Agama dan Ilmu Pengetahuan

250 pada rasionalisme; peminggiran peran agama yang berujung pada sekularisme; dan negara bangsa yang bermuara pada nasionalisme. Kedua, fakta literer dalam novel-novel realis Najib. Jika fakta literer ini dilihat, sebagaimana tampak dari uraian di bab III dan IV, maka selain ketiga problem atau tantangan tersebut, ada satu masalah yang agaknya ingin dimunculkan Najib, yaitu moderatisme atau sikap selektif terhadap modernitas.

A. Agama dan Ilmu Pengetahuan

Ilmu Pengetahuan dan agama seringkali diletakkan oleh banyak orang secara berhadapan. 10 Bagi mereka, keduanya laksana air dan minyak, yang tidak akan pernah bersatu. Beberapa alasan pun mereka ajukan. Bagi mereka, agama mendasarkan diri pada iman sehingga kebenarannya bersifat dogmatis, sedangkan ilmu pengetahuan pada rasio sehingga kebenarannya bersifat logis danatau empiris; agama bersumber dari Tuhan, sedangkan ilmu pengetahuan dari manusia; agama sarat dengan nilai, sedangkan ilmu pengetahuan tanpa nilai; dan agama mengajarkan adanya konsekuensi dari perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan di akhirat, sedangkan ilmu pengetahuan menjelaskan adanya konsekuensi ini hanya dalam kehidupannya di dunia. Mereka kemudian menyuguhkan beberapa fragmen sejarah untuk memperkuat argumentasi tentang pertentangan ini. Galileo Galilie dan Nicolaus Copernicus yang pernah membuat marah gereja, misalnya, sering mereka sebut sebagai contoh. Penemuan mereka yang mengatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya heliosentris telah menyalahi doktrin gereja bahwa bumi adalah pusat dari tata surya. Penemuan mereka juga memberikan pengetahuan baru bahwa bumi adalah bulat, bukan lempengan sebagaimana yang saat itu diyakini oleh gereja dan masyarakat. 11 10 Ibrahim al-Shaykh, Mawaqif Ijtima‘iyah wa Siyasiyah fi Adab Najib Mah{fuz { Kairo: al-Shuruq, 1987, 155. 11 Syamsuddin Arif, “Kemodernan, Sekulerisasi, dan Agama” dalam Islamia: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam Jakarta: INSISTS dan Khairul Bayan, 2007, volume III, No 2, Januari-Maret 2007, 35. 251 Dengan memperhadapkan dan mempertentangkan agama dan ilmu pengetahuan, mereka kemudian menjatuhkan pilihan dan keberpihakannya kepada ilmu pengetahuan. Keunggulan ilmu pengetahuan dan keruntuhan agama adalah prediksi mereka tentang akhir dari konflik ini. Ilmu pengetahuan baru Sosiologi menggantikan interpretasi teologis terhadap fenomena sosial, kata Auguste Comte dan Henri Saint Simon. 12 Namun, tidak jarang pula ditemukan adanya orang yang berusaha mempertemukan agama dan ilmu pengetahuan, dua hal yang bisa disebut termasuk masalah terpenting yang menguasai pikiran dan perilaku manusia di setiap tempat atau bahkan, langsung atau tidak langsung, menentukan gerak sejarah manusia ini, material dan spiritual. Bagi mereka, ilmu pengetahuan itu melengkapi agama. Agama, dalam pandangan mereka, tidaklah bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sehingga keduanya dapat dimanfaatkan bagi kebaikan manusia. 13 Mereka, terutama orang-orang muslim, juga menunjukkan beberapa fragmen sejarah sebagai bukti keselarasan dan tidak adanya pertentangan atau ketegangan antara dua hal ini. Islam, kata Nurcholish Madjid membuktikan, dan akan mampu membuktikan lagi, kesatuan organik dan harmonis antara ilmu pengetahuan dan iman, sehingga kebahagiaan yang dihasilkannya pun tidak pincang, yaitu kebahagiaan lahir dan batin. Menurut Nurcholish, di masa kejayaan Islam, ilmu pengetahuan seperti kedokteran, ilmu alam, dan kimia sangat terkait dengan agama. Hubungan keduanya bukanlah magis-mitologis seperti menolak kebakaran dengan sebuah benda keramat sebagaimana yang berlangsung pada umat-umat lain, melainkan hubungan ilmiah, yaitu hubungan yang tumbuh dari kesadaran bahwa semua yang ada di sekeliling manusia ini berjalan menurut hukum-hukum yang ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta, yang dalam peristilahan al-Quran disebut sunnatullah untuk pola-pola hukum yang 12 Bryan Wilson, Religion in Sociological Perspective New York: Oxford University Press, 1982, 1 13 Ibrahim al-Shaykh, Mawaqif, 155. 252 menguasai hidup sosial manusia atau sejarah, dan taqdirullah untuk pola-pola hukum yang menguasai wujud kebendaan. 14 Selain mengemukakan bukti-bukti historis, para pendukung pandangan tentang keselarasan agama dan ilmu pengetahuan ini juga berusaha memberi justifikasi kredo keagamaan kepada temuan-temuan ilmu pengetahuan. Di sini, ilmu pengetahuan mereka letakkan sebagai bagian dari penafsiran atas ajaran agama. 15 Muh}ammad ‘Abduh sendiri pernah menyatakan bahwa tidak ada konflik yang perlu antara agama dan ilmu pengetahuan. Keduanya mengkaji fenomena alam. Agama menjadi teman, dan bukan musuh ilmu pengetahuan. 16 Pandangan serupa juga dikemukakan oleh ‘Abd al-Raziq Nawfal. Menurutnya, tidak adanya konflik antara agama dan ilmu pengetahuan itu disebabkan oleh fakta bahwa keduanya memiliki kesamaan: bertujuan membuat kehidupan manusia lebih nyaman dan bahagia; dan bersumber dari Allah. Jika tujuan dan sumber ilmu pengetahuan itu sama, maka lantas bagaimana terkadang muncul pendapat-pendapat bahwa ilmu pengetahuan dan agama itu tidak selaras, 14 Nurcholish Madjid, “Ilmu Pengetahuan Islami,” dalam dalam Budhi Munawwar Rahman Penyunting, Ensiklopedi Nurcholish Madjid Jakarta: Penerbit Mizan dan Yayasan Waqaf Paramadina, 2006, 1005-6. 15 Shawqi Abu Khalil dalam bukunya al Insan: Bayn al ‘Ilm wa al-Din, misalnya, mencari jejak temuan-temuan ilmu pengetahuan dalam ayat-ayat al-Quran. Tentang bumi berputar dalam porosnya, umpamanya, Shawqi Abu Khalil mencari jejaknya dalam surah al- A‘raf 7:54 berikut: ﻰ ْ ْﻴﱠا رﺎﻬﱠ ا ْﻄ ﺎًﺜﻴﺜ Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. Hal yang tidak berbeda juga dilakukan oleh Achmad Baiquni dalam bukunya Islam dan Ilmu Pengetahuan . Baginya, evolusi penciptaan jagat raya yang dikemukakan oleh sains dapat ditemukan jejaknya dalam al-Quran surah al-Sajdah32:4 berikut: ﷲا يﺬﱠا تاوﺎ ﱠ ا ضْرﻷْاو ﺎ ﻬ ْﻴ ﺎﻣو ﺔﱠﺳ مﺎﱠأ ﱠ ىﻮ ْﺳا ﻰ شْﺮ ْا ﻜ ﺎﻣ ﱢﻣ ود ﻣ و ﻴ و ﻼ أ نوﺮﱠآﺬ Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolong pun dan tidak pula seorang pemberi syafa’at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? Lihat, Shawqi Abu Khalil, al-Insan: Bayn al-‘Ilm wa al-Din Damaskus: Dar al-Fikr, 1977, 103. Lihat pula, A. Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Jakarta: Pustaka, 1983, 18-39. 16 Mazheruddin Shiddiqi, Modern Reformist Thought in the Muslim World Delhi: Adam, 1993, 92. 253 demikian pertanyaan retorisnya. 17 Oleh karena itu, bagi mereka, berilmu bisa sekaligus beragama dan sebaliknya. Pertanyaannya kemudian adalah apa pandangan Najib sendiri tentang hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan ini. Apakah ia memandangnya sebagai hubungan yang antagonistis sebagaimana pandangan kelompok pertama ataukah sebagai hubungan yang bersifat saling melengkapi sebagaimana pandangan kelompok kedua. Akankah ilmu pengetahuan, menurutnya, membuat pemiliknya tidak lagi merasa butuh terhadap ajaran dan menjauh dari agama atau, bahkan sebaliknya, semakin menyadarkan pemiliknya atas keterbatasan ilmu pengetahuan dalam menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dunia yang hanya bisa diberikan oleh agama. Dalam novel-novel realis Najib, dua kelompok yang memiliki pandangan berbeda tentang hubungan agama dan ilmu pengetahuan seringkali muncul. Ada tokoh-tokoh seperti ‘Ali T{aha QJ, Ah}mad Rashid KHAN, Kamal Dewasa QS, dan Ustadh ‘Adli Karim, Ah}mad Shawkat, dan Susan H{ammad SU. Namun, ada pula tokoh-tokoh seperti Ma’mun Rid}wan QJ, Ah}mad ‘Akif KHAN, dan Shaykh ‘Ali al-Manufi dan ‘Abd al- Mun‘im Shawkat SU. Sebagaimana telah terurai dalam bab V, pandangan kedua kelompok ini terhadap hubungan agama dan ilmu pengetahuan tidaklah sama meskipun mereka semua, kecuali Ah}mad ‘Akif, mengakses dan membaca apa yang disebut ilmu pengetahuan modern. 18 Bagi kelompok pertama, agama adalah mitos, 19 yang memberikan jawaban atas misteri dan problem kehidupan manusia secara irasional dan tidak 17 ‘Abd al-Raziq al-Nawfal, Bayn al-Din wa al-‘Ilm Bagdad: Wahbah, tt., 47,57,75,92,106,114, dan 117. 18 Istilah ilmu pengetahuan modern menunjuk pada sistem kognitif yang menopang teknologi yang menjadi ciri peradaban modern. Sistem ini dilandasi oleh empirisme dan diperoleh melalui akal rasio dari hukum alam. Ilmu pengetahuan modern juga berbeda dengan ilmu pengetahuan klasik karena sikapnya yang selalu memandang ke depan, sehingga ilmu pengetahuan tidak berhenti pada suatu tapal batas frontier. Eksplorasi dan riset pun menjadi bagian mutlak ilmu pengetahuan modern. Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan Bandung: Mizan, 1987, 173 dan 274. 19 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 152. 254 logis, 20 sedangkan ilmu pengetahuan memberikan jawaban atas masalah yang sama secara logis, rasional, dan siap untuk menerima pengkajian ulang dan pembaharuan-pembaharuan. Agama memberikan pengetahuan subyektif, sedangkan ilmu pengetahuan memberikan pengetahuan obyektif dan pasti, yang dapat disetujui semua orang melalui apa yang kemudian disebut dengan metode ilmiah. 21 Oleh karena itu, dalam pandangan mereka, agama dan ilmu pengetahuan tidak saja tidak dapat dipertemukan, tetapi bahkan tersebarluasnya ilmu pengetahuan dengan sendirinya akan mengakibatkan kematian agama. Tersebarluasnya ilmu pengetahuan menjadi garansi atas terusirnya mereka para agamawan reaksioner laiknya cahaya mengusir laron, kata Ustadh ‘Adli Karim. 22 Bagi kelompok kedua, agama dan ilmu pengetahuan bukan mustahil bisa dipertemukan. Inilah setidaknya yang dapat dipahami dari deskripsi narator tentang rasa senang Ma’mun Rid}wan ketika menemukan adanya tokoh-tokoh filsafat pendukung filsafat idealisme, seperti Plato, Descartes, dan Bergson yang disebutnya berada dalam naungan Allah. Ia menyambut berita yang dibawa oleh abad ke-20 tentang harmoni antara agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. 23 Sekilas Najib lebih berpihak kepada pandangan kelompok pertama bahwa hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan itu antagonistis dan bahwa semakin orang memiliki ilmu pengetahuan, maka ia akan semakin menyangsikan kebenaran dan pada akhirnya meninggalkan ajaran-ajaran agamanya. Kesan ini agaknya muncul dari fakta literer bahwa gugatan danatau pengingkaran tokoh- tokoh dari kelompok pertama terhadap kebenaran agamanya dilukiskan sebagai 20 Henry Munson menyebut satu bentuk mitos dalam agama yang berasal dari apa yang disebutnya sacred histories. Menurutnya, semua agama memiliki sejarah-sejarah sakral, yaitu cerita-cerita tentang awal primordial yang dipahami oleh orang beriman untuk menjelaskan kondisi manusia. Sejarah sakral menceritakan berbagai peristiwa dalam kehidupan orang-orang luar biasa di masa lalu jauh yang dipandang orang beriman sebagai contoh-contoh yang harus ditirudisamai di masa sekarang. Mito-mitos ini merupakan model dari apa yang paling riil--dari persektif orang beriman, sehingga mempengaruhi pemahaman orang beriman tentang dunia. Lihat, Henry Munson, JR., Islam and Revolution in the Middle East New Haven London: Yale University Press, 1988, 7. 21 Ian G. Barbour, Science Secularity: the Ethics of Technology New York: Harper Row, 1970, 11. 22 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 297. 23 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah al-Jadidah Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 14. 255 akibat dari persentuhan mereka dengan ilmu pengetahuan. ‘Ali T{aha QJ menjadi ateis setelah berada di bangku kuliah dan membaca antara lain filsafat materialisme Hegel dan Marx, dan sosiologi Auguste Comte. 24 Hal yang tidak berbeda juga terjadi pada Ah}mad Rashid KHAN dan Ah}mad Shawkat SU. 25 Tokoh-tokoh inilah yang selanjutnya sering menghubungkan kata modern danatau kemodernan dengan ilmu pengetahuan dan, sebaliknya, kata dunia zaman dulu dengan agama. Bagi mereka, tanpa ilmu pengetahuan, seseorang tidak dapat disebut orang modern. Atau, klaim orang modern, dalam pandangan mereka, hanya berhak dilontarkan oleh orang yang dalam hidupnya memegang teguh prinsip-prinsip dan metode ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah dasar kehidupan modern. Kita seyogyanya mempelajari beragam ilmu pengetahuan dan mencerna rasionalisme praxis. Yang tidak berilmu pengetahuan bukan menjadi komunitas abad XX sekalipun ia seorang jenius, tandas Ustadh ‘Adli Karim. 26 Selain itu, ada fakta literer lain yang menyebabkan munculnya kesan ini. Dalam beberapa perbandingan yang dibuat oleh narator mereka ditampilkan sebagai pihak yang lebih memiliki sifat yang dapat diterima secara sosial dan ramah, sedangkan kelompok kedua sebagai pihak yang tidak memiliki selera humor, fanatik, dan tidak bisa menenggang perasaan orang lain. Akibatnya, teman dan lingkaran pergaulan mereka lebih luas dan lintas kepercayaan bila dibandingkan dengan teman dan lingkaran pergaulan kelompok pertama. 27 Karena masyarakat dalam dunia modern itu semakin heterogen atau plural dan memerlukan serangkaian negosiasi, 28 maka yang pantas hidup di dunia modern 24 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 22-3. 25 Najib Mah}fuz}, Khan al-Khalili dalam al-A‘mal al-Kamilah Beirut: al- Maktabah al- ‘Ilmiyah al-Jadidah, tt., Juz III, 45-7; dan Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 60-1. 26 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 91. 27 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 12-3 dan 22-3; dan Najib Mah}fuz}, al- Sukkariyah , 294-5. 28 Berger dan Kellner, misalnya, menyebut empat macam identitas manusia modern: bersifat terbuka, memiliki perbedaan-bedaan khusus, reflektif, dan terindividualisasikan. Lihat, M. Rusli Karim, Trend Perkembangan Masa Depan dan Peranan Umat Islam: Tinjauan Sosial 256 adalah individu-individu yang mempunyai sifat seperti kelompok pertama tersebut. Inilah yang tampaknya menjadi faktor lebih lanjut dari munculnya kesan keberpihakan Najib kepada kelompok pertama. Hanya saja, kesan bahwa Najib mengikuti pandangan yang mengklaim adanya hubungan antagonistis antara agama dan ilmu pengetahuan tampaknya hanya sebuah kesan. Beberapa fakta lain, literer dan non literer, ternyata menyatakan sebaliknya bahwa agama dan ilmu pengetahuan, dalam pandangan Najib, tidaklah bertentangan. Pertama, adanya tokoh-tokoh yang tetap memegang teguh agamanya meskipun mereka juga telah mengakses dan membaca apa yang disebut ilmu pengetahuan modern. Ma’mun Rid{wan QJ sebagaimana yang telah disinggung di atas adalah contoh jelas dari tipologi tokoh seperti ini. Ia memiliki kualifikasi akademik istimewa dan rajin membaca, baik buku-buku keislaman maupun buku-buku kontemporer. Meskipun demikian, keimanan dan keberislamannya tidak tergoyahkan oleh apa yang dilukiskan narator sebagai serbuan gelombang psikologi, sosiologi, dan metafisika. 29 Kedua, dalam sambutannya saat penerimaan nobel, Najib menegaskan bahwa agama Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, di samping kebebasan, persamaan, dan toleransi. 30 Islam dan ilmu pengetahuan, menurutnya, saling melengkapi dan menjamin segala sesuatunya menjadi baik. Masa depan Mesir itu terletak pada pengambilan ilmu pengetahuan dan agama, tuturnya. Bahkan, ketika sebelumnya muncul kontroversi tentang novel simbolisnya, Awlad H{aratina , ia mengaku bahwa agama Islam dan ilmu pengetahuan ini menjadi poros semua tulisannya, lama atau baru. 31 Budaya dalam Rusjdi Hamka dan Rafiq Peny., Islam dan Era Informasi Jakarta: Pustaka Panjimas, 1989, 69. 29 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 14. 30 Khalil H{ana Tadaris, Najib Mah}fuz}: al-Ust}urah al-Khalidah Kairo: al- Nas}r, 1989, 15. 31 Menurut Najib, orang-orang yang meninggalkan agama terepresentasi dalam al- Jabalawi dan menganggap cukup dengan ilmu pengetahuan saja terrepresentasi oleh ‘Arafah untuk mengatur hidupnya di dunia h}aratuna menemukan bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama telah berubah menjadi alat kejahatan dan menyebabkan mereka menjadi tirani penguasa dan terampasnya kebebasannya, sehingga mereka pun kembali mencari al-Jabalawi. Lihat, 257 Ketiga, meskipun memuji dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai syarat atau alat kemajuan dan kebangkitan masyarakat, Najib merupakan sosok yang dikenal taat menjalankan kewajiban agama. Ia, sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab II, berasal dari keluarga agamis dan menjalani masa belianya di lingkungan masyarakat yang juga relijius. Ia telah menunaikan dua ritual penting umat Islam, shalat dan puasa, sejak berusia 7 tahun. 32 Ia juga rajin membaca al-Qur’an sejak kecil dan senantiasa membacanya setiap hari meskipun hanya beberapa juz atau bagian saja. Ia bahkan mengaku bahwa selama hidupnya ia tidak pernah membaca buku lebih dari sekali, kecuali al-Qur’an. Tafsir al- Qur’an, terutama tafsir al-Qurtubi dan Fi Z{ilal al-Qur‘an, juga dibacanya walaupun yang paling dirasanya enak dan mudah adalah Muntakhab al-Tafasir yang diterbitkan oleh majma‘ al-buh}uth al-islamiyah. Gaya dan musikalitas al-Qur’an disebut-sebut banyak mempengaruhi gaya tulisan Najib. Itu tampak jelas, misalnya, pada novel H{adith al-S{abah} wa al-Masa’. 33 Selain buku- buku sastra, siang hari masa-masa tuanya pun, terutama di bulan Ramadan, ia habiskan dengan membaca buku-buku agama. 34 Pada saat menulis tesis MA, ia pun memilih topik “konsep estetika dalam filsafat Islam.” Ia ingin menyajikan potret baru Islam. Ia ingin menunjukkan perhatian Islam kepada keindahan, apresiasi dan inklusifitasnya terhadap dunia, dan penolakannya atas hidup asketis dan eksklusif. 35 Tentu saja akan sulit memasukkan orang yang menunjukkan keberagamaan atau keberislaman seperti ini ke dalam kelompok yang Majalah Nis}f al-Dunya, Wada‘an Najib Mah{fuz{, Edisi 864, 3 September 2006, 39 dan 127. 32 Siham Dhihni, Thartharah Ma‘a Najib Mah{fuz} Kairo: Ah}bar al-Yaum, 2002, 134 dan 137. 33 Kritikus Muh}ammad H{asan ‘Abdullah mengatakan bahwa novel ini menggunakan metode yang sama dengan yang digunakan oleh kisah al-Qur’an. Kenyataan ini, menurutnya, menunjukkan adanya pengaruh cukup kuat kisah al-Qur’an dalam diri Najib. Selain novel ini, karya-karya Najib yang disebut-disebut menunjukkan keterpengaruhannya oleh al-Qur’an adalah novel kontroversialnya, Awlad H{aratina, dan cerpennya, Ayyub. Lihat, Raja’ al- Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at min Mudhakkiratih wa Ad}wa’ Jadidah ‘ala Adabih wa H{ayatih Kairo: Markaz al-Ahram, 1998, 293-4. 34 Najib Mah}fuz}, Wat}ani Mis}r: H{iwarat Ma‘a Muh}ammad Salmawi Kairo: Dar al- Shuruq, 1997, 15. 35 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 295. 258 mempertentangkan agama dengan ilmu pengetahuan meskipun yang terakhir ini dianggapnya sebagai prasyarat sebuah masyarakat untuk memiliki masa depan. 36 Najib memang memiliki pandangan yang positif terhadap ilmu pengetahuan. Ia dilihatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dalam upayanya mewujudkan tatanan hidup yang baik. Ilmu pengetahuan meneliti hukum-hukum dan teori-teori yang menggerakkan dan mengatur realitas, sehingga dengan mengetahui hukum gravitasi, misalnya, manusia dapat terbang di udara atau tenggelam di air. 37 Penelitian ini lalu melahirkan temuan-temuan yang menyebabkan lompatan besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia. 38 Di sana ada --untuk menyebut beberapa contoh yang secara implisit maupun eksplisit disebut dalam novel-novel realis Najib dan sebagaimana telah disinggung dalam bab IV-- teknologi perang pesawat tempur dan bom, transportasi mobil, kereta api, dan kapal laut, pengobatan alat-alat kedokteran modern, informasi percetakan dan radio, dan komunikasi telefon. Namun, lompatan besar ini tidak hanya membawa berbagai perubahan positif, tetapi juga negatif bagi manusia. Selain individu-individu tercerahkan seperti Ma’mun Rid}wan dan ‘Ali T{aha, ia juga melahirkan individu- individu nihilis seperti Mah}jub ‘Abd al-Da’im QJ. Di samping mewujudkan kenyamanan hidup dengan listrik dan air bersih, ia juga memunculkan budaya materialisme atau --dalam bahasa Peter Berger-- budaya ekonomi, 39 36 Majalah Nis}f al-Dunya, Wada‘an, 128. 37 Najib Mah}fuz}, Wat}ani Mis}r, 53 dan 55. 38 Alvin Toffler menyebut lompatan-lompatan besar ini dengan istilah gelombang ingat bahwa sebutan yang sama juga dikenakan Najib terhadap serbuan ilmu-ilmu sosiologi, psikologi, dan metafisika ke kampus di atas. Bagi Toffler, peradaban manusia mengalami tiga gelombang perubahan: pertama, 8000 SM sampai dengan 1650-1750; kedua, pertengahan abad ke-18 sampai dengan pertengahan abad ke-20; ketiga, beberapa dekade setelah gelombang kedua. Gelombang ketiga ini, menurutnya, telah melahirkan empat revolusi: teknologi, informasi, sosial, dan psikologis. Lihat, M. Rusli Karim, Trend Perkembangan Masa Depan dan Peranan Umat Islam: Tinjauan Sosial Budaya dalam Rusjdi Hamka dan Rafiq Peny., Islam, 64. Lihat pula, Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus Bandung: Mizan, 1998, 149-53. 39 Menurut sosiolog humanistik ini, anak kandung dari peradaban yang didominasi ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cenderung ke arah materialistik, yang mengabaikan piranti apapun yang tidak langsung memiliki kontribusi terhadap pemenuhan dimensi ekonomi bagi kehidupan manusia. Lihat, M. Rusli Karim, Trend Perkembangan Masa Depan dan Peranan Umat Islam: Tinjauan Sosial Budaya dalam Rusjdi Hamka dan Rafiq Peny., Islam, 64. 259 konsumerisme, dan hedonisme yang menyebabkan maraknya pelacuran KHAN dan memakan korban H{amidah ZM atau H{asanayn dan Rusydi ‘Akif kepada kematian BN dan KHAN. Selain telah mempermudah dan memperpendek waktu perjalanan, ia juga dapat menyebabkan kehancuran dan teror besar. Berpindahnya keluarga ‘Akif Afandi Ah}mad dari al-Sakakini ke Khan al-Khalili adalah akibat dari teror teknologi perang pesawat tempur dan bom Jerman KHAN. Dua wajah perubahan yang ditimbulkan oleh temuan-temuan ilmu pengetahuan ini dapat dikatakan sebagai implikasi wajar dari sifat ilmu pengetahuan yang bebas nilai. Ia yang lahir dan dikembangkan di Barat ini menganggap dirinya otonom dan bebas dari ikatan, baik agama maupun sosial. 40 Akibatnya, tidak jarang temuan-temuan ilmu pengetahuan dan, terutama, penerapannya dirasakan negatif atau merugikan bagi manusia. Untuk selalu berimplikasi nilai baik, ilmu pengetahuan yang netral tidak mengandung nilai kebaikan atau keburukan pada dirinya sendiri ini tergantung pada dua hal: pemilik dan sudut pandang penilai. 41 Ketika sebuah pertanyaan diajukan kepada Najib, Apa yang telah diperbuat oleh ilmu pengetahuan bagi manusia: membuatnya bahagia atau malahan ia lebih bahagia ketika tidak memiliki pengetahuan, berikut adalah jawabannya: 42 ﺎ أ ﻣ ﻴ ﻣﺆ ا ﺎ روﺪ و مﺎ ﻬ ا ةﺎ ﻴ ،نﺎ ﻹا ىرأو نأ ﺔ ﺮ ا ﺪ تﺪ وأ نﺎ ةوﺮ رﺪ ﺜ ... ﺎﻣأ اذإ ﺎآ ﺬه ﺔ ﺮ ا ﺪ ﺔﺳﺎ نﺎ ﻹا اﺬﻬ ﻷ ﺎﻬﻣﺪﺨ ﺳا ، ا اﺬهو قﻼ ﺄ نﺎ ﻹا ﺮﺜآأ ﺎ ﻣ ﺔ ﺮ ﺎ ﺎﻬ اذ . 40 A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini Jakarta: Rajawali, 1987, 64-5. 41 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan, 269. 42 Lihat, Najib Mah}fuz}, Wat}ani Mis}r, 60-2: “Saya termasuk orang-orang yang percaya kepada ilmu pengetahuan dan peran pentingnya dalam kehidupan manusia. Menurut saya, ilmu pengetahuan telah mendatangkan kekayaan yang tidak ternilai harganya bagi manusia ... Namun, jika ilmu pengetahuan ini telah menyebabkan kesengsaraan bagi manusia, maka itu karena manusia mempergunakannya secara salah destruktif dan ini lebih terkait dengan moral manusia daripada dengan ilmu pengetahuan itu sendiri.” . 260 Dalam konteks inilah agama, bagi Najib, menjadi faktor penting. Menurutnya, kemajuan dan teknologi yang telah diwujudkan manusia itu pemanfaatannya digerakkan oleh dua kemungkinan: nilai-nilai kemanusiaan dan moral atau penilaian akal dan kepentingan saja. Akal dan kepentingan yang dilepaskan dari nilai-nilai, dalam pandangannya, dapat mendatangkan banyak malapetaka seperti dua perang dunia atau berbagai tindakan kriminal dan kekerasan yang banyak terjadi dewasa ini. Hal ini karena nilai-nilai atau moral ini tidak hanya menjadi sistem dalam interaksi antar manusia, tetapi dialah yang mengatur dan menghindarkan masyarakat dari anarkhisme dan kehancuran. Andai saja dikendalikan oleh nilai-nilai atau moral agama, maka prestasi manusia ini, menurut Najib, akan menjadi kebaikan bagi manusia. 43 Ilmu pengetahuan tanpa agama bisa menjadi alat kejahatan, dan tanpa ilmu pengetahuan agama tidak bisa tegak berfungsi secara baik, tegas Najib atas pentingnya agama sebagai pemberi nilai baik terhadap ilmu pengetahuan dan hasil-hasilnya. 44 Najib memang melihat adanya filsafat-filsafat modern yang mengusung nilai-nilai humanistik dan moral secara umum. Namun, kebanyakan filsafat tersebut, menurutnya, juga terpengaruh oleh ajaran agama. Ia mencontohkan Jean Jacque Rousseu 1712-1778 dan Francis Bacon 1561-1626 yang filsafat- filsafatnya tidak terlepas sepenuhnya dari ajaran agama Kristen. Lagi pula, hasil pemikiran manusia itu, dalam pandangannya, tidaklah sama dengan apa yang diterimanya dengan penuh keimanan bahwa itu berasal dari Tuhan Pencipta alam ini. Oleh karena itu, meskipun ada sebagian nilai-nilai hasil pemikiran manusia itu sangat baik, orang-orang berimanlah yang mati demi nilai-nilai ideal dan luhur. Di balik pengorbanan itu, baginya, selalu ada iman dan bukan semata-mata kepuasan nalar. Lagi pula, nilai-nilai hasil konstruksi akal bisa saja suatu ketika disangsikan sendiri oleh akal yang sama. 45 Apabila sikap Najib terhadap agama dan ilmu pengetahuan sedemikian positif, lalu bagaimana menjelaskan fenomena kesangsian danatau pengingkaran 43 Najib Mah}fuz}, Wat}ani Mis}r, 23 dan 63. 44 Majalah Nis}f al-Dunya, Wada‘an, 39. 45 Najib Mah}fuz}, Wat}ani Mis}r, 63-4. 261 sebagian tokoh-tokoh fiktifnya terhadap agamanya setelah mereka bersentuhan dengan ilmu pengetahuan. Tampaknya fenomena kesangsian ini terkait erat dengan sifat ilmu pengetahuan di satu sisi dan penampilan Islam di sisi lain. Sisi pertama mendapatkan justifikasi dan citra positifnya dari tempat lahir modernitas, Barat, yang identik dengan kemajuan, inovasi, dan dinamika; sedangkan sisi kedua memperoleh stigma dan citra negatifnya dari kondisi masyarakat muslim yang identik dengan kemunduran, tradisi, dan kekolotan. Ilmu pengetahuan tidak lain adalah hasil pemahaman manusia tentang hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal dan material, yang diperolehnya sedikit demi sedikit melalui penggunaan akal rasio. Temuan- temuan ilmu pengetahuan ini kemudian menjadi instrumen seseorang dalam upayanya memodernisasi diri atau berpikir dan bekerja menurut hukum alam secara rasional, untuk memperoleh daya guna dan efesiensi yang maksimal. Selanjutnya, seseorang hanya dapat disebut modern apabila ia bersifat ilmiah, rasional, progresif, dan dinamis. 46 Manusia modern hanya bisa menerima penjelasan tentang apa pun secara rasional dan ilmiah. Manusia modern, menurut Inkeles seperti yang dinukil Gazalba, percaya bahwa dirinya dapat belajar untuk menguasai lingkungannya dan bahwa dunia ini dapat diperhitungkan di bawah kontrol manusia, bukan takdir. 47 Keunggulan peradaban Barat, tempat lahir modernitas dan model ideal bagi banyak bangsa yang sedang memodernisasi diri, memperkokoh kepercayaan semacam ini. Tidak aneh bila muncul individu- individu seperti ‘Ali T{aha yang mengidentifikasi kefakiran sebagai penyakit bangsanya, dan pemerintah dan parlemen sebagai penyembuhnya bandingkan dengan Ma’mun Rid}wan yang menyebut agama Islam sebagai penyembuhnya. 48 Iklim rasionalitas ini pada saat bersamaan bertemu dengan praktik-praktik keberagamaan sebagian besar masyarakat Mesir yang --mengikuti kategori 46 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan, 172-4. 47 Sidi Gazalba, Modernisasi dalam Persoalan: Bagaimana Sikap Islam? Jakarta: Bulan Bintang, 1973, 36. 48 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 45-6 262 keberagamaan pada bab IV-- mistis dan fatalis. Pasrah dengan kondisi yang ada, pemujaan tempat-tempat yang dianggap keramat, dan orientasi ritualistik serta komitmen sosial yang rendah kalaupun ada, maka itu bersifat personal adalah sebagian ciri keberagamaan mereka. Agama pun menjelma menjadi sesuatu yang kurang kontributif terhadap modernisasi masyarakat. Bahkan, agama terkesan menjadi faktor penghambat proses ini. Sebutlah, misalnya, isi khutbah-khutbah Jumat dari khatib-khatib al-Azhar yang bahkan oleh Ma’mun Rid}wan representasi pembela implementasi ajaran-ajaran Islam dalam masyarakat dirasakan perlu diperbaharui karena dianggapnya sebagai pendorong kepada kebodohan dan khurafat. 49 Alih-alih melahirkan masyarakat modern dan berperadaban, agama bahkan menjadi tempat pelarian individu dari segala problem yang ada. Akibatnya, masyarakat Mesir yang mayoritas beragama Islam itu menampilkan wajah muram dengan kebodohan dan kemiskinan menjadi guratan utamanya. Dalam milieu seperti inilah kesangsian beberapa tokoh fiktif Najib terhadap agama dan bahkan vonis Riyad} Qaldas bahwa agama adalah mitos atau dongeng, 50 dapat didudukkan. Evolusi keberagamaan Kamal yang secara eksplisit digambarkan dalam ketiga bagian Trilogi sebagai akibat dari persinggungannya dengan ide-ide yang dibawa ilmu pengetahuan modern juga harus dipahami demikian. Kamal kecil yang patuh beragama adalah Kamal yang memperoleh pengetahuan agamanya yang sarat dengan cerita-cerita tahayul dari ibunya di rumah dan gurunya di sekolah dasar. Ia pun menjadi anak yang senang dengan pelajaran agama, mempercayai adanya setan dan pengusirannya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Lantas, Kamal remaja menjadi tergoncang ketika mengetahui bahwa makam al-H{usayn itu hanya simbol, tidak lebih. Al-H{usayn sendiri tidak ada di samping mereka. 51 Akibatnya, tidak seperti sebelumnya, ia kini bisa berpacaranmencinta dan sekaligus shalat. 52 Akidahnya kemudian rontok 49 Najib Mah}fuz}, al-Qahirah, 44. 50 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 152. 51 Najib Mah}fuz}, Qas}r al-Shawq, Kairo: Maktabah Mis}r, tt., 73-4 dan 147. 52 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 76-7. 263 menghadapi ilmu pengetahuan meskipun ia masih percaya pada Allah. Dengan ilmu pengetahuan, ia ingin lebih dekat dengan Tuhan. Ia tidak lagi percaya pada surga. Ia tidak lagi shalat atau puasa meskipun tidak secara terang-terangan karena khawatir menyakiti keluarganya. Ia juga mulai minum khamar dan masuk rumah bordil. 53 Ia kini menjadi ateis yang keras sebagaimana dulu menjadi orang beragama yang keras. 54 Agamanya hilang. 55 Hanya saja, agama yang ditinggalkannya adalah yang penuh dengan mitos dan khurafat. Allah tidak lagi seperti yang disembahnya dulu. 56 Selanjutnya, Kamal dewasa merasa skeptis terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat materialisme maupun rasionalisme. Baginya, ilmu pengetahuan itu dunia misteri yang hanya dia ketahui beberapa hasilnya. Ia juga mengetahui bahwa sebagian ilmuwan meragukan kesesuaian antara kebenaran ilmiah dan kebenaran realitas; bahwa ilmuwan lain bicara tentang hukum probabilitas; dan bahwa ilmuwan lain lagi menarik klaim mereka tentang kebenaran mutlak. 57 Bahkan, ia kini juga skeptis terhadap ateisme itu sendiri. Ini disebut Fu’ad Jamil al-H{amzawi sebagai langkah menemukan iman. 58 Meskipun pertanyaan yang diajukannya sendiri tentang iman yang layak hidup dalam dirinya tampaknya akan bermuara pada iman yang aktif kepada ilmu pengetahuan mengingat simpatinya kepada pandangan Ah}mad Shawkat atas hal ini di akhir novel al- Sukkariyah, 59 ini tidak berarti bahwa ia tidak menemukan kembali imannya kepada agama. Jawaban Najib berikut atas pertanyaan Pernakah Anda mengalami momen-momen sangsi terhadap akidah? setidaknya dapat menjadi 53 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 350,355, dan 360. 54 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 352,354-5, dan 363. 55 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 347-8. 56 Najib Mah}fuz}, Qas}r, 383 dan 385. 57 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 105. 58 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 99. 59 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah, 328-31. 264 referensi tentang sikap akhir Kamal yang, dalam banyak hal, merepresentasikan dirinya: 60 - ه تﺮﻣ ﻚﻴ تﺎﻈ ﻚ ﻰ ىﻮ ﻣ ةﺪﻴ ا ؟ - . نﺎآ ﻚ ذ ﻣ ﺮ ا ﻴ تدرأ نأ ﻀ أ ﺪﻴ ﻄ او او . ﺎآ ﻚ تاﺮ ﺔ ﻮ ،ﺔ ﻴ أو ﻜ ﺮ ﺎﻬ ﻣ ﺎ آ جﺮ اﺰ ا ىأ ﺮ ﺮ ﺎﻬ ﻣ ، ﻴ ﻴ ﺎ ﻜ ﻴ ،نﺎ ﻹا ﺎﻣأ ا ﺪ ﺳ ﻴ ﻴ ا ءارو Di sini jelas bahwa agama dan ilmu pengetahuan, bagi Najib, bukanlah dua entitas yang tidak dapat bertemu, melainkan saling melengkapi. Jika ada tokoh-tokoh fiktifnya yang menyatakan kesangsian danatau pengingkaran terhadap agama, maka itu lebih bermakna sebagai gugatan terhadap praktik beragama yang tanpa implementasi yang benar atas ajaran-ajaran agama dan tanpa komitmen untuk memegang teguh prinsip-prinsip dasar agama yang luhur dari sebagian besar umat Islam seperti kebebasan individu yang hanya dibatasi oleh tanggung jawab kolektif bagi kepentingan masyarakat; anti perbudakan dan eksploitasi sesama; dan menghargai kerja, kejujuran, dan amanah dalam interaksi antar individu di masyarakat. Keberadaan mereka tampaknya dimaksudkan Najib untuk menegaskan adanya krisis kepercayaan dari generasa muda terhadap kemampuan agama sebagaimana yang dipahami dan dipraktikkan oleh umat Islam tersebut dalam mewujudkan masyarakat yang lebih baik. Najib juga ingin menegaskan adanya keinginan kuat dari generasi muda tercerahkan tersebut untuk mencari pengganti agama historis ini agar dapat keluar dari keterbelakangan ekonomi, sosial, dan politik yang dialami masyarakat Mesir saat itu. Pada saat yang sama, Najib juga menegaskan melalui bahasa ‘Abd al-Mun‘im Shawkat: 61 60 Najib Mah}fuz}, Wat}ani Mis}r, 62: “Pernah. Itu terjadi ketika saya masih muda, saat saya ingin menundukkan akidah pada rasio, logika, dan ilmu pengetahuan. Itu berlangsung cukup lama dan menyakitkan. Namun, saya berhasil keluar dari krisis itu seperti halnya al- Gazali, yaitu saya keluar dengan hati saya dan bukan dengan akal saya. Saya keluar dari krisis kesangsian itu dengan keyakinan, tetapi keyakinan iman. Akal sendiri mengikuti keyakinan.” 61 Najib Mah}fuz}, al-Sukkariyah,135: “sikap ateis itu mudah, pemecahan mudah dan eskapis, eskapis dari kewajiban yang secara konsisten dijalankan orang mukmin kepada Tuhan, diri, dan manusia.” 265 دﺎ ﻹا ، ﻬ ﺳ ﻬ ﺳ ،ﻰ وﺮه ﻰ وﺮه ﻣ تﺎ اﻮ ا ﻰ ا ﺎ ﻬﻣﺰ ﻣﺆ ا لﺎﻴ ر و سﺎ او .

B. Sekularisme