2.3 Perkembangan Budaya Politik, Pola Interaksi serta Nilai Sosial Etnis
Tolaki
Etnis
6
Tolaki tersebar secara meluas di hampir seluruh wilayah Sulawesi Tenggara, tidak seperti etnis Buton dan Muna yang memiliki daerah pemusatan
kelompok masyarakat tersendiri. Etnis Tolaki secara umum berasal dari kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga. Dalam penelitian ini, pengkajian terhadap
subyek penelitian tidak melakukan pembedaan atas asal-usul dari kerajaan mana etnis Tolaki berasal, hal ini disebabkan pemakaian individu sebagai subyek
penelitian, selain itu, Tamburaka 2004 juga menjelaskan bahwa penduduk Kolaka kerajaan Mekongga dan Kendari kerajaan Konawe merupakan bagian
yang tidak dapat terpisahkan dan DR. Kruyt dalam Tamburaka 2004 juga menjelaskan bahwa orang Tolaki mendiami daerah yang sangat luas yang meliputi
kerajaan Mekongga dan kerajaan Konawe. Selanjutnya dijelaskan bahwa bahasa dan adat-istiadat orang-orang etnis Tolaki yang diam di landscahp Mekongga
hanya berbeda sedikit skali dari orang Tolaki di landschap Konawe, sehingga secara pasti dapat dikatakan bahwa mereka semua adalah rumpun orang-orang
suku Tolaki. Namun demikian, penjelasan mengenai kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga dianggap penting untuk menyajikan gambarakan mengenai
etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara. Dari segi administrasi, wilayah Kendari saat ini sebagian besar merupakan
wilayah yang meliputi bekas kerajaan Konawe. Sedangkan kerajaan Konawe yang asal mula katanya adalah Konaweeha yang merupakan sungai yang memberikan
kesuburan dan kemakmuran bagi masyarakatnya, memiliki wilayah yang sangat luas. Wilayah tersebut berbatas langsung dengan wilayah propinsi Sulawesi
Tengah kerajaan Bungku dan kerajaan Luwu di bagian Utara, Teluk Bone dan kerajaan Mekongga kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara di bagian Barat, selat
Tiworo dan selat Buton di bagian Selatan, dan dibagian Timur berbatas langsung
6
Glazer 2000 membedakan antara culture dan ethnicity dimana ethnic lebih kepada bentuk sebuah kelompok sedangkan culture merupakan nilai yang berlaku dalam
kelompok tersebut.
dengan laut Maluku. Namun demikian, wilayah Kendari ini serta berubah ketika Kendari berubah dari bentuk kerajaan Konawe.
Seperti dengan kesultanan Buton, kerajaan Konawe juga mendapat pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Pengaruh ini dapat terlihat dari
sistem politik yang beribah serta sistem lainnya. Pada awal kerajaan Konawe, hukum serta sistem politik selalu bersumber dari hukum adat dan hal ini
tergantikan menjadi politik berdasarkan hukum-hukum Islam yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadits. Sistem pemerintahan ini cenderung mengarah pada
sistem musyawarah atas mufakat, dan kegotong-royongan. Selain itu, masyarakat tidak dibedakan jenis ras dan strata masyarakat tetapi masyarakat merupakan
kelompok yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Asas kemanusiaan merupakan prinsip yang menjadi pegangan kerajaan Konawe ketika politik Islam
berlaku. Dalam bidang sosial budaya, masuknya agama Islam mempengaruhi
pergeseran nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Apabila sistem adat memberlakukan strata sosial berdasarkan asal-usul keluarga, yaitu anak dari
keturunan kerajaan mutlak memiliki status sosial yang tinggi, maka pada sistem hukum Islam hal ini tidak berlaku. Status sosial diperolah bukan atas dasar
keturunan tetapi lebih berorientasi pada perjuangan. Sehingga pendidikan Islam melahirkan elit-elit baru yaitu; elit politik, elit ilmu pengetahuan, elit harta benda
dan elit bangsawan yang pengaruhnya hanya terlihat pada kehidupan bermasyarakat semata.
Daerah Mekongga pada mulanya bernama Wonua Sorume atau Wonua ”Unamendaa”. Seperti kerajaan Konawe, kerajaan Mekongga juga mendapat
pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Penyebaran agama Islam di kerajaan Mekongga dilakukan melalui tiga jalur, yaitu;
a. Jalur pendidikan, dilaksanakan oleh para da’i diawali dengan
memberikan pengetahuan yang mudah dimengerti oleh masyarakat, bertetangga dan bernegara, sampai kepada hal-hal yang menyangkut
hidup berumah tangga. Di samping itu diperkenalkan sikap bertingkah
laku, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin suatu kelompok atau golongan dalam masyarakat.
b. Perkawinan, penyebaran agama Islam melalui perkawinan dilakukan
pertama kali oleh seorang guru agama da’i dari Luwu yang menikah dengan keluarga bangsawan. Selanjutnya jalur pernikahan ini diikuti
oleh da’i lainnya, sehingga di Kolaka banyak terdapat keturunan masyarakat yang berasal dari daerah Luwu dan Bone.
c. Saluran Islamisasi melalui perdagangan dilakukan oleh orang Bugis
yang telah menganut agama Islam dan juga datang untuk berdagang. Kerajaan Mekongga membina hubungan dengan kerajaan Konawe, Wolio,
Muna, Tiworo, Moronene, kerajaan Bone dan Luwu. Hubungan kerajaan Konawe dan Mekongga berlangsung sejak raja pertama. Selain itu, raja Mekongga dan raja
Konawe adalah bersaudara. Hubungan kekeluargaan keduanya dipererat lagi dengan adanya perkawinan antar keturunan.
Dalam sidang paripurna dan seminar nasional yang diadakan di Kendari pada tanggal 24 Agustus 1999, terdapat keputusan yang mengangkat sejarah
masyarakat Sulawesi Tenggara yaitu diterimanya Haluoleo sebagai pahlawan nasional. Haluoleo lebih dikenal sebagai tokoh yang beretnis Tolaki, namun
demikian, dalam penjelajahan sejarah, Tamburaka 2004 mejelaskan bahwa Haluoleo merupakan pahlawan pemersatu masyarakat Sulawesi Tenggara yang
terdiri dari beragam etnis. Awal karirnya, Haluoleo berkedudukan sebagai Tamalaki Pobendeno Wonua panglima perang di kerajaan Konawe, Mekongga
dan Moronene 1520-1530. Selanjutnya Haluoleo menjadi raja ke VII di kerajaan Muna dengan gelar Raja Lakolaponto 1530-1538. Pada tahun 1538, Haluoleo
diangkat menjadi raja Buton ke VI 1538-1541 dan kemudian dinobatkan menjadi Sultan Buton I dengan gelar Sultan Qaimoeddin Khalifatul Khamiz
1541-1587 dan setelah mangkat pada tahun 1587 diberi gelar Murhum. Demikian sejarah Sulawesi Tenggara dan hadirnya tokoh etnis Tolaki yang
menjadi pemersatu beragam etnis di Sulawesi Tenggara sekaligus menjabat sebagai pemimpin atau raja di periode tertentu. Meskipun demikian, dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari saat ini pengakuan atas kehadiran tokoh etnis
Tolaki sebagai pemersatu tidak begitu dihiraukan oleh masyarakat, sehingga perjalanan sejarah seolah-olah menjadi kabur, bahkan masyarakat etnis lainnya
cenderung untuk menyangsikan dan meragukan atas sejarah tersebut beberapa percakapan dengan masyarakat etnis Muna dan Buton memperlihatkan
kecenderungan yang serupa.
2.4 Kerangka Pemikiran