Najib Mah{fuz} dan Karya-karyanya

71 selama satu minggu, untuk menghabiskan liburan musim panas. Ketika itu ia tidak melihat dan mendalami kehidupan para petani. Bahkan, Najib tidak pernah pergi ke s}a‘idupper egypt seperti al-Uqs}ur Louxor dan Aswan. 72 Semua fakta dan latar ini memperkuat posisinya sebagai bagian dari kelas menengah Mesir.

C. Najib Mah{fuz} dan Karya-karyanya

Sebagai sastrawan yang tulus dan konsisten di bidangnya, Najib sepanjang hidupnya telah melahirkan banyak karya. Lebih dari 50 cerpen dan novel ditulisnya. Beberapa tulisan non fiksi dan skenerio film juga lahir dari sastrawan yang telah mulai menulis sejak berusia lima belas tahun ini. Kepedulian sastrawan yang mengaku tidak suka dikunjungi orang ini terhadap berbagai masalah yang menyertai perubahan-perubahan besar di Mesir semasa hidupnya, baik politik maupun lainnya, merupakan faktor utama kelahiran karya-karyanya. Sumber utama dalam sastra Najib adalah kantor pemerintah, tempat ia bekerja selama hampir 37 tahun; h}arah; dan maqha café. Dalam karya- karyanya banyak ditemukan dunia h}arah dengan futuwah algojojagoan, takiyah bangunan keagamaan yang bertipe seperti biara yang berselimutkan misteri, qabw kubahlengkungan gelap yang biasanya menjadi pintu gerbang kota, sabil kran air minum kuno, dan qarafah tempat pemakaman serta dunia khala’nya tanah lapang yang luas. Dunia yang muncul dalam kreasinya ini tidak berbeda dengan dunia atau lingkungan tempat hidupnya, yaitu distrik al- Jamaliyah dan distrik al-‘Abbasiyah. Dunia h}arah , baik yang berada di distrik al-Jamaliyah atau tempat lain di Kairo, di masa kecilnya tidak seperti masa sekarang yang dihuni oleh masyarakat kelas bawah. Semasa kecilnya, h}arah merupakan model masyarakat Mesir. Semua masyarakat terwakili di sana, dari yang sangat kaya sampai yang miskin papa. Dunia h}arah dan futuwahnya ini, misalnya, dapat dijumpai dalam Aulad H{aratina. 72 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 35. 72 Jamal al-Ghit}ani, seorang novelis yang dikenal baik dan teman karib Najib, yang juga tumbuh besar di al-Jamaliyah menelusuri dan membuktikan bahwa Khan al-Khalili 1946, Zuqaq al-Midaq 1947, dan Trilogi Kairo yaitu Bayn al-Qas}rayn 1956, Qas}r al-Shawq 1957, dan al- Sukkariyah 1957 merupakan dokumentasi akurat dari area tersebut. 73 Najib sendiri menekankan pentingnya al-Jamaliyah atau dunia h}arah sebagai sumber inspirasi bagi karyanya sepanjang kehidupan kreatifnya. “Menurutku, seorang sastrawan mesti memiliki hubungan dengan tempat atau obyek tertentu untuk memperoleh titik tolak bagi emosinya,” katanya. Maqha café juga memainkan peran penting, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam fiksi Najib. Di masa mudanya, sama halnya dengan orang laki-laki generasinya, café berfungsi sebagai sebuah klub sosial. Di sanalah persahabatan personal dan yang berhubungan dengan sastra dibangun dan diskusi- diskusi hangat mengambil tempat. 74 Beberapa café yang sering dikunjungi Najib antara lain yaitu café Riche, café Opera, café al Fisyawi, dan café Ali Baba. Kedai-kedai kopi itu, menurut Fudoli Zaini, memang bukan tempat Najib menulis. Di situ ia hanya membaca koran, merenung dan ngobrol, sambil mengamati tingkah laku manusia di sekitarnya. 75 Melalui tiga sumber utama ini, sastrawan yang hidupnya mengalir alami seperti Sungai Nil ini mampu menghadirkan karya-karya yang nyaris sebuah fotografi, yang membuat pembaca berandai-andai hidup dan tinggal di tempat dan zaman karya-karya itu ditulis. Fotografi yang mempesona pembacanya ini adalah fotografi tentang Mesir baca: Kairo: bangsanya, sejarahnya, konflik-konflik yang dihadapinya, dan beragam kondisi psikologis yang dilaluinya. Mesir pun 73 Khan al-Khalili, Zuqaq al-Midaq, Bayn al-Qas}rayn, Qas}r al-Shawq, dan al- Sukkariyah adalah nama-nama h}arah yang saling berdempetan, panjang, sempit, dan hangat di distrik al-H{usayn. H{arah ini, dalam karya-karya sastra Najib, menjadi simbol masyarakat dunia, yaitu simbol kehidupan dan manusia; sedang tokoh “al-futuwah” sebagai simbol kekuasaan dalam semua sisi dan perubahannya, antara keadilan dan kezaliman, toleransi dan sempit wawasan, kekerasan dan harmoni atau moderat. Lihat, Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz }, 17-18. 74 Rasheed el-Enany, Naguib Mahfouz: The Pursuit, 1-3 dan 32. 75 Fudoli Zaini “Kata Pengantar,” Lorong Midaq, terjem. Ali Audah Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, v-vi. 73 menjadi tokoh pertama dan terbesar dalam sastra Najib. 76 Najib sendiri kemudian disebut sebagai penulis Mesir Kairo. Dengan karya-karyanya Najib ingin berbagi “sesuatu” kepada masyarakat dan bangsanya dalam menghadapi beragam problemnya. Aktivitas menulis itu, baginya, lebih didasari oleh motivasi ingin menyampaikan sebuah “pemikiran” daripada oleh keinginan menulis itu sendiri. Saat menulis novel, menurutnya, penulis ingin menyampaikan pandangannya, apa yang dilihatnya atau apa yang diyakininya kepada masyarakatnya. 77 Karena adanya misi untuk masyarakat inilah, ia mendefinisikan penulis bukan sebagai orang yang menulis, melainkan sebagai orang yang membacakan, dalam arti orang yang mempunyai komunitas pembaca. 78 Karya fiksi pertama Najib berupa cerita pendek. Antologi cerita pendeknya, H{ams al-Junun, terbit pada tahun 1939. Sebanyak 28 cerita pendek terkumpul dalam antologi ini. Beberapa tema dan topik utama dalam cerpen- cerpen Najib dalam antologi H{ams al-Junun antara lain adalah: 1 cerita tentang Fir’aun. Kerangka historis ini tidak lebih dari sebuah kedok untuk menyembunyikan ide filsafat atau sosial. Cerpen Yaqz}ah al-Mumiya,’ misalnya, dapat dianggap sebagai bagian dari protes sosial paling menyolok yang pernah Najib tulis; 2 tema tentang waktu-perubahan-kematian. Ucapan Tuti, seorang tokoh dalam cerita pendek S{aut min al-‘Alam al-Akhar, ketika ruhnya meninggalkan dunia ini dan melihat masa lalu dan masa kini sekaligus, “Tampak olehku bahwa seolah-olah tidak ada hakekat di alam kecuali perubahan,” merepresentasikan tema ini. Tema tiga sudut ini muncul dalam banyak cerita Najib selanjutnya; 3 tema tentang seks atau perilaku seksual, dan kelakuan buruk laki-laki dan perempuan; dan 4 tema sosial. Keberpihakan Najib pada kelas-kelas miskin Kairo di sini cukup kentara. Ini terlihat dari lukisannya atas penderitaan orang-orang miskin yang tajam di satu sisi dan lukisannya atas orang- orang kaya yang tidak baik di sisi lain: amoral, tidak senonoh, dan jahat. 76 Raja’ al-Naqqash, Fi H{ubb Najib Mah}fuz}, 26. 77 Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah, 25. 78 Majalah Nis}f al-Dunya, Wada‘an, 17 dan 23. 74 Selanjutnya, tidak ada tokoh-tokoh kaya Najib yang merupakan tokoh bulat. Mereka lebih sering hanya tokoh-tokoh karikatur. Artinya, apabila dalam cerita terdapat pertentangan antara kaya dan miskin, maka sudut pandang selalu sudut pandang orang miskin. 79 Antologi-antologi cerita pendek Najib lainnya, berdasar urutan tahun awal terbit, adalah: Dunyallah dengan 14 buah cerita 1962, Bayt Sayyi’ al- Sum’ah dengan 18 buah cerita 1965, Khammarah al-Qit}}t} al-Aswad dengan 9 buah cerita 1969, Tah}t al-Miz}allah dengan 11 buah cerita 1969, H{ikayah bila Bidayah wala Nihayah dengan 5 buah cerita 1971, Shahr al-‘Asl dengan 7 buah cerita 1971, al-Jarimah dengan 9 cerita 1973, al- H{ubb Fauq Qad}abah al-H{aram 1979, al-Shayt}an Ya‘iz}u 1979, Ra’aytu fima Yara al-Na’im 1982, al-Tanz}im al-Sirri 1984, S{abah} al- Ward 1987, dan al-Fajr al-Kadhib. Namun, Najib kemudian beralih dari menulis cerpen kepada novel. Peralihan ini, menurut pengakuan Najib, bermula setelah Salamah Musa menerbitkan novelnya ‘Abath al-Aqdar pada 1939. Tahun itu adalah tahun majalah al-Riwayah, tempat ia mempublikasikan mayoritas cerita pendeknya, ditutup. Krisis kertas membatasi jumlah halaman koran dan majalah, sehingga publikasi cerita pendek tidak banyak mendapat perhatian. Ia pun dengan segala upayanya beralih pada novel. Krisis ini berakhir setelah ‘Abd al-H{amid al- Sahhar mendirikan Dar al-Nashr li al-Jami‘iyin. Sejak saat itu Najib menjadikan genre yang kini dipahami sebagai “novel” yang tidak memiliki prototype dalam kesusastraan Arab klasik ini sebagai misi utamanya. 80 Pilihan bentuk novel sebagai media ekspresi ini diambil Najib bukan tanpa kesulitan. Kesulitan itu muncul terutama karena dua hal. Pertama, genre novel dalam sastra Arab sangat kurang. Khazanah novel yang ada cukup terbatas 79 Sasson Somekh, The Changing, 47. 80 Meskipun demikian, tidaklah berarti Najib lantas tidak lagi pernah menulis cerita pendek, karena pada kenyataannya karya-karya cerita pendeknya masih bermunculan pasca 1939. Bahkan, dalam pengamatan ‘Abd al-Muh}sin T{aha Badar, antara tahun 1932 dan 1939 cerita pendek Najib hanya terbit tidak lebih 40 buah, sedangkan sisanya terbit antara 1940 dan 1946. Ini berarti ia terus menulis cerita pendek hingga setelah publikasi novel Khan al-Khalili pada 1946. Lihat, ‘Abd al-Muh}sin T{aha Badar, Najib Mah}fuz}: Ru’yah, 90-1. 75 dan lebih dekat pada genre otobiografi, seperti ‘Awdah al-Ruh} karya Tawfiq al- H{akim, Zaynab karya Muh}ammad H{usayn Haykal, dan al-Ayyam karya T{aha H{usayn. Kedua, genre novel menuntut bacaan yang luas tentang sastra Arab dan dunia. Memang, saat itu ada jalan lempang yang tersedia bagi Najib, yaitu puisi. Ia suka puisi dan pernah menulis puisi. Ia sebenarnya bisa terus menekuninya terutama karena puisi itu warisan yang kokoh dalam sastra Arab, bahkan merupakan diwan Arab. Namun, karena kemampuan hapalannya lemah, ia pun undur dari menulis puisi. 81 Najib mengawali novel-novelnya dengan tiga buah novel historisromantis: ‘Abath al-Aqdar 1939, Radubis 1943, dan Kifah} T{ibah 1944. Ketiga novel ini didasarkan pada sejarah Mesir kuno. Novel pertama, misalnya, mengambil tempat di zaman Khufu, raja ke-2 dari dinasti IV dan pembangun piramid-piramid besar di Giza sekitar 2596-2573 SM, era terjadinya perubahan dinasti-dinasti yang disertai dengan perkembangan budaya dan agama yang mendasar. Pilihan Najib atas corak historis atau romantis ini tidak terlepas dari bacaan-bacaannya atas sejarah kuno Fir’aun dan serangkaian novel sejarah Jurji Zaydan. Selain itu, tahun selama Najib masuk sekolah menengah dan universitas adalah tahun-tahun pencarian identitas nasional. Para intelektual dihadapkan kepada dilema pilihan antara kemungkinan-kemungkinan alternatif identifikasi: Mesir-Arab-Muslim atau Mesir-Arab-Fir’aunik. Pilihan 81 Novel muncul di Mesir relatif terlambat. Para kritikus sepakat bahwa novel Zaynab karya Muh{ammad H{usayn Haykal merupakan novel pertama yang muncul di Mesir, yaitu menjelang Perang Dunia I. Keterlambatan ini disebabkan antara lain oleh: situasi politik Mesir telah membuat orang tidak memperhatikan beragam aliran sastra dan pemikiran; masyarakat memandang novel hanya alat kesenangan dan hiburan semata, yang mereka baca dalam waktu- waktu senggangnya. Bahkan, pandangan ini juga menjalar ke kalangan-kalangan tertentu hingga setelah genre novel muncul dan tersebar; dan orang-orang Mesir atau sejumlah besar mereka menyadari dirinya berhadapan dengan budaya Barat yang unggul dan sekaligus agresor, satu hal yang membuat mereka kembali kepada warisan Arab lama, tempat mereka mencari identitas dan eksistensi mereka dalam menghadapi arus budaya ini. Di samping memunculkan kebangkitan besar dalam puisi sebagai genre sastra istimewa dalam sastra Arab, kembali kepada warisan ini mempunyai implikasi negatif, yaitu menghalangi Mesir menerima genre novel sebagai seni Barat. Lahirnya novel di Mesir merupakan akibat alami perkenalan orang-orang Mesir dengan berbagai aliran sastra Barat, terutama setelah pendirian Universitas Mesir 1908 dan pengiriman sebagian alumninya ke Eropa, lalu kembalinya dan seruan mereka pada kekinian dalam pemikiran dan politik. Lihat, Al-‘Arabi H{asan Darwish, al-Ittijah al-Ta‘biri fi Riwayat Najib Mah}fuz} Kairo: Maktabah al-Nahd}ah al-Mis}riyah, 1989, 23-26. Lihat pula, Raja’ al- Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 53. 76 yang sekular tampaknya lebih menarik bagi orang-orang yang berpikiran kebarat- baratan, modern, dan liberal. Tidaklah mengejutkan apabila Najib, sebagai anak muda dengan pikiran yang ingin tahu dan mudah menerima pengaruh, terseret dalam perdebatan itu dan memilih mengambil sikap. Pilihannya pun jatuh pada para fir’aunis atau pendukung alternatif identifikasi kedua. 82 Hubungan personal Najib yang dekat dengan Salamah Musa, orang yang percaya dengan konsep fir’aunik juga mempengaruhi pilihan Najib atas corak historis atau romantis ini. Salamah Musalah orang yang mendorong Najib untuk mempublikasikan novel-novel pertamanya, dan mencetak novel pertama dalam majalah bulanannya sendiri, al-Majallah al-Jadidah. Oleh karena itu, pilihan latar sejarah ini sama sekali bukan untuk mempengaruhi “cara memandang sejarah,” melainkan untuk menumbuhkan kesadaran atas identitas nasional Mesir. Pilihan latar jauh ini juga dapat menyinggung latar dekat. Hal terakhir ini terutama berlaku pada novel Kifah} T{ibah. Novel ini berbicara tentang perjuangan heroik bangsa Mesir dan raja- rajanya yang patriotik untuk mengusir Heksos, agresor asing yang menguasai tanah air mereka. Cerita heroik ini relevan dengan realitas sosial politik Mesir saat itu yang berada di bawah pendudukan Inggris dan kekuasaan aristokrat keturunan asing. Sebagaimana lazimnya novel historis, Kifah} T{ibah berbicara tentang sebuah fase sejarah Mesir lama. Namun, ini sebenarnya bukan merupakan usaha menafsirkan atau membangkitkan sejarah Mesir kuno, melainkan lebih sebagai keinginan membawa misi dari masa lalu untuk masa kini, yaitu menyerukan kepada orang-orang Mesir kontemporer untuk melepaskan diri dari pendudukan dan eksploitator sebagaimana masyarakat Mesir kuno melepaskan diri dari sang agresor Hyksos. 82 Istilah “fir’aunis” mengacu pada kaum intelektual Mesir yang mempertahankan pendapat bahwa Mesir kuno memiliki peradaban ribuan tahun sebelum Islam dan Kristen, dan bahwa Mesir modern sekali lagi dapat menjamin tempatnya yang tepat di dunia dengan menghidupkan kembali spirit peradaban kuno itu. T{aha H{usayn, Ah}mad Lut}fi al-Sayyid, dan Tawfiq al-H{akim, untuk menyebut beberapa contoh, adalah para fir’aunis. Lihat, Mattityahu Peled, Religion, My Own: The Literary Works of Najîb Mah}fûz} New Jersey: Transaction, Inc, 1983, 26-7. 77 Najib sebenarnya merencanakan menulis 40 novel historis dan, untuk itu, ia menghadiri kuliah-kuliah tentang sejarah Mesir kuno bersama mahasiswa Jurusan Arkeologi athar di Fakultas Sastra. Namun, rencana ini urung, karena ia sadar bahwa sejarah telah menjadi lemah untuk membuatnya bisa mengatakan apa yang ingin ia katakan. 83 Ia juga sadar bahwa novel bisa mempunyai peran menentukan dalam menangani berbagai masalah dan mengungkapkan problem masyarakat. 84 Ia lalu beralih bercerita tentang realitas, sehingga novel-novelnya menjadi bercorak realis. Melalui novel-novel al- Qahirah al-Jadidah 1945, Khan al-Khalili 1946, Zuqaq al-Midaq 1947, al-Sarab 1948, dan Bidayah wa Nihayah 1949, Bayn al-Qas}rayn 1956, Qas}r al-Shawq 1956, dan al-Sukkariyah 1957 Najib mengkaji secara analitis penyakit-penyakit sosial politik masyarakatnya. 85 Tiga novel terakhir merupakan satu kesatuan dalam apa yang biasa disebut Trilogi. Novel- novel ini ditulisnya antara 1939 dan 1952 dan, menurut pengakuan Najib, penerbitannya selalu terlambat dari penulisannya. Judul novel-novel realis ini, selain dua novel al-Sarab dan Bidayah wa Nihayah , adalah diambil dari sebuah nama tempat di Kairo. Nama tempat- tempat berlangsungnya berbagai peristiwa dan nama banyak tokoh minor dalam novel-novel ini merupakan nama tempat-tempat dan tokoh-tokoh faktual di 83 Mas}ri H{anurah, Masirah ‘Abqariyah, 96. 84 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 53. 85 Kecuali tentang novel al-Sarab, semua kritikus karya-karya Najib sepakat atas corak realis novel-novel ini. Tentang al-Sarab, mereka berbeda pendapat. Ada yang menganggapnya sebagai novel bercorak psikologis dan ada yang menyebutnya bercorak realis. Yang pertama beralasan bahwa al-Sarab berciri individual, dalam arti problematika yang dihadapi tokohnya adalah problematika pribadi tokoh, bukan representasi dari problematika kelas. Problematika tokoh bukan disebabkan oleh keberadaannya dari sebuah kelas, problematikanya bukan karena asal-usul atau atribusi kelasnya, padahal yang mengikat fase realis Najib adalah ekspresi tentang sebuah kelas dan tentang problematika dan penyimpangannya. Dalam novel realis Najib, semua tokoh tidak hanya merepresentasikan diri mereka, tetapi juga masyarakat dan zamannya. Yang kedua beralasan bahwa problematika tokoh al-Sarab memang bersifat individual, tetapi problem individual tokoh tersebut disebabkan oleh situasi zaman, masyarakat, dan milieu yang memungkinkan timbulnya kesewenang-wenangan sang suami terhadap istri, yang berakibat anak mereka tokoh mengalami problem psikologis. Penulis sendiri lebih memilih pandangan kedua, di samping karena alasan yang sama, juga karena alasan bahwa dalam novel al-Sarab juga terpotret kehidupan kontemporer masyarakat Mesir Kairo, termasuk kehidupan keagamaannya yang menjadi tema penelitian penulis. Lihat, Muh}ammad H{asan ‘Abdullah, al-Waqi‘iyah fi al- Riwayah al-‘Arabiyah Kairo: Maktabah Usrah, 2005, 475-6. 78 Kairo. 86 Di samping itu, zaman berlangsungnya peristiwa dalam novel-novel ini adalah zaman, saat Najib hidup. Selain judul, nama-nama tempat peristiwa, nama-nama tokoh minor, dan zaman peristiwanya, fungsi dan artistik novel juga menjadi pengikat realisme novel-novel ini. Novel-novel ini mencerminkan upaya novelis untuk mengungkap relasi-relasi yang menentukan suatu realitas dan menunjukkan masa depan realitas itu. ‘Abd al-Muh}sin T{aha Badar memberikan kriteria novel realis sebagai novel yang mampu mengungkap faktor-faktor yang menentukan fa‘ilah dalam realitas masyarakat tertentu, dan yang sadar bahwa situasi realis yang seimbang merupakan situasi tempat berlangsungnya hubungan dialektis dan berkesinambungn antara realitas dan manusia yang hidup di dalamnya; bahwa problem individu tertentu tidak mungkin dipecahkan sendiri, karena setiap problem --betapapun tampak individualnya-- pada dasarnya merupakan problem sosial, tidak hanya untuk yang mempunyai problem saja; dan bahwa interaksi terus-menerus antara individu dan masyarakat ini berarti suatu gerak perubahan terus-menerus pada dua pihak, tanpa henti. 87 Sebagai novel realis, kedelapan novel Najib ini bercerita tentang realitas masyarakat Mesir baca: Kairo. Judul novel pertama dari kedelapan novel realis ini, al-Qahirah al-Jadidah Kairo Baru, seolah menjadi titik demarkasi novel- novel Najib antara sebelum dan setelahnya. Bila sebelumnya bercerita tentang masyarakat Mesir Kairo Lama, maka novel-novel Najib setelah al-Qahirah al-Jadidah bercerita tentang masyarakat Kairo kontemporer, baik dalam kehidupan sosial, politik maupun keagamaannya. Semuanya terkait dengan 86 Bahkan, dua dari delapan novel ini, yaitu Khan al-Khalili dan Bidayah wa Nihayah , terilhami oleh peristiwa faktual di sekitar Najib. Novel Khan al-Khalili ditulis Najib karena terpengaruh dengan kematian temannya, Shukri ‘Akif, akibat sakit TBC, di samping karena kecintaan dan kenangan-kenangannya tentang distrik Khan al-Khalili. Novel Bidayah wa Nihayah ditulis Najib dari inspirasi kisah nyata sebuah keluarga Mesir yang dikenalnya dengan baik meskipun endingnya berbeda. Setelah penanggung jawab keluarga tiada, anggota keluarga itu hidup susah. Mereka mulai melakukan berbagai macam tipu daya kepada masyarakat hingga mampu hidup, satu hal yang membuat Najib marah dan tertekan. Ia pun ingin menulis novel komedi tentang keluarga ini. Kakak sulung keluarga ini meninggal di RS Qas}r al- ‘Ayni karena kecanduan kokain, sedangkan saudara perempuannya, Nafisah, menjadi perawan tua dalam waktu lama sampai dinikahi oleh lelaki tua yang membutuhkan orang yang merawatnya, tetapi nasib akhirnya tidak seperti yang digambarkan novel. Lihat, Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afah}at, 32-33. 87 ‘Abd al-Muh}sin T{aha Badar, Najib Mah}fuz}: Ru’yah, 235 79 kehidupan Mesir yang sezaman dengan hidup pengarang, dan merefleksikan krisis-krisis generasinya sendiri dari tahun 1920-an sampai tahun 1940-an dan krisis-krisis perang dunia. Periode ini merupakan tahun-tahun revolusi Mesir yang telah mengubah wajah masyarakat Mesir dan secara mendasar mempengaruhi berbagai aktivitas dan orientasi kehidupan mereka. Realisme Najib itu berlangsung lama sampai Revolusi Juli 1952. Revolusi yang dimotori oleh Jamal ‘Abd al-Nas}ir ini menandai awal masa “diam” Najib. Padahal, ia sebelumnya telah menyiapkan rencana menulis tujuh novel lain dengan tendensi kritis dan realistis yang sama, di antaranya “al-‘Atabah al-Khad}ra. ’” Masa diam ini, saat ia tidak menulis karya sastra apa pun, berakhir dengan munculnya novel Awlad H{aratina 1959. Berbagai interpretasi dikembangkan untuk memahami penyebab Najib tidak berkarya dalam rentang waktu kurang lebih lima tahun tersebut. Ia diduga tidak mempunyai ide untuk disampaikan, akibat telah bekerja keras menyelesaikan Trilogi yang memakan waktu 4 tahun, dari 1948-1952. 88 Interpretasi lain menyebutkan bahwa Najib terkejut dengan realitas, problem, dan pemikiran baru yang muncul di masyarakat yang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Perubahan-perubahan ini memaksanya untuk merenung dan berpikir. 89 Lain lagi interpretasi Ghali Shukri. Baginya, diamnya Najib yang lama itu karena ia merasa tidak bebas mengatakan apa yang ingin dikatakannya. Saat kembali menulis lagi, Najib masih terpengaruh dengan krisis yang begitu mendalam di masyarakat Mesir, “krisis kebebasan dan keterbelakangan.” Oleh karena itu, ia di Awlad H{aratina beralih kepada bentuk simbolis, karena ia belum bisa membebaskan dirinya dari perasaan tidak leluasa dalam krisis ini.” Dalam kata yang lebih sederhana, Ghali merasa bahwa Najib mencoba untuk mengatakan sesuatu, tetapi karena menerima atmosfir yang menekan dalam masyarakatnya, ia pertama- tama diam lalu mencoba mengatakannya melalui kedok tulisan simbolis. 90 Najib 88 H{asan H{ammad, al-Mufaraqah fi al-Nas}s} al-Rawa’i: Najib Mah{fuz{ Namudhajan Kairo: al-Majlis al-A‘la li al-Thaqafah, 2005, 9. 89 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afahat, 54. 90 Sasson Somekh, The Changing, 171. 80 sendiri mengaku bahwa setelah revolusi Juli itu berlangsung fungsi kritis menulis menjadi hilang. Ia mengatakan bahwa ia sebenarnya telah menyelesaikan penulisan Trilogi pada April 1952, yakni tiga bulan kurang sebelum revolusi. Karya-karyanya, menurut pengakuannya, merupakan upaya menganalisa dan mengkritisi masyarakat lama. Ketika masyarakat seperti itu telah hilang, ia pun dalam posisi orang yang mencari nilai-nilai baru sebagai sumber inspirasi karyanya. Seni setelah revolusi, apapun revolusinya, baginya, harus berubah dari sebelumnya. Jika ia terus mengkritik masyarakat lama sebagaimana yang dilakukan teman-temannya, berarti ia mengulang-ulang. 91 Dengan Awlad H{aratina 1959, 92 babak baru dalam corak sastra Najib muncul. Karena tidak larut dalam detail sebagaimana karya-karya Najib sebelumnya, novel ini tidak termasuk sastra realis. Ia menggunakan metode berbeda yang lebih dekat pada level simbol. Novel ini adalah sebuah alegori unik sejarah manusia dari awal sampai akhir. Tokoh-tokohnya bukanlah individu- individu masa Najib. Namun, ini tidak berarti bahwa Awlad H{aratina adalah novel historis. Tokoh-tokoh masa lalunya tidak dihadirkan dalam latar sejarah mereka sendiri atau juga dengan nama asli mereka. Mereka dicangkokkan kepada dunia yang diketahui Najib dengan baik, yaitu bagian dari Kairo, tempat novel-novel realis Najib ditulis. 93 Oleh karena itu, novel ini dianggap sebagai penanda corak baru Najib, corak simbolis atau filosifis. Problem sosial dalam novel ini tidak digambarkan secara jelas sebagaimana dalam karya-karya sebelumnya. Novel ini, diakui Najib, lebih dekat dengan pandangan tentang dunia manusia secara umum meskipun tidak lepas dari latar sosial yang jelas. Hanya saja, problem-problem yang mengiringinya dan interpretasi-interpretasi terhadapnya membuat kebanyakan 91 H{asan H{ammad, al-Mufaraqah, 9. 92 Novel ini semula dipublikasikan secara seri dalam al-Ahram dari 21 September sampai 25 Desember 1959 dan pertama kali dipublikasikan dalam bentuk buku pada Januari 1967 oleh Dar al-Adab di Beirut, Lebanon. Setelah pengarang menerima hadiah Nobel tahun 1988, muncul tuntutan publik yang kuat di Mesir dari mayoritas penulis dan kritikus bagi pemublikasiannya. Lihat, Mattityahu Peled, Religion, 97. 93 Sasson Somekh, The Changing, 137. 81 masyarakat pembaca tidak melihat latar ini. Pengabaian latar sosial novel atau -- meminjam istilah Ghali Shukri-- “kebodohan dan keterbelakangan” masyarakat Mesir ini tampaknya turut andil dalam kehebohan novel yang terdiri dari lima bagian ini. Sebagaimana dimaklumi, novel ini telah mengundang protes dari masyarakat, terutama kalangan al-Azhar, setelah halaman sastra di koran al- Jumhuriyah memuat berita bahwa tokoh novel bersambung dalam koran al- Ahram itu simbolisasi para Nabi. Mereka mengadu ke kejaksaan agung dan mashikhah al-Azhar, bahkan kantor kepresidenan, menuntut penghentian publikasi novel yang mereka anggap mengandung kekufuran ini dan mengajukan Najib ke pengadilan. Krisis ini lalu mereda, tetapi meledak lagi setelah Najib meraih nobel, terutama setelah tersiar kabar bahwa keberhasilannya itu berkat novel ini. Anwar al-Jundi --yang pernah mengkafirkan T{aha H{usayn-- pun menulis artikel di majalah al-I‘tis}am, menyerang Najib, dan menyebut seluruh sastranya sebagai kefasikan dan kekufuran. Shaykh al-Ghazali juga menuntutnya menarik novelnya karena dianggapnya telah memenangkan peradaban dunia atas agama. Bahkan, Shaykh ‘Umar ‘Abd al-Rah}man dalam press release yang dipublikasikan koran Kuwait al-Anba’ berfatwa: “Andai kita telah membunuh Najib Mah{fuz} saat mempublikasikan novel Awlad H{aratina , Salman Rushdi tidak akan muncul.” Bagi Najib, tokoh-tokoh al-Azhar dalam krisis ini tertipu. Mereka tidak cukup baik membaca dan memahami novel, bahkan ada yang belum membaca sebelumnya. Dari sini, mereka menginterpretasikan novel dengan tafsir agama, dan memandang bahwa tokoh Adham dalam novel itu menujuk pada Adam, Jabal pada Musa, Rifa‘ah pada Isa al-Masih, dan Qasim pada Muh{ammad. 94 Menurutnya, Awlad H{aratina itu karya sastra, bukan buku agama. Dalam novel bercampur realitas dan simbol; kenyataan dan khayalan. Keduanya sangat berbeda. Dengan berkelakar kepada para jurnalis ia mengatakan: “pembunuhannya yang gagal itu bukti terbesar bahwa al-Jabalawi tidak marah kepadanya.” Ia menyindir orang yang menafsirkan al-Jabalawi sebagai simbol 94 Raja’ al-Naqqash, Najib Mah}fuz}: S{afahat, 142-4. 82 Tuhan. Di mata para shaykh al-Azhar, karya ini merupakan konkretisasi sosok Allah dan para Nabi. Karyanya ini sama sekali tidak memenangkan peradaban dunia atas agama sebagaimana anggapan Shaykh Ghazali, tetapi sebaliknya menegaskan bahwa agama menyelamatkan manusia dari kezaliman. Karyanya itu sarat simbol sebagaimana laiknya banyak karya sastra Arab, seperti Kalilah wa Dimnah . Jabal, Rifa‘ah atau Qasim itu orang-orang baik, bukan orang-orang jahat. Mengatakan bahwa Jabal adalah Musa itu melampaui pembacaan. Jabal di sini adalah anak h}arah. Najib memang mengakui bahwa nama-nama tokoh Awlad H{aratina itu paralel dengan nama-nama nabi dan menjadikan masyarakat sebagai cermin dunia agar menjadi cerita dunia dengan kemasan lokal. Namun, niat baiknya ini ternyata menjadi entry point kelompok-kelompok ekstrim untuk mencela novel dan pengarangnya. Makna utama novel adalah sebuah mimpi besar atas keadilan, pencarian keadilan, dan upaya menjawab pertanyaan esensial: senjata apa untuk mewujudkan keadilan itu kekuatan, cinta atau ilmu pengetahuan. 95 Dengan mengenyampingkan kontroversi yang ada, dapat dipastikan bahwa novel Awlad H{aratina menandai kembalinya Najib setelah masa diam yang lama. Ia kembali dengan kemasan baru dari bahan dasar yang sama, yaitu kenyataan. Ia tidak lagi menamai novelnya dengan nama-nama tempat seperti sebuah lorong atau sebuah distrik di Kairo lama. Kini, nama-nama yang diberikan Najib kepada karyanya “membangkitkan gagasan yang tidak terbatas pada tempat-tempat tertentu yang merupakan latar fisik novel.” Ia tidak lagi menghadirkan potret masyarakat penuh warna, tetapi kini ia memusatkan pada cara seorang individu berpikir dalam interaksinya dengan lingkungan sosial. 96 Kata-kata, baginya, tidak lagi mengandung satu makna tertentu seperti dalam karyanya sebelumnya, tetapi memantulkan banyak makna dalam jiwa, seolah-olah 95 Majalah Nis}f al-Dunya, Wada‘an, 39, 126-127, 181, dan 243-244. 96 Teknik penulisannya ini, menurut Abdul Hadi W.M., adalah teknik “arus kesadaran baru” yang di Indonesia baru dijajagi menjelang tahun 1970. Teknik ini digunakan untuk memungkinkan terkuaknya alam pikiran, gejolak batin, dan dorongan kejiwaan tokoh-tokohnya. Lihat, Abdul Hadi W.M. “Hadiah Nobel untuk Najib Mahfudz” dalam Berita Buana, Jakarta, 25 Oktober 1988. 83 kata-kata puitis yang penuh dengan sugesti. Ini kebalikan dari gaya lamanya yang mayoritas adalah gaya realis deskriptif. Karya-karyanya, seperti al-Lis} wa al- Kilab 1961, al-Summan wa al-Kharif 1962, al-T{ariq 1964, dan al- Shah}h}adh 1965 adalah beberapa contoh karya yang ditulis Najib dalam frame ini. Dalam perkembangan selanjutnya karya-karya Najib lebih bercorak “asli atau tradisional.” Novel-novel yang muncul adalah novel-novel yang menyimpang dari norma-norma novel Eropa yang memandang novel sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisah dari awal, tengah, dan akhir. Ia kini menoleh kepada seni narasi sastra Arab yang asli, terutama yang ditemukan dalam Alfu Laylah wa Laylah . Novel-novel Najib yang lahir dengan corak ini antara lain: al-Maraya 1972, al-Karnak 1974, Hikayat H{aratina 1975, Qalb al-Layl 1975, H{ad}rah al-Muh}taram 1975, dan Malh{amah al- H{arafish 1977. 97 Apa pun coraknya, yang jelas karya-karya Najib lahir dari perenungan yang mendalam dan pengetahuan yang tidak dangkal tentang apa yang ditulisnya. Ini dapat dilihat dari jawabannya ketika ditanya sebab keengganannya untuk mempublikasikan novel yang ditulisnya belakangan yang berlatar salah satu desa di Mesir bahwa ia harus menulis dengan jujur dan mendalam agar menyentuh esensi masalah dan manusia, dan ini menuntutnya hidup di desa, padahal ia sama sekali tidak pernah hidup di desa. 98 Selain itu, berbagai corak yang berubah itu tetap disatukan oleh dua hal: respon atau pandangan tentang realitas, dan keberpihakan Najib terhadap yang lemah, yang tanpa kuasa, dan yang terpinggirkan dalam proses perubahan sosial. Namun, Najib sadar sepenuhnya bahwa teks sastra hanyalah sebuah penyampaian alternatif tentang suatu masyarakat. Oleh karena itu, meskipun berpihak, Najib mengungkapkan keberpihakannya dengan tidak meledak-ledak. 97 Rasheed el-Enany, The Pursuit, xi dan 129-30. Lihat pula, http :www. sis. gov. egegyptinf culturehtmlnmahfouz.htm, Naguib Mahfouz: Biased to Grassroot People Facts, 21 Juni 2007. 98 Majalah Nis}f al-Dunya, Wada‘an, 30. 84 Kesan netral dan moderat muncul dari penggunaannya atas polyphonic narrative seperti dalam Miramar yang menuntut partisipasi aktif dari pihak pembaca. Dengan cara ini, peran dan pandangan aneka ragam kelompok dimainkan oleh tokoh-tokoh yang berlainan melalui bahasa dan wacana yang bertentangan, sementara pengarang menunggu waktu yang tepat untuk memunculkan pandangannya. Sejak 1987 Najib merasa hidup dalam kemandulan kreasi. Ia merasa tidak ingin menulis. Kondisi ini hampir sama dengan “masa jeda”nya menulis setelah Revolusi Juli 1952. Perbedaannya adalah saat itu ia merasa tidak memiliki bahan yang ditulis setelah revolusi mewujudkan banyak hal yang pernah diimpikannya agar terwujud melalui novel-novelnya. Namun, kini ia merasa bahwa dorongan untuk menulis ada dan ia mempunyai banyak tema, tetapi saat ia memegang pena, hilanglah semua dorongan menulis. Menurutnya, kondisi ini disebabkan oleh: 1 saat ingin mulai menulis, ia disergap perasaan bahwa temanya sudah usang dan pernah dibahasnya dalam karya-karya sebelumnya atau problemnya remeh dan tidak layak ditulis; 2 sebab umum, yaitu saat sastrawan bertambah usia, pemikirannya terbatas pada waktu, kematian, dan masalah- masalah filsafat. Tulisan-tulisannya tampak sedih dan ingin kembali ke masa lalu; dan 3 matanya lemah dan merasa kepayahan apabila melakukan proses menulis. 99

D. Gaya Sastra Najib Mah}fuz}