Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus : Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007)

(1)

(Kasus: Kubu NUS

ARY

SE

INST

TA

SA Dalam P Ta

YUNI SA

EKOLAH

TITUT PE

AHUN 2007

emilihan G ahun 2007)

ALPIAN

PASCAS

ERTANIA

2009

7

ubernur Su

NA JABA

ARJANA

AN BOGO

ulawesi Teng

AR

A

OR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007) adalah merupakan karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

Aryuni Salpiana Jabar NIM: I351060081


(3)

Aryuni Salpiana Jabar, Political Behaviour Of Tolaki Ethnic In 2007 South Of East Sulawesi Governor Election (Case: Group Of NUSA in 2007

South Of East Sulawesi Governor Election). Under direction of Said Rusli and

Saharuddin.

In political world, political action refers to the amount of political behaviour which done by political elite or political actor. That political behaviour based political motivation and amount of purpose and political expectant. Society in South of East Sulawesi (Sultra) go to local democration by system of local government election. This study aims to investigate “why” and “how” political behaviour of Tolaki ethnic as individual actor. This is a qualitative study which use primary and secondary data.

The findings of this study show leader values of Tolaki ethnic which internalize in them self and history of political configuration in Sultra that Tolaki ethnic not dominate, be political motivation for Individual Tolaki ethnic. Governor election is one momentum to change’s position of Tolaki ethnic in political conviguration in Sultra. Political aspect as political force used of Tolaki actor like political parties as formal aspect, mass media, social group in society and political figures as non-formal aspec.

Keywords: political behaviour, leader values, political configuration and political aspect.


(4)

Aryuni Salpiana Jabar, Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi TenggaraTahun 2007, Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007. (Di bawah bimbingan Said Rusli sebagai Ketua dan Saharuddin sebagai Anggota).

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji “mengapa” dan “bagaimana” perilaku politik etnis Tolaki dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007 sebagai jalan untuk menjelaskan hadirnya figur beretnis Tolaki sebagai pemenang dalam pilgub Sultra tahun 2007. Penelitian ini dipumpunkan pada tiga aspek penting tindakan sosial sebagai sebuah obyek sosiologi yaitu motivasi dari tindakan yang dilakukan, bentuk tindakan itu sendiri serta tujuan yang ingin dicapai dari sebuah tindakan sosial. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dan menggunakan data primer dan sekunder. Unit analisis dalam penelitian adalah individu aktor politik beretnis Tolaki dengan mengambil kasus kubu NUSA sebagai salah satu kubu yang dilekatkan dengan identitas Tolaki sebagai jalan untuk memahami bagaimana aktor politik beretnis Tolaki secara individu melakukan perilaku dan tindakan politik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua motivasi penting aktor politik beretnis Tolaki dalam melakukan tindakan politik yaitu nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam Kalo sebagai dasar perilaku orang Tolaki dan terinternalisasi dalam diri aktor politik beretnis Tolaki serta sejarah perjalanan peta politik Sultra dimana aktor beretnis Tolaki tidak mendominasi.

Kalosara sebagai acuan bertindak orang Tolaki mengatur dasar kepemimpinan, bagaimana seorang pemimpin serta tujuan kepemimpinan orang Tolaki. Nilai kepemimpinan ini menjadi modal seorang Tolaki dalam memimpin masyarakat. Sejarah perjalanan peta politik Sultra menghadirkan dikotomis wilayah daratan versus kepulauan. Keterwakilan figur dari kedua wilayah ini penting untuk menjaga stabilitas sosial politik masyarakat Sultra yang tersebar dalam dua wilayah persebaran penduduk yaitu daratan dan kepualauan.


(5)

dominan. Perjalanan peta politik Sultra menunjukkan etnis Tolaki dari wilayah daratan hanya satu kali menjadi Gubernur sedangkan figur kepulauan selalu memonopoli kedudukan Gubernur.

Momentum pemilihan Gubernur merupakan satu ajang penting bagi figur daratan maupun kepulauan sebagai ajang monopoli peta kekuasaan Sultra. Bagi figur kepulauan, pilgub 2007 adalah pembuktian monopoli peta kekuasaan Sultra, sedangkan bagi figur daratan, pilgub 2007 adalah ajang perebutan monopoli kekuasaan tersebut. Perebutan monopoli kekuasaan lebih memiliki makna dalam sistem pemilihan yang telah berubah dari pemilihan oleh dewan legislatif menjadi pemilihan secara langsung oleh masyarakat.

Upaya untuk mendapatkan posisi Gubernur Sultra diwujudkan dengan serangkaian perilaku politik melalui optimalisasi aspek-aspek strategis pilkada. Optimalisasi peranan partai politik sebagai lembaga yang menentukan calon kepala daerah termasuk optimalisasi jaringan anggota partai politiknya merupakan salah satu wujud perilaku politik untuk mencapai tujuan politik aktor beretnis Tolaki. Selain itu, optimalisasi media massa, kelompok masyarakat serta figur politik merupakan aspek-aspek strategis lainnya yang dilakukan oleh aktor beretnis Tolaki.

Partai politik memiliki kewenangan dalam menetapkan pasangan calon kepala daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 59. Menyadari pentingnya peran partai politik ini, Nur Alam sebagai individu beretnis Tolaki masuk ke dalam PAN, salah satu partai besar di Sulawesi Tenggara dan mengambil peranan penting sebagai ketua partai. Diutusnya Nur Alam sebagai calon tunggal partai PAN adalah bukti bahwa Nur Alam mampu memberikan dominasi kontrol terhadap keputusan internal partai.

Dalam pilkada Sultra 2007, setiap pasangan calon kepala daerah selalu menampilkan figur beretnis Tolaki, baik sebagai calon Gubernur maupun hanya sebagai calon Wakil Gubernur. Hal ini menyebabkan aspek primordial sebagai salah satu dasar pilihan masyarakat tidak dapat efektif dimana suara masyarakat


(6)

figur tingkat mikro sebagai penyambung antara calon pasangan kepala daerah dengan masyarakat akar rumput.

Pencitraan positif terhadap figur politik merupakan aspek penting dalam pemilihan secara langsung oleh masyarakat. Nur Alam telah membangun figur positif di tengah masyarakat melalui kegiatan keliling desa jauh sebelum suksesi pilkada berlangsung. Penggunaan media massa juga dilakukan untuk membentuk figur positif Nur Alam.

Serangkaian optimalisasi aspek politik memberikan kemenangan dan posisi Gubernur bagi Nur Alam. Konsisten dengan tujuan politiknya: etnis Tolaki mendapat posisi penting pemerintahan Sultra, Nur Alam melakukan resuffle organisasi pemerintahan dengan menempatkan figur-figur Tolaki pada posisi penting.

Hasil review terhadap perilaku politik Nur Alam melalui optimalisasi

aspek strategis pilkada menunjukkan aspek primordial menjadi lebih efektif dalam pemenangan kubu NUSA ketika Nur Alam mengoptimalkan peranan figur-figur tingkat mikro. Kondisi sosial pemilih yang tersebar di dua wilayah, daratan dan kepulauan menjadikan aspek media massa dan figur politik efektif untuk menyentuh berbagai segi masyarakat.


(7)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang – undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB


(8)

(Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi

Tenggara Tahun 2007)

ARYUNI SALPIANA JABAR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Judul Penelitian : Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007

(Kasus : Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007)

Nama : Aryuni Salpiana Jabar

NRP : I351060081

Program Studi : Sosiologi Pedesaan (SPD)

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Ir. Said Rusli, MA Dr. Saharuddin, M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Sosiologi Pedesaan

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, M.S DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.Si


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah. Swt atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007) ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari program studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Said Rusli, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Saharuddin, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan bimbingan yang bermanfaat bagi penulisan penelitian ini. Penulis juga menghaturkan ucapan terimakasih kepada bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, Guru Besar Politik dan Agraraia Institut Pertanian Bogor, selaku dosen penguji pada sidang tesis. Disamping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis dan rekan-rekan di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) angkatan 2006 (Mba. Hana, Mba. Ita, Pa’ Slamet atas segala informasi akademiknya, Pa’ Syarif, Pa Udin, Pa Himawan, Yusuf) yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama ini.

Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Si dan Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Ibu Nurmala K. Pandjaitan, penulis ucapkan terima kasih atas kesediaannya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan magister, serta penulis juga menghaturkan terima kasih kepada para Dosen PS.SPD atas bekal ilmu yang telah diberikan pada penulis yang sangat berguna bagi penulis di masa yang akan datang.

Kepada Bapak, H. Syeh All Jabbar, SH., MH dan Ibu, Ramlah All Jabbar, terima kasih atas doa yang senantiasa diberikan dimanapun penulis berada. Pada saudara – saudaraku Ogim, Wawan, Japret, Ira dan Angko yang telah membantu penelitian di lapangan, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya

Terkhusus Karya ini saya persembahkan kepada Suami tercinta, Brigadir. Idris Hasan dan Anak tersayang Syarifa Azra Al Idris (Syifa-ku) yang senantiasa selalu ikhlas mendoakan, memberikan dukungan untuk keberhasilan penulis, terima kasih atas penantian dan pengorbanan yang telah di lakukan.


(11)

menyempurnakan isi tulisan ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2009


(12)

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 19 Juli 1984 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan All Jabbar dan Ramlah Jabar. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Tahun 2002 penulis lulus dari SMUN 1 Kendari dan pada tahun yang sama lulus seleksi USMI (Undangan Siswa Masuk IPB) di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Pada tahun 2006 penulis berhasil menamatkan Strata 1 dengan predikat Mahasiswa Terbaik Jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) dan melanjutkan studi S2 pada tahun yang sama di sekolah Pascasarjana IPB program studi Sosiologi Pedesaan. Pada tahun 2007, di tengah studi S2, penulis menikah dengan suami Brigadir Idris Hasan dan saat ini telah dikaruniai seorang anak, Syarifa Azra Al Idris.


(13)

I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah Penelitian 5

1.3 Tujuan Penelitian 7

1.4 Kegunaan Penelitian 7

II. PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8

2.1 Perkembangan Sistem Politik Indonesia:

Tinjauan Teoritis 8

2.2 Pendekatan Perilaku Politik 10

2.3 Perkembangan Budaya Politik, Pola Interaksi Serta

Nilai Sosial Etnis Tolaki 13

2.4 Kerangka Pemikiran 16

2.5 Definisi Konseptual 20

III. METODE PENELITIAN 22

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 22

3.2 Metode Pengumpulan Data 23

3.3 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data 23

3.4 Analisis data 24

IV. GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA

MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN 2007 26

4.1 Sistem Pemilihan Gubernur Sultra Periode 2008-2013 26

4.2 Karakteristik Kubu NUSA 31

4.3 Isu Strategis dan Kondisi Sosial Masyarakat Sultra 33

4.4 Hasil Pemilihan dan Tanggapan Masyarakat 37

4.4.1 Hasil Pemilihan Kepala Daerah Secara Umum 37

4.4.2 Primordial Sebagai Kunci Kemenangan

Kasus: Kelurahan Lepo-Lepo 39


(14)

5.3 Kubu NUSA dalam Pemilihan Gubernur Sultra 2007 55

5.2.1 NUSA sebagai Kelompok Politik 55

5.2.2 Formasi Etnis dalam Kubu NUSA 57

5.4 Ikhtisar 60

VI. PERILAKU POLITIK ELIT BERETNIS TOLAKI DALAM

PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA 2007 62

6.1 Motivasi Sosiogenik: Nilai Pentingnya Kepemimpinan 62

6.1.1 Melahirkan Kembali HaluOleo 66

6.1.2 Masyarakat Tolaki dan Pemilihan Gubernur 68

6.2 Optimalisasi Beragam Aspek Strategis Pilkada 70

6.2.1 Pemanfaatan Kelompok Masyarakat 71

6.2.2 Media Massa 75

6.2.3 Optimalisasi Peranan Partai Politik 77

6.2.4 Optimalisasi Peranan Figur Politik 84

6.3 Kemenangan Gubernur Sultra Periode 2008-2013

Serta Signifikansi Etnis Tolaki Dalam

Pemenangan Kubu NUSA 89

6.4 Ikhtisar 94

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 98

7.1 Kesimpulan

98

7.2 Saran 100

DAFTAR PUSTAKA 101


(15)

Tabel 1. Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan 24

Tabel 2. Tabel Pembanding Empat Pasangan

Calon Gubernur Sultra 2008-2013 35

Tabel 3. Distribusi Penduduk Lepo-Lepo Berdasarkan

Mata Pencaharian Pokok 40

Tabel 4. Komposisi Penduduk Lepo-Lepo Berdasarkan Etnis 40 Tabel 5. Rekapitulasi Jumlah Pemilih, TPS dan

Surat Suara Pemilihan Umum Gubernur dan

Wakil Gubernur di Kelurahan Lepo-Lepo 41

Tabel. 6 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara 42

Tabel 7. Kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra


(16)

Gambar 1. Kerangka Fikir Perilaku Politik Etnis Tolaki

Dalam Pemilihan Gubernur Sultra Tahun 2007 19

Gambar 2. Peta Sulawesi Tenggara 104

Gambar 3. Peta Sulawesi Tenggara Berdasarkan

Pembagian Wilayah Administratif 105


(17)

1.1Latar Belakang

Daerah saat ini merupakan ruang otonom1 dimana terdapat tarik-menarik

antara berbagai kepentingan yang ada. Undang-Undang Otonomi Daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah semakin memperkuat pertarungan untuk mengelola berbagai basis sosial, ekonomi dan politik dalam daerah. Secara mikro,

masyarakat desa maupun kelurahan sebagai pihak dan ruang otonom2 utama

penyangga daerah, tidak dapat luput dari pertarungan antara berbagai pihak dan

berbagai kepentingan.

Secara ekonomi, tarik-menarik berbagai kepentingan yang ada di daerah secara jelas terlihat dalam pertarungan pengelolaan sumberdaya yang ada di daerah. Serupa dengan kepentingan ekonomi, kepentingan politik, sosial dan budaya pun memiliki kecenderungan atas pertarungan dalam pengelolaan berbagai sumberdaya yang ada di daerah, bahkan sadar ataupun tidak disadari, politik, sosial dan budaya terkadang menjadi basis pola dan sumber pertarungan berbagai kepentingan lainnya seperti kepentingan ekonomi.

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan beragam budaya serta etnis

yang ada. Kekayaan budaya dan etnis3 ini dapat dipandang dalam dua sisi yang

berbeda. Pertama, kekayaan budaya serta etnis dapat dipandang sebagai anugrah yang memperkaya keberagaman masyarakat, serta nilai dan kearifan lokal yang dimiliki masing-masing. Namun, secara berlawanan, keberagaman etnis dan budaya dapat menghambat berbagai kepentingan pembangunan sebab berbeda       

1

Kata daerah dan daerah otonom memiliki makna yang berbeda. “Daerah” saja berarati local state

government; kewenangan yang diberikan, di lain sisi, daerah otonom berarati local self

government; memerintah sendiri (Dharmawan, Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis

Lokalitas dan Kemitraan, 2004). 2

Otonom berasal dari kata Yunani autos dan nomos. Kata otonom memiliki cakupan makna lebih luas dari sekedar desentralisasi tetapi lebih pada memegang pemerintahan sendiri. Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia.

3

Pembedaan atas konsep budaya serta etnis berdasarkan konsep Galzer (2000) dimana etnis merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.


(18)

budaya dan etnis berarti juga berbeda latar belakang, berbeda pola pikir dan tingkah laku (yang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang budaya) serta perbedaan kepentingan.

Terkait dengan ruang otonom daerah, saat ini, budaya dan keberagaman etnis tidak jarang digunakan sebagai basis pertarungan politik, ekonomi dan sosial. Stone dan Rutledge Dennis (2003) menyatakan bahwa; “ethnic group as “human groups” (other than kinship groups) which cherish a blief in their common origins of such a kind that it provides a basis for the creation of a community”. Berdasar konsep etnis di atas, dalam penelitian ini Etnis dianggap sebagai kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki identitas tertentu dan identitas tersebut menjadi pemersatu sehingga dapat membedakan antara kelompoknya dengan kelompok lain atau antara etnisnya dengan etnis lain. Selanjutnya kelompok yang memiliki identitas ini menjadi alat politik karena pertalian kepentingan selalu sangat erat bila berdasar pada persamaan etnisitas. Tidak hanya itu, etnis yang lebih besar dari hanya sebuah golongan keluarga merupakan basis pemersatu masyarakat yang masih kuat dibandingkan dengan basis pemersatu yang lain seperti tempat tinggal dan sebagainya. Robert Le Vine dalam Rush dan Althoff (1983) mengemukakan bahwa sosialisasi politik di negara-negara berkembang cenderung mempunyai relasi yang lebih dekat pada sistem-sistem lokal, kesukuan, etnis, dan regional daripada dengan sistem-sistem politik nasional.

Menguatnya etnisitas sebagai basis pertarungan kepentingan di daerah telah dijelaskan oleh Soetarto dan Shohibuddin (2004) dimana dalam konteks pemilu distrik, dukungan berbasis ikatan solidaritas lokal sangatlah wajar bahkan memiliki signifikansi tersendiri sebagai basis legitimasi baru bagi proses rekruitmen politik dan proses demokratisasi lebih luas. Selanjutnya dijelaskan, mekanisme partisipasi yang mengacu pada medium-medium yang build in dalam keseharian masyarakat misalnya yang terwujud dalam seni, agama, etnis, budaya dan lain-lain, tidak terkelola dengan baik bahkan dimusuhi sebagai bentuk primordialisme, padahal di sisi lain, partisipasi kepartaian banyak mengandalkan kemapuan mobilisasi ikatan-ikatan primordial tersebut.


(19)

Serupa dengan daerah lainnya di Indonesia, politik lokal di Sulawesi Tenggara saat ini memegang peranan yang semakin kuat karena adanya UU otonomi daerah terlebih UU yang mengatur mengenai pemilihan kepala daerah. Dikutip dalam Suryatna (2007), UU no 32 2004, tentang pemerintahan daerah mengubah ketentuan yang mengatur pergantian kepala daerah. Pasal 56 ayat 1 menyatakan; kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Berdasarkan UU di atas, politik lokal menjadikan para elit politik semakin tertarik untuk berpolitik, masyarakat awam pun tidak jarang memiliki ambisi serupa, untuk menentukan arah pembangunan yang akan dilakukan di tingkat daerah. Meningkatnya minat berpolitik masyarakat Sulawesi Tenggara yang tidak hanya terbatas pada elit politik semata, tentunya merupakan sebuah prestasi yang semakin memberi ruang pada kembali tegaknya kedaulatan rakyat. Namun demikian, masing-masing elit dan wakil masyarakat memiliki ambisi dan kepentingan sendiri-sendiri yang tidak jarang dapat berseberangan dengan kepentingan masyarakat. Perbedaan berbagai kepentingan tersebut mendatangkan berbagai upaya, taktik dan strategi untuk memenangkan kursi pemegang elit.

Strategi para elit politik dapat bermain pada berbagai ruang politik tertentu. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, ruang strategis yang dapat digunakan para elit politik dapat bersumber dari aspek formal maupun aspek non-formal. Penggunaan aspek-aspek formal dalam konteks pemilihan kepala daerah menunjukkan masih besarnya pengaruh pemerintah dalam sistem politik Indonesia saat ini, sedangkan penggunaan aspek non-formal menunjukkan peranan masyarakat yang semakin menguat dalam sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat, di lain sisi masyarakat lebih bersandar pada aspek non-formal dalam menentukan pilihannya.

Saat ini, masyarakat Sulawesi Tenggara sedang menghadapi gejolak sosial dimana pemilihan Gubernur pertama yang dipilih langsung oleh masyarakat telah digelar. Tidak dapat dipungkiri, politik etnis terlihat dalam proses pemilihan Gubernur ini. Fenomena politik etnis terlihat pada ke-empat pasangan calon kepala daerah selalu menggambarkan pola yang serupa; pertautan antara dua tenis berbeda. Dan pertautan ini memperlihatkan hadirnya etnis Tolaki sebagai etnis


(20)

yang selalu ada dalam kolaborasi pasangan tersebut (baik sebagai calon gubernur atau hanya sebagai calon wakil gubernur). Wilayah Sulawesi Tenggara terdiri dari dua wilayah persebaran penduduk yaitu wilayah daratan dan kepulauan. Dalam kancah politik Sultra, keterwakilan dua wilayah tersebut sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial politik masyarakat Sultra secara umum yang masih kental dengan nilai-nilai budaya serta adat-istiadat.

Baik wilayah daratan maupun wilayah kepulauan, masing-masing memiliki etnis dominan sebagai identitas penduduknya. Etnis Tolaki merupakan etnis dominan yang mendiami wilayah daratan Sulawesi Tenggara sedangkan etnis Muna dan Buton merupakan dua etnis dominan di wilayah kepulauan Sultra. Masing-masing etnis ini memiliki ciri dan kekhasan masing-masing. Namun jika dirunut lebih jauh, etnis Tolaki bukanlah etnis dominan yang ada di Sulawesi Tenggara meskipun secara jumlah, etnis ini merupakan etnis dominan yang berada di teritori daratan Sulawesi Tenggara, dan etnis lainnya cenderung tersebar di teritori kepulauan. Namun demikian, meskipun etnis Tolaki merupakan masyarakat yang mendiami ibu kota propinsi, etnis ini tidak menjadi etnis yang dominan dalam masyarakat, bahkan sebaliknya, dari sisi perjalanan peta politik Sultra, etnis ini menggambarkan posisi yang tidak mendominasi.

Dari kolaborasi pasangan calon gubernur yang ada dengan Tolaki sebagai etnis yang selalu hadir serta kemenangan yang akhirnya dicapai oleh salah satu kubu yang dilekatkan dengan etnis Tolaki, terbentuk sebuah pendugaan bahwa etnis Tolaki memiliki kekhasan perilaku politik dalam sistem politik Sulawesi Tenggara, khususnya dalam proses pemilihan kepala daerah. Fenomena etnis Tolaki sebagai etnis yang selalu hadir dalam setiap kolaborasi pasangan calon kepala daerah (baik sebagai gubernur ataukah hanya wakil gubernur) serta akhirnya berhasil menjadi pemenang pada sistem pemilihan kepala daerah yang telah berubah, menjadi satu hal yang menarik untuk diteliti. Terlebih dalam konteks kesejarahan, etnis Tolaki tidak mendominasi peta politik Sultra.


(21)

1.2Perumusan Masalah Penelitian

Hadirnya elit beretnis Tolaki dalam setiap pasangan calon kepala daerah dalam pilgub Sultra 2007, kemenangan yang akhirnya diperoleh oleh kubu yang dilekatkan dengan identitas etnis Tolaki namun di lain sisi etnis Tolaki tidak mendominasi peta politik Sultra, serta dikotomis keterwakilan figur daratan versus kepulauan dalam setiap peta politik termasuk dalam pemilihan kepala daerah Sultra, merupakan akar dari permasalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini.

Konsep Weber mengenai motivasi, aspek psikologis dan sistem nilai sebagai akar dari tindakan manusia, menunjukkan besarnya peranan motivasi terhadap perilaku yang dilakukan manusia yang tentunya membawa dampak terhadap lingkungannya. Weber dalam Laeyendecker (1983) menyatakan bahwa sebagai obyek sosiologi, tindakan sosial yang didasari oleh beragam motif hanya terbatas pada tindakan bertujuan dari individu yang melakukannya serta memiliki keterhubungan dengan tingkah laku individu-individu lain. Dari konsep Weber di atas, maka ada tiga aspek penting dari tindakan sosial sebagai sebuah obyek sosiologi, yaitu motif-motif tindakan sosial, tujuan dari tindakan sosial serta bentuk dan wujud tindakan sosial itu sendiri.

Dalam penelitian ini, etnis Tolaki dimaksudkan pada individu-individu yang menyadari dirinya memiliki identitas sosial yaitu identitas etnis Tolaki dan identitas sosial tersebut terinternalisasi dalam berbagai segi kehidupannya. Kehidupan politik khususnya pada masa pemilihan kepala daerah merupakan satu segi kehidupan yang menarik dan menjadi kajian dalam penelitian ini.

Kehidupan politik Sultra menghadirkan keterwakilan antara etnis daratan dan etnis kepulauan dalam setiap peta politik. Keterwakilan ini untuk menjaga stabilitas sosial politik masyarakat yang memiliki perbedaan karena perbedaan teritori daratan dan kepulauan. Sejarah perjalanan politik Sultra menggambarkan bagaimana posisi dan peran yang dimainkan oleh masing-masing etnis dalam peta politik. Keterwakilan setiap etnis dalam peta politik Sultra menjadi motif penting untuk melaksanakan beragam aksi dan perilaku politik. Sebagai motif penting dalam perilaku politik, maka menelaah sejarah perjalanan politik dan keterwakilan etnis Tolaki dalam kancah politik Sultra akan dilakukan sebagai jalan untuk melihat bagaimana hal tersebut menjadi motif dari tindakan politik etnis Tolaki.


(22)

Konsisten dengan identitas yang dibawa oleh individu politik, maka sistem nilai khususnya nilai kepemimpinan yang berperan dalam perilaku politik individu harus menjadi kesatuan analisis sebagai motif perilaku politik yang dilakukan individu politik.

Aspek penting dari tindakan sosial sebagai obyek sosiologi adalah bagaimana wujud dari tindakan sosial itu sendiri. Oleh karenanya, selain melihat motif perilaku politik, selanjutnya adalah melihat bagaimana wujud dari perilaku politik. Perilaku politik dalam konteks pilkada merupakan satu kajian menarik untuk melihat aksi-aksi politik yang dilakukan aktor politik untuk mencapai tujuan politiknya. Tujuan politik juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari analisis perilaku politik tersebut.

Pada akhirnya, review atas identitas sosial yang dibawa oleh aktor politik

dalam hal ini etnis Tolaki dan kaitannya dengan hasil yang dicapai dari aksi-aksi politik dalam konteks pilkada sebagai momen politik menjadi bagian akhir untuk diuraikan dalam upaya mendapatkan gambaran bagaimana identitas sosial bermain dalam konteks pilkada yang dipengaruhi oleh beragam aspek-aspek penting dan bukan hanya dari aspek identitas sosial masyarakat saja.

Secara rinci, masalah-masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peranan dan kedudukan elit beretnis Tolaki dalam

perjalanan peta politik Sulawesi Tenggara secara umum dan dalam kancah pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007 secara khusus?

2. Mengapa dan bagaimana perilaku politik elit beretnis Tolaki dalam

pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007?. Pertanyaan ini merujuk pula pada aksi-aksi strategis memanfaatkan kekuatan politik untuk memenangkan kursi Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013.


(23)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk:

1. Mengkaji peranan dan kedudukan elit beretnis Tolaki dalam perjalanan

peta politik Sulawesi Tenggara secara umum dan dalam kancah pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007 secara khusus.

2. Mengkaji perilaku politik elit beretnis Tolaki dalam pemilihan

Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007, serta berbagai aksi-aksi strategis memanfaatkan kekuatan politik untuk memenangkan kursi Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013.

3. Mengkaji peranan etnis Tolaki dalam pemenangan kubu NUSA.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap tambahan wawasan mengenai fenomena hadirnya etnis sebagai basis pertarungan khususnya pertarungan politik dalam lingkup daerah dengan sistem politik pemilihan langsung oleh masyarakat. Secara khusus penelitian ini juga diharapkan mampu memperkaya hasil penelitian dan pengetahuan atas studi-studi etnisitas khususnya studi etnisitas yang berkaitan dengan segi politik.


(24)

PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1Perkembangan Sistem Politik Indonesia: Tinjauan Teoritis

Studi mengenai perilaku politik4 elit beretnis Tolaki pada pemilihan

Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007, dapat diawali dengan tinjauan literatur mengenai teori dan fakta empiris tentang perilaku politik dalam sistem pemilihan langsung yang terjadi di Indonesia saat ini. Tinjauan ini nantinya berguna sebagai landasan teoritis serta menjadi acuan meletakkan sikap peneliti dalam studi-studi yang telah ada.

Studi-studi perilaku politik pilkada sebelumnya lebih mengarah pada perilaku politik masyarakat atau mengenai perilaku masyarakat sebagai pemilih, meskipun telah banyak pula studi mengenai perilaku politik elit dalam upayanya memobilisasi massa. Studi ini sendiri berada pada jalur perilaku elit politik sebagai bagian dari aktor politik pilkada, oleh karenanya, dengan tidak mengesampingkan pentingnya literatur mengenai studi perilaku politik yang dilakukan oleh masyarakat sebagai pihak pemilih, maka bagian literatur ini akan lebih banyak mengulas mengenai perilaku elit politik dalam sistem pemilihan langsung kepala daerah yang terjadi di Indonesia saat ini.

Perkembangan studi-studi periaku politik didasari oleh perubahan sistem politik yang berlaku di Indonesia saat ini, dimana sistem pemilihan langsung oleh masyarakat telah membuka peluang bagi lahirnya sistem politik yang lebih demokratis atau corak “demokrasi deliberatif” yakni demokrasi yang melibatkan pertimbangan masyarakat secara memadai (Soetarto dan Shohibuddin, 2004). Lebih lanjut dikatakan oleh keduanya, meskipun telah dihadapkan pada sebuah       

4

Dalam pandangan sosiologi, politik lebih terarah pada masalah kekuasaan. Istilah kekuasaan disini diartikan sebagai kesanggupan seorang individu atau suatu kelompok sosial guna melanjutkan suatu bentuk tindakan (membuat dan melaksanakan keputusan, dan secara lebih luas lagi, menentukan agenda pembuatan keputusan) jika perlu menentang kelompok kepentingan, dan bahkan oposisi serta individu lainnya (Bottomore, 1983).


(25)

sistem yang lebih menjamin berkembangnya nilai-nilai demokrasi, kondisi transisi demokrasi di Indonesia saat ini lebih mengarah pada pembaruan struktur politik secara formal semata melalui pelembagaan infrastruktur politik dan hukum, di samping itu, elit di berbagai level pemerintahan dan ranah sosial belum mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keadaban (civility) yang sebenarnya.

Salah satu perangkat sistem politik demokrasi seperti partai politik misalnya. Sebagai instrumen politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, partai politik belum mampu menjadi keterwakilan suara masyarakat dan partai politik ditengarai tidak lebih sebagai kendaraan politik bagi para elit. Keputusan pemerintah pun melalui berbagai Undang-Undang yang dikeluarkan turut mendukung mandegnya perkembangan sistem demokrasi yang dicita-citakan. Dijelakan oleh Amin (2005), dibandingkan RUU yang diajukan pemerintah, UU No.32 Tahun 2004 jauh mengalami kemunduran. Dalam RUU yang diajukan pemerintah, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan hanya berasal dari partai politik, tetapi bisa juga diajukan oleh perseorangan, organisasi kemasyarakatan atau keagamaan, organisasi profesi dan organisasi okupasi. Jadi, ada kesempatan bagi calon independen untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Namun, ayat 2 pasal 56 menegaskan, bahwa “pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik” artinya, UU No. 32 tahun 2004 menutup peluang bagi calon independen (nonpartai) untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Dalam masa transisi sistem politik Indonesia saat ini, selain penting melihat partai politik sebagai salah satu instrumen pada sistem politik demokratis, penting juga untuk melihat bagaimana sumber-sumber kekuatan politik pilkada di akomodir menjadi basis kekuatan dalam sistem politik yang melibatkan

masyarakat sebagai pihak penentu kemenangan5. Telaah terhadap pola mobilisasi

massa melalui berbagai sumber kekuatan politik juga akan memperlihatkan

      

5

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, politik bermain dalam penerimaan dan penolakan pemilih terhadap pasangan calon kepala daerah. Kultur Indonesia, penolakan dan penerimaan ini lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional (Amin, 2005).


(26)

kecenderungan perilaku politik dari elit politik dalam upaya mencapai tujuan politiknya.

Bachtiar Effendi dalam Sitepu (2005) menyatakan banyak aspek yang potensial yang dapat ditransformasikan menjadi kekuatan politik yakni aspek formal maupun aspek non-formal. Aspek formal adalah kekuatan politik yang mengambil bentuk ke dalam partai-partai politik sedangkan aspek non-formal adalah merupakan bangunan dari civil society yaitu 1. Dunia usaha, 2. Kelompok professional dan kelas menengah, 3. Pemimpin agama, 4. Kalangan cerdik pandai (intelektual), 5. Pranata-pranata masyarakat, 6. Media massa dan yang lainnya.

Partai politik sebagai sumber kekuatan politik formal, lebih memiliki kekuatan formal setelah dikeluarkannya UU No. 32 pada pasal 56 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan sumber-sumber kekuatan politik yang lain sebagai kekuatan non-formal mendapatkan tempatnya sebab kultur masyarakat Indonesia dimana masyarakat sebagai pihak pemilih, cenderung memilih berdasarkan aspek-aspek emosional dan lebih dekat kepada sumber-sumber kekuatan non-formal tersebut. Seperti misalnya media massa. Melalui media massa, kekuatan figur politik sebagai salah satu dasar pilihan masyarakat dapat terbentuk. Mengenai kekuatan figure politik, Qodari dalam Soetarto dan Shohibuddin (2004) menyatakan bahwa lima kategori latarbelakang calon anggota DPD yang berpeluang besar terpilih dalam kompetisi pemilu. Pertama, mantan pejabat karena namanya telah dikenal luas oleh masyarakat, kedua pengusaha besar karena memiliki dana dan dukungan karyawan yang besar, ketiga tokoh organisasi agama, figure tokoh etnis dan yang kelima adalah veteran pengurus partai karena selain berpengalaman dalam membina konstituen dan menggalang dukungan, ia juga dapat memanfaatkan jaringan partainya untuk memobilisasi dukungan politik.

2.2 Pendekatan Perilaku Politik

Mengkaji sistem politik suatu masyarakat, terdapat beberapa teori yang dapat digunakan. Sitepu (2005) mengemukakan terdapat empat teori guna menganalisis dinamika kehidupan politik suatu Negara. Pertama adalah teori


(27)

sistem yang mengemukakan pranata-pranata sosial politik merupakan wadah untuk memahami dinamika kehidupan politik masyarakat. Kedua adalah teori perilaku politik yang mengungkapkan bahwa mengamati dinamika kehidupan politik masyarakat, tidak cukup dengan melihat pranata sosial politik formal saja tetapi juga individu-individu yang bersangkutan. Teori elit merupakan teori ketiga yang mengungkapkan bahwa elit politiklah yang menetukan dinamika kehidupan politik masyarakat. Sedangkan teori kelompok merupakan teori terakhir yang menjelaskan bahwa kristalografi yang ada dalam masyarakat ikut menentukan kehidupan politik masyarakat dan Negara.

Dalam pengkajian perilaku politik ini, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan politik di dasarkan atas empat pendekatan politik Sitepu (2005) yang sebelumnya telah diuraikan. Meskipun empat pendekatan ini diajukan untuk melihat dinamika kehidupan politik Negara, namun pendekatan ini akan dipakai dan dipinjam untuk menjelaskan dinamika politik masyarakat daerah multietnis. Empat pendekatan politik yakni teori sistem, teori perilaku politik, teori elit dan teori kelompok digunakan dengan menyesuaikan konteks penelitian yaitu masyarakat daerah. Untuk kepentingan penelitian, dari empat teori tersebut di atas, teori yang akan digunakan adalah teori perilaku politik. Pemilihan atas teori perilaku politik (behavior political theory) didasarkan atas pumpunan penelitian yang ingin dikaji yaitu perilaku politik para pelaku politik dalam pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara 2007.

Pendekatan perilaku politik diarahkan untuk melihat kecenderungan perilaku politik individu ber-etnis Tolaki dalam kaitannya memanfaatkan ruang politik yang ada serta memainkan peranannya dalam ruang politik. Pendekatan ini juga digunakan untuk melihat hubungan antara elit politik ber-ernis Tolaki dalam kehidupan bermasyarakat, kemampuan menjalin hubungan sosial asosiatif dengan masyarakat khususnya membangun hubungan politik sesama elit. Dalam kehidupan sosial terdapat dua golongan elit yang berbeda yaitu antara elit yang memerintah dan elit non-memerintah. Elit yang memerintah adalah individu yang secara langsung maupun tidak langsung memainkan bagian yang berarti dalam pemerintahan sedangkan elit yang tidak memerintah adalah elit yang tidak termasuk dalam golongan pertama (Bottomore, 1984). Sehubungan dengan


(28)

penelitian ini, maka pengkajian dibatasi hanya kepada perilaku-perilaku politik elit yang memeritah.

Selain pendekatan politik, dalam penelitian ini juga akan menggunakan pendekatan etnisitas. Pendekatan etnisitas diharapkan mampu menjelaskan perjalanan budaya dan sosial masyarakat etnis Tolaki, terlebih hubungan etnis Tolaki dengan etnis lainnya dan khususnya hubungan dan proses sosial politik elit ber-etnis Tolaki dengan elit dari etnis lainnya. Terdapat tiga pendekatan untuk mengkaji etnisitas. Pertama adalah perspektif asimilasi yang lebih menekankan pada proses-proses sosial yang cenderung melarutkan dan menghilangkan perbedaan etnisitas, mengarahkan asimilasi etnis minoritas ke dalam masyarakat luas. Pendekatan kedua adalah perspektif stratifikasi yang berfokus pada konsekuensi dari ketidakseimbangan yang terjadi akibat keberagaman antara kelompok etnis. Pendekatan yang ketiga adalah perspektif sumber-sumber kelompok sosial yang menekankan pada proses-proses mobilisasi dan solidaritas kelompok, anggota kelompok etnis menggunakan etnisitasnya untuk bersaing secara sempurna dengan kelompok yang lain.

Gordon dalam Healey (1945) mengemukakan bahwa teori asimilasi sangat penting untuk melihat asimilasi dan pluralisme dapat terjadi secara bersama. Asimilasi merupakan sebuah proses untuk mencapai komformiti. Dalam penelitian ini, perspektif asimilasi merupakan pendekatan utama yang akan digunakan, meskipun demikian tidak berarti dua pendekatan lainnya tidak digunakan. Dalam menelaah dan menganalisis proses sosial dalam kelompok etnis Tolaki kaitannya dengan etnis lainnya, pokok pimikiran dari ketiga perspektif di atas akan digunakan secara kontekstual agar tujuan penelitian dapat tercapai.


(29)

2.3 Perkembangan Budaya Politik, Pola Interaksi serta Nilai Sosial Etnis Tolaki

Etnis6 Tolaki tersebar secara meluas di hampir seluruh wilayah Sulawesi

Tenggara, tidak seperti etnis Buton dan Muna yang memiliki daerah pemusatan kelompok masyarakat tersendiri. Etnis Tolaki secara umum berasal dari kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga. Dalam penelitian ini, pengkajian terhadap subyek penelitian tidak melakukan pembedaan atas asal-usul dari kerajaan mana etnis Tolaki berasal, hal ini disebabkan pemakaian individu sebagai subyek penelitian, selain itu, Tamburaka (2004) juga menjelaskan bahwa penduduk Kolaka (kerajaan Mekongga) dan Kendari (kerajaan Konawe) merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dan DR. Kruyt dalam Tamburaka (2004) juga menjelaskan bahwa orang Tolaki mendiami daerah yang sangat luas yang meliputi kerajaan Mekongga dan kerajaan Konawe. Selanjutnya dijelaskan bahwa bahasa dan adat-istiadat orang-orang etnis Tolaki yang diam di landscahp Mekongga hanya berbeda sedikit skali dari orang Tolaki di landschap Konawe, sehingga secara pasti dapat dikatakan bahwa mereka semua adalah rumpun orang-orang suku Tolaki. Namun demikian, penjelasan mengenai kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga dianggap penting untuk menyajikan gambarakan mengenai etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara.

Dari segi administrasi, wilayah Kendari saat ini sebagian besar merupakan wilayah yang meliputi bekas kerajaan Konawe. Sedangkan kerajaan Konawe yang asal mula katanya adalah Konaweeha yang merupakan sungai yang memberikan kesuburan dan kemakmuran bagi masyarakatnya, memiliki wilayah yang sangat luas. Wilayah tersebut berbatas langsung dengan wilayah propinsi Sulawesi Tengah (kerajaan Bungku dan kerajaan Luwu) di bagian Utara, Teluk Bone dan kerajaan Mekongga (kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara) di bagian Barat, selat Tiworo dan selat Buton di bagian Selatan, dan dibagian Timur berbatas langsung

      

6

Glazer (2000) membedakan antara culture dan ethnicity dimana ethnic lebih kepada bentuk sebuah kelompok sedangkan culture merupakan nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.


(30)

dengan laut Maluku. Namun demikian, wilayah Kendari ini serta berubah ketika Kendari berubah dari bentuk kerajaan Konawe.

Seperti dengan kesultanan Buton, kerajaan Konawe juga mendapat pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Pengaruh ini dapat terlihat dari sistem politik yang beribah serta sistem lainnya. Pada awal kerajaan Konawe, hukum serta sistem politik selalu bersumber dari hukum adat dan hal ini tergantikan menjadi politik berdasarkan hukum-hukum Islam yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadits. Sistem pemerintahan ini cenderung mengarah pada sistem musyawarah atas mufakat, dan kegotong-royongan. Selain itu, masyarakat tidak dibedakan jenis ras dan strata masyarakat tetapi masyarakat merupakan kelompok yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Asas kemanusiaan merupakan prinsip yang menjadi pegangan kerajaan Konawe ketika politik Islam berlaku.

Dalam bidang sosial budaya, masuknya agama Islam mempengaruhi pergeseran nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Apabila sistem adat memberlakukan strata sosial berdasarkan asal-usul keluarga, yaitu anak dari keturunan kerajaan mutlak memiliki status sosial yang tinggi, maka pada sistem hukum Islam hal ini tidak berlaku. Status sosial diperolah bukan atas dasar keturunan tetapi lebih berorientasi pada perjuangan. Sehingga pendidikan Islam melahirkan elit-elit baru yaitu; elit politik, elit ilmu pengetahuan, elit harta benda dan elit bangsawan yang pengaruhnya hanya terlihat pada kehidupan bermasyarakat semata.

Daerah Mekongga pada mulanya bernama Wonua Sorume atau Wonua ”Unamendaa”. Seperti kerajaan Konawe, kerajaan Mekongga juga mendapat pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Penyebaran agama Islam di kerajaan Mekongga dilakukan melalui tiga jalur, yaitu;

a. Jalur pendidikan, dilaksanakan oleh para da’i diawali dengan

memberikan pengetahuan yang mudah dimengerti oleh masyarakat, bertetangga dan bernegara, sampai kepada hal-hal yang menyangkut hidup berumah tangga. Di samping itu diperkenalkan sikap bertingkah


(31)

laku, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin suatu kelompok atau golongan dalam masyarakat.

b. Perkawinan, penyebaran agama Islam melalui perkawinan dilakukan

pertama kali oleh seorang guru agama (da’i) dari Luwu yang menikah dengan keluarga bangsawan. Selanjutnya jalur pernikahan ini diikuti oleh da’i lainnya, sehingga di Kolaka banyak terdapat keturunan masyarakat yang berasal dari daerah Luwu dan Bone.

c. Saluran Islamisasi melalui perdagangan dilakukan oleh orang Bugis

yang telah menganut agama Islam dan juga datang untuk berdagang. Kerajaan Mekongga membina hubungan dengan kerajaan Konawe, Wolio, Muna, Tiworo, Moronene, kerajaan Bone dan Luwu. Hubungan kerajaan Konawe dan Mekongga berlangsung sejak raja pertama. Selain itu, raja Mekongga dan raja Konawe adalah bersaudara. Hubungan kekeluargaan keduanya dipererat lagi dengan adanya perkawinan antar keturunan.

Dalam sidang paripurna dan seminar nasional yang diadakan di Kendari pada tanggal 24 Agustus 1999, terdapat keputusan yang mengangkat sejarah masyarakat Sulawesi Tenggara yaitu diterimanya Haluoleo sebagai pahlawan nasional. Haluoleo lebih dikenal sebagai tokoh yang beretnis Tolaki, namun demikian, dalam penjelajahan sejarah, Tamburaka (2004) mejelaskan bahwa Haluoleo merupakan pahlawan pemersatu masyarakat Sulawesi Tenggara yang terdiri dari beragam etnis. Awal karirnya, Haluoleo berkedudukan sebagai Tamalaki Pobendeno Wonua (panglima perang) di kerajaan Konawe, Mekongga dan Moronene (1520-1530). Selanjutnya Haluoleo menjadi raja ke VII di kerajaan Muna dengan gelar Raja Lakolaponto (1530-1538). Pada tahun 1538, Haluoleo diangkat menjadi raja Buton ke VI (1538-1541) dan kemudian dinobatkan menjadi Sultan Buton I dengan gelar Sultan Qaimoeddin Khalifatul Khamiz (1541-1587) dan setelah mangkat pada tahun 1587 diberi gelar Murhum.

Demikian sejarah Sulawesi Tenggara dan hadirnya tokoh etnis Tolaki yang menjadi pemersatu beragam etnis di Sulawesi Tenggara sekaligus menjabat sebagai pemimpin atau raja di periode tertentu. Meskipun demikian, dalam kehidupan masyarakat sehari-hari saat ini pengakuan atas kehadiran tokoh etnis


(32)

Tolaki sebagai pemersatu tidak begitu dihiraukan oleh masyarakat, sehingga perjalanan sejarah seolah-olah menjadi kabur, bahkan masyarakat etnis lainnya cenderung untuk menyangsikan dan meragukan atas sejarah tersebut (beberapa percakapan dengan masyarakat etnis Muna dan Buton memperlihatkan kecenderungan yang serupa).

2.4 Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya kerangka pemikiran dibangun sebagai gambaran pola pikir

peneliti, mapping atau susunan arah penelitian. Pada penelitian ini, ketertarikan

terhadap kecenderungan aktor politik beretnis Tolaki selalu hadir dalam konfigurasi pasangan calon kepala daerah, kemenangan kubu yang dilekatkan dengan identitas Tolaki namun disatu etnis Tolaki tidak mendominasi peta politik Sultra, menjadi dasar kajian untuk melihat bagaimana fenomena PILKADA gubernur Sulawesi Tenggara digelar.

Kajian ini meliputi perilaku7 politik aktor politik beretnis Tolaki

khususnya dalam proses pilkada, berbagai hal yang mempengaruhi perilaku politik yang dalam penelitian ini difokuskan pada nilai etnisitas khususnya nilai akan pentingnya kepemimpinan serta sejarah peranan dan kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra. Selain hal itu, berbagai aspek yang menjadi kekuatan politik sebagai madia pencerminan dari perilaku politik yang dilakukan etnis Tolaki untuk mencapai berbagai kedudukan strategis dalam peta politik Sultra lebih jauh akan dikaji alam penelitian ini.

Untuk dapat menjabarkan hal tersebut, teori perilaku politik dari Sitepu (2005) merupakan pilihan teori yang digunakan untuk menganalisis bagaimana fenomena perilaku politik etnis Tolaki tersebut berlangsung. Pemilihan teori ini dilandaskan atas pemikiran bahwa perilaku-perilaku politik dari para aktor politik       

7

Batasan konsep perilaku secara umum dalam kajian ini mengacu pada konsep perilaku yang dikemukakan oleh Theodorson dan Theodorson, A.G (1979) dimana perilaku tidak hanya terbatas pada reaksi fisik dan gerakan tetapi juga mencakup pernyataan dan perkataan atau secara umum dapat mencakup segala sesuatu baik perkataan, pemikiran, perasaan dan perbuatan seseorang.


(33)

mencerminkan dinamika kehidupan politik masyarakat. Begitupula dengan perilaku politik calon kepala daerah beretnis Tolaki merupakan representasi serta pencerminan dari perilaku politik elit politik beretnis Tolaki.

Merujuk pada Nazaruddin Syamsuddin dalam Sitepu (2005) individual sebagai kekuatan politik merujuk pada aktor-aktor politik atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadi-pribadi yang hendak mempengaruhi peroses pengambilan keputusan politik. Dalam kasus pemilihan kepala daerah, aktor politik dapat berwujud masyarakat umum sebagai pemilih dan elit politik. Elit politik merupakan fokus kajian sekaligus sebagai subyek penelitian kali ini. Pemilihan elit politik sebagai pelaku politik yang akan dikaji didasarkan atas keyakinan bahwa pelaku politik yaitu elit politik mampu memberikan berbagai warna pada proses politik yang terjadi pada pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara. Weber dalam Eva dan Etzioni (1973) juga mengemukakan bahwa elit politik beserta pengikutnya merupakan bagian terpenting untuk membawa perubahan dalam masyarakat, dan perubahan tersebut tentunya akan kembali ke masyarakat.

Perilaku politik yang dilakukan oleh para aktor politik tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya. Seperti yang dikemukakan oleh Althof dan Rush (1983) bahwa tidak ada seorang pun yang bertingkah laku terisolasi secara mutlak dari nilai-nilai. Lebih lanjut dikemukakan oleh keduanya bahwa nilai-nilai dapat dianggap penting selama ia dalam bentuk ideology; karena perkembangan nilai-nilai yang berkaitan dalam pola yang konsisten merupakan kekuatan bagi pembentukan tingkah-laku sosial, dan lebih khusus lagi bagi pembentukan sikap politik. Sztompka (1993) menyatakan perubahan dalam masyarakat dapat dilihat dari faktor tak teraba seperti keyakinan, nilai, motivasi dan sebagainya. Hal ini juga didukung oleh pendapat Weber bahwa nilai kultural, norma dan motivasi psikologis menjadi akar tindakan dan perilaku sosial seseorang. Berdasarkan konsep tersebut, maka perilaku politik aktor beretnis Tolaki didasarkan atas berbagai nilai yang dianut dalam etnisnya. Nilai kepemimpinan menjadi nilai penting dalam perilaku politik aktor beretnis Tolaki.


(34)

Selain berbagai nilai kepemimpinan yang dimiliki oleh etnis Tolaki, perilaku politik aktor beretnis Tolaki juga dipengaruhi oleh sejarah peranan dan kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra khususnya pada masa sebelum pilkada Gubernur 2007. Nilai kepemimpinan yang dimiliki etnis Tolaki serta sejarah peta politik Sultra, membentuk sikap terhadap apa yang diharapkan, dalam hal ini harapan akan perubahan peran dan kedudukan elit politik beretnis Tolaki dalam peta politik Sultra.

Baron dan Byrne (2003) menyatakan bahwa ketika individu memiliki sikap yang kuat terhadap isu-isu tertentu, mereka seringkali bertingkah laku konsisten dengan pandangan tersebut. Pentingnya peran serta kedudukan strategis dalam peta politik Sultra yang diyakini berdampak pada keterwakilan etnis Tolaki dalam segi sosial, politik, ekonomi Sultra serta peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat etnis Tolaki menjadikan pentingnya aksi-aksi dan perilaku politik untuk mewujudkan hal tersebut.

Momentum pemilihan kepala daerah secara langsung yang digelar di Sulawesi Tenggara tahun 2007 adalah sebuah momentum tepat untuk menjalankan serangkaian perilaku politik untuk mewujudkan tujuan politik yang dilatarbelakangi oleh faktor nilai kepemimpinan dan sejarah peta politik Sultra tersebut. Perubahan sistem pemilihan Gubernur dari dewan legislatif menjadi pilihan berdasarkan suara masyarakat semakin meningkatkan keinginan untuk mewujudkan tujuan politik; mendapat peran strategis dalam peta politik Sultra. Hal ini dikarenakan memberikan signifikansi terhadap siapa figur yang pantas menjadi pemimpin masyarakat Sultra dalam dikotomis wilayah daratan versus kepulauan.

Merujuk pada konsep aspek potensial dalam pilkada oleh Bachtiar Effendi dalam Sitepu (2005), maka untuk mewujudkan tujuan politiknya, aktor beretnis Tolaki mengoptimalisasikan sejumlah aspek potensial baik aspek formal maupun non-formal sebagai sumber kekuatan politik dalam proses pemilihan Gubernur. Aspek formal mengambil bentuk pada partai politik sebagai lembaga yang menentukan siapa elit politik yang berhak maju pada ajang politik pilkada. Sedangkan aspek non-formal mengambil bentuk pada kelompok-kelompok masyarakat, media massa, kekuatan figur politik.


(35)

Kemampuan optimalisasi sejumlah kekuatan politik ini juga merupakan bentuk partisipasi politik elit beretnis Tolaki secara pribadi atau individu serta kemampuannya mengorganisir berbagai kekuatan politik untuk mencapai tujuan politiknya. Optimalisasi kekuatan politik juga mempertimbangkan aspek masyarakat Sultra sebagai pemilih dilihat dari sisi rasional dan emosional pemilih serta sisi keberagaman masyarakat Sultra yang tersebar pada wilayah daratan dan kepulauan. Berikut skema kerangka berfikir perilaku politik aktor beretnis Tolaki dalam pemilihan Gubernur Sultra 2007.

Gambar 1. Kerangka Fikir Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sultra Tahun 2007

Perilaku politik aktor politik beretnis Tolaki

Nilai Etnis Tolaki

Peran & Kedudukan Etnis Tolaki dalam

peta politik Sultra

1. Penggunaan Media Massa dan Pranata Sosial 

2. Optimalisasi Figur  3. Optimalisasi Partai Politik 

Peranan Etnis Tolaki dalam peta politik


(36)

2.5Definisi Konseptual

Berdasarkan berbagai konsep dan literatur yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka disusun beberapa definisi konseptual sebagai acuan pencarian data, penyusunan hasil kajian serta penarikan kesimpulan. Definisi konseptual tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Etnis merupakan kelompok terdiri dari orang-orang yang memiliki

kesamaan identitas yaitu seperangkat nilai menjadi dasar bertindak dan berperilaku sekaligus menjadi pemersatu kelompok. Etnis yang memiliki

identitas mampu membedakan antara etnis ego8 dengan etnis lainnya.

2. Politik merupakan kesanggupan individu atau kelompok untuk bertindak

mempengaruhi proses pembuatan, pengambilan serta pelaksanaan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat.

3. Politik Etnis merupakan kemampuan individu atau kelompok untuk

mempengaruhi jalannya pengambilan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan identitas kelompok sebagai sumber kekuatan bertindak.

4. Perilaku Politik merupakan aksi-aksi yang dilakukan para pelaku politik

untuk mencapai tujuan politiknya yaitu mendapatkan peran dan kedudukan strategis dalam peta politik Sultra melalui optimalisasi sejumlah aspek kekuatan politik.

5. Kekuatan politik dalam pemilihan kepala daerah terarah pada semua aspek

baik aspek formal maupun non-formal yang dapat dioptimalisasikan dalam upaya menggalang suara dari masyarakat. Partai politik sebagai lembaga penentu calon kepala daerah serta jaringan keanggotaan yang ada di dalamnya merupakan aspek formal kekuatan politik. Sedangkan media massa, kelompok masyarakat serta figur politik merupakan aspek non-formal kekuatan politik.

      

8

 Dimaksudkan untuk menunjukkan pribadi individu. Sebagai contoh: “saya orang Bugis, dia orang Muna”.  


(37)

6. Mobilisasi Massa merupakan segala bentuk gerak dan upaya untuk menghimpun massa atau masyarakat agar ikut ke dalam tujuan politik yang diinginkan. Dalam pemilihan kepala daerah, mobilisasi massa ditunjukkan dengan adanya berbagai upaya agar masyarakat bersimpatik, mendukung dan akhirnya memilih calon pasangan tertentu.

7. Nilai Etnis yaitu seperangkat nilai yang dimiliki etnis tertentu yang

menjadi dasar dan pedoman dalam bertindak. Kasus etnis Tolaki, nilai ini mengatur cara berperilaku orang Tolaki juga apa yang dianggap baik oleh etnis Tolaki.

8. Tim Sukses yaitu sekelompok orang-orang dengan beragam latar

belakang, memiliki tujuan bersama, dengan pembagian tugas yang jelas, saling dukung-mendukung untuk berjuang mendapatkan kemenangan dalam pilgub Sultra 2007.

9. Figur Politik yaitu pencitraan terhadap sosok pemimpin mengenai apa

yang dianggap layak dan tidak layak, menjadi salah satu dasar dan pertimbangan atas pilihan politik.

10.Peran dan kedudukan strategis adalah posisi struktural dalam organisasi

pemerintahan yang memungkinkan aktor politik menjalankan kontrol terhadap segi kehidupan masyarakat Sultra.


(38)

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Tenggara dengan mengambil para elit politik yang ikut dalam pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara 2007 sebagai subyek penelitian atau tineliti. Unit analisis dalam kajian ini terfokus individu sebagai anggota politik pada salah satu kubu yang mengikuti pencalonan kepala daerah yaitu kubu NUSA. Pemilihan terhadap unit analisis ini disebabkan kepala daerah yang diusung berasal dari etnis Tolaki sehingga dianggap mewakili pumpunan penelitian yang ingin dikaji, selain itu kubu NUSA merupakan pasangan pemenang pilkada Sultra 2007 sehingga menjadi mungkin untuk menggali informasi tidak saja seputar masa pemilihan tetapi juga ketika pemilihan selesai digelar dan pemerintahan baru dijalankan termasuk peran serta kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra pasca pilgub 2007.

Kajian ini merupakan kajian sosiologi politik dimana penelitian diarahkan mengenai hubungan antara masalah-masalah politik dan masyarakat, antara struktur sosial dan struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik. Studi sosiologi sendiri memusatkan perhatian pada tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan masyarakat atau tingkah laku manusia dalam konteks sosial. Oleh karenanya, menjadi penting untuk melihat kasus masyarakat yang menggambarkan berlakunya kekuatan-kekuatan aspek non-formal dalam pemilihan kepala daerah sebagai aspek penting dasar pemilihan masyarakat. Kelurahan Lepo-Lepo, Kecamatan Baruga, Kota Kendari menjadi lokasi pilihan peneliti. Hal ini didasarkan atas keberagaman etnis yang ada dalam masyarakatnya, tetapi etnis Tolaki masih menjadi etnis dominan dalam hal jumlah. Di samping itu, masyarakat Kelurahan Lepo-Lepo memiliki basis kedekatan emosional terhadap pasangan kubu NUSA dan juga pasangan kubu AZIMAD sehingga semakin menarik untuk melihat fenomena politik yang terjadi dalam masyarakat.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Desember tahun 2008. PILKADA pertama Sulawesi Tenggara berlangsung 2 Desember 2007, sehingga


(39)

waktu penelitian dianggap tepat untuk meneliti bagaimana fenomena politik etnis yang telah berlangsung saat PILKADA 2007 tersebut. Meskipun demikian, karena proses-proses pemilihan kepala daerah berlangsung lama sebelum hari pemilihan sendiri, maka telah dilakukan pengamatan terhadap jalannya suksesi pemilihan tersebut dimulai dari bulan September 2007.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif diperoleh melalui tehnik wawancara mendalam terhadap subyek penelitian baik melalui responden maupun informan kunci yang dilakukan dalam situasi informal, posisi kesetaraan dan akrab. Hasil informasi dan kajian yang diberikan oleh anggota tim sukses calon kepala daerah yang tetunya berasal dari etnis Tolaki, diharapkan menjadi representasi dari perilaku politik calon beretnis Tolaki. Hal ini dimungkinkan karena dilapangan, aksi-aksi politik lebih banyak diperankan oleh para anggota tim sukses calon kepala daerah.

Selain data primer yang diperoleh melalui hasil wawancara, data sekunder juga digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder dibutuhkan untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut diperoleh melalui penelusuran dokumentasi dari masyarakat, surat kabar maupun lembaga yang mampu memberikan informasi seputar sistem nilai budaya etnis Tolaki, peta politik Sultra pra Pilkada 2007 ataupun pasca Pilkada 2007. Data sekunder juga diharapkan diperoleh dari dokumentasi seputar pemilihan Gubernur yang berlangsung Desember 2007.

3.3 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan

Tabel 1. akan menjelaskan sumber informasi baik dari informan kunci maupun dari responden seputar kajian penelitian. Pemilihan informan kunci hanya seputar aktor politik beretnis Tolaki yang direpresetatifkan dengan para tim sukses calon kepala daerah didasarkan atas tujuan penelitian yang ingin mengkaji perilaku politik aktor beretnis Tolaki seputar pemilihan gubernur 2007. Informan


(40)

kunci dari aktor politik non-etnis Tolaki diharapkan mampu memberikan penjelasan atas pertanyaan seputar pandangan aktor non-etnis Tolaki terhadap perilaku politik aktor beretnis Tolaki.

Informasi penting diharapkan didapat dari wawancara bebas dengan pengamat politik Sulawesi Tenggara dimana akan memberikan serangkaian informasi terkait proses pemilihan gubernur 2007. Informasi ini diharapkan menjadi bahan berarti dalam pembahasan dan proses pengambilan keputusan nantinya.

Tabel.1 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan

Topik Kajian Jenis Data Sumber Data Keterangan

1. Sistem nilai

etnis Tolaki

2. Peta Politik

Sultra Pra Pilgub 2007

3. Perilaku Politik etnis Tolaki terkait

penggunaan ruang / aspek kekuatan

politik

4. Peta politik

Sultra pasca pilgub 2007

Primer dan sekunder

Primer dan sekunder Primer dan sekunder Primer dan sekunder Berbagai literatur etnografi etnis Tolaki. Tokoh Adat Etnis Tolaki, tim sukses beretnis Tolaki

Tim sukses, pengamat politik Sultra serta berbagai

literatur

Tim sukses, pengamat politik Sultra serta berbagai

literatur

Tim sukses, pemerhati politik Sultra serta berbagai

literatur Dilakukan pula pengamatan langsung terhadap penggunaan media massa selama proses pilkada

3.4 Analisis Data

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terkait dengan jenis data yang digunakan yaitu data-data kualitatif. Data kualitatif yang diperoleh dari


(41)

wawancara mendalam terhadap informan kunci dan wawancara bebas terhadap informan selanjutnya akan disajikan sebagaimana adanya untuk menjaga kekhasan segala fenomena yang terjadi terkait dengan kajian di lokasi penelitian. Perbandingan antara data penelitian dengan berbagai konsep dan teori dilakukan untuk melihat kasus serta kekhasan peristiwa yang terjadi di lokasi penelitian.

Selanjutnya data yang telah diperoleh baik data primer maupun data sekunder akan dianalisis melalui pemilihan data dan penyederhanaan data sehingga hasil nalisis semakin tajam. Data-data yang ada akan direduksi dan dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang saling berkaitan dan tersusun dalam bentuk yang padu sehingga memudahkan melihat apa yang terjadi dalam masyarakat. Setelah penyajian data berupa teks naratif dan kutipan langsung hasil wawancara mendalam selanjutnya data akan dianalisis lagi dan dilakukan penarikan kesimpulan untuk mejawab pertanyaan penelitian yang sebelumnya disusun.


(42)

GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN 2007

4.1 Sistem Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Periode 2008-2013

Provinsi Sulawesi Tenggara secara Geografis terletak di jazirah tenggara pulau sulawesi, sedangkan secara astronomi Provinsi Sulawesi Tenggara terletak

dibagian selatan garis khatulistiwa, membentang dari Utara ke Selatan diantara 30

- 60 Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 120045 - 1240

60 Bujur Timur.

Wilayah ini memiliki Luas wilayah 153.019 Km2. Lautan mendominasi

luas Sulawesi Tenggara, yaitu 114.879 Km2 (72%), sedang daratan hanya

mencapai 38.140 Km2 (28%). Provinsi Sulawesi Tenggara juga tergolong provinsi

kepulauan. Keseluruhan pulau baik pulau kecil maupun sedang berjumlah 124 buah pulau ditambah lagi oleh dua gugus kepulauan, yakni pulau – pulau Wakatobi dan pulau – pulau Tiwoto.

Penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2000 berjumlah 1.776.292 jiwa yang terdiri : 974.427 laki – laki dan 984.987 perempuan. Lima tahun kemudian, yaitu 2005, penduduk Sulawesi Tenggara berjumlah 1.959.414 jiwa. Pencatatan terakhir, melalui Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) BPS tahun 2006, jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara adalah 2.001.818 jiwa.

Konsentrasi terbesar penduduk Sulawesi Tenggara menetap di daratan Pulau Sulawesi, yaitu sekitar 52% dan di kepulauan 48%. Jumlah penduduk tahun 2006 sebanyak 2.001.818 jiwa, tercatat sebanyak 290.358 jiwa di Kabupaten Muna, 271.657 jiwa di Kabupaten Buton, 273.168 jiwa di Kabupaten Kolaka, 265.646 jiwa di Kabupaten Konawe, 244.586 jiwa di Kota Kendari, 234.400 jiwa di Kabupaten Konawe Selatan, 122.339 jiwa di Kota Bau-Bau, 107.294 jiwa di Kabupaten Bombana, 94.190 jiwa di Kabupaten Kolaka Utara dan 98.180 jiwa di Kabupaten Wakatobi (BPS, 2007).

Pemilihan kepala daerah (Gubernur) secara langsung yang dilakukan di Sulawesi Tenggara merupakan sebuah momentum pesta demokrasi rakyat sebab


(43)

hal ini merupakan pertama kali dilakukan masyarakat Sulawesi Tenggara. Pemilihan Gubernur periode 2008 – 2013 diwarnai dengan beragam aksi politik yang bertujuan untuk menarik massa. Sejauh penelitian dilakukan, aksi-aksi yang dilakukan para calon kepela daerah tersbut masih berada dalam koridor politik yang jauh dari sumber-sumber konflik massa ataupun masyarakat. Sebagaimana yang disampaikan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara Bapak Drs. H. Kaimuddin Haris

“…Kita butuhkan konsistensi dari para calon tersebut. Konsisten memebela dan mengedepankan kepentingan publik, kepentingan rakyat. Bukan kepentingan golongan, bukan kepentingan partai bukan kepentingan primordial, bukan kepentingan pribadi atau kepentingan tim sukses.”

Dalam UU No.32 Tahun 2004 pemilihan kepala daerah menggunakan sistem pemilihan “plurality majority sistem”. Artinya, jika tidak dicapai pemenang berdasarkan suara 25 persen lebih, dilakukan putaran kedua. Dengan begitu, jika suatu daerah hanya ada empat calon, tidak perlu harus ada putaran kedua (Amin, 2005). Berdasarkan UU No.32 tersebut, pemilihan Gubernur dan wakil gubernur Sultra dilakukan dalam satu kali pemilihan tanpa melakukan tahapan putaran kedua. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut diikuti oleh empat pasangan calon masing-masing pasangan Prof.Ir.H. Mahmud Hamundu, M.Sc – Drs. H. Yusran A.Silondae, M.Si, yang selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat menjadi pasangan MAHASILA, pasangan Drs. H. Masyhur Masie Abunawas, M.Si – Azhari, S.Stp, M.Si (MMA), pasangan Ali Mazi, SH – H. Abd. Samad (AZIMAD) serta pasangan Nur Alam, SE – H.M. Saleh Lasata (NUSA).

Terkait penentuan calon peserta pilakada, parpol memiliki kekuasaan untuk mencalonkan pasangan Gubernur dan wakil Gubernur sebagaimana yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana pasal 59 menyebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah


(44)

dalam pemilu anggota DPRD di daerah setempat. Ketentuan tersebut seringkali menggagalkan langkah calon kepala daerah potensial.

Dalam pasal 59 ayat (3) juga menyebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat serta memperhatikan tanggapan dan pendapat masyarakat dalam penetapan calon. Hal ini memungkinkan munculnya calon independen sehingga sistem politik akan berjalan lebih variatif, kompetitif dan fair. Namun demikian, dalam pilkada 2007, KPU Sultra belum bisa mengakomodir calon perseorangan disebabkan KPU Sultra masih harus menunggu revisi UU No.32/2004 atau keluarnya peraturan pengganti UU (perpu), serta menunggu KPU pusat menjabarkan aturan teknis dari calon perseorangan

tersebut9, sementara di lain sisi, tahapan pelaksanaan pemilihan Gubernur Sultra

segera akan dilaksanakan.

Tahapan kegiatan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra periode 2008-2013 dimulai pada tanggal 18 Agustus 2007 setelah komisi pemilihan Umum (KPU) Sultra menerima surat pemberitahuan dari DPRD mengenai berakhirnya masa jabatan Gubernur dan wakil Gubernur Sultra. Sedangkan hari pemilihannya sendiri rencananya dijadwalkan pada tanggal 4 November 2008 namun karena pembenahan data pemilih, maka jadwal tersebut berubah menjadi tanggal 2 Desember 2007. Namun demikian, dinamika politik berkaitan dengan pemilihan Gubernur tersebut sudah menghangat sejak dua tahun sebelum pelaksanaan pemilihan digelar. Figur-figur mulai bermunculan memperkenalkan diri kepada masyarakat bahwa mereka bakal bertarung dalam pemilihan Gubernur Sultra. Ada juga figur yang masih memohon kepada parpol agar diakomodir menjadi calonnya kelak.

KPU dituntut agar dalam menyelenggarakan pemilu senantiasa berpedoman pada 12 asas, yakni; mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib       

9

 Meskipun KPU Sultra dapat saja mengambil langkah berdasarkan kewenangan yang diatur UU No.22 Tahun 2007 untuk membuat pengaturan atau regulasi dalam rangka pemilu kepala daerah, atau KPU Sultra bisa merujuk UU Pemerintah Aceh yang telah melaksanakan pemilu kepala daerah dengan calon perseorangan.


(45)

penyelenggara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.

Data pemilih saat penyelenggaraan pemilihan Gubernur merupakan hal penting, karena pemilihlah yang akan menentukan kekalahan dan kemenangan pasangan kepala daerah. KPU kabupaten atau kota paling lambat lima bulan sebelum hari dan tanggal pemungutan suara, sudah selesai menyusun daftar

pemilih10 sementara. Pendataan penduduk dilakukan oleh pemerintah bukan KPU.

Mekanisme penentuan hak pilih ada dua yaitu, pertama, KPU memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih. Dalam pemutakhiran data pemilih, KPU Sultra merupakan pengguna terakhir data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh pemda. Kedua, KPU Sultra menerima daftar pemilih dari KPU kabupaten atau kota dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur.

Data penduduk potensial meliputi NIK/ nomor pemilih; nama lengkap; tempat/tanggal lahir (umur); status perkawinan; jenis kelamin; alamat tempat tinggal; dan jenis cacat yang disandang. Dan tidak semua penduduk dalam daftar data potensial bisa menjadi pemilih, sebab untuk menjadi wajib pilih pemilu mempunyai kriteria sebagaimana diamanatkan PP no. 6 Tahun 2005, yakni: sudah berusia 17 tahun pada hari pemungutan suara pemilihan atau sudah/ pernah kawin. Mereka yang memenuhi kriteria tersebut pun harus terdaftar sebagai pemilih dengan syarat: tidak sedang terganggu jiwa/ ingatannya, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya enam bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk.

Terkait dengan pemilih pemilihan Gubernur Sultra, KPU Sultra belum bisa melakukan langkah-langkah yang telah diamanatkan konstitusi Negara tersebut karena data dasar (data penduduk potensial) masyarakat Sultra belum juga diserahkan oleh pemerintah provinsi Sultra. Untuk itu, langkah-langkah yang       

10

 Baca juga Rachim, M. Djufri (2008) mengenai masalah wajib pilih menjelang pemilihan Gubernur Sultra


(46)

dilakukan oleh KPU Sultra adalah: pertama, KPU Sultra melalui KPU Kabupaten/ Kota meminta langsung data penduduk potensial setiap kabupaten/ kota pada kantor/ badan kependudukan dan catatan sipil kabupaten/ kota se-Sultra. Kedua, menggunakan data pemilih terakhir yang ada di setiap KPU kabupaten/ kota. Alternatif kedua ini memiliki kelemahan sebab banyak data yang tidak aktual lagi, namun hal ini harus dilakukan KPU karena data tidak tersedia dan belum diserahkan oleh Pemda sebagai penyedia data penduduk. Tugas KPU dan perangkatnya untuk melakukan pemutakhiran data penduduk yang memenuhi syarat pemilih sesuai amanat UU nomor 32 Tahun 2004 dan PP no.6 tahun 200511.

KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilihan, memiliki kewenangan untuk menetapkan berbagai keputusan berkaitan dengan proses pilkada. Keputusan KPU berkaitan dengan pemilu antara lain; organisasi dan tata cara kerja KPU provinsi, KPU Kabupaten/ Kota, hingga kelembagaan di tingkat kecamatan (PPK) dan desa/ Kelurahan (PPS dan KPPS). Dasar hukum keputusan tersebut adalah pasal 8 Ayat (3) huruf a dan huruf j juncto Pasal 117 UU No.22 tahun 2007 tentang penyeleggaraan pemilu yang memberikan kewenangan bagi KPU untuk membuat pengaturan atau regulasi dalam rangka pemilu kepala daerah.

Semua regulasi pemilihan Gubernur Sultra yang dibuat oleh KPU Sultra pada masa pilkada 2007 tidak bertentangan dengan keputusan KPU (pusat) dan peraturan perundang-undangan, mulai UU no. 32/2004 besrta PP No.6 Tahun 2005 hingga UU No.22/2007, dengan satu prinsip yakni menjalankannya dalam cara pemerintahan Negara atau rezim pemilu.

Dari tahapan-tahapan proses penyeleggaraan pemilihan Gubernur, ada dua kategori yang dianggap rawan, yakni pada tahap penetapan pasangan calon dan

tahapan pemenang pemilu12. Pada tahap penetapan pasangan calon, ada saja

      

11

 Lihat hasil Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra pada halaman lampiran  

12

 Dua tahapan ini menjadi sangat penting karena selalu menimbulkan implikasi sosial dalam masyarakat. Masyarakat yang masing-masing menjagokan figur tokohnya, tidak jarang menerima kekalahan atau penolakan bakal calon dengan sikap negatif bahkan berujung pada sikap anarki.


(47)

pasangan calon yang digugurkan oleh KPU karena tidak memenuhi persyaratan administratif, dan pada tahap penetapan pemenang sudah pasti hanya satu pasangan calon yang dinyatakan sebagai pemenang, yakni pengumpul suara terbanyak (Rachim, M. Djufri, 2008). KPU Sultra sebagai pihak penyelenggara pemilihan Gubernur Sultra juga menerima dua gugatan dari dua tahapan yang paling dianggap rawan tersebut. Pertama, dari tahapan penetapan pasangan calon, KPU menerima gugatan dari pasangan bakal calon yang tidak diloloskan sebagai calon peserta pilkada yaitu Laode Ida dan Andi Kaharuddin, kedua gugatan berkaitan dengan hasil perhitungan suara oleh kubu AZIMAD.

Dalam proses pemilu baik pemilu presiden maupun pilkada, ada tiga upaya penggagalan pemilu yang wajib diwaspadai semua pihak baik penyelenggara, peserta pemilu, pemerintah, masyarakat dan pihak keamanan. Upaya penggagalan tersebut adalah permintaan judicial review Undang-Undang pemilihan umum, bentrokan antar massa parpol serta money politics yang melibatkan petugas perhitungan suara. Di Sulawesi Tenggara, penyelenggaraan pemilu yang terdiri dari KPU provinsi dan Panwaslu sudah menyatakan kesiapannya untuk mensukseskan penyelenggaraan pemilu disertai pula dua unsur penting lain yakni Pemerintah provinsi Sultra dan Polda Sultra.

4.2 Karakteristik Kubu NUSA

Empat kubu pasangan calon Gubernur yang akan memperebutkan kursi pemegang kekuasaan Sultra periode 2008-2013 masing-masing adalah kubu MAHASILA yaitu pasangan Mahmud Hamundu dan Yusran Silondae, kubu MMA yaitu pasangan Mashur Massie dan Azhari, kubu AZIMAD yaitu pasangan Ali Mazi dan Abd. Samad serta kubu NUSA yaitu pasangan Nur Alam dan Saleh Lasata. Latar belakang pasangan calon Gubernur dan Wakilnya pun memiliki perbedaan masing-masing.

Kubu NUSA yaitu kolaborasi pasangan Nur Alam dengan Saleh Lasata merupakan kolaborasi antara calon Gubernur berlatar belakang pengusaha dan legislator sedangkan pasangannya Saleh Lasata berlatar belakang TNI meskipun juga pernah menjadi orang nomor satu di wilayah Kabupaten Muna. Kolaborasi


(48)

antara legislator-TNI ini hanya dimiliki kubu NUSA sedangkan kubu lain dimonopoli oleh kolaborasi birokrat-birokrat seperti pasangan Azimad dan MMA. Sedangkan kolaborasi unik lainnya adalah pasangan MAHASILA dimana terjadi kolaborasi antara akademisi dan birokrat.

Kolaborasi antara Gubernur dan wakilnya juga diwarnai dengan penggabungan keterwakilan dua wilayah Sultra yaitu antara wilayah daratan dan wilayah kepulauan. Kolaborasi dua wilayah ini juga terjadi dalam kubu NUSA. Kubu NUSA dengan Nur Alam sebagai Gubernurnya merupakan sosok figur calon gubernur dari etnis Tolaki yang merupakan etnis dominan di wilayah daratan Sultra sedangkan pasangannya Saleh Lasata merupakan sosok calon wakil Gubernur beretnis Muna dari wilayah kepulauan Sultra.

Dukungan partai politik merupakan hal krusial bagi sistem pemilihan kepala daerah maupun pilpres di Indonesia. Partai politik semakin menunjukkan kekuatan dan wewenangnya dalam menetukan figur kepala daerah manakala sistem calon independen tidak diberlakukan. Hal ini serupa yang terjadi di Sulawesi Tenggara. Dengan berbagai alasan administrasi, maka terdapat calon figur pasangan kepala daerah yang maju dengan sistem perseorangan terhenti upayanya karena KPU sebagai pihak penyelenggara tidak memberlakukan sistem calon independem tersebut. Seperti misalnya yang dialami oleh Laode Ida yang upayanya menjadi kepala daerah Sultra terpaksa terhenti dikarenakan tidak didukung oleh satu partai politik pun dan KPU tidak memberlakukan sistem calon independen.

Kubu NUSA merupakan kubu yang dudukung oleh dua partai besar yang memiliki kursi di fraksi DPRD Sultra yaitu PAN dan PBR. Meskipun dukungan penuh yang diberikan PAN kepada kubu ini melebihi dari persyaratan yang ada yaitu partai politik yang memiliki 15 % suara di DPRD, namun dukungan dari partai politik alternatif menjadi penting untuk menambah kekuatan kubu ini. Hal ini sama seperti yang dialami oleh kubu lain. Kubu AZIMAD misalnya, meskipun telah mendapatkan dukungan dari partai Golkar yang memiliki lebih dari 15 % suara di DPRD, namun kubu ini tetap saja meminta dukungan dari partai alternatif lainnya seperti PKS dan PKB. Bagi setiap kubu, dukungan partai politik menjadi


(49)

penting karena adanya UU yang mengatur kewenangan Parpol dalam memilih calon figur kepala daerah, dan juga jaringan partai politik yang ada mulai dari wilayah Provinsi hingga Kelurahan atau Desa menjadikan semakin mudah membangun jaringan tim sukses hingga ke daerah-daerah.

4.3Isu Strategis dan Kondisi Sosial Masyarakat Sultra

Visi misi serta isu strategis yang diangkat merupakan salah satu strategi jitu mendekati masyarakat yang merupakan pihak pemilih dalam sistem pemilihan secara langsung. Peraturan Pemerintah nomor 6 Tahun 2005 menyebutkan bahwa kampanye adalah kegiatan dalam rangka menyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon. Dalam sebuah pemilihan Kepala Daerah, tidak dapat dipungkiri bahwa visi dan misi merupakan dua hal yang krusial, meskipun hal ini juga terkadang menjadi boomerang bagi pasangan yang akhirnya menang sebab visi dan misi selalu dijadikan patokan penilaian masyarakat akan program pembangunan yang dijalankan.

Pilkada Sultra yang digelar tahun 2007 telah menghadirkan empat pasang calon kepala daerah dengan visi dan misi yang dibawa masing-masing. Pemaparan mengenai visi dan misi menjadi penting bagi pemilih sebagai bahan pertimbangan serta informasi mengenai gambaran ringkas para kandidat, lebih jauh lagi, visi dan misi merupakan gambaran rancangan arah pembangunan yang akan dijalankan nantinya.

Bagi kubu NUSA, pemilihan visi misi serta isu strategis yang diangkat terlebih dahulu disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat Sultra sendiri. Seperti lima program utama yang akan menjadi fokus program selama pasangan ini memimpin yaitu peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), revitalisasi pemerintahan, pembangunan ekonomi, pembangunan kebudayaan serta pembangunan infrastruktur.

Peningkatan SDM menjadi penting sebagai skala prioritas karena faktor utama keberhasilan pembangunan daerah ditentukan oleh sumber daya manusianya. Demikian halnya dengan revitalisasi pemerintah. Revitalisasi


(50)

pemerintahan ini termasuk pula dalam penempatan jabatan struktural akan dilakukan sesuai dengan keahlian yang dimiliki.

Sementara pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utama, akan membangun struktur dan infrastruktur ekonomi seperti investasi dimana akan mendatangkan investor dan mempertahankan investor yang ada. Program ini difokuskan karena kubu NUSA melihat angka kemiskinan masyarakat Sultra telah melebihi angka kemiskinan nasional. Di sisi lain, angka kemiskinan ini sangat ironis jika melihat laju pertumbuhan Sultra yang juga melebihi angka pertumbuhan nasional. Untuk itu kubu NUSA merasa perlu untuk membangun sistem ekonomi masyarakat yang berbasis kepada masyarakat lapisan bawah dan hal ini benar-benar menjadi prioritas NUSA ketika menjadi kepala daerah nantinya.

Begitu pula dengan pembangunan kebudayaan dan infrastruktur, merupakan dua hal yang dinilai penting bagi kubu NUSA. Pembangunan kebudayaan menjadi penting karena melihat potensi budaya Sultra cukup baik terlebih melihat Bali sebagai provinsi yang dicontohkan dengan kebudayaan yang terkemuka.

Untuk program pembangunan infrastruktur ada tiga komponen utama yang digunakan yakni komponen darat, laut dan udara. Misalnya saat ini transportasi udara sudah memadai, tetapi masih sebatas daerah tujuan, bukan persinggahan atau terminal. Hal ini yang dikejar oleh kubu NUSA dalam memilih program pembangunan infrastruktur. Apalagi Sultra terletak di bibir lautan pasifik yang berdekatan dengan Filipina, Australia dan Timor Leste, maka dengan infrastruktur transportasi yang baik akan dengan mudah mengakses tiga Negara tersebut.

Secara ringkas, visi dan misi yang diangkat oleh pasangan calon kepala daerah Sultra akan disajikan dalam Tabel 2. Tabel pembanding ke-empat pasangan calon kepala daerah Sultra berikut.


(1)

Di wilayah daratan Sultra, etnis Tolaki merupakan etnis dominan, sedangkan di wilayah kepulauan Sultra etnis Muna dan Buton sebagai etnis yang dominan. Perjalanan peta politik Sultra menunjukkan etnis Tolaki dari wilayah daratan hanya satu kali menjadi Gubernur sedangkan figur kepulauan selalu memonopoli kedudukan Gubernur.

Momentum pemilihan Gubernur merupakan satu ajang penting bagi figur daratan maupun kepulauan sebagai ajang monopoli peta kekuasaan Sultra. Bagi figur kepulauan, pilgub 2007 adalah pembuktian monopoli peta kekuasaan Sultra, sedangkan bagi figur daratan, pilgub 2007 adalah ajang perebutan monopoli kekuasaan tersebut. Perebutan monopoli kekuasaan lebih memiliki makna dalam sistem pemilihan yang telah berubah dari pemilihan oleh dewan legislatif menjadi pemilihan secara langsung oleh masyarakat.

Upaya untuk mendapatkan posisi Gubernur Sultra diwujudkan dengan serangkaian perilaku politik melalui optimalisasi aspek-aspek strategis pilkada. Optimalisasi peranan partai politik sebagai lembaga yang menentukan calon kepala daerah termasuk optimalisasi jaringan anggota partai politiknya merupakan salah satu wujud perilaku politik untuk mencapai tujuan politik aktor beretnis Tolaki. Selain itu, optimalisasi media massa, kelompok masyarakat serta figur politik merupakan aspek-aspek strategis lainnya yang dilakukan oleh aktor beretnis Tolaki.

Partai politik memiliki kewenangan dalam menetapkan pasangan calon kepala daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 59. Menyadari pentingnya peran partai politik ini, Nur Alam sebagai individu beretnis Tolaki masuk ke dalam PAN, salah satu partai besar di Sulawesi Tenggara dan mengambil peranan penting sebagai ketua partai. Diutusnya Nur Alam sebagai calon tunggal partai PAN adalah bukti bahwa Nur Alam mampu memberikan dominasi kontrol terhadap keputusan internal partai.

Dalam pilkada Sultra 2007, setiap pasangan calon kepala daerah selalu menampilkan figur beretnis Tolaki, baik sebagai calon Gubernur maupun hanya sebagai calon Wakil Gubernur. Hal ini menyebabkan aspek primordial sebagai


(2)

daratan akan terbagi-bagi ke dalam empat kubu. Kubu NUSA memberikan kekhasan perilaku politik dibanding figur daratan lain dengan mengutamakan figur tingkat mikro sebagai penyambung antara calon pasangan kepala daerah dengan masyarakat akar rumput.

Pencitraan positif terhadap figur politik merupakan aspek penting dalam pemilihan secara langsung oleh masyarakat. Nur Alam telah membangun figur positif di tengah masyarakat melalui kegiatan keliling desa jauh sebelum suksesi pilkada berlangsung. Penggunaan media massa juga dilakukan untuk membentuk figur positif Nur Alam.

Serangkaian optimalisasi aspek politik memberikan kemenangan dan posisi Gubernur bagi Nur Alam. Konsisten dengan tujuan politiknya: etnis Tolaki mendapat posisi penting pemerintahan Sultra, Nur Alam melakukan resuffle organisasi pemerintahan dengan menempatkan figur-figur Tolaki pada posisi penting.

Hasil review terhadap perilaku politik Nur Alam melalui optimalisasi aspek strategis pilkada menunjukkan aspek primordial menjadi lebih efektif dalam pemenangan kubu NUSA ketika Nur Alam mengoptimalkan peranan figur-figur tingkat mikro. Kondisi sosial pemilih yang tersebar di dua wilayah, daratan dan kepulauan menjadikan aspek media massa dan figur politik efektif untuk menyentuh berbagai segi masyarakat.


(3)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang – undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB


(4)

DALAM PEMILIHAN GUBERNUR SULAWESI TENGGARA

TAHUN 2007

(Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi

Tenggara Tahun 2007)

ARYUNI SALPIANA JABAR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007

(Kasus : Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007)

Nama : Aryuni Salpiana Jabar

NRP : I351060081

Program Studi : Sosiologi Pedesaan (SPD)

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Ir. Said Rusli, MA Dr. Saharuddin, M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah. Swt atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007) ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari program studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Said Rusli, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Saharuddin, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan bimbingan yang bermanfaat bagi penulisan penelitian ini. Penulis juga menghaturkan ucapan terimakasih kepada bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, Guru Besar Politik dan Agraraia Institut Pertanian Bogor, selaku dosen penguji pada sidang tesis. Disamping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis dan rekan-rekan di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) angkatan 2006 (Mba. Hana, Mba. Ita, Pa’ Slamet atas segala informasi akademiknya, Pa’ Syarif, Pa Udin, Pa Himawan, Yusuf) yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama ini.

Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Si dan Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Ibu Nurmala K. Pandjaitan, penulis ucapkan terima kasih atas kesediaannya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan magister, serta penulis juga menghaturkan terima kasih kepada para Dosen PS.SPD atas bekal ilmu yang telah diberikan pada penulis yang sangat berguna bagi penulis di masa yang akan datang.

Kepada Bapak, H. Syeh All Jabbar, SH., MH dan Ibu, Ramlah All Jabbar, terima kasih atas doa yang senantiasa diberikan dimanapun penulis berada. Pada saudara – saudaraku Ogim, Wawan, Japret, Ira dan Angko yang telah membantu penelitian di lapangan, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya

Terkhusus Karya ini saya persembahkan kepada Suami tercinta, Brigadir. Idris Hasan dan Anak tersayang Syarifa Azra Al Idris (Syifa-ku) yang senantiasa selalu ikhlas mendoakan, memberikan dukungan untuk keberhasilan penulis, terima kasih atas penantian dan pengorbanan yang telah di lakukan.


Dokumen yang terkait

Identitas etnis dalam pemilihan Kepala Daerah (studi pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012)

0 7 84

Identitas etnis dalam pemilihan kepala daerah (studi pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012)

0 12 84

PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TENGAH TAHUN 2008

1 34 191

STRATEGI NAHDLATUL WATHAN DALAM MEMENANGKAN TUAN GURU BAJANG MENJADI GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG TAHUN 2013

4 51 123

Pemberitaan Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur 2013 (Analisis Isi Keberpihakan Media dalam Pemberitaan Masa Kampanye Pemilihan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur Putaran Pertama di Harian Pos Kupang dan Timor Express Periode 1-14 Maret 2013).

0 3 16

Pemberitaan Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur2013 Pemberitaan Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur 2013 (Analisis Isi Keberpihakan Media dalam Pemberitaan Masa Kampanye Pemilihan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur Putaran Pertama di Harian Pos K

0 4 16

PENDAHULUAN Pemberitaan Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur 2013 (Analisis Isi Keberpihakan Media dalam Pemberitaan Masa Kampanye Pemilihan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur Putaran Pertama di Harian Pos Kupang dan Timor Express Periode 1-14 Maret

0 4 35

Kalosara di Kalangan Masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara

0 0 11

PANITIA PEMILIHAN KECAMATAN (PPK) DALAM PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI SULAWESI UTARA TAHUN 2015 DI KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN MINAHASA Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Minahasa dalam pelaksanaan tahapan pembentukan Panitia Pemilihan K

0 0 9

PEMBERITAAN HARIAN PALOPO POS DALAM PEMILIHAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN TAHUN 2018 (Sebuah Content Analysis)

0 0 97