Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra, apapun genrenya, selalu terkait dengan kehidupan sosial masyarakat. Ia merupakan produk dari seorang pengarang yang ditakdirkan lahir sebagai makhluk sosial, sehingga masyarakat dengan segala dinamika perubahannya menjadi area yang tidak mungkin ditinggalkannya dalam kreasi sastra. “Mustahil ada karya sastra,” kata Abugu Benjamin, kolomnis berkebangsaan Nigeria, “yang mengenyampingkan sikap, moral, dan nilai masyarakat, karena tidak ada pengarang yang muncul tanpa kontak sepenuhnya dengan dunia sekelilingnya.” 1 Oleh karena itu, tidaklah sulit menemukan adanya “kesan” hubungan antara potret masyarakat dalam karya sastra dan kenyataan faktual masyarakat, tempat kelahirannya. Membaca novel Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli, 2 misalnya, akan memunculkan kesan tentang potret sebenarnya dari masyarakat Minang dengan segala tradisinya, termasuk perencanaan pernikahan untuk anak-anak perempuannya. Di samping itu, peristiwa-peristiwa di luar sastra yang seringkali menjadi penanda periodesasi perkembangan sastra juga merupakan bukti lain dari keterkaitan sastra dengan kehidupan sosial masyarakat. 3 1 Dalam konteks ini, yang dilakukan pengarang, bagi Benjamin, adalah memindakan berbagai peristiwa kehidupan riil ke dalam fiksi dan menghadirkannya kepada masyarakat sebagai cermin, alat masyarakat melihat diri mereka dan mengadakan perubahan-perubahan seperlunya. Lihat, Abugu Benjamin, Literature as a Reflection of the Society, http:expertscolumn.com contentliterature-reflection-society, 27 Oktober 2010. 2 Lihat, Marah Rusli, Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai Jakarta: Balai Pustaka, 2008. 3 Pendudukan Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1789, misalnya, menjadi penanda periode kebangkitan dalam sejarah kesusastraan Arab atau permulaan periode Modern al-‘as}r al- h}adith dalam sejarah Islam. Sebagaimana dimaklumi bahwa secara konvensional para penelaah sejarah kesusastraan Arab memperiodisasikan perkembangan kesusastraan Arab sebagai berikut: I. Periode Pra-Islam atau Jahiliyah 500–622 M, II. Periode Awal Islam dan Umayyah 622–750 M, III. Periode ‘Abbasiyah 750–1258 M, IV. Periode Turki 1258–1800 M, dan V. Periode Kebangkitan dan Modern 1800–sekarang. Lihat, Ah}mad al-Iskandari, al-Wasit} fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhuh Kairo: Dar al-Fikr, tt, 10. 2 Beragam genre dan aliran yang muncul dalam sastra pun, dalam hal ini, bisa dipandang sebagai keragaman sastrawan dalam mengolah dan meramu pengalaman yang dialami, dirasakan, dan dilihatnya dari kehidupan ini dengan imajinasi, kreativitas, dan cara pengungkapannya. Keragaman ini hanya menunjukkan keragaman titik tekan sastrawan dalam mengekspresikan kenyataan yang menginspirasinya. Pernyataan Najib Mah}fuz} berikut tentang model pengungkapan tertentu dalam berkreasi tampak relevan, “Saat mulai berkreasi, ia wajib mengambil inspirasi dari lingkungan pribadinya, laiknya arsitektur yang perlu mempelajari pola-pola dunia. Namun, saat ingin mendirikan bangunan di Mesir, maka sang arsitektur harus mendirikannya sesuai dengan kondisi khas lingkungannya. Di sini, peniruan tidaklah berguna. Seni harus mengambil inspirasi dari kenyataan, bukan dari model-model yang mengagumkan, sedangkan teknik itu sesuatu yang mendunia. Teknik penulisan karya seni sejak Yunani sampai kini tidak lebih dari tujuh atau delapan bentuk, yang telah menjadi alat penulisan ribuan karya.” 4 Sebuah bentuk, aliran atau model ekspresi sastra tentu lahir dengan latar tertentu. Ia tidak muncul begitu saja, tanpa faktor sosio-historis yang melatarbelakanginya. Kata “realisme” yang mulai dikenal di Perancis sejak 1803 dan dikenal sebagai teori sastra pada pertengahan abad ke-19 dengan pelopor Gustave Flaubert 1821-1880, 5 misalnya, muncul karena sejumlah faktor, baik sosial, ekonomi maupun pemikiran. 6 Berkembangnya orientasi kritis dalam bidang ilmu alam, sosial, dan sejarah juga kejayaan filsafat positivisme dan 4 Najib Mah}fuz} sendiri tidak ingin mengungkapkan bentuk melebihi keinginannya untuk berkomunikasi menyampaikan pemikirannya, dengan bentuk apa pun. Lihat, Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah: Qira’ah fi ‘Aql Najib Mah}fuz} Kairo: Maktabah al- Anglo al-Mis}riyah, 1994, 176-177. 5 Gustave Flaubert adalah seorang novelis Perancis dari periode realis. Ia dikenal karena novel sensasionalnya, Madame Bovary 1857, sebuah cerita klasik tentang cinta dan dendam. Novel ini merupakan potret tentang gadis muda kampung, Emma Bovary, dan hubungan- hubungan zinanya dengan Rodolphe Boulanger. Lihat, http:www.online-literature.comgustave- flaubert, 26 Oktober 2010. 6 Istilah “realisme” ini pertama kali dipakai di Perancis oleh pelukis Gustave Courbet 1819-1877 dengan arti “teori seni revolusioner.” Oleh kaum romantik, pandangan Courbet dan kawan-kawannya ini dianggap dangkal sat}h}iyah dan menodai seni dengan apa yang disebut sebagai pandangan realis. Lihat, Laila ‘Anan, al-Waqi‘iyah fi al-Adab al-Faransi Kairo: Dar al-Ma‘arif, tt., 4-5. 3 materialisme telah mendekatkan seni sastra kepada masyarakat. 7 Selain itu, kemandirian ekonomi para sastrawan, konflik kelas dalam masyarakat Eropa, dan adanya perasaan tidak nyaman dengan “mimpi” kaum romantik, yang menjadikan sastra sebagai sarana ekspresi perasaan subyektif dan bukan berbagai problem obyektif masyarakat, juga ikut mendorong kelahiran realisme Perancis. 8 Pada prinsipnya, aliran realisme, dengan beragam varian dan sebutannya, 9 dimotivasi oleh keinginan untuk berekspresi bebas dari kaidah-kaidah klasik yang diwarisi dari Yunani dan Romawi, dan untuk menjalin kontak dengan kenyataan hidup dan menolak imajinasi atau lari dari kekinian. Titik tolaknya adalah 7 Gagasan-gagasan para pemikir seperti Henri de Saint-Simon 1760-1825, Auguste Comte 1798-1857, John Stuart Mill 1806-1973, Karl Marx 1818-1883, Friedrich Engels 1820-1895, dan Vladimir Ilyich Ulyanov atau Lenin 1870-1924 berpengaruh besar pada para kritikus danatau sastrawan, seperti Saint Bave 1824-1869, Hippolayte Taine 1828-1893, Emile Zola 1840-1902, dan George Lukacs 1885-1971. Saint Bave menyerukan studi sastrawan secara ilmiah yang berdasar pada kajian cermat atas semua hubungan yang mengaitkan sastrawan dengan keluarga, zaman, pengetahuan, dan sifatnya. Taine berpendapat bahwa sastra itu produk dari pengaruh dan faktor-faktor tertentu, seperti ras, zaman, dan tempat. Emile Zola berpandangan bahwa penulis harus mengkaji masyarakat secara cermat dan obyektif, dan harus mengikuti cara ilmuwan dan laboratoriumnya. George Lukacs hanya memfokuskan perhatiannya pada pandangan dunia dalam sastra dan keyakinan-keyakinan yang tersembunyi dalam karya pengarang. Lihat, Lihat, al-Rashid Busha‘ir, al-Waqi‘iyah, wa Tayyaratuha fi al-Adab al-Sardiyah al-Aurobiyah Damaskus: al-Ahali, 1996, 16-20. Lihat pula, http:homepage. newschool.eduhetprofilessaintsimon.htm; http:www.blupete.comLiteratureBiographies PhilosophyComte.htm; http:www.iep.utm.edumilljs; dan http:plato.stanford.eduentries marx, 27 Oktober 2010. 8 Al-Rashid Busha‘ir, al-Waqi‘iyah, 16-32. 9 Aliran realis ini disebut dengan beragam istilah yang, menurut Khaldun al-Sham‘ah, ada dua puluh empat, yaitu antara lain: realisme kritis al-waqi‘iyah al-naqdiyah, realisme dinamis al-waqi‘iyah al-dinamiyah, realisme eksternal al-waqi‘iyah al-kharijiyah, realisme obyektif al-waqi‘iyah al-mawd}u‘iyah, realisme naturalis al-waqi‘iyah al- t}abi‘iyah , dan realisme sosialis al-waqi‘iyah al-ishtirakiyah. Namun, hanya ada tiga varian dan sebutan yang cukup populer. Pertama, realisme kritis, dengan ciri terpentingnya adalah berkecenderungan pesimistik dalam melihat kehidupan dan masyarakat kontemporer; secara pedas menyindir situasi sosial tempat kelahirannya, terutama kelas menengah yang dibela oleh kaum romantik pendahulunya; tidak menyerukan filsafat atau ideologi tertentu, seperti yang terlihat dalam realisme sosialis, dan tidak memberikan pemecahan atas berbagai problem yang dilontarkannya, tetapi hanya memaparkannya; dan mengajukan model-model tokoh yang merepresentasikan kebaikan atau keburukan. Kedua, realisme naturalis, dengan sebagian cirinya adalah lahir dari filsafat hidup bahwa manusia itu buruk dan sengsara, akibat dari insting dan keburukan yang diwarisinya dari leluhur dan lingkungannya; perilaku manusia dalam kehidupan sosial dipandangnya sebagai tidak bebas, karena ia menjadi budak insting dan nafsunya, sehingga ia pun terpengaruh, bukan mempengaruhi; dan dalam melukiskan kehidupan, cenderung fotografis dan dokumentatif. Ketiga, realisme sosialis, dengan ciri utamanya antara lain: berkecenderungan didaktis; memiliki perspektif sosial tertentu atas zamannya, dan penuh optimisme. Lihat, al- Rashid Busha‘ir, al-Waqi‘iyah, 35-106. 4 semacam pandangan dunia terbuka bagi semua orang dan semua keadaan, baik dan buruk, tanpa berupaya menggunakan hiasan kata-kata, agar model ekspresi tidak lebih penting hingga mengaburkan realitas. Seni pun menjadi pandangan tentang apa yang terjadi di masyarakat, dan sang seniman hanyalah pemindah apa yang dilihatnya. Tugas utama seniman adalah menggunakan cara pengungkapan terbaik untuk memindah potret kenyataan ini dengan cara yang bisa diterima. “Kehidupan dan alam tidak mengenal yang mungkar. Oleh karena itu, pengarang harus mengatakan segalanya, karena kebebasan berekspresi adalah kewajiban pertama bagi pengarang, seniman, dan ilmuwan, apapun model kenyataan yang diungkapkannya,” tegas Emile Zola. 10 Memang, sejak Revolusi Perancis 1789-1794 M, 11 ada tuntutan untuk memperhatikan kenyataan. Sebaliknya, pengaruh romantisme dan klasikisme menghilang seiring dengan lahirnya revolusi yang menekankan dominasi akal, rasionalisasi, dan logos ini dan yang kemudian melahirkan sejumlah konsep, seperti penghapusan kekuasaan politik yang mutlak, pernyataan hak-hak asasi manusia dan kebebasan individu, pemisahan agama dari negara sekularisme, penguatan negara hukum, pembebasan masyarakat madani, dan demokratisasi budaya, pendidikan, dan masyarakat. 12 Selanjutnya, dunia Islam, terutama Mesir, pada paroh pertama abad ke-20 dapat disebut sebagai area yang siap menyambut lahirnya realisme. Melalui serangkaian upaya perubahan yang dilakukan oleh Muh}ammad ‘Ali 13 dan para 10 Laila ‘Anan, al-Waqi‘iyah, 31-45. 11 Sebagai sebuah kelanjutan logis dari sejarah perkembangan manusia, modernitas diyakini lahir dari rahim Revolusi Industri di Inggris 1760-1830 M dan Revolusi Perancis ini. Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000, 451. 12 Jamal Shuh}ayyid dan Walid Qas}s}ab, Khit}ab al-H{adathah fi al-Adab: al- Us}ul wa al-Marja‘iyah Damaskus: Dar al-Fikr, 2005, 11-12. 13 Muh}ammad ‘Ali w. 1848 semula adalah seorang komandan militer keturunan Turki-Albania. Ia dapat menangkap kesempataan dari situasi kacau Mesir setelah ditinggalkan Napoleon Bonaparte untuk memproklamirkan diri sebagai gubernur wali Mesir pada 1805, dan ini mendapat pengakuan dari otoritas-otoritas Uthmani yang selalu bersikap pragmatis, dengan harapan Mesir akan segera dapat digabungkan kembali ke dalam Kekhalifahan Uthmani--yang telah menguasai Mesir sejak mengalahkan Dinasti Mamalik pada tahun 1517-- sebagai balasan atas pengakuannya itu. Muh{ammad ‘Ali pun bergelar pasha, membawa Mesir pada era Modern, dan melakukan modernisasi-modernisasi. Dinasti yang dibangunnya akhirnya jatuh pada 5 penggantinya, di sana pun telah muncul pelbagai ide baru yang terbawa serta oleh budaya dan pengalaman modernitas Barat, seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sekularisme yang kelak melahirkan pelbagai persoalan baru. 14 Sebagaimana dimaklumi, upaya-upaya Muh}ammad ‘Ali ini dilatari oleh kesadarannya atas ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat, 15 setelah pendudukan Mesir tahun 1789 oleh Napoleon Bonaparte dan untuk pertama kali penduduk kota tersebut menyaksikan kekuatan militer jenis baru dan para pesaing dari negara-negara Eropa. 16 Paling tidak, selama proses ini berlangsung sejak Muh{ammad ‘Ali Pasha sampai sistem monarkhi jatuh dan digantikan oleh sistem republik pada tahun 1952, perubahan-perubahan besar dan cepat dalam sejarah Mesir modern telah terjadi. Munculnya sentimen nasional, yang berujung pada upaya-upaya pemisahan Mesir dari kekuasaan Uthmani, lalu kemerdekaan Mesir dari Inggris; berkembangnya jaringan transportasi mesin untuk mendukung kelancaran ekspor dan impor barang-barang manufaktur, di samping sistem keuangan dan perbankan; pendidikan tersedia bagi anak-anak laki-laki dan perempuan usia sekolah; dan rata-rata melek-huruf meningkat adalah beberapa perubahan di bidang politik, ekonomi, dan sosial yang bisa disebut. 17 Perubahan-perubahan besar ini, menurut pandangan Nurcholish Madjid dalam kata pengantarnya atas terjemahan buku Agama di Tengah Sekularisasi Politik , dirasakan sangat mendadak dan bersifat bertubi-tubi, baik bagi perorangan maupun kelompok sosial. Sifat mendadak dan menyentak ini banyak tahun 1952. Lihat, J. Brugman, An Introduction to the History of Modern Arabic Literature Leiden: E.J. Brill, 1984, 4-5. 14 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1992, 11. 15 Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terjem. Irfan Abubakar Bandung: Mizan, 2004, 527. 16 Ah}mad Haykal, Tat}awwur al-Adab al-H{adith fi Mis}r: Min Awa’il al-Qarn al- Tasi‘ ‘Asyar ila Qiyam al-H{arb al-Kubra al-Thaniyah Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1994, 25. Lihat pula, Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 514. 17 Reeva S. Simon dkk. Ed., Encyclopedia of the Modern Middle East, Vol. 3 New York: Simon Schuster, 1996, 1238. 6 menimbulkan keterkejutan, yang merupakan fungsi krisis era modern ini. 18 Umat Islam, kelompok sosial terbesar di Mesir, pun tidak terhindar dari keterkejutan akibat sentakan perubahan ini. Bahkan, tidak jarang sentakan perubahan ini terasa mengguncang dogma dan memukul pondasi ajaran agama yang selama ini dipahaminya. Sistem perbankan yang menjalankan praktek bunga adalah salah satu contohnya. 19 Praktik bunga dalam perbankan ini memaksa umat Islam untuk berpikir keras agar bisa memastikan masuk tidaknya bunga ini dalam terma riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Islam sebagaimana yang tercantum dalam teks- teks al-Qur’an. 20 Dari sini, muncullah tokoh-tokoh pemikir yang mencoba merumuskan respon Islam terhadap kemodernan. Rifa‘ah Rafi‘ al-T{aht}awi 1801- 1873, misalnya, menyerukan kembali pentingnya ijtihad dan menganjurkan para ulama agar mempelajari ilmu-ilmu modern. Demikian pula dengan Muh}ammad ‘Abduh 1849-1905. Kemunduran umat Islam itu, baginya, akibat paham jumud statis yang melanda hampir seluruh umat. Karena itu, umat Islam harus kembali kepada ajaran asli Islam, yang harus disesuaikan dengan kenyataan modern. Sebagaimana al-T{aht}awi, ia juga menyerukan dibukanya pintu ijtihad. Rashid Rid{a 1865-1935 mendesak perlunya penafsiran modern atas al- Qur’an. Perkembangan peradaban Barat itu, menurutnya, didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sebenarnya tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, demi kemajuan Islam, umat Islam harus bersedia menerima peradaban Barat. Bahkan, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi. 21 Lain lagi T{aha H{usayn 1889-1973. Ia menginginkan Mesir maju seperti Eropa dan, untuk itu, Mesir harus mengikuti 18 Donald Eugene Smith, Agama di Tengah Sekularisasi Politik, terjem. Azyumardi Azra dan Hari Zamharir Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985, xix. 19 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Bandung: Mizan, 1998, 157-8. 20 Teks-teks al-Qur’an dimaksud antara lain adalah dalam al-Baqarah2:275 berikut: او ﷲا ﻴ ا مﺮ و ﺎ ﺮ ا Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 21 Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998, 1-2. 7 peradaban Eropa secara menyeluruh, dalam yang baik atau yang buruk dan dalam yang terpuji atau yang tercela. 22 Respon masyarakat Islam Mesir terhadap kemodernan --mengikuti penyederhanaan Pierre Chacia-- dapat dikelompokkan menjadi tiga: konservatif, reformis, dan sekularis. Kelompok konservatif yang umumnya muncul dari otoritas-otoritas keagamaan dan tampaknya mewakili sikap mayoritas masyarakat, menolak kemodernan. Alih-alih menangkap momentum perubahan, kelompok ini menyebut mereka yang mengikuti ide-ide modern --meminjam sebutan orang- orang desa dalam al-Ayyam terhadap T{aha H{usayn muda, pelajar al-Azhar, yang mengingkari banyak hal yang mereka sakralkan seperti karamat-- sebagai “salah asuh.” 23 Kelompok reformis tidak menganggap nilai-nilai dari Barat atau kemodernan itu salah, tetapi mereka mengklaimnya sebagai bagian dari ajaran Islam. Bila kelompok reformis masih mempertanyakan, misalnya, sesuai tidaknya pendirian bank dengan pandangan Muslim tentang konsep riba, maka kelompok sekular tidak menunggu jawaban yang memuaskan secara intelektual dalam pendirian bank yang sama. 24 Di sini, novel-novel realis Mesir dapat dikatakan sebagai salah satu perwujudan dari respon sastrawan Mesir terhadap kemodernan. Dalam pergumulan antara “dunia lama” dan “dunia baru” yang ditawarkan oleh kemodernan, 25 sastrawan, melalui karya-karya kreatifnya, menawarkan “dunia 22 T{aha H{usayn, Mustaqbal al-Thaqafah fi Mis{r Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, 1973, 54. 23 Matti Moosa, The Origins of Modern Arabic Fiction London: Lynne Rienner, 1997, 296. 24 Pierre Cachia, An Overview of Modern Arabic Literature Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990, 4-5. 25 Fenomena tentang sastrawan dan responnya terhadap berbagai bentuk perubahan di sekitarnya melalui karya-karya kreatifnya ini dapat disebut sebagai fenomena universal, dalam arti berlangsung di semua level budaya masyarakat, bukan hanya tipikal masyarakat di negara tertentu atau negara berkembang. Benturan antara nilai-nilai lama tradisi dan nilai-nilai baru modernitas, yang biasanya lazim menyertai setiap perubahan banyak ditemukan dalam beragam karya sastra di berbagai belahan dunia. Di Afrika, misalnya, terdapat Bediako Asare yang berasal dari Ghana dengan karyanya antara lain Rebel 1969. Novel ini mengangkat tema tentang konflik antara cara-cara hidup tradisional dan modernitas di benua Afrika tersebut. Melalui novel ini, Asare ingin menyatakan bahwa masa depan yang paling mungkin bagi seluruh benua itu terletak bukan pada berupaya menghidupkan masa lalu kesukuan kunonya, melainkan pada melihat gagasan-gagasan modern 8 yang mungkinthe possible world,” 26 tempat beberapa nilai dalam dunia lama dan dunia baru itu dapat dinegosiasiakan dan dipertemukan. Melalui dialog yang intens dengan dunia yang mengitarinya beserta segala problem sosial keagamaan yang muncul akibat pergumulan ini, ia kemudian menawarkan alternatif sebuah “dunia mungkin” yang dibangunnya secara imajinatif. 27 Dengan demikian, sebagaimana karya-karya ilmuwan lain, karya-karya kreatif sastrawan pada dasarnya juga dapat menjadi sumber otoritatif bagi pemahaman tentang pemikiran dan masyarakatnya. 28 Sayangnya, dalam perdebatan tentang hubungan antara Islam dan kemodernan ini suara mereka dapat dikatakan nyaris tidak terdengar dan didengarkan. Berbeda dengan suara tokoh-tokoh Mesir seperti Rifa‘ah Rafi‘ al-T{aht}awi, Muh}ammad ‘Abduh, Rashid Rid{a, dan ‘Ali ‘Abd al- dan prinsip-prinsip demokratis, bahkan bila ini bermakna penolakan seutuhnya atas tradisi-tradisi yang telah berlangsung lama. Novel ini bercerita tentang kampung Pachanga, tempat orang-orang yang hidup secara tradisional dan tidak tersentuh oleh inovasi-inovasi modern. Ketika kampung itu dilanda kelaparan, karena tanahnya tidak lagi subur dan ikan di sungainya berkurang, salah seorang warganya, Ngurumo, mengusulkan agar mereka pindah ke kampung yang lebih subur. Sang kepala kampung, Mzee Matata, tidak hanya menolak usulan Ngurumo, tetapi bahkan ingin membunuhnya karena menganggapnya sebagai ancaman bagi otoritasnya. Karena tahu gelagat tidak baik tersebut, Ngurumo dan istrinya diam-diam pergi meninggalkan kampung. Mereka pun dibawa paksa ke kampung dan hendak dijadikan kurban bagi dewanya, tetapi secara kebetulan diselamatkan oleh pengawas pemerintah, Shabani, dengan menembak mati Mzee Matata. Ngurumo kemudian mengambil alih kepemimpinan kampung melalui pemilihan secara demokratis dan berniat mengirim ekspedisi melintasi gunung-gunung menuju masyarakat modern yang dilukiskan oleh Shabani. Di Amerika juga muncul karya yang antara lain juga berisi tentang benturan antara tradisi dan modernitas. Menurut Marita Nadal dari Universitas Zaragoza, Spanyol, novel The American 1877 karya Henry James itu memotret benturan antara budaya Eropa dan Amerika dengan mengambil masyarakat Paris aristokrat sebagai latar. Kepolosan Amerika dipertentangkan dengan kerusakan Eropa ditunjukkan dalam karya-karya semacam ini. Lihat, http:www.goodreads.combookshow1700803.Rebel, 23 Agustus 2010; http:content. ghananation.comarticlesBediako-Asare.aspx, 23 Agustus 2010; dan Marita Nadal, Tradition and modernity in Henry Jamess The American , http:ebc.chez-alice.frebc84.html, 17 Agustus 2010. 26 Umberto Eco, The Limits of Interpretation Bloomington-Indianapolis: Indiana University Press, 1994, 69. 27 Ruth Ronen, Possible Worlds in Literary Theory Cambridge: Cambridge University Press, 1994, 5-8. 28 Dalam hal ini, anggapan bahwa karya sastra sebagai “dokumen sosial” bisa dikatakan tidak berlebihan. Taufik Abdullah, misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa novel atau karya imajinatif lain adalah “dokumen,” kesaksian tentang suasana hati dan pikiran masyarakat dari zaman penciptaannya. Lihat, Taufik Abdullah, “Siti Nurbaya: Roman, Wanita, dan Sejarah” dalam Tempo , Mei 1991. Lihat pula, Nas}ir al-Din al-Asad, Mas}adir al-Shi‘r al-Jahili wa Qimatuha al-Tarikhiyah Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1956, 109. 9 Raziq 1888-1966 yang selalu menghiasi literatur-literatur dalam studi-studi keislaman, suara sastrawan hampir tidak pernah bergema. Kalaupun ada sastrawan yang disebut-sebut dalam wacana ini, maka penyebutannya itu bukan didasarkan pada karya-karya sastra baca: fiksinya, melainkan pada karyanya yang lain. Penyebutan sastrawan T{aha H{usayn dalam wacana ini, misalnya, lebih didasarkan pada pemikiran-pemikirannya dalam dua karya non fiksinya, yaitu Mustaqbal al-Thaqafah fi Mis}r dan Fi al-Shi‘r al-Adab al-Jahili. Karya pertama adalah karya yang memuat gagasan-gagasannya tentang pendidikan dan kebudayaan Mesir, sedangkan karya kedua adalah karya yang membahas perlunya penerapan metode ilmiah dalam kajian sejarah dan kritik sastra Arab. Pernyataan dan konklusi kontroversial pengarang dalam kedua karya inilah yang tampaknya membuatnya selalu disebut-sebut dalam pembicaraan tentang Islam dan kemodernan. 29 Dengan tidak terdengarnya suara sastrawan Mesir tentang hubungan Islam dan kemodernan dalam literatur-literatur studi-studi keislaman ini, timbul kesan bahwa sastrawan-sastrawan Mesir tidak memiliki gagasan dan berada di luar lingkaran wacana ini dan, akibatnya, karya-karya mereka sedikit atau bahkan sama sekali tidak menyinggung wacana ini. Pada kenyataannya --seperti yang akan dibuktikan dalam tulisan tentang Najib Mah}fuz} ini-- tidaklah demikian. Adalah sulit diterima nalar apabila kondisi sosial Mesir yang sedang dalam perubahan besar dan bersifat mendadak tersebut lepas dari perhatian para sastrawan. Sebagai individu yang menjadi bagian dari masyarakat dan memiliki 29 Dalam Mustaqbal al-Thaqafah fi Mis{r ada satu pernyataan T{aha H{usayn yang dianggap cukup berani dan nekad. Bila tokoh-tokoh yang lain menganjurkan agar Mesir umat Islam bersikap selektif dalam menerima hal-hal dari EropaBarat, maka T{aha H{usayn berpandangan bahwa jika menginginkan maju seperti Eropa, Mesir harus mengikuti peradaban Eropa secara menyeluruh, dalam yang baik atau yang buruk dan dalam yang terpuji atau yang tercela. Dalam karya Fi al-Shi‘r al-Adab al-Jahili ia berkesimpulan bahwa mayoritas apa yang disebut dan dikenal selama ini sebagai puisi pra-Islam itu palsu, karena bukan berasal dari pra-Islam, melainkan hasil kreasi setelah Islam sehingga lebih menggambarkan kehidupan masyarakat Muslim daripada masyarakat pra-Islam dan, akibatnya, tidak bisa dipakai dasar untuk menggambarkan potret masyarakat pra-Islam. Sumber terpercaya bagi potret masyarakat saat itu adalah al-Quran, bukan puisi pra-Islam. “Puisi yang diatribusikan pada Umru al-Qais, al-A‘sha atau penyair pra-Islam yang lain --dari perspektif linguistik dan seni-- tidaklah mungkin karya mereka atau telah ada sebelum al-Qur’an lahir,” tuturnya. Lihat, T{aha H{usayn, Mustaqbal al- Thaqafah fi Mis{r , 54. Lihat pula, T{aha H{usayn, Fi al-Adab al-Jahili Kairo: Dar al Ma‘arif, tt., 65 dan 67. 10 kepekaan yang relatif tinggi daripada anggota masyarakat yang lain, sastrawan tentu juga merasakan denyut perubahan sosial yang cepat ini. 30 Sebagaimana anggota masyarakat yang lain, ia juga terkena dampak perubahan yang sedang berlangsung. Seperti halnya individu masyarakat lainnya, ia juga memiliki sikap atas perubahan yang bersifat mendadak ini. Karya-karya yang dilahirkannya pun menjadi salah satu perwujudan atas sikapnya tersebut. 31 Sebagaimana di Perancis, corak karya-karya sastra yang sarat dengan berbagai masalah sosial danatau keagamaan dan dampaknya terhadap individu dan masyarakat ini, yang menjelmakan kontak intens sastrawan Mesir dengan kenyataan yang mengitarinya, dikenal dengan karya sastra realis. 32 Apabila fiksi romantik yang populer sebelumnya melukiskan kehidupan secara tidak obyektif 30 Bahkan, karena begitu sensitifnya, sastrawan tidak memerlukan lagi seseorang yang mendorongnya untuk memperhatikan masyarakatnya. Lihat, Mah}mud Taymur, Ittijahat al- Adab al-‘Arabi fi al-Sinin al-Mi’ah al-Akhirah Kairo: al-Namudhajiyah, 1970, 188-9. 31 Di sini dapat disebut beberapa sastrawan Mesir yang menjadikan berbagai masalah sosial seperti moral, tradisi, dan kondisi masyarakat kelas menegah ke bawah sebagai tema sentral dalam karya-karyanya. Ah}mad H{afiz} ‘Awad, misalnya, menulis al-H{al wa al- Ma’al Sekarang dan Masa Depan 1905, al-Fata al-Rifi Pemuda Kampung 1902, dan al- Fatat al- Rifiyah Gadis Kampung 1905. Novel pertama bercerita tentang perempuan muda Mesir, Asma, yang pergaulannya dengan orang-orang lain menunjukkan keburukan-keburukan pengaruh Barat: ia tidak segan-segan membaca novel-novel Perancis, dan ia menentang moral- moral tradisional Mesir dengan menyambut lelaki-lelaki muda secara terbuka. Novel kedua dan ketiga memotret kondisi menyedihkan dan kebodohan petani Mesir. Apabila Ah}mad H{afiz} ‘Awad memusatkan perhatiannya pada kehidupan petani Mesir, maka S{alih} H{ammad H{amdi lebih banyak melahirkan karya-karya fiksi tentang moral. Tujuannya adalah menanamkan moralitas publik yang dianggapnya penting bagi sebuah masyarakat yang terus berkembang. Salah satu novelnya yang dipublikasikan tahun 1910 adalah al-Amirah Yara‘a Pangeran Putri Yara‘a. Novel ini penuh dengan ceramah-ceramah Putri Yara‘a tentang beragam masalah moral dan sosial, seperti kebahagiaan, kenikmatan sosial, persepsi, akal, kehidupan pragmatis, dan masyarakat manusia, yang disampaikannya kepada sekelompok lelaki Mesir, termasuk para Shaykh al-Azhar. Demikian pula dengan sastrawan Mesir lainnya, Mah}mud T{ahir Lashin 1894-1954 M. Ia pada tahun 1934 menulis novel H{awa bila Adam Hawa tanpa Adam. Di samping tentang kehidupan pribadi Hawa, titik tekan karya ini adalah sikap masyarakat terhadap keadaan sulitnya dan kelas menengah Mesir, tempatnya berasal. Dengan novel ini Lashin memberikan gambaran yang hidup tentang masyarakat Mesir tahun 1930-an dan keadaan sulit kelas menengah yang sedang muncul. Lihat, Matti Moosa, The Origins, 255 dan 282-283. 32 Perkembangan fiksi Arab Mesir kepada realisme ini dipelopori oleh para anggota kelompok “al-madrasah al-h}adithah.” Tawfiq al-H{akim 1898-1987, ‘Isa ‘Ubayd w. 1922, Mah}mud Taymur 1894-1973, dan Mah}mud T{ahir Lashin adalah beberapa sastrawan dari aliran baru ini yang dapat disebut. 11 dan nyata, maka fiksi realis mencoba memotret perilaku manusia dalam kehidupannya sehari-hari senyata mungkin. 33 Najib Mah{fuz} 1911-2006 dengan karya-karya sastra yang dihasilkannya dapat disebut sebagai manifestasi yang sebenarnya dari tanggapan dan dialog sastrawan Mesir dengan kenyataannya ini. Geliat masyarakatnya yang sedang mencari identitas dalam apa yang disebut dengan gelombang besar “perubahan” ia rekam. Sastrawan yang lahir pada 11 Desember di distrik al- Jamaliyah di jantung kota Kairo lama ini, memandang sastra sebagai suatu penyampaian pengalaman kemanusiaan dari sudut pandang sastrawan untuk bangsanya. 34 Perhatiannya terhadap problem sosial keagamaan merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Baginya, moralitas individual itu tidak bisa lepas dari moralitas sosial. Mereka yang hanya mencari keselamatan individual dicelanya. Surga, menurutnya, adalah wilayah yang sangat kolektif. Oleh karena itu, dunia yang menjadi latar dari karya-karyanya adalah kota Kairo dengan seluk-beluk dan masyarakatnya, terutama karya-karyanya yang bergaya realis, yaitu lima buah novel dan Trilogi 35 Kairo yang ditulis antara tahun 1939 dan 1952. 36 Bahkan, karya-karya realis Najib Mah{fuz} ini dianggap sebagai titik kulminasi dari kecenderungan realisme sosial dalam perkembangan 33 Karya-karya realis biasanya mengungkapkan aspek kehidupan nyata secara langsung, apa adanya, dan cermat. Idealisasi lukisan kehidupan masyarakat tidak dikenal dalam karya sastra jenis ini. Kehidupan yang dilukiskannya biasanya kehidupan masyarakat kelas menengah atau rendah. Lihat, Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra Jakarta: UI-Press, 1990, 66. Lihat pula, Majdi Wahbah dan Kamil Muhandis, Mu‘jam al-Mus{t{alahat al-‘Arabiyah fi al-Lughah wa al- Adab Beirut: Maktabah Lubnân, 1984, 428. 34 Lihat hasil wawancara Ramadhan K.H. dengan Najib Mah{fuz} yang diterjemahkan oleh Zainuddin Mansur. 35 Trilogi didefinisikan sebagai a group of three literary works that together compose a larger narrative kumpulan tiga karya sastra yang secara bersama-sama membentuk cerita yang lebih luas. Lihat, http:web.cn.edukwheelerlit_terms_T.html, Literary Terms and Definitions: T, 13 Juli 2010. 36 Karya-karya Najib Mah}fuz} yang dianggap para kritikus bergaya realis adalah al- Qahirah al-Jadidah Kairo Baru 1945, Khan al-Khalili 1946, Zuqaq al- MidaqLorong Midaq 1947, al-SarabFatamorgana 1948, Bidayah wa NihayahAwal dan Akhir 1949, Bayn al- Qas}rayn 1956, Qas}r al-Shawq 1956, dan al-Sukkariyah 1957. Lihat, Mattityahu Peled, Religion My Own: The Literary Works of Najib Mah}fuz} London: Transaction, 1983, 97. 12 fiksi Arab di Mesir. 37 Dalam novel-novel realisnya itu muncul potret kehidupan sosial, politik, dan agama “manusia Mesir” pada paroh pertama abad ke-20, terutama dari sudut pandang keluarga kelas menengah masyarakat urban Mesir, sebuah lapisan masyarakat yang merasakan akibat langsung dari proses perubahan yang sedang berlangsung. Pergesekan pemikiran antara generasi lama dan generasi baru, pergolakan politik masyarakat, dan lontaran-lontaran kritis para tokoh fiktifnya terhadap eksistensi Tuhan dan agama menghiasi dan mewarnai novel-novel ini. Nuansa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Mesir memang terasa kental dalam novel-novel realis Najib Mah{fuz} ini. Masuknya radio ke dalam lorong Midaq, misalnya, telah membawa perubahan besar terhadap kehidupan seorang penyair. Bila selama dua puluh tahun sebelumnya ia bisa mencari penghidupan dengan membacakan danatau menyanyikan beberapa bait puisi di kedai kopi milik Kirshah, maka masuknya radio telah membuatnya kehilangan satu-satunya tempat mencari penghidupan. “Orang di zaman kita sekarang tidak butuh penyair. Mereka seringkali memintaku radio. Inilah radionya, sedang dipasang. Tinggalkan kami. Rizkimu di tangan Allah,” kata Kirshah, pemilik kedai, kepada sang penyair. 38 Implikasi-implikasi lain dari proses perubahan ini, baik sosial, politik, ekonomi, maupun agama, tentu layak dilihat lebih jauh. Meskipun novel-novel realis bernuansa perubahan ini tidak secara khusus menyorot kehidupan beragama, potret masyarakat Mesir dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, yang tentu tidak lepas dari agama dan praktik keberagamaan, juga secara otomatis ikut terpotret. Di samping lontaran-lontaran kritis para tokoh fiktifnya terhadap eksistensi Tuhan dan agama, di sana juga dijumpai fenomena-fenomena yang terkait dengan Tuhan, agama, dan 37 Roger Allen, misalnya, menyebut Trilogi Kairo Najib Mah}fuz} sebagai klimaks dari serangkaian novel yang ditulis dalam model realis sosial Eropa the climax of a series of novel written in the European social realist style . Lihat, http:www.america.govstarts- English2007January 20070119141225GLnesnoMO.4873621.html, Egyptian Author Naguib Mahfouz Sought to Reconcile East and West ,1 Januari 2007; dan Matti Moosa, The Origins, 289. 38 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 9-10. 13 keberagamaan. Misalnya, dalam novel-novelnya ini, Tuhan selalu “hadir” di tengah-tengah kehidupan para tokohnya. Ucapan-ucapan “subh}anallah,” “Allahu ya‘lam,” “ghafarallahu ‘anh,” untuk menyebut beberapa contoh, sering diucapkan para tokoh. 39 Namun, caci-maki, berjudi, berzina, homoseksual, dan meminum minuman keras juga tidak jarang dilakukan oleh tokoh-tokoh ini. Kesan bahwa kehadiran Tuhan tidaklah menjamin kehidupan seseorang menjadi steril dari perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki Tuhan tampak nyata. Bahkan, terkadang muncul kesan bahwa Tuhan danatau ajaran agama diperolok- olok. 40 Orang bisa taat beragama dan sekaligus sering melakukan tindakan yang dilarang agama. 41 Dengan demikian, pembacaan dan penganalisisan novel-novel realis Najib Mah}fuz} akan dapat menunjukkan bahwa sastrawan-sastrawan Mesir juga berada dalam lingkaran wacana Islam dan kemodernan. Dengan cara dan medianya mereka mengartikulasikan berbagai masalah masyarakat Muslim Mesir dalam menghadapi perubahan di negaranya. Bahkan, dari media mereka baca: sastra ini dapat ditemukan apa yang tidak muncul dalam karya-karya para tokoh Mesir non sastrawan yang kerapkali menjadi acuan dalam wacana hubungan Islam dan kemodernan. Dengan berbagai peristiwa dan tokoh fiktifnya sastrawan dapat menggambarkan problem masyarakat secara lebih hidup. Mereka bisa menembus titik terdalam pikiran dan perasaan individu-individu dalam 39 Lihat, misalnya, dalam Najib Mah}fuz}, “Khan al-Khalili ” dalam al-A‘mal al-Kamilah Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah al-Jadidah, tt., juz III, 8 dan 36. 40 Membaca surah al-Fatih}ah, misalnya, dalam beberapa momen berubah menjadi sesuatu yang bernuansa seksual. Pelayan, yang mengundang H{asan untuk sebuah “kencan” setelah yang terakhir ini sukses sebagai futuwah, menepuk pundaknya saat ia masuk dan tertawa sambil berkata, “Bacakan al-Fatih}ah untuk kami.” Ah}mad ‘Abd al-Jawwad hanya mau menyempurnakan transaksi seksualnya bersama Zubaidah dengan membaca al-Fatih}ah. Sambil terlebih dahulu memohon ampun kepada Allah dalam benaknya, ia bertanya, “Kita membaca al- Fatih}ah ?” Lihat, Najib Mah}fuz}, Bidayah wa Nihayah Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 162; dan Najib Mah}fuz}, Bayn al- Qas}rayn Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 91. 41 Dalam al-Qahirah al-Jadidah, misalnya, ada seorang tokoh berpengaruh di kementerian dalam negeri, ‘Abd al-‘Aziz Bek Rid}wan. Ia dapat disebut sebagai ”makelar pegawai.” Meskipun demikian, ia cukup taat beragama, bahkan ia menunaikan ibadah haji. ”Dari orang yang ditolongnya, ia mengambil separoh gajinya selama dua tahun ... Tapi, ia tidak mungkin dikontak sebelum satu setengah bulan sekembalinya dari menunaikan ibadah haji,” kata Salim al- Ikhshidi kepada Mah}jub ‘Abd al-Da’im. Lihat, al-Qahirah al-Jadidah Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 84-85. 14 masyarakatnya. Akibatnya, tidak seperti pemikiran tokoh-tokoh non sastrawan yang tampak bersifat deduktif, pemikiran sastrawan tampak bersifat induktif. 42 Pemikiran dan pandangan mereka tentang apapun hanya muncul setelah melihat dan menguraikan banyak hal, satu demi satu dengan seksama. Selanjutnya, berbeda dengan pemikiran deduktif yang cenderung hanya menggambarkan problem hubungan Islam dan modernitas dalam level konseptualnya, pemikiran induktif sastrawan ini dapat menggambarkan problem yang sama sampai pada level pengaruhnya dalam masyarakat. 43 Oleh karenanya, melihat dampak perubahan sosial, politik, dan ekonomi terhadap keberagamaan masyarakat Mesir melalui pembacaan novel-novel realis Najib Mah}fuz} adalah sebuah langkah tepat dan, tentu saja, menjanjikan hasil yang utuh. Novel dapat mengungkapkan sesuatu yang tidak akan dapat diungkap oleh orang-orang seperti Rifa‘ah Rafi‘ al-T{aht}awi, Muh}ammad ‘Abduh, Rashid Rid{a, dan ‘Alî ‘Abd al-Raziq. Masyarakat, yang bisa jadi menjadi dasar pertimbangan mereka dalam memberikan pendapatnya tentang Islam dan kemodernan, tidak muncul. Dalam novel, masyarakat tidak hanya muncul, tetapi mereka juga berbicara: mereka dengan leluasa menyatakan perasaan, pandangan, dan harapannya atas berbagai perubahan yang sedang berlangsung. 44 Karena masyarakat dalam novel memiliki ruang berbicara, maka melalui novel tentu dapat dihasilkan dua hal; pertama, potret menyeluruh atas dampak perubahan terhadap agama dan keberagamaan masyarakat, sehingga tidaklah mudah --untuk 42 Induktif di sini menunjuk pada penarikan kebenaran-kebenaran umum dengan berdasar pada pengalaman yang berulang-ulang. Ini terkait dengan tujuan dari realisme sastra yang ingin memberikan representasi dunia riil, baik dunia eksternal maupun manusia itu sendiri, secara akurat, benar, dan obyektif. Lihat, M.A. Rafey Habib, A History of Literary Criticism: from Plato to the Present Oxford: Blackwell, 2005, 471. 43 Hal ini terkait dengan sifat pemikiran deduktif dan induktif itu sendiri. Pemikiran pertama menggunakan prinsip yang sudah ada untuk menilai peristiwa tertentu, sedangkan pemikiran kedua bergerak dari peristiwa-peristiwa tertentu untuk mengambil kesimpulan umum. Lihat, Sandra Anderson dkk., Dictionary of Media Studies London: A C Black, 2006, 62 dan 118. 44 Dalam hal ini, tidaklah berlebihan bila Milan Condera membanggakan novel dengan mengatakan, “Novel mengenal ketidaksadaran sebelum Freud, mengenal konflik kelas sebelum Karl Marx, dan mempraktikkan fenomenologi mencari esensi situasi manusia sebelum para fenomenolog.” Lihat, Milan Condera, Fann al-Riwayah, terjem. Badruddin A. Damaskus: al- Ahali, 1999, 38. 15 tidak mengatakan tidak mungkin-- menyimpulkan pandangan dan sikap masyarakat terhadap proses perubahan yang berlangsung secara dikotomik, setuju atau tidak setuju dan positif atau negatif, karena respon mereka ternyata tidak pilah; dan kedua, pandangan pengarang tentang hubungan Islam dan kemodernan. Kedua pencapaian ini tentu akan memenuhi apa yang dikeluhkan oleh Daniel Crecelius dalam tulisannya Arah Sekularisasi di Mesir bahwa studi-studi tentang modernisasi dan reformasi di Timur Tengah pada umumnya terbatas pada usaha-usaha sejumlah kecil para elit agama, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muh}ammad ‘Abduh, Rashid Rid}a, dan H{asan al-Banna, untuk menata dan menafsirkan kembali pemikiran dan praktik Islam tradisional. Studi-studi ini lebih banyak menekankan pada sistem konseptualnya daripada pengaruh pemikirannya terhadap masyarakat. Baginya, baru sedikit studi yang diadakan berkenaan dengan realitas perubahan sosial ekonomi, dan lebih sedikit lagi yang menjelaskan dan menilai sekularisasi dalam masyarakat yang disebutnya merupakan bagian integral dari proses modernisasi. 45 Dalam novel-novel realis Najib Mah}fuz sendiri terdapat beberapa fenomena lain yang menarik untuk dikaji lebih jauh, terkait dengan posisi agama di tengah-tengah masyarakat Mesir yang sedang dalam proses perubahan sosial. Pertama, sikap tokoh-tokoh terhadap agama dalam novel-novel ini sangat beragam: ada yang setia dan taat dalam beragama, ada yang berpandangan negatif dan antipati terhadap agama, dan ada yang tidak begitu taat dalam beragama tetapi juga tidak berpandangan negatif terhadap agama. Keragaman sikap tokoh terhadap agama ini patut diduga hendak merepresentasikan realitas sikap masyarakat Mesir. Dialog antara dua tokoh, Ah}mad ‘Akif dan Ah}mad Rashid, dalam Khan al-Khalili berikut adalah salah satu contoh dari perbedaan sikap terhadap agama ini: 46 45 John L. Esposito Ed., Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial-Politik, terjem. A. Rahman Zainuddin Jakarta: Bulan Bintang, 1986, 87. 46 Lihat, Najib Mah}fuz}, “Khan al-Khalili,” dalam al-A‘mal al-Kamilah, 45- 46. Terjemahan teks di atas adalah: - Siapa para rasul era sekarang? tanya Ah}mad ‘Akif, pen. - Saya sebut dua orang jenius saja: Freud dan Karl Marx - … 16 - ﻣو ﺳر ﺮ ا ؟ﺮﺿﺎ ا - بﺮﺿأ ﻼﺜﻣ ﺬﻬ ﻴ ﺮ ا : ﺪ وﺮ لرﺎآو آرﺎﻣ - ... - ﺔ ﻜ ﺿﺎ ا - ﺎ ر - ﻮ تﺪ و ﺿﺎ ا ﺔ ﻜ ﺔﻴ ﻴ ﺎ رﺎ ﺎﻴﺿﺎﻣ ﻂ - دو ﺎ ﺮ بﺎ ا ﻴ ﺎ ،ﺔ هد ﻮ و عﺎﻄ ﺳا آﺎ نا ﺎﻣ ءارو ةرﺎﻈ ا ءادﻮ ا ىأﺮ ةﺮﻈ رﺎ ا ثرﻮ نﻮ ا . و : - ﺎ ﺔ اﺬ Kedua, kebanyakan tokoh yang ditampilkan oleh narator dilukiskan sebagai tokoh bulat, dalam arti sebagai manusia yang memiliki dua sisi dalam kehidupannya, baik dan buruk. Dengan pelukisan tokoh secara bulat seperti ini, analisis yang menyeluruh atas sikap masyarakat Mesir terhadap agama dalam proses perubahan akan mendapat pijakan kokoh karena didasarkan pada tokoh yang alami dan nyata. Al-Sayyid Rid}wan al-H{usayni, salah seorang tokoh utama dalam Zuqaq al-Midaq, misalnya, dilukiskan sebagai tokoh agama di kampung al-Midaq yang suci dan bersih. Namun, kehidupan pribadinya di rumah dilukiskan secara agak berbeda oleh narator. “Sinar matanya bening, jernih, mencerminkan iman, kebajikan, cinta, dan jauh dari maksud-maksud rendah … Anehnya, di rumahnya sendiri orang ini --yang namanya terkenal karena kebaikan, kecintaan, dan kedermawannya-- bersikap tegas, kasar, dan pelit. Mungkin dapat dikatakan bahwa dia, yang gagal meraih semua kekuasaan yang sebenarnya di dunia ini, ingin menerapkan kekuasaannya kepada makhluk satu- satunya yang tunduk pada kemauannya, yaitu istrinya. Ia memuaskan nafsunya - Tak ada hikmah di masa lalu kata Ah}mad Rashid, pen. - Ya Tuhan - Kalau kamu menemukan hikmah sejati di masa lalu, tentu tak akan pernah menjadi masa lalu - Bagaimana dengan agama kita? Si pemuda Ah}mad Rashid mengangkat alisnya, heran. Andai ‘Akif mampu melihat apa yang ada di balik kaca mata hitamnya, tentu ia akan melihat pandangan meremehkan yang membuat gila. - Jawabannya sangat sederhana gumam si pemuda. 17 Ketiga, di antara novel-novel realis ini terdapat novel yang tercakup dalam Trilogi , yang memotret tokoh-tokoh dari tiga generasi: generasi pertama kakek, generasi kedua bapak atau paman, dan generasi ketiga cucu. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan kajian atas apa yang berubah dan tidak berubah sepanjang tiga generasi tersebut berserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, terutama dalam kehidupan beragama mereka. Selain itu, sebagaimana lazimnya karya bergaya realis, deskripsi latar, peristiwa, dan tokoh dalam novel-novel ini cermat dan renik. 48 Dengan kecermatan dan kerenikan ini pengarang seakan-akan ingin menghadirkan potret Mesir seutuhnya, dengan segala kebaikan dan keburukannya. 49 Lukisan kenyataan yang demikian cermat dan renik ini membuat novel-novel realis ini menjadi pilihan yang tepat untuk melihat bagaimana dampak perubahan sosial, politik, dan ekonomi terhadap keberagamaan masyarakat Mesir tercermin dalam karya sastra. Terlebih lagi, di antara novel-novel realis ini terdapat karya yang menjadikan pengarangnya sebagai sastrawan Arab dan Muslim pertama yang meraih Hadiah Nobel pada tahun 1988 dari Akademi Swedia, yaitu Trilogi. Pandangan Najib Mah{fuz} tentang hubungan Islam dan kemodernan juga tidak kalah menarik untuk dikaji. Ia adalah sosok yang unik. Ia tumbuh di tengah-tengah keluarga tradisional yang taat beragama, tetapi ia adalah produk 47 Najib Mah}fuz}, Zuqaq al-Midaq, 53-4, yang teks aslinya sebagai berikut: نﺎآو رﻮ ﻴ ﻴ ﺎﻴ ﺎ ﺎﻴ ﻄ نﺎ ﻹﺎ ﺮﻴﺨ او او ﺮ او ضاﺮ ﻷا .... ﻣو نأ نﻮﻜ اﺬه ﺮ ا – يﺬ ا رﺎ ﻴ ﺮﻴﺨ ا او دﻮ او آ رﺎﻄﻣ – ﺎﻣزﺎ ﺎ ﺳﺎ ﻰ و ﺔﻇﺎﻈ صﺮ و ﻴ ﺎ ﻴ إ ﺪ و ﺁ ﻣ آ نﺎﻄ ﺳ ﻴ ﺬه ﺎﻴ ﺪ ا ضﺮ ﻮﻄﺳ ﻰ قﻮ ﺨ ا ا ﺪﻴ ﻮ يﺬ ا ﺬ ، دارﻹ أ ﻮهو وز إو ﻮﻬ ﺔ ﺋﺎ ا ذﻮ نﺎﻄ او عﺎ ﺎ مﺰ ا ﺔ ﺎﻬ او ﺎﻬ ﻣ . 48 Yusuf al-Sharuni, al-Rawa’iyun al-Thalathah: Najib Mah}fuz}, Yusuf al-Siba‘i , Muh}ammad ‘Abd al-H{alim ‘Abdullah Kairo: al-H{ad}arah al-‘Arabiyah, tt., 13. 49 Namun, harus segera dikatakan bahwa potret keburukannya, seperti kemiskinan, kematian atau bunuh diri, homoseksualitas, dan pelacuran lebih dominan daripada potret kebaikannya. Akibatnya, novel-novel Najib Mah{fuz} ini dapat dikatakan sebagai sastra “protes sosial” Lihat, Sasson Somekh, The Changing Rhythm: A Study of Najib Mah{fuz}’s Novels Leiden: E.J. Brill, 1973, 67. 18 dari lembaga pendidikan formal modern-sekuler yang dikembangkan di Mesir sejak era Muh}ammad ‘Ali Pasha. Hanya saja, berbeda dengan sastrawan- sastrawan lain seperti T{aha H{usayn, Tawfiq al-H{akim, Muh}ammad H{{usayn Haykal 1888-1956, yang pernah tinggal dan bersentuhan langsung dengan kemodernan di Barat, 50 ia menyelesaikan studinya dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi di dalam negeri. Meskipun demikian, ia sejak kecil telah membaca sastra Barat, di samping tentu saja sastra Arab, baik yang klasik maupun yang modern. Orang-orang yang disebutnya mempengaruhi pemikirannya adalah semuanya orang Arab atau Mesir. Mereka adalah ‘Abbas Mah}mud al- ‘Aqqad, T{aha H{usayn, dan Salamah Musâ. Bagi orang Barat atau non Muslim sebagaimana diungkapkan oleh Mattityahu Peled, ia dikenal sebagai seorang Muslim yang menerima nilai-nilai Islam sebagai a way of life dan warisan yang dihormati, yang vitalitasnya dapat menjadi dasar masyarakat Muslim memberikan solusi atas tantangan-tantangan yang mereka hadapi. 51 Namun, umat Islam sendiri memberikan penilaian terhadap Najib Mah}fuz} secara berbeda. Banyak yang menilainya sebagai netral dan obyektif dalam melihat sesuatu, tetapi tidak sedikit yang menyebutnya sebagai agen Barat dan tidak simpati terhadap Islam. Anwar al-Jundi, misalnya, pernah menulis sebuah artikel di majalah al-I‘tis}am, yang menyerang Najib Mah}fuz} dan menyebut seluruh sastranya sebagai kefasikan dan kekufuran. 52 Penilaian orang-orang seperti Anwar al-Jundi ini --seperti akan terlihat dalam analisis atas novel-novel realis Najib Mah}fuz} nanti-- sama sekali tidak didasarkan pada kritik dan pembacaan yang obyektif atas karya-karya Najib 50 T{aha H{usayn pernah belajar di Perancis, meraih gelar doktor dari Universitas Sorbon pada 1918, dan bahkan menikah dengan gadis Perancis. Tawfiq al-H{akim juga pernah tinggal di Perancis dari 1925 sampai 1928. Muh}ammad H{{usayn Haykal pernah belajar di Perancis untuk menempuh pendidikan doktoralnya. Novel Zaynab bahkan ditulisnya sewaktu dirinya berada di negara tersebut. Lihat, Julie Scott Meisami dan Paul Starkey ed., Encyclopedia of Arabic Literature London and New York: Routedge, 1998, vol. I, 263-4, 278, dan 296. 51 Mattityahu Peled, Religion, xi. 52 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at min Mudhakkiratih wa Ad}wa‘ Jadidah ‘ala Adabih wa H{ayatih Kairo: Markaz al-Ahram, 1998, 144. 19 Mah}fuz}. Penilaian negatif mereka terhadap Najib Mah{fuz} itu tampaknya lebih didasarkan oleh sebab-sebab non sastra, dalam arti bukan dikarenakan oleh isi karya-karya kreatifnya. Tentu saja, menilai Najib Mah}fuz} sebagai netral, dalam arti tidak memiliki keberpihakan dan pesan dalam melihat sesuatu juga terlalu berlebihan. Hal ini karena --seperti yang akan dibuktikan dalam penelitian ini-- ia tidak hanya sekedar menceritakan sesuatu, tetapi juga menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang disampaikan ini --mengikuti klasifikasi Pierre Chacia atas tiga kelompok masyarakat Muslim dalam merespon kemodernan di atas-- adalah merepresentasikan sikap kelompok reformis atau modernis, bukan konservatif atau sekularis. Melihat kenyataan tersebut, penulis --tanpa mengecilkan berbagai pendekatan yang bisa dipakai dalam mengapresiasi karya sastra-- berasumsi bahwa memahami dampak perubahan terhadap kehidupan beragama dalam novel- novel realis Najib Mah}fuz} dengan perspektif sosiologi sastra, dan mengkaji pandangan Najib Mah}fuz} tentang kaitan antara Islam dan kemodernan, bukan saja sebuah langkah yang relevan, melainkan juga perlu dan signifikan.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah