1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk: 1.
Mengkaji peranan dan kedudukan elit beretnis Tolaki dalam perjalanan peta politik Sulawesi Tenggara secara umum dan dalam kancah
pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007 secara khusus. 2.
Mengkaji perilaku politik elit beretnis Tolaki dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007, serta berbagai aksi-aksi
strategis memanfaatkan kekuatan politik untuk memenangkan kursi Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013.
3. Mengkaji peranan etnis Tolaki dalam pemenangan kubu NUSA.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap tambahan wawasan mengenai fenomena hadirnya etnis sebagai basis pertarungan
khususnya pertarungan politik dalam lingkup daerah dengan sistem politik pemilihan langsung oleh masyarakat. Secara khusus penelitian ini juga diharapkan
mampu memperkaya hasil penelitian dan pengetahuan atas studi-studi etnisitas khususnya studi etnisitas yang berkaitan dengan segi politik.
PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Perkembangan Sistem Politik Indonesia: Tinjauan Teoritis
Studi mengenai perilaku politik
4
elit beretnis Tolaki pada pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007, dapat diawali dengan tinjauan literatur
mengenai teori dan fakta empiris tentang perilaku politik dalam sistem pemilihan langsung yang terjadi di Indonesia saat ini. Tinjauan ini nantinya berguna sebagai
landasan teoritis serta menjadi acuan meletakkan sikap peneliti dalam studi-studi yang telah ada.
Studi-studi perilaku politik pilkada sebelumnya lebih mengarah pada perilaku politik masyarakat atau mengenai perilaku masyarakat sebagai pemilih,
meskipun telah banyak pula studi mengenai perilaku politik elit dalam upayanya memobilisasi massa. Studi ini sendiri berada pada jalur perilaku elit politik
sebagai bagian dari aktor politik pilkada, oleh karenanya, dengan tidak mengesampingkan pentingnya literatur mengenai studi perilaku politik yang
dilakukan oleh masyarakat sebagai pihak pemilih, maka bagian literatur ini akan lebih banyak mengulas mengenai perilaku elit politik dalam sistem pemilihan
langsung kepala daerah yang terjadi di Indonesia saat ini. Perkembangan studi-studi periaku politik didasari oleh perubahan sistem
politik yang berlaku di Indonesia saat ini, dimana sistem pemilihan langsung oleh masyarakat telah membuka peluang bagi lahirnya sistem politik yang lebih
demokratis atau corak “demokrasi deliberatif” yakni demokrasi yang melibatkan pertimbangan masyarakat secara memadai Soetarto dan Shohibuddin, 2004.
Lebih lanjut dikatakan oleh keduanya, meskipun telah dihadapkan pada sebuah
4
Dalam pandangan sosiologi, politik lebih terarah pada masalah kekuasaan. Istilah kekuasaan disini diartikan sebagai kesanggupan seorang individu atau suatu kelompok
sosial guna melanjutkan suatu bentuk tindakan membuat dan melaksanakan keputusan, dan secara lebih luas lagi, menentukan agenda pembuatan keputusan jika perlu
menentang kelompok kepentingan, dan bahkan oposisi serta individu lainnya Bottomore, 1983.
sistem yang lebih menjamin berkembangnya nilai-nilai demokrasi, kondisi transisi demokrasi di Indonesia saat ini lebih mengarah pada pembaruan struktur politik
secara formal semata melalui pelembagaan infrastruktur politik dan hukum, di samping itu, elit di berbagai level pemerintahan dan ranah sosial belum
mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keadaban civility yang sebenarnya. Salah satu perangkat sistem politik demokrasi seperti partai politik
misalnya. Sebagai instrumen politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, partai politik belum mampu menjadi keterwakilan suara masyarakat dan partai
politik ditengarai tidak lebih sebagai kendaraan politik bagi para elit. Keputusan pemerintah pun melalui berbagai Undang-Undang yang dikeluarkan turut
mendukung mandegnya perkembangan sistem demokrasi yang dicita-citakan. Dijelakan oleh Amin 2005, dibandingkan RUU yang diajukan pemerintah, UU
No.32 Tahun 2004 jauh mengalami kemunduran. Dalam RUU yang diajukan pemerintah, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan hanya berasal
dari partai politik, tetapi bisa juga diajukan oleh perseorangan, organisasi kemasyarakatan atau keagamaan, organisasi profesi dan organisasi okupasi. Jadi,
ada kesempatan bagi calon independen untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Namun, ayat 2 pasal 56 menegaskan, bahwa “pasangan calon
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik” artinya, UU No. 32 tahun 2004 menutup peluang
bagi calon independen nonpartai untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Dalam masa transisi sistem politik Indonesia saat ini, selain penting
melihat partai politik sebagai salah satu instrumen pada sistem politik demokratis, penting juga untuk melihat bagaimana sumber-sumber kekuatan politik pilkada di
akomodir menjadi basis kekuatan dalam sistem politik yang melibatkan masyarakat sebagai pihak penentu kemenangan
5
. Telaah terhadap pola mobilisasi massa melalui berbagai sumber kekuatan politik juga akan memperlihatkan
5
Dalam konteks pemilihan kepala daerah, politik bermain dalam penerimaan dan penolakan pemilih terhadap pasangan calon kepala daerah. Kultur Indonesia, penolakan
dan penerimaan ini lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional Amin, 2005.
kecenderungan perilaku politik dari elit politik dalam upaya mencapai tujuan politiknya.
Bachtiar Effendi dalam Sitepu 2005 menyatakan banyak aspek yang potensial yang dapat ditransformasikan menjadi kekuatan politik yakni aspek
formal maupun aspek non-formal. Aspek formal adalah kekuatan politik yang mengambil bentuk ke dalam partai-partai politik sedangkan aspek non-formal
adalah merupakan bangunan dari civil society yaitu 1. Dunia usaha, 2. Kelompok professional dan kelas menengah, 3. Pemimpin agama, 4. Kalangan cerdik pandai
intelektual, 5. Pranata-pranata masyarakat, 6. Media massa dan yang lainnya. Partai politik sebagai sumber kekuatan politik formal, lebih memiliki
kekuatan formal setelah dikeluarkannya UU No. 32 pada pasal 56 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan sumber-sumber kekuatan politik yang
lain sebagai kekuatan non-formal mendapatkan tempatnya sebab kultur masyarakat Indonesia dimana masyarakat sebagai pihak pemilih, cenderung
memilih berdasarkan aspek-aspek emosional dan lebih dekat kepada sumber- sumber kekuatan non-formal tersebut. Seperti misalnya media massa. Melalui
media massa, kekuatan figur politik sebagai salah satu dasar pilihan masyarakat dapat terbentuk. Mengenai kekuatan figure politik, Qodari dalam Soetarto dan
Shohibuddin 2004 menyatakan bahwa lima kategori latarbelakang calon anggota DPD yang berpeluang besar terpilih dalam kompetisi pemilu. Pertama, mantan
pejabat karena namanya telah dikenal luas oleh masyarakat, kedua pengusaha besar karena memiliki dana dan dukungan karyawan yang besar, ketiga tokoh
organisasi agama, figure tokoh etnis dan yang kelima adalah veteran pengurus partai karena selain berpengalaman dalam membina konstituen dan menggalang
dukungan, ia juga dapat memanfaatkan jaringan partainya untuk memobilisasi dukungan politik.
2.2 Pendekatan Perilaku Politik