Rencana Pengadaan Bahan Baku Kelas A dan Realisasinya

56

6.3. Rencana Pengadaan Bahan Baku Kelas A dan Realisasinya

Sistem pengadaan dan pengelolaan persediaan bahan baku ditentukan oleh jumlah produk yang ingin dihasilkan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Cakupan dalam sistem pengelolaan persediaan bahan baku, meliputi peramalan permintaan produk, perencanaan kapasitas produksi dan proses pengadaan bahan baku. Dalam hal pengadaan bahan baku beserta pengelolaan persediaannya, PT XYZ menggunakan sistem MRP dalam perencanaan penggunaan dan JIT Just in Time untuk pengadaan bahan baku. Sistem JIT menerapkan proses produksi tarik dimana saat barang diperlukan, saat itu juga dimintakan kepada pemasok dengan mempertimbangkan faktor waktu transportasi, quality inspection, proses bongkar muat serta penimbangan bahan baku. Masalah akan muncul saat bahan baku yang dibutuhkan tidak tersedia di pemasok atau saat bahan baku tidak memenuhi standar saat dilakukan first quality inspection. Sebelum menggunakan sistem pengadaan bahan baku secara JIT, perusahaan mengelola sendiri persedian bahan baku di pabrik. Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan tuntutan akan penghematan, keberadaan gudang diperkecil bahkan untuk gudang barang jadi sudah tidak ada lagi. Keterbatasan lokasi penyimpanan atas dasar penghematan biaya tersebut menuntut perusahaan untuk semakin mengetatkan pengawasan terhadap persediaan. Pertimbangan yang menjadi dasar dalam penggunaan sistem JIT bagi perusahaan adalah bahwa sistem tersebut tidak memerlukan penggunaan lokasi penyimpanan yang besar oleh perusahaan. Bahan baku didatangkan saat akan diperlukan. Selain lokasi, pertimbangan yang juga menjadi penting adalah mengenai biaya. JIT dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan terutama dalam bentuk pengurangan biaya penyimpanan bahan baku, biaya transportasi dan biaya yang disebabkan oleh waktu tunggu. Kendala akan muncul saat terjadi perubahan mendadak pada MPS. Apabila terjadi perubahan volum produksi atau perubahan varian yang akan diproduksi secara mendadak, dan pemasok tidak dapat memenuhi kuota bahan baku yang diperlukan, akan terjadi downtime produksi. Selain itu, kemungkinan terjadinya bahan baku yang ditolak 57 oleh departemen quality karena tidak sesuai dengan spesifikasi juga perlu dipertimbangkan. Seperti sudah dibahas pada sub bab sebelumnya bahwa terjadi kesalahan peramalan permintaan produk biskuit yang menyebabkan bias pada penggunaan bahan baku produksi. Akibat kesalahan peramalan permintaan tersebut, jumlah bahan baku produksi yang telah direncanakan untuk proses produksi juga mengalami perbedaan dengan jumlah aktual yang digunakan untuk proses produksi. Pada Lampiran 4 dapat dilihat perbandingan antara bahan baku kelas A yang telah direncanakan untuk proses produksi dengan realisasi penggunannya. Nilai bias yang diperoleh akibat kesalahan peramalan kebutuhan bahan baku kelas A paling tinggi adalah ketidaktersediaan gula sebesar 490 kg yang menyebabkan perusahaan tidak dapat memproduksi 81 kg biskuit. Sedangkan nilai bias paling kecil adalah sebesar kurang dari 1 kg bubuk cokelat yang menyebabkan penalti berupa kerugian yang kemungkinan akan diterima perusahaan senilai kurang dari 5 kg biskuit. Nilai minus pada nilai bias menunjukkan bahwa perusahaan mengalami kekurangan bahan baku yang menyebabkan perusahaan mengalami gagal produksi sebesar nilai MSE. Nilai kesalahan persentase absolut rata-rata Mean Absolute Percentage Error yang terjadi akibat kesalahan peramalan paling besar pada bahan baku gula dan tepung terigu sebesar 9 persen dan paling sedikit pada bahan baku bubuk cokelat sebesar 5 persen. Ketidaktersediaan bahan baku di PT XYZ tidak sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan perencanaan permintaan produk. Terkadang, ketidak tersediaan bahan baku juga disebabkan oleh beberapa kendala eksternal dalam pengiriman dan kendala internal dalam quality inspection. Selama periode 2010, terjadi beberapa kali penolakan bahan baku karena quality issue. Tren pengiriman bahan baku dapat dilihat pada gambar dibawah ini 58 Gambar 5 . Tren Pengiriman Bahan Baku Kelas A di PT XYZ Periode 2010 Sumber: PT XYZ, 2010 Dari Gambar 5 diatas, dapat dilihat bahwa pengiriman bahan baku yang paling sesuai dengan rencana yaitu pada bahan baku tepung terigu. Sebanyak 88 persen dari jadwal penggunaan bahan baku terigu sesuai dengan rencana dan langsung dapat digunakan untuk produksi. Sedangkan 9 persennya ditolak karena tidak sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan. Selanjutnya yaitu bahan baku bubuk cokelat. Sebesar 70 persen dari pengiriman langsung dapat digunakan. Sedangkan pengiriman bahan baku kelas A yang paling sering menemui masalah adalah pada bahan baku gula. Hanya 46 persen dari keseluruhan pengiriman di tahun 2010 yang langsung dapat dirilis untuk proses produksi. Bahan baku yang paling sering di tolak karena quality issue yaitu gula sebesar 18 persen dan tepung sebesar 9 persen. Quality issue yang sering ditemukan ada 3 macam, yaitu: 1. Kesegarannya kurang dari 40 persen 2. Masa pakainya kurang dari 40 persen 3. Ditemukan serangga pada bahan baku Bahan baku bubuk cokelat tidak pernah mengalami penolakan akibat quality issue. Hal ini dikarenakan pemasok bahan baku bubuk cokelat adalah pemasok tunggal yang digunakan di seluruh pabrik biskuit OR dan secara berkala tim quality dari Global XYZ Inspection mengadakan inspeksi ke pabrik bubuk cokelat tersebut. Yang menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan akan bubuk cokelat yaitu masalah pengiriman. Sebesar 30 dari total rencana pengiriman bahan baku bubuk cokelat mengalami keterlambatan. Keterlambatan tersebut terutama dikarenakan proses transportasi dan administrasi di pabean. Bahan baku bubuk cokelat diimpor dari Amerika Serikat, dengan waktu pengiriman lewat laut selama kurang lebih 2-3 bulan. Proses pabean yang dilakukan untuk mengeluarkan barang tersebut memakan waktu 3-7 hari kerja efektif. Keterlambatan juga sering dialami oleh gula, yaitu sebesar 36 persen dari total rencana pengiriman. Untuk bahan baku gula, keterlambatan pengiriman terutama disebabkan oleh ketidak tersediaan gula di tingkat pemasok. Bahan baku 59 kelas A yang paling jarang mengalami keterlambatan yaitu tepung. Hanya 3 persen dari total rencana pengiriman yang mengalami keterlambatan. S ebelum melakukan pembelian bahan baku, terlebih dahulu perusahaan melakukan sampling terhadap bahan baku. Sampling ini dilakukan untuk memastikan bahwa bahan baku tersebut sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan. Pemilihan pemasok dilakukan oleh bagian pembelian dengan berkoordinasi dengan bagian produksi dan quality. Pada dasarnya, pemasok hanyalah distributor dari suatu produsen. Bagian quality sudah menentukan produsen-produsen mana saja yang barangnya bisa digunakan untuk proses produksi, sehingga bagian pembelian cukup mencari distributor dari produsen tersebut. Setelah MPS dan MRP disusun, bagian pembelian melakukan perincian mengenai kapan waktu pemesanan, dan kapan barang tersebut harus masuk ke gudang untuk kemudian digunakan untuk proses pembuatan biskuit. Rencana produksi tersebut juga diberikan kepada pemasok, beserta tanggal pengiriman bahan baku yang direncanakan, dengan harapan pemasok juga dapat mempersiapkan persediannya di gudang mereka. Keikutsertaan pemasok dalam proses produksi dilakukan sebagai integrasi terpadu dari konsep supply chain management. Dalam manajemen logistik, pengurusan bahan baku termasuk distribusi hanya pada tingkat internal saja. Tetapi pada supply chain management, pengurusan menyangkut arus barang sejak masih dalam tahap bahan baku sampai dengan barang jadi diterima konsumen akhir. Proses penerimaan bahan baku dilakukan setelah departemen quality menyatakan bahan baku tersebut sesuai dengan standar dan bisa digunakan untuk proses produksi. Bahan baku diterima oleh bagian incoming di gudang. Bagian incoming melakukan pengecekan. Pengecekan tersebut meliputi cek fisik, perhitungan, pemberian label, dan lokasi peletakkan bahan baku. Hasilnya, langsung diinput kedalam sistem SAP, sehingga bagian produksi dan bagian- bagian lain yang berkepentingan dapat langsung mengetahui bahwa bahan baku tersebut sudah ada di gudang dan siap digunakan. 1. Cek fisik; pengecekan fisik yang dilakukan yaitu kesesuaian antara lot yang tertera di surat jalan dengan lot yang dikirim 60 2. Perhitungan; yang dilakukan dalam proses perhitungan yaitu jumlah bahan baku yang dipesan dan dikirim, serta tingkat persediaan bahan baku yang ada di gudang 3. Pemberian label; proses pemberian label pada bahan baku meliputi pencatatan mengenai nama bahan baku, tanggal terima bahan baku, tanggal kadaluarsa bahan baku, dan posisi penempatan bahan baku 4. Lokasi peletakkan bahan baku; setelah diberi label, bahan baku disimpan di lokasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Sistem warehousing atau pergudangan yaitu sistem tata letak dan penyimpanan bahan baku. Di PT XYZ, bahan baku disimpan dalam rak. Hal ini dimaksudkan untuk menghemat lokasi penyimpanan. Karena kapasitas gudang yang tidak terlalu besar dengan jumlah kebutuhan bahan baku yang cukup tinggi. Tujuan pengadaan sistem pergudangan di PT XYZ adalah sebagai berikut: 1. Untuk pergerakan bahan baku. Pergerakan bahan baku yang dimaksud disini adalah penerimaan bahan baku, persiapan dan pemisahan bahan baku produksi serta pengeluaran barang jadi. 2. Untuk penyimpanan. Dalam kapasitasnya sebagai tempat penyimpanan bahan baku, secara teori, ada dua jenis penyimpanan. Penyimpanan tersebut yaitu penyimpanan sementara dan penyimpanan semi permanen. Yang dimaksud dengan lokasi penyimpanan sementara yaitu bahwa gudang hanya digunakan untuk lokasi penyimpanan sementara ketika bahan baku tersebut diterima dari pemasok sampai dengan bahan baku tersebut digunakan dalam proses produksi. Sedangkan tujuan penyimpanan semi permanen lebih menekankan pada pengendalian persediaan pengaman safety stock. Gudang dijadikan lokasi untuk menyimpan bahan baku yang digunakan untuk cadangan pengaman. Dengan tujuan tersebut, maka tidak akan ada produksi yang didelay karena ketidak tersediaan bahan baku. Dalam kenyataannya di PT XYZ, gudang tidak ditujukan untuk fungsi kedua tersebut. Selain karena masalah penghematan biaya, juga karena keterbatasan lokasi gudang. 3. Untuk persiapan bahan baku dan dispatching. Gudang dijadikan lokasi untuk mempersiapkan bahan baku, termasuk proses penimbangannya dan persiapan komposisi yang dibutuhkan untuk setiap batch produk jadi. Dalam tahap 61 persiapan ini, PT XYZ menggunakan sistem Kanban atau sistem produksi tarik. Maksudnya adalah bahan baku baru akan di ambil lagi ke bagian produksi apabila bahan baku yang sebelumnya sudah habis digunakan, sehingga tidak ada penumpukan bahan baku di produksi. Fungsi dispatching maksudnya adalah pelepasan bahan baku. Posisi rak diatur berdasarkan tipe bahan baku dan kapasitas penggunannya. PT XYZ memberikan perhatian khusus pada bahan baku kelas A, bahwa rak yang digunakan untuk menyimpan bahan baku kelas A berjumlah lebih banyak daripada bahan baku lain. Hal ini dikarenakan arus keluar-masuk barang yang cukup tinggi dan cepat. Untuk bahan baku tepung, penyimpanannya diletakkan di silo berkapasitas maksimum 100 ton, sedangkan bubuk cokelat dan gula diletakkan dalam rak di ruang ambient dengan kapasitas masing-masing 58,5 ton dan 196 ton. Kapasitas rak yang digunakan untuk gula lebih besar karena, sebelum dipakai pada proses produksi biskuit, gula terlebih dahulu digiling menjadi gula halus. Bahan baku di gudang, dicatat dengan sistem FEFO first expired first out karena bahkan seandainya bahan baku berasal dari satu pemasok, belum tentu bahan baku tersebut berasal dari lot produksi yang sama. Bahan baku dikelompokkan berdasarkan lot produksinya kemudian dipisah berdasarkan masa pakai paling singkat. Bahan baku yang masa pakainya paling pendek diletakkan di rak yang paling bawah, semakin ke atas, masa pakainya semakin lama. Sistem FEFO terkadang menimbulkan masalah di bagian akunting. Terutama karena harga bahan baku saat dibeli berbeda dengan harga bahan baku saat akan digunakan untuk produksi, yang akan merubah biaya pembuatan produk. PT XYZ menggunakan perhitungan biaya rata-rata dimana, nilai barang dihitung dari rata-rata nilai pembelian bahan baku saat dibeli dengan saat digunakan. Nilai rata-rata tersebut juga yang digunakan dalam analisis biaya dan analisis ABC dalam penelitian ini. Sistem FEFO dilanjutkan dengan sistem FIFO first in first out. Bahan baku yang sudah dirutkan menurut masa pakainya, kemudian diurutkan lagi berdasarkan yang pertama kali masuk dengan yang terakhir dengan masa pakai 62 yang sama. Bahan baku yang datang lebih dulu, diletakkan di rak bagian depan, semakin ke belakang bahan baku adalah bahan baku yang datang paling akhir.

6.4. Sistem Persediaan yang Optimal