir. Memang betul, pada hari pertama penayangannya Dubes Jepang mendatangi kantor ‘Abd al-Nas}ir untuk melayangkan protes. Al- Nas}ir langsung mengeluarkan perintah penghentian penayangannya. Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at , 115-117. 38 Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah, 11-12. 55 Pekerjaan Najib sebagai PNS yang menghabiskan separoh waktunya selama 37 tahun ini membawa implikasi negatif dan positif bagi karir kesastrawanannya. Pada satu sisi pekerjaan di luar sastra ini menyebabkan waktu membaca dan produksi sastranya terbatas, tetapi pada sisi lain pekerjaannya ini mengajarinya sistem dan birokrasi, dan memotivasinya agar memanfaatkan sisa harinya dalam akitivitas sastra, baik membaca atau menulis. Pekerjaan di luar sastra ini, baginya, juga berfungsi seperti musium hidup, yang memberinya pola- pola baru manusia yang selama ini tidak diketahuinya dari keluarga, tetangga, sekolah, perguruan tinggi, dan cafe. Kementerian wakaf, misalnya, bertugas mengurusi masalah keagamaan Islam, dan pekerjaan Najib di sana tentu membuatnya mengenal banyak aspek tentang kehidupan dan institusi-institusi muslim. Tidaklah mengherankan bila dalam banyak novelnya ditemukan PNS rendahan misalnya, Ah}mad ‘Akif dalam Khan al-Khalili, Kamil dalam al-Sarab , dan Anis dalam Thartharah Fauq al-Nil, dan episode-episode tertentu dalam novel-novel ini mengambil tempat di kantor-kantor pemerintah. 39 Memang, kantor pemerintah merupakan salah satu dari tiga sumber utama dalam sastra Najib, di samping h}arah dan maqha cafe. 40 Meskipun Mesir dengan segala pernak-perniknya merupakan dunia yang diusungnya, karya-karya Najib tidak lantas hanya bermuatan dan bernilai lokal. Najib sebagaimana banyak sastrawan besar terkenal memang menulis tentang realitas lokal mereka. Namun, realitas lokal ini menjadi jalan yang membawa mereka pada universalitas. Masyarakat manusia itu banyak dan beragam, tetapi manusia pada akhirnya satu, problem-problem intinya serupa, baik dari masyarakat primitif yang berdasar pada naluri dan kesederhanaan maupun dari masyarakat modern yang kemajuannya mencapai tingkat tinggi dan kompleks. Najib tidak menyimpang dari kaidah “lokalitas menuju universalitas” ini. Sejak awal ia konsisten menulis tentang Mesir, yaitu milieu masyarakat kota Kairo. Dari milieu lokal ini ia mampu mengungkapkan perspektifnya tentang manusia, 39 Sasson Somekh, The Changing Rhythm, 47. 40 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 46. 56 membahas masalah-masalah pokok, yang bisa dibaca oleh orang manapun di titik terjauh bumi dari Mesir. 41 Adanya muatan universal dalam lokalitas karya-karya Najib ini diakui oleh penerjemah karyanya ke dalam bahasa Jerman, Doris Kilias, bahwa meskipun nama-nama para tokoh dalam karya-karya Najib itu terasa aneh di telinga orang asing, manusia yang dikisahkannya itu ada di setiap tempat. 42 Nilai- nilai universal dan humanisme yang diserukan Najib dalam sastranya ini antara lain adalah perubahan itu sebuah keniscayaan, kebebasan merupakan nilai tertinggi dalam kehidupan, keadilan sosial, dan menolak fanatisme dan percaya kepada keragaman pendapat, sikap, dan keyakinan. 43 Dengan nilai-nilai universal dan humanisme ini, karya-karya sang bapak dari dua anak perempuan Umm Kulthum dan Fat}imah ini banyak mendapat sambutan dari berbagai kalangan sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Louis ‘Awad, seorang intelektual Mesir terkemuka, “Saya tidak pernah mengetahui seorang penulis yang begitu luas diterima oleh pihak kanan, tengah, dan kiri sehingga karya-karyanya diapresiasi oleh kalangan modernis, tradisionalis, dan mereka yang di tengah-tengah seperti Najib Mah}fuz}.” 44 Berbagai penghargaan pun diterimanya, yaitu hadiah Qut al-Qulub 1943 atas novel Radubis , hadiah kementerian pendidikan 1944 atas novel Kifah} T{ibah, hadiah promosi Negara 1957 atas novel Qas}r al-‘Ayn, penghargaan negara bidang sastra 1970, hadiah dari ikatan solidaritas Perancis-Arab 1985 atas Trilogi, hadiah nobel sastra 1988 dan pada tahun yang sama Medali Tertinggi Nil dari Presiden Husni Mubarak, 45 Medali Rektor dari American University, anggota kehormatan Akademi Amerika dan Institut Seni dan Sastra pada tahun 1992, dan Doktor Honoris Causa dari American University di Kairo. 41 Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz}, 54. 42 Majalah Nis}f al-Dunya, Wada‘an Najib Mah{fuz{, Edisi 864, 3 September 2006, 41. 43 Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz}, 57-60. 44 http: users.ox.ac.uk `orie 0704mahfouz, Naguib Mahfouz, 17 Maret 2006. 45 Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah, 9-13. 57 Dari sejumlah penghargaan itu, hadiah nobel sastra sebesar US 393.000 yang diraih Najib pada Kamis 13 Oktober 1988 merupakan penghargaan yang paling banyak mendapat sorotan. Sambutan luas pro dan kontra mengiringi penerimaan hadiah yang sejak tahun 1901 diberikan kepada para sastrawan dunia yang dipandang layak oleh panitia. Hal ini dikarenakan pertama-tama sejak pengumuman perdananya --nobel sastra jatuh ke tangan Sully Prudhomme 1839- 1907, 46 penyair dan penulis Perancis yang kurang berpengaruh dalam sastra kontemporer--, nobel menuai gelombang protes dan pertanyaan akibat adanya banyak nama besar di kalangan sastrawan dunia pada tahun 1901, yang jauh lebih unggul dan berpengaruh daripada pemenang nobel, seperti Tolstoy pengarang al- H{arb wa al-Salam , Anton Cekhov w. 1904, dan penulis drama Norwegia, Ibsen w. 1906. Di samping itu, dunia Arab telah separoh abad lebih menantikan hadiah nobel. Sebelumnya beberapa sastrawan Arab pada tahun 1930-an memimpikan Jibran Khalil Jibran meraihnya, karena tulisan-tulisannya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Mereka juga pernah memimpikan T{aha H{usayn meraihnya, terutama karena tulisan-tulisan sastranya memiliki ciri humanis, seperti al-Ayyam, Du‘a’ al-Karawan, al-Hubb al-D{a‘i’, dan Adib , dan sejumlah karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. 47 46 Mah}mud Qasim, Mawsu‘ah Ja’izah Nobel Kairo: Madbuli, tt., 7. Lihat pula, H{amdi al-Sa‘dawi, Kull Shay’in ‘an Ja’izah Nobel Kairo: Maktabah Ma’ruf, tt., 40-1. 47 Pengabaian terhadap para sastrawan besar itu antara lain ditafsirkan sebagai bentuk ketakutan pihak nobel terhadap sastrawan yang sekaligus juga menyerukan reformasi-reformasi yang mengundang polemik dan membangkitkan amarah sebagian pemerintah. Tolstoy dan Chekov adalah corong terkeras yang menyerukan keadilan sosial, sedangkan Ibsen adalah seorang propagandis Eropa pertama dan terkeras terhadap pembebasan kaum perempuan dan pemberian hak-hak manusia sepenuhnya kepada mereka. Dengan mengabaikan mereka ini, pihak nobel ingin bersikap “tradisional” dan tidak ingin membangkitkan kemarahan penguasa manapun di Eropa, dan pada dasarnya nobel tidak ingin membuat keputusan-keputusan yang adil dan memilih orang- orang yang, menurut pengakuan masyarakat internasional, berhak meraih hadiah nobel. Kritik- kritik lain yang diarahkan kepada penghargaan internasional yang bermarkas di Oslo, Swedia, ini adalah bahwa nobel memandang bangsa-bangsa dunia ketiga dengan angkuh dan tidak berusaha mengenal sastranya dengan jujur, padahal sastra dunia ketiga bisa dikatakan lebih humanis daripada sastra Barat, akibat dari pengalaman-pengalaman pahit dan menyakitkan yang telah dijalani orang-orang dunia ketiga jauh melebihi segala pengalaman dan perasaan yang dikenal orang-orang Barat; dan nobel telah memasuki area perang dingin antara Barat dan Timur, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II. Nobel saat itu, bagi sebagian kalangan, cenderung untuk mendorong semua sastrawan yang disebut sebagai “pembangkang atau orang-orang yang tercerahkan atau pembelot” yang memusuhi dan mengkritik eks-Uni Soviet dalam karya-karya 58 Dalam keyakinan Najib sendiri, Tawfiq al-H{akim pada dasarnya lebih berhak untuk menerima Nobel daripada T{aha H{usayn, karena alasan-alasan obyektif, yang terpenting adalah karya sastra T{aha H{usayn terbatas sedangkan karya sastra Tawfiq al-H{akim melimpah dan ia condong pada sisi humanisme universal terutama dalam bidang drama. Sayangnya, mereka berdua berada dalam era, saat sastra Eropa penuh orang-orang hebat, satu hal yang memperkecil peluang mereka untuk mendapatkan nobel walaupun Tawfiq al-H{akim pada tahun-tahun terakhir hidupnya banyak berusaha mendapatkannya. 48 Mereka yang kontra terhadap pemberian nobel sastra kepada Najib mengembangkan interpretasi-interpretasi yang antara lain yaitu: pertama, Barat memberi Najib nobel, karena karya-karyanya berisi kritik keras terhadap masyarakat Mesir dan Arab, dan pemberian nobel dimaksudkan untuk meneguhkan penghinaan terhadap masyarakat Arab; kedua, pemberian nobel kepada Najib itu semacam “mujamalah”basa-basi kepada Mesir; ketiga, novel Awlad H{aratina , karya yang menjadi fokus serangan-serangan kaum agamawan, menyerang Islam khususnya dan agama-agama samawi umumnya, dan karena orientasi materialistiknya yang memusuhi agama-agama, Barat pun menyambut serangan Najib ini dan mempermudah pemerolehannya atas nobel; dan keempat, semestinya lebih baik jika yang meraih nobel itu penyair Arab, bukan prosais seperti Najib. 49 Yusuf Idris adalah salah satu contoh yang bisa sastranya. Dengan demikian, nobel selalu berpihak kepada Barat. Lihat, Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz }, 16, 28, dan 34-36. 48 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 156. 49 Najib sendiri, dengan kesadaran penuh atas adanya suara-suara penentang di setiap tempat dan zaman, sehingga ia sama sekali tidak terpengaruh dengan serangan-serangan itu, telah memberikan tanggapan atas berbagai keberatan terhadap pemberian nobel sastra kepadanya tersebut. Pertama, bagi Najib, pemicu munculnya sastra di seluruh dunia adalah kemarahan dan kritik. Sastra yang sebenarnya tidak lain adalah kritik terus menerus terhadap kehidupan dan masyarakat. Sejak Mesir kuno sampai sekarang peran pokok sastra adalah menjadi mata yang kritis bagi masyarakat, ekspresi yang marah terhadap situasi-situasi negatif, pandangan yang mencari masa depan yang lebih baik. Kedua, hadiah apapun bagi dunia Arab di bidang sastra novel, dalam pandangan Najib, harus untuk Mesir. Ini menurut Najib bukan pandangan fanatik, melainkan berdasar pada kenyataan bahwa sastrawan Mesirlah yang meletakkan dasar-dasar novel Arab modern. Ketiga, keberatan ketiga, bagi Najib, juga tidak obyektif karena beberapa sebab, yaitu kritik obyektif atas novel Awlad H{aratina tidak menemukan adanya serangan terhadap Islam dan agama-agama samawi; di Barat sendiri terdapat orang-orang beragama yang senantiasa memegang teguh ajaran-ajaran agamanya; dan dalam perspektif kepentingan-kepentingan politik 59 disebut di sini, yang menyuarakan keberatannya atas penghargaan yang diterima Najib ini. Menurutnya, keberhasilan Najib tersebut lebih karena ia berdamai dan tidak mengkritik Yahudi. Bahkan, tegasnya “Najib telah meraih nobel sebelum karya-karyanya diterjemahkan, terutama bahwa Zuqaq al-Midaq adalah novel satu-satunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Swedia.” Ia mengaku telah menjadi kandidat lima kali sebelum Najib, tetapi mereka baca: panitia nobel pada detik-detik terakhir mengeliminirnya karena sikap-sikap politiknya. 50 Kalangan yang menyambut positif penganugerahan nobel sastra kepada Najib menilai bahwa Najib memang paling layak menerima hadiah ini. Bagi mereka, meski bukan yang pertama karena sebelumnya ada Muh}ammad H{usayn Haykal, Jurji Zaydan, Tawfiq al-H{akim dan lain-lain, novelis terbesar Arab yang tidak suka bepergian ke luar negeri dan tidak berusaha menjalin kontak dengan kalangan sastra dunia ini merupakan peletak dasar yang sebenarnya seni novel Arab. Ia telah menghabiskan lebih dari 50 tahun bila dihitung dari publikasi antologi cerpennya Hams al-Junun 1938 sampai penerimaan nobel dalam kreasi sastra. Dua puluh tahun pertama kehidupan sastranya ia lalui tanpa mendapat perhatian orang lain terhadap sastranya atau hasil-hasil materi. Pada saat yang sama, banyak teman Najib, yang mengawali karir sastranya bersamanya, meninggalkan sastra dan beralih ke politik, jurnalistik atau bisnis setelah menyadari bahwa sastra, dalam hal untung dan rugi, tidak mempunyai nilai atau hasil dan pembaca Arab yang mengikuti karya sastra serius jumlahnya terbatas. Najib tulus dalam dunia sastranya. Meski banyak menerima tawaran yang menarik untuk bekerja di jurnalistik, ia menolaknya. 51 Bahkan, ia Barat atas dunia Arab dan Islam, tidaklah menguntungkan bagi Barat apabila Barat memusuhi atau menyakiti Islam. Keempat, inilah satu-satunya keberatan yang, diakui Najib, mengandung kadar obyektifitas, karena puisi merupakan “diwan” Arab dan paling orisinil dari seni-seni yang lain. Sayangnya, kata Najib, puisi-puisi Arab belum diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa, padahal ini merupakan syarat utama, selain aspek humanisme dan artistik, yang ditetapkan panitia nobel, di samping zaman sekarang maksudnya: saat Najib menerima nobel bukan zaman puisi dan situasinya tidak menguntungkannya. Lihat, Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at , 154 dan 162-3. 50 Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz}, 41. 51 Penolakan Najib terhadap tawaran dari lembaga-lembaga jurnalistik besar untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai PNS dan berkerja di jurnalistik didasari oleh kesadaran bahwa bila karya sastra telah kehilangan spirit kebebasan dan terikat dengan roda produksi koran yang 60 sampai menentukan calon istri dengan mempertimbangkan masa depan karir sastranya. 52 Di samping tulus, Najib memiliki bakat, sadar dengan dinamika kehidupan dan perkembangan model ekspresi seni, dan mampu berbicara dengan masyarakat di negaranya dan di tempat manapun, sehingga kaidah “lokalitas yang jujur dan amanah merupakan jalan menuju humanisme dan universalisme” berlaku pada Najib. Selain itu, sejak awal kehidupan sastranya tahun 1932 ia bertekad untuk hanya menulis dengan bahasa Arab fus}h}a. Ia memberi bukti bahwa bahasa Arab fus}h}a bukan menjadi halangan untuk maju dan bangkit sebagaimana persepsi sebagian kalangan. Di sini tampak jelas bahwa pihak yang kontra terhadap penghargaan nobel sastra yang diterima Najib berusaha untuk menghubungkan politik internasional baca: Barat terhadap dunia ketiga pada umumnya dan dunia Arab-Islam pada khususnya, dengan sikap dan pandangan-pandangan non sastra Najib, seperti penolakannya terhadap apa yang disebut dengan kondisi “al-la h}arba wa al- la silma ” tidak perang dan juga tidak damai antara Mesir dan Israel; 53 cepat dan beruntun, ia akan mengalami banyak kerugian. Ketika Najib terikat dengan koran al- Ahram pada 1959, maka keterikatannya itu bersifat sastrawi, bukan jurnalistik, yaitu ia tidak terikat dengan kerja koran setiap hari secara terus menerus, tetapi keterikatan ini berdasar pada satu hal: Najib menyajikan karya-karya sastra yang berhasil diselesaikannya dalam waktu yang, menurutnya, tepat. Ia juga menolak bekerja di dunia politik dengan motivasi yang sama: untuk menjaga kejernihan pikiran. Lihat, Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz}, 21-22. 52 Najib tidak terburu-buru menikah dan membina keluarga ia menikah di usia lebih dari 40 tahun agar hidupnya pada fase-fase awal tidak dipusingkan dengan berbagai tanggung jawab yang membuatnya tidak bisa memberikan perhatian pada sastranya. Oleh karena itu, pernikahannya dengan ‘At}iyahullah tahun 1954 disebutnya sebagai pernikahan praktis, dalam arti ia memilih istri yang sesuai dengan kondisinya, tanpa ada kisah cinta sebelumnya. Ia membutuhkan istri yang memberinya situasi kondusif untuk menulis dan tidak mengeruhkan hidupnya, istri yang paham bahwa ia bukanlah makhluk sosial, tidak suka berkunjung atau dikunjungi orang, dan bahwa ia memberikan seluruh hidupnya untuk sastra. Pada ‘At}iyahullahlah ia menemukan sifat-sifat itu. Akhirnya, ia menikahinya secara diam-diam, tanpa memberitahu ibunya yang telah merancang perjodohannya dengan kerabatnya yang kaya. Sejujurnya, ia tidak berniat menikah selamanya, karena ia mengira itu akan menghindarkannya dari mencintai sastra yang telah diputuskannya akan diberinya seluruh waktu dan perhatiannya. Lihat, Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 106-109. 53 Penolakan Najib ini, diakuinya sendiri, menjadikannya menghadapi kondisi sulit terberat dalam hubungannya dengan kekuasaan pada awal masa Sadat. Pada 4 Pebruari 1973 Tawfiq al-H}akim membuat petisi yang ditandatangani oleh sejumlah besar sastrawan termasuk Najib yang berisi penolakan atas kondisi “tidak perang dan juga tidak damai” al-la h}arba wa al-la silma yang menyebabkan Mesir menderita. Lantas, muncullah keputusan untuk mengasingkan para penandatangan dan melarang mereka menulis. Al-Ahram berhenti mempulikasikan karya-karya Najib. Najib dilarang bicara di radio dan televisi, dan film-filmnya 61 pembelaannya atas solusi damai dalam konflik ArabMuslim-Israel; dan dukungannya atas praktik demokrasi. Jika melihat ke dalam karya, maka mereka menjadikannya sebagai bukti atas asumsi non sastra mereka. Pihak yang pro pada penerimaan Najib atas nobel melihat pada sumbangan Najib bagi perkembangan sastra Arab, terutama novel, konsistensinya dalam dunia sastra, dan tentu saja pada karya-karya sastranya. Di samping menegaskan keabsahan Najib dalam menerima hadiah nobel sastra, mereka juga berupaya membuktikan ketidakabsahan pandangan pihak-pihak yang kontra, seperti jawaban Raja’ al- Naqqash atas komentar miring Yusuf Idris di atas: 54 Najib tidak berusaha mendapatkan nobel dengan pergi ke Swedia sebagaimana Yusuf Idris; menulis lebih dari 50 karya novel dan cerpen sedang Yusuf Idris tidak lebih dari 10 karya dan artikel-atikel; dari Trilogi muncul banyak novelis ternama di dunia Arab yang terpengaruh, seperti ‘Abdurrah}man Munif Saudi Arabia, H{ana Mina Syiria, al-T{ahir Wat}ar Aljazair, al-T{ahir b. Jalun Maroko, al-T{ayyib al-S{alih}, Fathi Ghanim, dan Jibran Ibrahim Jibran serta generasi pasca Najib, seperti ‘Abd al-H{akim Qasim, Jamal al-Ghit}ani, Ibrahim As}lan, dan Yusuf al-Qa‘id; ia mulai menulis novel pada 1930-an, saat dunia Arab hanya mengenal dua novel, Zaynab karya Muh}ammad H{usayn Haykal 1914 dan ‘Awdat al-Ruh} karya Tawfiq al-H{akim 1927. Dengan ketekunan, bakat tinggi, dan keikhlasannya Najib telah membawa novel Arab menjadi diterima, dibaca, dan dicintai pada level dunia; novel-novel Najib selama 30 tahun sebelum nobel telah diterjemahkan di London, Paris, Moskow, Tokyo, Madrid, Roma, dan Stokholem; setelah perang 1973 Najib menyatakan setuju dengan perdamaian, dan perdamaianlah yang telah mewujukan kemaslahatan-kemaslahatan Mesir dan bangsa Arab. Bahkan, kini semua negara Arab menyatakan kecenderungannya pada perdamaian dan menghargai hak-hak hidup semua bangsa di kawasan dengan aman. Lagi pula, Najib itu sastrawan dilarang tayang di televisi, baik film yang diadaptasi dari karya-karyanya maupun film yang skenarionya ditulis Najib. Sadat baru memberi pengampunannya pada 28 September 1973. Lihat, Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 136-7. 54 Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz}, 42-46. 62 dan pemikir, bukan penguasa. Pandangannya bukan keputusan yang mengikat orang lain, melainkan pandangan yang bisa didiskusikan dengan bebas. PLO sendiri telah mengirimkan ucapan selamat pada Najib saat ia menerima nobel dan memuji sikap-sikap positifnya terhadap masalah Palestina. Terlepas dari berbagai keberatan dan pertanyaan di seputar kenetralan panitia nobel dan seputar kepatutan Najib untuk menerima hadiah nobel sastra, harus diakui bahwa hadiah nobel masih merupakan hadiah sastra dunia terpenting. Seluruh dunia sangat memperhatikan dan menantikannya setiap tahun dengan penuh suka cita, dan orang yang menerimanya langsung menjadi pusat perhatian di seantero dunia. Demikian juga harus diakui bahwa nobel sastra yang diterima Najib tidak hanya berpengaruh pada popularitas pribadi dan sastra Najib, 55 tetapi juga pada seluruh model sastra Arab yang tersedia dalam bahasa asing. Di samping pembaca lokal, kini sastra Arab mempunyai pembaca dunia. Selain itu, para penguasa dan lembaga-lembaga resmi menjadi peduli dengan sastra dan sastrawan. Para pejabat di Mesir dan dunia Arab menjadi sadar bahwa sastra Arab mampu menjadi sumber nilai bagi negerinya. Keberhasilan Najib juga dapat bermakna kemenangan politik dunia bagi Arab pada saat beragam frustasi meliputinya dari setiap sisi. 56

B. Najib Mah{fuz} dan Kelas Menengah Mesir