merupakan sebuah kelompok politik. Sebagai sebuah kelompok politik, Nur Alam mampu mengangkat isu-isu strategis menjadi tujuan kelompok dan
mengoptimalisasikan anggota, jejaring kelompok serta solidaritas kelompok untuk mencapai tujuan kelompok, dan kedua kubu NUSA sebagai bentuk
keterwakilan masyarakat bagian daratan provinsi Sultra yang mayoritas beretnis Tolaki.
Dalam keterwakilan masyarakat etnis Tolaki ini, Nur Alam berangkat dari identitas sosial etnis Tolaki baik dalam kehidupan masyarakat terlebih dalam
kehidupan politik dimana enis Tolaki selalu tidak mendominasi. Identitas sosial etnis Tolaki baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan
politik menjadi dasar serta tujuan politik Nur Alam. Selanjutnya Nur Alam mampu mengangkat kepentingan dan tujuan politiknya sebagai isu kepentingan
etnisitas serta sebagai kebutuhan yang harus diperjuangkan bersama masyarakat etnis Tolaki. Hal ini memungkinkan Nur Alam untuk menggunakan kekuatan
politik berbasis etnisitas serta kedekatan emosional dan primordial etnis Tolaki.
5.3.1 NUSA Sebagai Kelompok Politik
Dalam pilkada Sultra 2007, NUSA merupakan salah satu kubu yang ikut bertarung untuk memperebutkan kemenangan kursi kepala daerah disamping tiga
kubu lainnya. Nur Alam sebagai “penggerak” kubu NUSA memegang kendali penting sebagai peribadi yang memberikan kontrol langsung terhadap apa yang
seharusnya dilakukan oleh kubu NUSA. Kubu NUSA memiliki keanggotaan yang mendukung keberhasilan kubu, dalam sistem politik pilkada, keanggotaan ini
menjadi sebuah tim yang memiliki tujuan berasama. Keanggotaan dalam tim ini tidak mengenal batasan etnis namun lebih kepada tujuan bersama yaitu tujuan
politik, tujuan satu tim. Masing-masing anggota kelompok dengan latar belakang etnis, agama, keturunan serta profesi berbeda menjadi satu dengan adanya tujuan
kelompok yang sama. Informan bapak A.J memberikan informasi bahwa salah satu kesuksesan Nur Alam dalam Pulgub Sultra adalah kemampuannya
menggalang orang-perorang ataupun kelompok menjadi satu dalam tim kubu NUSA. Dalam satu tim, identitas perorangan menjadi sekunder dibandingkan
identitas kelompok. Berikut penuturan bapak A.J:
“…Nur Alam itu pintar. Dia mampu menggalang orang-orangnya dari berbagai latar belakang menjadi teman satu timnya. Dia juga mampu
menggerakkan orang-orang yang ada dalam timnya bekerja keras untuk mencapai tujuan politiknya. Mungkin orang mau bekerja dalam timnya
karena kansnya untuk menang besar tapi bisa jadi juga ada “kontrak kerja” setelah NUSA menang nantinya”.
Sebagai sebuah tim, kubu NUSA didukung oleh ikatan solidaritas bersama anggota tim, tanpa melihat berbagai motivasi atau kepentingan individu lainnya.
Meskipun kelompok kubu NUSA terdiri dari individu-individu yang memainkan peranan politik, namun tujuan kelompoklah yang menjadi tujuan utama dan
didahulukan oleh individu. Kekuatan NUSA sebagai sebuah kelompok politik terletak pada
instrumen-instrumen jaringan politik yang dapat digunakan untuk mendukung tercapainya tujuan kelompok politik ini. Latar belakang figur politik yang dibawa
oleh Nur Alam dan Saleh Lasata memungkinkan beragam jaringan politik dapat digunakan. Nur Alam sebagai seorang politikus, ketua Partai Amanat Nasional
sekaligus pengusaha memungkinkan penggunaan jaringan politik berdasarkan latar belakang tersebut. Jaringan partai, jaringan kelompok politik lebih khusus
lagi jaringan dewan legislatif yang pernah diduduki oleh Nur Alam serta jaringan pengusaha dimana Nur Alam pernah menjadi ketua Gapensi Sultra menjadikan
hubungan jaringan dapat terbangun lebih luas. Jaringan kepartaian yang digunakan sebagai basis kekuatan kelompok
politik misalnya dengan menggerakkan anggota partai di setiap wilayah KabupatenKota, Kecamatan hingga Desa atau Kelurahan untuk mendukung
pergerakan politik pada pilgub Sultra 2007. Jaringan kepartaian yang terhubung hingga wilayah pedesaan dan kelurahan memungkinkan melihat potensi strategis
yang ada di KelurahanDesa misalnya basis agama sebagai sumber kekuatan, kelompok pemuda atau potensi strategis lainnya.
Jaringan pengusaha terutama digunakan untuk mendukung keuangan yang tidak sedikit dan digunakan selama masa pilgub berlangsung. Pembiayaan atas
proses pilgub yang dihadapi seperti pembiayaan iklan televisi, baliho, stiker-stiker atau pembiayaan logistik dan akomodasi membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Perbedaan sistem politik dari pemilihan berdasarkan keputusan dewan legislatif menjadi pemilihan langsung oleh masyarakat menimbulkan pembengkakan
kebutuhan keungan dan pengeluaran selama pilgub berlangsung. Sistem politik dengan pemilihan dewan legislatif menempuh jalan tidak sesulit sistem saat ini.
Dalam sistem pemilihan melalui dewan legislatif, figur yang ingin menjadi pemimpin cukup masuk ke dalam partai yang memiliki fraksi di dewan kemudian
melakukan lobi-lobi politik beserta komitmen terhadap anggota dewan langsung mendapatkan hasil dengan pencalonan berdasarkan fraksi tersebut. Hal ini
berbeda dengan sistem politik pemilihan yang digelar secara langsung. Figur harus melakukan pendekatan tidak saja terhadap partai politik yang memiliki kursi
fraksi di dewan, tetapi juga harus mampu membangun kepercayaan masyarakat di seluruh wilayah yang akan memilihnya. Pendekatan terhadap dua kelompok
politik tersebut tentunya membutuhkan dana dan biaya yang tidak sedikit ditambah lagi membutuhkan tim sukses dengan skema yang sempurna agar
mendukung proses politik.
5.3.2 Formasi Etnis dalam Kubu NUSA