menjadi sumber kekuatan dalam upaya memperkenalkan figur pemimpin dan menggalang suara dari masyarakat. Seluruh aspek politik strategis meliputi aspek
ikatan primordial etnis Tolaki, kekuatan jaringan partai politik serta kekuatan figur calon Gubernur dan wakilnya diyakini menjadi basis kekuatan yang
mendukung tercapainya kemenangan kubu NUSA. Konteks pemilihan Gubernur Sultra dengan menghadirkan figur beretnis Tolaki dari setiap kubu pasangan,
menyebabkan tidak efisiennya jaringan etnisitas saja sebagai basis kekuatan politik sebab suara masyarakat begitu pula elit politik akan terbagi-bagi ke dalam
kubu-kubu tertentu. Namun demikian, primordial tetap teroptimalisasi ketika Nur Alam mampu menggerakkan figur politik lokal sebagai agen sosialisasi untuk
menyentuh sisi psikologis masyarakat tingkat mikro. Oleh karenanya, yang membedakan antara Nur Alam dengan figur Tolaki lainnya adalah kemampuan
menggerakkan figur lokal yang lebih memiliki kedekatan emosional masyarakat dibanding dengan figur Nur Alam sendiri sebagai calon Gubernur.
Akhirnya, bab ini dimaksudkan untuk membahas dan menjawab dua pertanyaan penelitian, yaitu mengenai perilaku politik elit beretnis Tolaki dan juga
signifikasi etnis Tolaki terhadap pemenangan kubu NUSA yang dilekatkan dengan identitas etnis Tolaki. Penjabaran di atas telah menjawab dengan baik dua
pertanyaan penelitian sekaligus, sehingga tujuan kedua dan ketiga dari penelitian telah dicapai. Melalui penjabaran yang telah dipaparkan, pada bab selanjutnya
akan dilakukan penarikan kesimpulan terkait tiga tujuan peelitian yang ingin dicapai.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sehubungan dengan tujuan penelitian yang
ingin dicapai. Penjabaran kesimpulan tersebut adalah: 1.
Dalam sejarah perjalanan peta politik Sultra, etnis Tolaki sebagai etnis daratan Sultra tergolong ”inferior” dibandingkan dengan etnis kepulauan
Sultra. Hal ini terlihat ketika figur beretnis Tolaki hanya mampu menduduki posisi pendamping pemimpin utama seperti sebagai Wakil
Gubernur. Di sisi lain, etnis kepulauan selalu mendominasi kekuasaan politik dan birokrasi di Sultra. Etnis Tolaki hanya satu kali menjabat
sebagai Gubernur Sultra yaitu pada periode 1978-1982 oleh Drs. Abdullah Silondae, sedangkan periode lainnya, hanya sebagai Wakil Gubernur
Sultra. Sistem pemilihan Gubernur melalui dewan legislatif, dengan komposisi dominasi kontrol lebih dipegang oleh etnis kepulauan, semakin
menutup peluang etnis Tolaki sebagai etnis daratan muncul sebagai figur pemimpin utama.
2. Menghadapi dikotomis wilayah daratan versus kepulauan, pemilihan
Gubernur Sultra periode 2008-2013 dengan sistem pemilihan yang telah berubah yaitu pemilihan langsung oleh masyarakat adalah ajang untuk
membuktikan kemampuan bahwa etnis Tolaki mampu hadir sebagai orang ”nomor satu” Sultra dan memungkinkan untuk mendominasi kontrol
terhadap segi kehidupan sosial politik Sultra. 3.
Perilaku politik etnis Tolaki didasari oleh motif-motif yang terinternalisasi dalam diri individu aktor beretnis Tolaki. Nilai kepemimpinan yang diatur
dalam Kalosara, pedoman hidup orang Tolaki yang menjadi modal dasar jiwa kepemimpinan orang Tolaki serta sejarah perjalanan peta politik
Sultra dimana etnis Tolaki tidak mendominasi merupakan dua motif dasar perilaku politik etnis Tolaki. Motif ini kemudian membentuk tujuan politik
berupa perubahan atas posisi dan peran etnis Tolaki dalam peta politik Sultra. Pemilihan Gubernur Sultra 2007 merupakan sebuah momentum
untuk mewujudkan tujuan politik etnis Tolaki. Beragam aksi dilakukan untuk mewujudkan tujuan politik etnis Tolaki melalui pengoptimalisasian
aspek-aspek strategis dalam pilkada. Media massa, kelompok-kelompok masyarakat, partai politik serta pencitraan figur politik adalah aspek-aspek
strategis yang digunakan oleh etnis Tolaki dalam pilkada 2007. Pengoptimalisasian beragam aspek strategis ini selain untuk menggalang
suara masyarakat juga ditujukan untuk memperoleh peran-peran dan posisi strategis dalam peta politik Sultra.
4. Menghadapi situasi politik pilkada dimana figur etnis Tolaki selalu ada
dalam setiap pasangan calon, kubu NUSA dengan Nur Alam sebagai figur utamanya, mengoptimalisasikan figur – figur lokal di tingkat mikro untuk
mendapatkan suara dari masyarakat khususnya masyarakat wilayah daratan. Hal ini lebih memberikan esensi terhadap peranan etnis Tolaki
dalam pemenangan kubu NUSA. Jadi dalam menentukan pilihan politik, masyarakat tidak hanya didasari oleh faktor kesamaan etnis saja tetapi
lebih dikarenakan hadirnya figur lokal yang menyentuh sisi psikologis dan kedekatan emosional masyarakat. Hal ini menujukkan konsep primordial
sebagai basis legitimasi baru dalam masyarakat yang dikemukakan oleh Soetarto dan Shohibuddin 2004 harus diletakkan pada konteks kondisi
sosial politik yang berlaku dalam masyarakat. 5.
Motivasi perilaku politik, bentuk perilaku politik melalui optimalisasi aspek strategis Pilkada serta tujuan perubahan peranan dalam peta politik
Sultra adalah serangkaian tindakan sosial yang ditunjukkan oleh etnis Tolaki. Hal tersebut menujukkan berlakunya teori Weber mengenai
tindakan sosial sebagai obyek sosiologi yang memiliki tiga aspek penting yaitu motif sebagai landasan berperilaku, wujud perilaku serta tujuan
perilaku.
7.2 Saran