PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah saat ini merupakan ruang otonom
1
dimana terdapat tarik-menarik antara berbagai kepentingan yang ada. Undang-Undang Otonomi Daerah yang
dikeluarkan oleh pemerintah semakin memperkuat pertarungan untuk mengelola berbagai basis sosial, ekonomi dan politik dalam daerah. Secara mikro,
masyarakat desa maupun kelurahan sebagai pihak dan ruang otonom
2
utama penyangga daerah, tidak dapat luput dari pertarungan antara berbagai pihak dan
berbagai kepentingan.
Secara ekonomi, tarik-menarik berbagai kepentingan yang ada di daerah secara jelas terlihat dalam pertarungan pengelolaan sumberdaya yang ada di
daerah. Serupa dengan kepentingan ekonomi, kepentingan politik, sosial dan budaya pun memiliki kecenderungan atas pertarungan dalam pengelolaan
berbagai sumberdaya yang ada di daerah, bahkan sadar ataupun tidak disadari, politik, sosial dan budaya terkadang menjadi basis pola dan sumber pertarungan
berbagai kepentingan lainnya seperti kepentingan ekonomi. Indonesia merupakan negara dengan kekayaan beragam budaya serta etnis
yang ada. Kekayaan budaya dan etnis
3
ini dapat dipandang dalam dua sisi yang berbeda. Pertama, kekayaan budaya serta etnis dapat dipandang sebagai anugrah
yang memperkaya keberagaman masyarakat, serta nilai dan kearifan lokal yang dimiliki masing-masing. Namun, secara berlawanan, keberagaman etnis dan
budaya dapat menghambat berbagai kepentingan pembangunan sebab berbeda
1
Kata daerah dan daerah otonom memiliki makna yang berbeda. “Daerah” saja berarati local state government; kewenangan yang diberikan, di lain sisi, daerah otonom berarati local self
government; memerintah sendiri Dharmawan, Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan, 2004.
2
Otonom berasal dari kata Yunani autos dan nomos. Kata otonom memiliki cakupan makna lebih luas dari sekedar desentralisasi tetapi lebih pada memegang pemerintahan sendiri. Desa
merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia.
3
Pembedaan atas konsep budaya serta etnis berdasarkan konsep Galzer 2000 dimana etnis merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok
tersebut.
budaya dan etnis berarti juga berbeda latar belakang, berbeda pola pikir dan tingkah laku yang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang budaya serta
perbedaan kepentingan. Terkait dengan ruang otonom daerah, saat ini, budaya dan keberagaman
etnis tidak jarang digunakan sebagai basis pertarungan politik, ekonomi dan sosial. Stone dan Rutledge Dennis 2003 menyatakan bahwa; “ethnic group as
“human groups” other than kinship groups which cherish a blief in their common origins of such a kind that it provides a basis for the creation of a
community”. Berdasar konsep etnis di atas, dalam penelitian ini Etnis dianggap sebagai kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki identitas tertentu
dan identitas tersebut menjadi pemersatu sehingga dapat membedakan antara kelompoknya dengan kelompok lain atau antara etnisnya dengan etnis lain.
Selanjutnya kelompok yang memiliki identitas ini menjadi alat politik karena pertalian kepentingan selalu sangat erat bila berdasar pada persamaan etnisitas.
Tidak hanya itu, etnis yang lebih besar dari hanya sebuah golongan keluarga merupakan basis pemersatu masyarakat yang masih kuat dibandingkan dengan
basis pemersatu yang lain seperti tempat tinggal dan sebagainya. Robert Le Vine dalam Rush dan Althoff 1983 mengemukakan bahwa sosialisasi politik di
negara-negara berkembang cenderung mempunyai relasi yang lebih dekat pada sistem-sistem lokal, kesukuan, etnis, dan regional daripada dengan sistem-sistem
politik nasional. Menguatnya etnisitas sebagai basis pertarungan kepentingan di daerah
telah dijelaskan oleh Soetarto dan Shohibuddin 2004 dimana dalam konteks pemilu distrik, dukungan berbasis ikatan solidaritas lokal sangatlah wajar bahkan
memiliki signifikansi tersendiri sebagai basis legitimasi baru bagi proses rekruitmen politik dan proses demokratisasi lebih luas. Selanjutnya dijelaskan,
mekanisme partisipasi yang mengacu pada medium-medium yang build in dalam keseharian masyarakat misalnya yang terwujud dalam seni, agama, etnis, budaya
dan lain-lain, tidak terkelola dengan baik bahkan dimusuhi sebagai bentuk primordialisme, padahal di sisi lain, partisipasi kepartaian banyak mengandalkan
kemapuan mobilisasi ikatan-ikatan primordial tersebut.
Serupa dengan daerah lainnya di Indonesia, politik lokal di Sulawesi Tenggara saat ini memegang peranan yang semakin kuat karena adanya UU
otonomi daerah terlebih UU yang mengatur mengenai pemilihan kepala daerah. Dikutip dalam Suryatna 2007, UU no 32 2004, tentang pemerintahan daerah
mengubah ketentuan yang mengatur pergantian kepala daerah. Pasal 56 ayat 1 menyatakan; kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan
calon yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Berdasarkan UU di atas, politik lokal menjadikan para elit politik semakin
tertarik untuk berpolitik, masyarakat awam pun tidak jarang memiliki ambisi serupa, untuk menentukan arah pembangunan yang akan dilakukan di tingkat
daerah. Meningkatnya minat berpolitik masyarakat Sulawesi Tenggara yang tidak hanya terbatas pada elit politik semata, tentunya merupakan sebuah prestasi yang
semakin memberi ruang pada kembali tegaknya kedaulatan rakyat. Namun demikian, masing-masing elit dan wakil masyarakat memiliki ambisi dan
kepentingan sendiri-sendiri yang tidak jarang dapat berseberangan dengan kepentingan masyarakat. Perbedaan berbagai kepentingan tersebut mendatangkan
berbagai upaya, taktik dan strategi untuk memenangkan kursi pemegang elit. Strategi para elit politik dapat bermain pada berbagai ruang politik
tertentu. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, ruang strategis yang dapat digunakan para elit politik dapat bersumber dari aspek formal maupun aspek non-
formal. Penggunaan aspek-aspek formal dalam konteks pemilihan kepala daerah menunjukkan masih besarnya pengaruh pemerintah dalam sistem politik
Indonesia saat ini, sedangkan penggunaan aspek non-formal menunjukkan peranan masyarakat yang semakin menguat dalam sistem pemilihan secara
langsung oleh masyarakat, di lain sisi masyarakat lebih bersandar pada aspek non- formal dalam menentukan pilihannya.
Saat ini, masyarakat Sulawesi Tenggara sedang menghadapi gejolak sosial dimana pemilihan Gubernur pertama yang dipilih langsung oleh masyarakat telah
digelar. Tidak dapat dipungkiri, politik etnis terlihat dalam proses pemilihan Gubernur ini. Fenomena politik etnis terlihat pada ke-empat pasangan calon
kepala daerah selalu menggambarkan pola yang serupa; pertautan antara dua tenis berbeda. Dan pertautan ini memperlihatkan hadirnya etnis Tolaki sebagai etnis
yang selalu ada dalam kolaborasi pasangan tersebut baik sebagai calon gubernur atau hanya sebagai calon wakil gubernur. Wilayah Sulawesi Tenggara terdiri dari
dua wilayah persebaran penduduk yaitu wilayah daratan dan kepulauan. Dalam kancah politik Sultra, keterwakilan dua wilayah tersebut sangat penting untuk
menjaga stabilitas sosial politik masyarakat Sultra secara umum yang masih kental dengan nilai-nilai budaya serta adat-istiadat.
Baik wilayah daratan maupun wilayah kepulauan, masing-masing memiliki etnis dominan sebagai identitas penduduknya. Etnis Tolaki merupakan
etnis dominan yang mendiami wilayah daratan Sulawesi Tenggara sedangkan etnis Muna dan Buton merupakan dua etnis dominan di wilayah kepulauan Sultra.
Masing-masing etnis ini memiliki ciri dan kekhasan masing-masing. Namun jika dirunut lebih jauh, etnis Tolaki bukanlah etnis dominan yang ada di Sulawesi
Tenggara meskipun secara jumlah, etnis ini merupakan etnis dominan yang berada di teritori daratan Sulawesi Tenggara, dan etnis lainnya cenderung tersebar di
teritori kepulauan. Namun demikian, meskipun etnis Tolaki merupakan masyarakat yang mendiami ibu kota propinsi, etnis ini tidak menjadi etnis yang
dominan dalam masyarakat, bahkan sebaliknya, dari sisi perjalanan peta politik Sultra, etnis ini menggambarkan posisi yang tidak mendominasi.
Dari kolaborasi pasangan calon gubernur yang ada dengan Tolaki sebagai etnis yang selalu hadir serta kemenangan yang akhirnya dicapai oleh salah satu
kubu yang dilekatkan dengan etnis Tolaki, terbentuk sebuah pendugaan bahwa etnis Tolaki memiliki kekhasan perilaku politik dalam sistem politik Sulawesi
Tenggara, khususnya dalam proses pemilihan kepala daerah. Fenomena etnis Tolaki sebagai etnis yang selalu hadir dalam setiap kolaborasi pasangan calon
kepala daerah baik sebagai gubernur ataukah hanya wakil gubernur serta akhirnya berhasil menjadi pemenang pada sistem pemilihan kepala daerah yang
telah berubah, menjadi satu hal yang menarik untuk diteliti. Terlebih dalam konteks kesejarahan, etnis Tolaki tidak mendominasi peta politik Sultra.
1.2 Perumusan Masalah Penelitian