kecenderungan perilaku politik dari elit politik dalam upaya mencapai tujuan politiknya.
Bachtiar Effendi dalam Sitepu 2005 menyatakan banyak aspek yang potensial yang dapat ditransformasikan menjadi kekuatan politik yakni aspek
formal maupun aspek non-formal. Aspek formal adalah kekuatan politik yang mengambil bentuk ke dalam partai-partai politik sedangkan aspek non-formal
adalah merupakan bangunan dari civil society yaitu 1. Dunia usaha, 2. Kelompok professional dan kelas menengah, 3. Pemimpin agama, 4. Kalangan cerdik pandai
intelektual, 5. Pranata-pranata masyarakat, 6. Media massa dan yang lainnya. Partai politik sebagai sumber kekuatan politik formal, lebih memiliki
kekuatan formal setelah dikeluarkannya UU No. 32 pada pasal 56 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan sumber-sumber kekuatan politik yang
lain sebagai kekuatan non-formal mendapatkan tempatnya sebab kultur masyarakat Indonesia dimana masyarakat sebagai pihak pemilih, cenderung
memilih berdasarkan aspek-aspek emosional dan lebih dekat kepada sumber- sumber kekuatan non-formal tersebut. Seperti misalnya media massa. Melalui
media massa, kekuatan figur politik sebagai salah satu dasar pilihan masyarakat dapat terbentuk. Mengenai kekuatan figure politik, Qodari dalam Soetarto dan
Shohibuddin 2004 menyatakan bahwa lima kategori latarbelakang calon anggota DPD yang berpeluang besar terpilih dalam kompetisi pemilu. Pertama, mantan
pejabat karena namanya telah dikenal luas oleh masyarakat, kedua pengusaha besar karena memiliki dana dan dukungan karyawan yang besar, ketiga tokoh
organisasi agama, figure tokoh etnis dan yang kelima adalah veteran pengurus partai karena selain berpengalaman dalam membina konstituen dan menggalang
dukungan, ia juga dapat memanfaatkan jaringan partainya untuk memobilisasi dukungan politik.
2.2 Pendekatan Perilaku Politik
Mengkaji sistem politik suatu masyarakat, terdapat beberapa teori yang dapat digunakan. Sitepu 2005 mengemukakan terdapat empat teori guna
menganalisis dinamika kehidupan politik suatu Negara. Pertama adalah teori
sistem yang mengemukakan pranata-pranata sosial politik merupakan wadah untuk memahami dinamika kehidupan politik masyarakat. Kedua adalah teori
perilaku politik yang mengungkapkan bahwa mengamati dinamika kehidupan politik masyarakat, tidak cukup dengan melihat pranata sosial politik formal saja
tetapi juga individu-individu yang bersangkutan. Teori elit merupakan teori ketiga yang mengungkapkan bahwa elit politiklah yang menetukan dinamika kehidupan
politik masyarakat. Sedangkan teori kelompok merupakan teori terakhir yang menjelaskan bahwa kristalografi yang ada dalam masyarakat ikut menentukan
kehidupan politik masyarakat dan Negara. Dalam pengkajian perilaku politik ini, pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan politik di dasarkan atas empat pendekatan politik Sitepu 2005 yang sebelumnya telah diuraikan. Meskipun empat pendekatan ini diajukan untuk
melihat dinamika kehidupan politik Negara, namun pendekatan ini akan dipakai dan dipinjam untuk menjelaskan dinamika politik masyarakat daerah multietnis.
Empat pendekatan politik yakni teori sistem, teori perilaku politik, teori elit dan teori kelompok digunakan dengan menyesuaikan konteks penelitian yaitu
masyarakat daerah. Untuk kepentingan penelitian, dari empat teori tersebut di atas, teori yang akan digunakan adalah teori perilaku politik. Pemilihan atas teori
perilaku politik behavior political theory didasarkan atas pumpunan penelitian yang ingin dikaji yaitu perilaku politik para pelaku politik dalam pemilihan
gubernur Sulawesi Tenggara 2007. Pendekatan perilaku politik diarahkan untuk melihat kecenderungan
perilaku politik individu ber-etnis Tolaki dalam kaitannya memanfaatkan ruang politik yang ada serta memainkan peranannya dalam ruang politik. Pendekatan ini
juga digunakan untuk melihat hubungan antara elit politik ber-ernis Tolaki dalam kehidupan bermasyarakat, kemampuan menjalin hubungan sosial asosiatif dengan
masyarakat khususnya membangun hubungan politik sesama elit. Dalam kehidupan sosial terdapat dua golongan elit yang berbeda yaitu antara elit yang
memerintah dan elit non-memerintah. Elit yang memerintah adalah individu yang secara langsung maupun tidak langsung memainkan bagian yang berarti dalam
pemerintahan sedangkan elit yang tidak memerintah adalah elit yang tidak termasuk dalam golongan pertama Bottomore, 1984. Sehubungan dengan
penelitian ini, maka pengkajian dibatasi hanya kepada perilaku-perilaku politik elit yang memeritah.
Selain pendekatan politik, dalam penelitian ini juga akan menggunakan pendekatan etnisitas. Pendekatan etnisitas diharapkan mampu menjelaskan
perjalanan budaya dan sosial masyarakat etnis Tolaki, terlebih hubungan etnis Tolaki dengan etnis lainnya dan khususnya hubungan dan proses sosial politik elit
ber-etnis Tolaki dengan elit dari etnis lainnya. Terdapat tiga pendekatan untuk mengkaji etnisitas. Pertama adalah perspektif asimilasi yang lebih menekankan
pada proses-proses sosial yang cenderung melarutkan dan menghilangkan perbedaan etnisitas, mengarahkan asimilasi etnis minoritas ke dalam masyarakat
luas. Pendekatan kedua adalah perspektif stratifikasi yang berfokus pada konsekuensi dari ketidakseimbangan yang terjadi akibat keberagaman antara
kelompok etnis. Pendekatan yang ketiga adalah perspektif sumber-sumber kelompok sosial yang menekankan pada proses-proses mobilisasi dan solidaritas
kelompok, anggota kelompok etnis menggunakan etnisitasnya untuk bersaing secara sempurna dengan kelompok yang lain.
Gordon dalam Healey 1945 mengemukakan bahwa teori asimilasi sangat penting untuk melihat asimilasi dan pluralisme dapat terjadi secara bersama.
Asimilasi merupakan sebuah proses untuk mencapai komformiti. Dalam penelitian ini, perspektif asimilasi merupakan pendekatan utama yang akan
digunakan, meskipun demikian tidak berarti dua pendekatan lainnya tidak digunakan. Dalam menelaah dan menganalisis proses sosial dalam kelompok etnis
Tolaki kaitannya dengan etnis lainnya, pokok pimikiran dari ketiga perspektif di atas akan digunakan secara kontekstual agar tujuan penelitian dapat tercapai.
2.3 Perkembangan Budaya Politik, Pola Interaksi serta Nilai Sosial Etnis